Masyarakat Adat Onan Harbangan Menjadi Korban Kekerasan oleh PT TPL: Penegakan Hukum Dipertanyakan!!!

Onan Harbangan, Desa Pohan Jae, Kecamatan Siborong-borong, Tapanuli Utara (20/01/2025)Masyarakat Adat Onan Harbangan kembali menjadi korban kekerasan dalam konflik lahan dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL). Insiden ini terjadi saat pihak perusahaan melakukan upaya penanaman paksa bibit eucalyptus di wilayah adat yang diklaim masyarakat setempat. Tindakan tersebut memicu bentrokan, di mana petugas keamanan PT TPL dilaporkan menggunakan kayu yang telah dipersiapkan sebelumnya untuk menyerang Masyarakat Adat.

Foto dan video yang beredar menunjukkan masyarakat dipukuli secara brutal oleh petugas keamanan. Peristiwa ini telah menambah daftar panjang pelanggaran hak asasi manusia terhadap Masyarakat Adat di Nusantara, yang berjuang mempertahankan wilayahnya dari ancaman perusahaan besar.

Kini, Masyarakat Adat Onan Harbangan yang terluka akibat kekerasan tersebut sedang dalam perjalanan menuju Polres Tapanuli Utara untuk membuat laporan resmi. Namun, muncul pertanyaan besar: apakah aparat penegak hukum akan serius menangani kasus ini dan menghukum pelaku kekerasan? Ataukah, seperti yang sering terjadi, justru masyarakat adat yang akan didiskriminasi dan dihadapkan pada proses hukum yang tidak adil?

Siklus kekerasan yang dialami Masyarakat Adat Onan Harbangan mencerminkan masalah yang lebih luas. RUU Masyarakat Adat, yang bertujuan melindungi hak-hak adat, hingga kini belum disahkan oleh DPR dan Presiden. Hal ini semakin memperburuk keadaan, terutama ketika negara terlihat lebih memihak pada kepentingan korporasi dengan dalih investasi, alih-alih melindungi rakyatnya sendiri.

Seruan untuk menutup operasional PT TPL semakin menggema, terutama dari Masyarakat Adat dan aktivis yang peduli terhadap keberlanjutan lingkungan dan perlindungan hak asasi manusia. Mereka mendesak agar pemerintah segera mengambil langkah tegas untuk melindungi Masyarakat Adat dan menuntaskan konflik yang telah berlangsung bertahun-tahun.

“Tutup PT TPL, si perampas wilayah adat milik masyarakat adat di Tanah Batak, dan segera sahkan RUU Masyarakat Adat! Pemerintah harus menjalankan amanat konstitusi untuk melindungi masyarakat adat dari kejahatan negara dan korporasi,” ujar salah satu tokoh adat dalam pernyataannya.

Situasi di Onan Harbangan masih terus berkembang, dengan harapan besar agar aparat hukum benar-benar menegakkan keadilan tanpa memihak. Masyarakat Adat dan pendukungnya kini menunggu respons nyata dari pihak berwenang atas kasus ini.

PD BPAN Banten Kidul Menggelar Jambore Daerah II di Kasepuhan Lebak Larang

Pengurus Daerah Barisan Pemuda Adat Nusantara (PD BPAN) Banten Kidul sukses melaksanakan Jambore Daerah (Jamda) II, yang diikuti oleh para Pemuda Adat Banten Kidul serta Masyarakat Adat setempat. Acara ini berlangsung di Kasepuhan Lebak Larang, Desa Mekarsari, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, pada Minggu (29/12/2024).

Kegiatan ini dihadiri oleh Pemuda Adat dari berbagai komunitas, termasuk Kasepuhan Lebak Larang, Karang Nunggal, Cisungsang, Cisitu, Ciptamulya, Gelar Alam, Cicarucub, Bayah, Ciherang, dan Kasepuhan Bongkok. Selain itu, Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Banten Kidul dan Ketua Pengurus Nasional BPAN juga turut hadir.

Dalam Jamda ini, saudara Anas Sopian terpilih sebagai Ketua PD BPAN Banten Kidul periode 2024-2028. Kegiatan ini mengusung tema “Miindung ka Waktu, Mibapa ka Zaman,” yang mencerminkan semangat menjaga nilai-nilai adat di tengah perubahan zaman.

Jamda II PD BPAN Banten Kidul merupakan bagian dari proses kaderisasi bagi Pemuda Adat yang ingin bergabung dengan Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN). Agenda utama kegiatan ini meliputi pelaporan kepengurusan PD BPAN Banten Kidul selama masa jabatan, serta pemilihan kepengurusan baru untuk periode berikutnya.

Aang Anggra Hariyana, Ketua PD BPAN Banten Kidul yang akan segera mengakhiri masa jabatannya, menyatakan bahwa Jambore ini bukan hanya untuk anggota BPAN, tetapi juga untuk semua pemuda yang peduli terhadap adat di Banten Kidul.

“Pemuda Adat jangan sampai kehilangan jati diri. Kehilangan ini bukan berarti hilangnya generasi, melainkan pudarnya kesadaran akan adat dan tradisi yang diwariskan leluhur. Banyak Pemuda Adat yang mulai tergerus arus zaman, merasa tidak lagi bangga dengan identitas adat mereka. BPAN hadir untuk mengembalikan kebanggaan itu dan memberikan ruang bagi mereka untuk berkembang,” ujarnya.

Aang menyoroti tantangan yang dihadapi Pemuda Adat dalam menjaga identitas mereka di tengah derasnya arus modernisasi. Pemuda Adat mulai meninggalkan pakaian adat seperti udeng dan pangsi, yang dianggap “tidak keren” dibandingkan dengan jas, dasi, atau fashion modern.

“Kita telah terpengaruh framing dunia luar yang menganggap pakaian adat kuno atau kampungan. Sebaliknya, kita harus bangga dengan identitas kita sebagai Masyarakat Adat. Namun, ini tidak berarti kita menutup mata terhadap perkembangan zaman,” tambahnya.

Bangbang Sugentry, Kepala Bidang OKK PD AMAN Banten Kidul, menegaskan bahwa BPAN merupakan salah satu organisasi sayap dari AMAN yang mewadahi Pemuda Adat.

“BPAN adalah ruang bagi Pemuda Adat untuk berkumpul, berdiskusi, dan berinovasi demi kemajuan bersama. Saya berharap kader-kader baru ini benar-benar peduli terhadap adat dan dapat menunjukkan eksistensinya dengan bangga,” ujarnya.

Hero Aprila, Penjabat Ketua Pengurus Nasional BPAN, dalam sambutannya menekankan pentingnya semangat juang bagi kader BPAN.

“Kita, Pemuda Adat, harus bisa berinovasi tanpa meninggalkan identitas kita. BPAN adalah wadah untuk menjaga dan merawat wilayah adat kita serta memperjuangkan hak-hak Masyarakat Adat. Pemuda Adat harus menjadi garda terdepan dalam upaya ini,” tegasnya.

Ari Fadilah, salah satu kader PD BPAN Banten Kidul, berharap bahwa kegiatan Jamda II dapat memperkuat solidaritas di antara Pemuda Adat.

“Banten Kidul memiliki wilayah adat yang luas, meliputi empat kabupaten dan dua provinsi. Dengan adanya BPAN, kami bisa saling mengenal, bekerja sama, dan menjaga warisan budaya leluhur bersama-sama,” ucapnya.

Jamda II PD BPAN Banten Kidul menjadi momentum penting untuk memperkuat peran Pemuda Adat dalam menjaga tradisi dan menghadapi tantangan modernisasi. Acara ini tidak hanya mempererat hubungan antar-komunitas adat, tetapi juga memberikan semangat baru bagi generasi muda untuk terus melestarikan budaya adat mereka.

Penulis: Dika Setiawan (Jurnalis Masyarakat Adat & Tim Infokom PD AMAN Banten Kidul)

Editor: RH (Infokom Seknas BPAN)

Nggak Butuh Apotek! Daun Betadine Atau Daun Dokter Penyembuh Luka Ala Lokal

Daun Betadine atau Daun Dokter (Jatropha multifida)

Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat adat di berbagai daerah di Nusantara, alam bukan hanya menjadi sumber kehidupan, tetapi juga penyembuh. Salah satunya adalah tanaman Jatropha multifida, yang dikenal di beberapa daerah dengan nama Daun Betadine di Riau dan Daun Dokter di Lombok. Meskipun teknologi modern telah menghadirkan banyak solusi medis, masyarakat adat telah lama memanfaatkan tanaman ini sebagai penyembuh luka dengan cara yang sangat alami.

Di Talang Mamak, Riau, masyarakat adat telah menggunakan daun ini selama bertahun-tahun untuk mengobati luka. Getah dari daun Jatropha multifida dioleskan langsung pada luka untuk mencegah infeksi. Karena memiliki sifat antiseptik alami yang mirip dengan Betadine, tak heran jika tanaman ini disebut Daun Betadine. Inilah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat mengandalkan tanaman lokal untuk menjaga kesehatan, jauh sebelum obat-obatan kimia ditemukan.

Sementara itu, di Lombok, Jatropha multifida dikenal dengan nama Daun Dokter karena kemampuannya dalam menyembuhkan luka dengan cepat. Masyarakat adat di sana percaya bahwa daun ini bisa menyembuhkan luka seefektif seorang dokter. Tanaman ini menjadi bukti nyata bahwa kearifan lokal dalam menggunakan tumbuhan sebagai obat bukan hanya sekadar tradisi, tetapi juga bagian dari pengetahuan medis yang sudah terbukti berfungsi.

Masyarakat adat memiliki hubungan yang sangat erat dengan alam. Mereka tidak hanya memanfaatkan alam untuk bertahan hidup, tetapi juga menjunjung tinggi nilai-nilai yang mengajarkan pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem. Penggunaan tanaman seperti Jatropha multifida adalah contoh bagaimana mereka telah mengembangkan sistem pengobatan tradisional yang berkelanjutan, tanpa merusak alam sekitar.

Sayangnya, dengan perkembangan zaman dan semakin tergantungnya masyarakat pada pengobatan modern, penggunaan Daun Betadine dan Daun Dokter mulai terlupakan. Padahal, tanaman ini bisa jadi alternatif yang lebih alami dan ramah lingkungan. Dalam era yang semakin canggih ini, mengingat dan melestarikan pengetahuan tradisional seperti ini menjadi penting, baik untuk menjaga kesehatan maupun untuk melestarikan budaya masyarakat adat yang sudah ada sejak lama.

Menggunakan Jatropha multifida adalah salah satu cara masyarakat adat mengajarkan kita tentang pentingnya kearifan lokal dalam pengobatan. Dalam dunia yang serba cepat dan cenderung melupakan akar budaya, kita perlu lebih menghargai dan melestarikan pengetahuan seperti ini. Daun Betadine dan Daun Dokter bukan hanya sekadar tanaman penyembuh luka, tetapi juga simbol dari kekuatan alam yang selalu siap membantu kita, seperti nenek moyang kita yang telah melakukannya bertahun-tahun yang lalu.

Pembungkaman Demokrasi Di Tengah Pilkada Sinjai

Tahun 2024 menjadi tahun kelam bagi demokrasi di Kabupaten Sinjai. Alih-alih menjadi pesta rakyat, pemilihan bupati berubah menjadi panggung pembungkaman suara-suara kritis, khususnya dari masyarakat adat yang selama ini berjuang mempertahankan hak mereka. Demokrasi, yang seharusnya menjadi ruang partisipasi publik, justru digunakan untuk menekan dan mengkriminalisasi mereka yang menuntut keadilan.

Kekecewaan atas Janji Kosong Pemerintah

Salah satu peristiwa mencolok terjadi pada 11 Oktober 2024. Sejumlah masyarakat adat turun ke jalan untuk menyuarakan kekecewaan mereka atas pemerintah yang gagal menepati janji Rapat Dengar Pendapat (RDP). Janji yang dilontarkan sebulan sebelumnya ini menguap tanpa kepastian, meninggalkan masyarakat adat dalam ketidakpastian yang mendalam.

Demonstrasi tersebut bukan hanya sekadar luapan emosi, tetapi akumulasi dari frustrasi panjang. Selama sebulan penuh, tuntutan masyarakat adat diabaikan. Pemerintah bukannya menghadirkan solusi, tetapi justru memperparah konflik dengan tindakan-tindakan yang merugikan komunitas adat.

Kriminalisasi Pejuang Hak Adat

Kriminalisasi masyarakat adat di Sinjai menjadi salah satu bentuk nyata pembungkaman demokrasi. Muh. Ansar Zulkarnain, seorang petani dari komunitas adat Barambang Katute, ditangkap karena menolak pematokan batas kawasan hutan yang dilakukan sepihak oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah VII Makassar. Penetapan ini tidak hanya merampas tanah adat, tetapi juga melukai kedaulatan masyarakat adat atas wilayah mereka.

Ansar, yang jauh-jauh datang ke kota dengan harapan suaranya didengar, justru mendapati dirinya dipenjarakan oleh pemerintahnya sendiri. Penangkapan ini kemudian diikuti oleh penahanan Awaluddin Syam, Ketua Pengurus Daerah Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Sinjai, yang bersolidaritas terhadap perjuangan masyarakat adat.

Penangkapan ini menambah catatan hitam konflik tenurial di Kabupaten Sinjai, khususnya di komunitas adat Barambang Katute. Sepanjang 30 tahun terakhir, jumlah korban kriminalisasi meningkat menjadi 50 orang. Konflik ini tidak hanya mencerminkan marginalisasi masyarakat adat tetapi juga menunjukkan pola represif yang terus berulang.

Pembungkaman Suara Rakyat

Alih-alih membuka ruang dialog atau mencari solusi, pemerintah dan aparat keamanan memilih jalur represif. Penangkapan para demonstran hanya memperkuat kesan bahwa pemerintah memandang aspirasi rakyat sebagai ancaman, bukan sebagai bagian dari demokrasi.

Pembungkaman ini menjadi ironi di tengah momentum pemilihan bupati yang seharusnya menjadi ruang demokrasi. Di Sinjai, demokrasi seolah menjadi alat bagi segelintir elite untuk mempertahankan kekuasaan, sementara rakyat yang mencoba mempertahankan haknya justru dihukum.

Refleksi: Demokrasi Tanpa Keadilan Adalah Ilusi

Peristiwa ini menjadi cerminan buram demokrasi kita. Demokrasi tanpa keadilan sosial hanya akan menjadi sebuah ilusi—sebuah konsep kosong yang tidak memiliki makna. Ketika masyarakat adat, yang berada di garis depan mempertahankan hak atas tanah dan budaya, harus menghadapi kriminalisasi, maka jelas bahwa demokrasi kita sedang berada dalam ancaman.

Perjuangan masyarakat adat bukan hanya tentang hak atas tanah, tetapi juga tentang mempertahankan nilai-nilai demokrasi yang sejati. Mereka yang terusir dari tanahnya, yang suaranya dibungkam, sedang berjuang bukan hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi untuk seluruh rakyat Indonesia yang mendambakan keadilan dan kemerdekaan.

Sinjai 2024 menjadi pengingat bahwa janji tanpa realisasi hanyalah omong kosong. Dan pembungkaman demokrasi di tengah pemilihan bupati adalah peringatan bagi kita semua: bahwa perjuangan belum selesai, dan suara rakyat tidak boleh dibungkam.

Perlawanan Pemuda Adat Bersama Masyarakat Adat Sinjai Menuntut Hak dan Keadilan

Aksi Masyarakat Adat (MA) Sinjai pada 11 Oktober 2024 menjadi puncak kekecewaan dan amarah terhadap berbagai ketidakadilan yang mereka alami. Mengusung isu besar “10 Tahun Jokowi Abaikan Hak Masyarakat Adat, Tolak Penetapan Kawasan Hutan Negara di Wilayah Adat Kami, Tolak Geothermal di Kabupaten Sinjai”, aksi ini tidak hanya menyoroti pelanggaran hak adat, tetapi juga memperlihatkan bagaimana janji-janji pemerintah daerah tak kunjung ditepati.

Latar Belakang Aksi

Aksi ini dipicu oleh ketidakmampuan DPRD Kabupaten Sinjai, khususnya anggota Ardiansyah, untuk memenuhi janji yang diberikan kepada massa aksi sebelumnya pada 19 Agustus 2024. Saat itu, Ardiansyah berjanji akan mengadakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dalam waktu tiga hari. Namun, janji tersebut dilanggar tanpa alasan jelas. Pernyataan Ardiansyah yang mengatakan, “Kalau tidak ada hasil, silakan lakukan apa pun yang kalian ingin lakukan,” menambah kekecewaan massa.

Kronologi Aksi

Berikut adalah rangkaian peristiwa yang terjadi pada 11 Oktober 2024:

  • 10.00 WITA: Massa dari MA Pattiro Toa dan Kampala berkumpul di depan kantor DPRD Sinjai, menunggu kehadiran komunitas adat Barambang Katute, Desa Polewali, dan Desa Batu Belerang.
  • 10.45 WITA: Massa MA Pattiro Toa dan Kampala mulai berorasi di depan kantor DPRD.
  • 11.10 WITA: Massa memasuki ruang rapat paripurna DPRD Sinjai dengan tertib dan diterima oleh Muzawwir, anggota DPRD dari Fraksi Hanura.
  • 11.30 WITA: Massa Barambang Katute, Desa Polewali, dan Desa Batu Belerang bergabung untuk berdialog. Muzawwir menjanjikan kehadiran anggota dapil 1 dan 3 untuk dialog, namun dialog terhenti untuk salat Jumat.
  • 14.00 WITA: Muzawwir meminta maaf melalui WhatsApp, menyatakan tidak dapat menghadiri dialog. Hal ini memicu amarah massa yang merasa dikhianati. Massa merusak fasilitas ruang rapat paripurna secara spontan.
  • 14.45 WITA: Massa aksi kembali tenang, negosiasi dilakukan, dan kesepakatan RDP pada 17 Oktober 2024 dicapai.
  • 15.00 WITA: Massa melanjutkan aksi di kantor Bupati Sinjai.
  • 16.00 WITA: Massa membubarkan diri dengan tertib.

Intimidasi dan Kriminalisasi

Pada 14 Oktober 2024, Sekretaris DPRD Sinjai, Lukman Fattah, melaporkan perusakan fasilitas kepada polisi. Dua orang ditetapkan sebagai tersangka:

  1. Awaluddin Syam (23 tahun), mahasiswa sekaligus Ketua Pengurus Harian Barisan Pemuda Adat Nusantara (PD BPAN).

  2. Muh. Ansar Zulkarnain (28 tahun), seorang petani, Sekaligus anggota BPAN Sinjai.

Penangkapan keduanya memunculkan dugaan intimidasi terhadap massa aksi. Kantor PD AMAN Sinjai, yang menjadi pendamping komunitas adat, tidak pernah dimintai keterangan oleh polisi meskipun lokasinya dekat. Langkah ini dianggap sebagai upaya membungkam suara masyarakat adat yang menolak kebijakan pemerintah terkait hutan dan geothermal.

Kesimpulan dan Tuntutan

Aksi ini memperlihatkan pola berulang di mana aspirasi masyarakat adat diabaikan, sementara janji-janji hanya menjadi alat pengalihan. Beberapa catatan penting dari aksi ini:

  1. Janji yang dilanggar: RDP yang dijanjikan pada Agustus tidak pernah terealisasi.
  2. Kriminalisasi sebagai intimidasi: Penangkapan massa aksi dianggap sebagai strategi untuk menakut-nakuti masyarakat adat.
  3. Dugaan kesengajaan pemerintah: Ada indikasi bahwa pemerintah sengaja menunda proses untuk melemahkan perlawanan masyarakat adat.

Masyarakat Adat Sinjai menegaskan bahwa perjuangan mereka adalah untuk mempertahankan hak atas tanah adat dan menolak eksploitasi sumber daya yang merusak lingkungan dan kehidupan mereka. Aksi ini adalah seruan kepada pemerintah untuk serius menghormati hak masyarakat adat, tidak hanya sebagai janji, tetapi sebagai kewajiban konstitusional. Sahkan UU Masyarakat Adat, hentikan kriminalisasi!

Selamat Hari Guru Nasional 2024: Guru sebagai Penjaga Ilmu dan Kearifan Lokal

Hari Guru Nasional menjadi momen penting untuk memberikan penghormatan kepada para guru yang telah berkontribusi besar dalam membangun generasi penerus bangsa. Tidak hanya guru formal di ruang kelas, tetapi juga mereka yang menjaga dan mewariskan nilai-nilai luhur, tradisi, dan kearifan lokal kepada generasi muda.

Bagi Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), guru adalah sosok yang tak terbatas pada pendidik akademik. Tetua adat, sebagai penjaga pengetahuan tradisional, memiliki peran luar biasa dalam melestarikan budaya dan identitas bangsa. Mereka adalah sumber ilmu yang membimbing Pemuda Adat memahami akar sejarah, bahasa, seni, hingga keutuhan ekosistem adat.

Hari Guru Nasional menjadi pengingat bahwa pendidikan adalah kunci untuk menjaga harmoni antara ilmu modern dan tradisi lokal. Dengan bimbingan para guru, baik di sekolah maupun di komunitas adat, generasi muda diharapkan mampu menjadi pelopor yang mencintai budaya sekaligus berkontribusi untuk kemajuan bangsa.

Mari kita terus menghormati dan mendukung perjuangan para guru yang telah mendedikasikan hidupnya untuk mencerdaskan anak bangsa dan menjaga identitas budaya Nusantara.

“Hormat Guru, Hidup Mulia. Jaga Budaya, Jaga Nusantara.”

Piknik Bebas Plastik: Masyarakat Adat dan Sampah Plastik

(Foto: saat Hero membawakan diskusi tentang Masyarakat Adat dan Plastik)

Oleh: Elisabeth Simanjuntak

Jakarta – BPAN turut terlibat di acara “PAWAI BEBAS PLASTIK 2024” yang dikemas dalam agenda PIKNIK BEBAS PLASTIK 2024, merupakan salah satu bentuk kampanye dan pawai yang diinisiasi oleh beberapa jaringan NGO diantaranya: Walhi, Econusa, Greenpeace, Indorelawan, Dietplastik Indonesia, Divers Clean Action (DCA), Pulau Plastik dan Pandu Laut Nusantara (28/07).

BPAN diundang sebagai Narasumber dengan membawakan tema diskusi  “Masyarakat Adat dan Plastik”, diskusi ini diisi oleh Hero Aprila selaku PJ. KETUM BPAN. Dia menuturkan bahwa Masyarakat Adat memiliki korelasi dengan sampah plastik. Sebelumnya Hero menjelaskan dan menegaskan tentang keberadaan Masyarakat Adat saat ini, “Masyarakat Adat sudah ada jauh sebelum Negara ini ada. Berdasarkan data yang dilansir dari Website resmi PBB terdapat 450 juta jiwa Masyarakat Adat yang tersebar di 90 Negara, namun faktanya bisa lebih dari itu. Berdasarkan data dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dari total 272 juta penduduk di Indonesia terdapat ± 20 hingga 70 juta jiwa Mayarakat Adat”, tuturnya.

Hero menyampaikan, bahwa Peralatan maupun bahan-bahan yang kita pakai dalam kegiatan ini, seperti mangkok dari tempurung kelapa, sendok dari kayu, merupakan warisan dan praktek dari Masyarakat Adat. Tetapi, seiring dengan perkembangan zaman kita seakan  melupakan manfaat dan jarang menggunakan bahan-bahan alami  (nature) dalam kehidupan sehari-hari, padahal itu merupakan salah satu cara kita untuk menjaga bumi agar tetap lestari”, tambahnya.

Pasal 18B ayat (2) UUD 45 menjelaskan bahwa Masyarakat Adat hidup sesuai dengan perkembangan zaman. Namun dalam prakteknya, Masyarakat Adat hari ini terkontaminasi dengan modernisasi dan hal-hal yang serba praktis (instan) salah satunya seperti penggunaan plastik.

Jika kita melihat Masyarakat Adat yang berada di Komunitas Montong Baan, Nusa Tenggara Barat, disana ada salah satu Pengurus Kampung (PKAM) BPAN yang mampu memanfaatkan sampah plastik dengan cara memilah dan mengolah sehingga menghasilkan sebuah kerajinan tangan yang memiliki nilai. Disamping itu adalah pratek menjaga bumi, Masyarakat Adat juga mampu memanfaatkan dan mengelolanya”, ujarnya

(foto: Berakhirnya diskusi dengan sesi foto)

Pada sesi terakhir  (Closing Statement), Hero menyampaikan dan sekaligus mengajak masyarakat untuk bersama-sama menjaga lingkungan agar tetap lestari bersama Masyarakat Adat untuk menjaga Wilayah Adatnya agar terhindar dari sampah-sampah plastik dan sampah lainnya.

“Bahwa Mayarakat Adat bukan hanya penjaga hutan, tetapi juga penjaga bumi. Masyarakat Adat paham bagaimana proses pembukaan lahan yang baik, cara berladang, beternak, berburu, menenun, termasuk juga cara menjaga kelestarian lingkungan yang berkeadilan serta memiliki kearifan lokal.

 BPAN dikenal dengan adanya  Gerakan Pulang Kampung, melalui gerakan ini  Pemuda Adat dikampung dapat melakukan kegiatan-kegiatan posistif seperti: Pendidikan Adat, menjaga hutan, melakukan Pemetaan Partisipatif serta menelusuri Jejak Lelulur. Dalam prakteknya Pemuda Adat menjaga wilayah Adat dan lingkungan agar tetap lestari dengan pengetahuan tradisional dan kearifan lokalnya.

(Foto: Antusias peserta Piknik Bebas Plastik 2024)

***

BPAN KECAM KERAS PENCULIKAN TERHADAP LIMA ORANG MASYARAKAT ADAT SIHAPORAS

Belum selesai proses sidang yang dijalani Op. Umbak Siallagan Ketua Adat Dolok Parmonangan (Komunitas Sihaporas) di Pengadilan Negeri Simalungun yang dituduh merusak dan menduduki lahan PT TPL. Masyarakat Adat Komunitas Sihaporas kembali tersentak dengan adanya Penculikan 5 (lima) orang anggota komunitas. Terkonfirmasi, Hitman Ambarita Ketua Pengurus Kampung (PKam) Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Sihaporas yang turut menjadi korban kriminalisasi, pada tanggal 22 Juli 2024 pukul 03.00 Wib.


Saat itu, Masyarakat Adat sedang tertidur lelap di salah satu rumah warga di Buntu Pangaturan, Sihaporas, Kecamatan Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Seketika, dikerumuni oleh orang yang tidak dikenal berjumlah 50 (lima puluh orang) dengan mengendarai dua unit mobil Security PT. TPL dan Truck Coltdiesel. Mereka dipaksa berdiri (bangun) dan mulai melakukan tindakan represif, intimidasi dan kekerasan fisik seperti memukul, menendang yang mengakibatkan luka robek dikepala salah satu anggota Masyarakat Adat komunitas Sihaporas. Disisi lain, Masyarakat Adat Sihaporas tidak menunjukkan adanya perlawanan dan mereka tidak diberikan ruang untuk melakukan pembelaan.


Hero Aprila PJ Ketum Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), turut mengomentari dan mengecam kasus ini, “Tindakan Penculikan ini sangat keji dan merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM. Belum selesai kasus Ompu Sorbatua Siallagan yang saat ini sedang dalam proses Sidang di PN Simalungun, malah bertambah lagi kasus penculikan yang dilakukan oleh Oknum Kepolisian dan oknum PT TPL.” ujarnya.
Selain itu, PJ Ketum BPAN juga menyampaikan, “BPAN bersama Pemuda Adat diseluruh Nusantara agar dapat berperan aktif dan mengawal setiap proses persidangan serta mengawal kasus penculikan lima orang Masyarakat Adat Sihaporas”. tegasnya.


Hero juga menambahkan “segala bentuk ketimpangan, ketidakadilan dan palanggaran HAM terhadap Masyarakat Adat tidak boleh terulang lagi”. Dengan ini, Barisan Pemuda Adat Nusantara menyatakan sikap atas kejadian ini:

  1. Mengecam dan mengutuk keras tindakan penculikan disertai pelanggaran HAM dengan cara represif dan tidak berperikemanusiaan;
  2. Mengecam tindakan kepolisian yang cacat prosedural yang dilakukan oleh Aparat Kepolisian dan Oknum PT TPL yang melakukan penculikan pada waktu dinihari;
  3. Mendorong dan mendesak Polsek Simalungun untuk segera melepaskan para korban yang saat ini sedang ditahan;
  4. Meminta keadilan kepada Majelis Hakim yang mengadili perkara Op. Umbak Siallagan agar membebaskan dari segala tuntutan hukum agar tindakan kriminalisai dan intimidasi serta penculikan tidak terulang lagi;
  5. Mengusut tuntas kronologis penculikan, sebagai Negara Hukum yang memberikan perlindungan hak bagi yang benar dan memberikan hukuman dan sanksi yang tegas bagi yang melawan hukum.

Berdasarkan informasi terkini (26/07), satu orang Masyarakat adat Sihaporas korban penculikan sudah dilepaskan dari tahanan Polres Simalungun dan masih tersisa empat orang lainnya. Ketum BPAN juga mengajak seluruh Pemuda Adat di seluruh Nusantara untuk terus memantau dan mengawasi proses setiap ketidakadilan yang dialami oleh seluruh Masyarakat Adat, terutama pada kasus Penculikan lima orang Masyarakat Adat Sihaporas dan proses Sidang Op. Umbak Siallagan di PN Simalungun.

***


Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi kontak berikut:
Hero Aprila, S.H – PJ KETUM BPAN (0852-6336-5091)
Doni Munte, S.H – BPAN Tano Batak (0822-7625-9906)

Cerita Perjalanan Pembentukan PKam Doka Nata

Refleksi oleh Dominggus Djolem
BPAN Aru


Sebagian besar komunitas masyarakat adat yang tersebar diseluruh pelosok-pelosok Nusantara menjadi miskin dan tertindas dikarenakan sumber-sumber kehidupan mereka dirampas. Tanah mereka di rampas untuk berbagai proyek pembangunan seperti perkebunan sawit, pertambangan, HPH, Konservasi dan lain-lain. Menjadi pengalaman terbesar kami masyarakat adat Aru yaitu penolakan besar-besaran dari masyarakat adat Aru terhadap PT. Menara Grup yang datang ke Aru dengan tujuan penanaman tebu, dan juga saat ini perusahaan PT. MG yang bergerak dalam perdagangan karbon yang ingin merampas hak-hak Masyarakat Adat Aru. Saat ini perusahaan tersebut sedang mengurus amdal di 10 Kecamatan yang tersebar di Kabupaten Kepulauan Aru.
Hal ini menjadi pengalaman yang menyedihkan bagi Masyarakat Adat Aru khususnya Masyarakat Adat Marafenfen pada saat itu.

Oleh karena itu kami sebagai pemuda adat Aru yang bergabung dalam Kepengurusan Organisasi Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Daerah Kepulauan Aru. Merasa penting adanya perlindungan terhadap hak-hak Masyarakat Adat Aru, maka diselenggarakanlah Jambore Daerah Ke-II BPAN ARU dengan tema : “Gerakan Pulang Kampung Memperkuat Jati Diri Pemuda Adat Aru” yang dihadiri oleh 10 komunitas adat. Melalui jambore ini kami bersepakat untuk mendeklarasikan pembentukan Pengurus Kampung BPAN di empat (4) Komunitas Masyarakat Adat Aru yaitu Komunitas Adat Doka Nata, Komunitas Adat Kumul, Komunitas Adat Erersin Nata dan Komunitas Adat Siya. Selain itu BPAN Aru melakukan reorganisasi pada Pengurus Kampung BPAN Rebi karena kami merasa penting hadirnya BPAN di seluruh Komunitas Masyarakat Adat Aru.

Perjalanan Dewan Pemuda Adat Nusantara (DePAN) Region Maluku, Said Arloy bersama BPAN Kepulauan Aru.

Dengan demikian pada hari rabu, 7 Juni 2023, Barisan Pemuda Adat Nusantara (PD BPAN ARU dan DePAN Region Maluku, Said Lajali Arloy) melakukan perjalanan dari Pelabuhan Dobo-Serwatu. Dalam Rangka pembentukan PKam Doka Nata. Dengan menyerukan “Petakan Wilayah Adat-Mu Sebelum dipetakan Orang Lain”, jambore ini terselenggara. Edukasi tentang pengakuan masyarakat adat juga dilakukan melalui kegiatan ini, karena secara nasional, Masyarakat Adat diakui dan dilindungi konstitusi Indonesia melalui Pasal 18 B Ayat (2) dan Pasal 28 I Ayat (3) UUD 1945,dan Eksistensi Masyarakat Adat Kembali ditegaskan Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012.

Pembentukan Pengurus Kampung Doka Nata dihadiri pemerintah desa dan BPAN Kepulauan Aru

Ketua Terpilih PKam BPAN Doka Nata, Nahum Djerol dan seluruh anggota PKam BPAN Doka Nata bersama dengan BPAN Daerah Kepulauan Aru mengapresiasi dukungan dari Pemerintah Desa Doka Timur, Tetua Adat Doka Nata, serta seluruh Masyarakat Adat Doka Nata.

Tuhan dan Leluhur Doka Nata Memberkati PKam BPAN Doka Nata untuk menjadi garda terdepan dalam membela dan melindungi hak-hak Masyarakat Adat Doka Nata untuk masa depan Masyarakat Adat Doka Nata yang berkedailan.

Pemuda Adat Bangkit Bersatu Bergerak Mengurus Wilayah Adat.

Penulis :Dominggus Djolem
E-mail: Dominggusdjolem05gmail.com
Fb: @Dirlan Djolem
IG : @DirlanDjolem
Youtube:@Dominggus Djolem

Disunting oleh : CH

Memperkuat Kampanye di Media, Puluhan Pemuda Adat Mengikuti Lomba Karya Tulis dan Video pada MUSWIL III AMAN Tano Batak

Ditulis oleh Maruli Tua Simanjuntak

Abdon Nababan Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara 2 periode (2007-2012 dan 2012-2017) hadiri Muswil III AMAN Tano Batak dan serahkan hadiah kepada beberapa pemenang lomba karya tulis dan video . Holbung,11 Maret 2023.

Kegiatan yang mengangkat Tema ‘’Kerusakan wilayah adat di Tano Batak” tersebut di ikuti Oleh Puluihan Pemuda Adat yang teregistrasi di Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) ‘’Dampak kehadiran Korporasi PT.TPL yang banyak menyumbangkan kerugian bagi masyatrakat adat Tano Batak dan yang menyebabkan kerusakan lingkungan di Kawasan Danau Toba.
Abdon Nababan mengapresiasi kegiatan tersebut dan mendorong para pemuda agar kiranya aktif terus menulis dan membuat vlog video untuk memperkuat kampanye di media tentang kerusakan alam tano batak.
“Saya sangat mengapresiasi lomba ini karena kegiatan ini merupakan salah satu cara untuk mengkampanyekan dampak buruk kehadiran Korporasi di Tano Batak. Dan saya juga berharap kedepan agar seluruh pemuda aktif untuk terlibat dalam menceritakan kisah dari komunitas melalui tulisan dan video yang sudah dilakukan melalui perlombaan di Muswil III ini.”
Selain itu Michelin Sallata, Ketua Umum BPAN yang turut hadir sebagai peninjau dalam Muswil III ini turut merayakan pencapaian pemuda adat dalam perlombaan yang dilaksanakan oleh panitia MUSWIL III AMAN Tano Batak. Kata Michelin pemuda adat selain meraih banyak prestasi atas karya yang mereka berikan juga terlibat banyak dalam mensukseskan MUSWIL III ini dengan terlibat langsung memobilisasi dan mengatur jalannya kegiatan.

Pemenang Lomba Karya Tulis dan Video bersama dengan warga Huta Holbung


“Solidaritas dari Pemuda Adat di Tano Batak harus menjadi pemicu semangat bagi pemuda adat lainnya untuk terus bersemangat berjuang dalam bentuk apapun utamanya dalam menjadi story teller dalam menceritakan perjuangan mereka di komunitas adat utamanya seperti yang terdampak PT TPL. Penindasan dan intimidasi yang dirasakan oleh pemuda adat di wilayah yang berkonflik justru tidak menyurutkan semangat mereka untuk senantiasa berkarya, itu nampak pada hasil capaian dari teman-teman di Sihaporas, Natumingka dan komunitas adat lainnya.”
Karto Pardosi sebagai panitia juga menjelaskan “Adapun lomba ini kami sebut sebagai kegiatan pra MUSWIL yang dilangsungkan dalam menyambut Musyawarah Wilayah AMAN Tano Batak, tujuanya adalah untuk menyemarakkan acara MUSWIL III AMAN Tano Batak, sekaligus para kontestan mempublikasi bahwa situasi dan kondisi wilayah adat masyarakat adat saat ini banyak yang dalam posisi terancam akan aktivitas dari perusahaan perusk lingkungan termasuk PT. TPL, artinya sangat banyak ditemukan kerusakan ekologi di wilayah adat.
Maka penitia mengangkat tema lomba tentang kerusakan wilayah adat sehingga dengan mengkuti lomba ini para kontestan berpartisipasi dalam mengkapanyekan situasi wilayah adat yang saat ini sedang di ekploitasi korporasi. Kegiatan lomba ini juga melibatkan seluruh komunitas masyarakat adat di Tano Batak yang sedang berjuang dalam menjaga dan mengelola wilayah adatnya.

Hadiah Lomba diserahkan oleh Abdon Nababan (Sekjen AMAN Periode 2007-2012, 2012-2017) bersama Jhontoni Tarihoran (Ketua PH AMAN Tano Batak Terpilih Periode 2023-2028)

Adapun Pemenang Lomba Karya ‘’Kerusakan Wilayah Adat di Tano Batak’’ adalah sebagai berikut:, 1. Juara I Heriando Manik, Mahasiswa Institut Agama Kristen Negeri Tarutung. 2. Juara II Maruli Simanjuntak, Anggota Barisan Pemuda Adat Nusantara Wilayah Tano Batak. 3.Juara III Sofrin Simanjuntak, Warga Adat Komunitas Ompu Pangumban Bosi Simanjuntak.

PENGURUS NASIONAL BPAN 2022-2026

KONTAK KAMI

Sekretariat BPAN, Alamat, Jln. Sempur, Bogor

officialbpan@gmail.com

en_USEnglish