Nggak Butuh Apotek! Daun Betadine Atau Daun Dokter Penyembuh Luka Ala Lokal

Daun Betadine atau Daun Dokter (Jatropha multifida)

Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat adat di berbagai daerah di Nusantara, alam bukan hanya menjadi sumber kehidupan, tetapi juga penyembuh. Salah satunya adalah tanaman Jatropha multifida, yang dikenal di beberapa daerah dengan nama Daun Betadine di Riau dan Daun Dokter di Lombok. Meskipun teknologi modern telah menghadirkan banyak solusi medis, masyarakat adat telah lama memanfaatkan tanaman ini sebagai penyembuh luka dengan cara yang sangat alami.

Di Talang Mamak, Riau, masyarakat adat telah menggunakan daun ini selama bertahun-tahun untuk mengobati luka. Getah dari daun Jatropha multifida dioleskan langsung pada luka untuk mencegah infeksi. Karena memiliki sifat antiseptik alami yang mirip dengan Betadine, tak heran jika tanaman ini disebut Daun Betadine. Inilah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat mengandalkan tanaman lokal untuk menjaga kesehatan, jauh sebelum obat-obatan kimia ditemukan.

Sementara itu, di Lombok, Jatropha multifida dikenal dengan nama Daun Dokter karena kemampuannya dalam menyembuhkan luka dengan cepat. Masyarakat adat di sana percaya bahwa daun ini bisa menyembuhkan luka seefektif seorang dokter. Tanaman ini menjadi bukti nyata bahwa kearifan lokal dalam menggunakan tumbuhan sebagai obat bukan hanya sekadar tradisi, tetapi juga bagian dari pengetahuan medis yang sudah terbukti berfungsi.

Masyarakat adat memiliki hubungan yang sangat erat dengan alam. Mereka tidak hanya memanfaatkan alam untuk bertahan hidup, tetapi juga menjunjung tinggi nilai-nilai yang mengajarkan pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem. Penggunaan tanaman seperti Jatropha multifida adalah contoh bagaimana mereka telah mengembangkan sistem pengobatan tradisional yang berkelanjutan, tanpa merusak alam sekitar.

Sayangnya, dengan perkembangan zaman dan semakin tergantungnya masyarakat pada pengobatan modern, penggunaan Daun Betadine dan Daun Dokter mulai terlupakan. Padahal, tanaman ini bisa jadi alternatif yang lebih alami dan ramah lingkungan. Dalam era yang semakin canggih ini, mengingat dan melestarikan pengetahuan tradisional seperti ini menjadi penting, baik untuk menjaga kesehatan maupun untuk melestarikan budaya masyarakat adat yang sudah ada sejak lama.

Menggunakan Jatropha multifida adalah salah satu cara masyarakat adat mengajarkan kita tentang pentingnya kearifan lokal dalam pengobatan. Dalam dunia yang serba cepat dan cenderung melupakan akar budaya, kita perlu lebih menghargai dan melestarikan pengetahuan seperti ini. Daun Betadine dan Daun Dokter bukan hanya sekadar tanaman penyembuh luka, tetapi juga simbol dari kekuatan alam yang selalu siap membantu kita, seperti nenek moyang kita yang telah melakukannya bertahun-tahun yang lalu.

Pembungkaman Demokrasi Di Tengah Pilkada Sinjai

Tahun 2024 menjadi tahun kelam bagi demokrasi di Kabupaten Sinjai. Alih-alih menjadi pesta rakyat, pemilihan bupati berubah menjadi panggung pembungkaman suara-suara kritis, khususnya dari masyarakat adat yang selama ini berjuang mempertahankan hak mereka. Demokrasi, yang seharusnya menjadi ruang partisipasi publik, justru digunakan untuk menekan dan mengkriminalisasi mereka yang menuntut keadilan.

Kekecewaan atas Janji Kosong Pemerintah

Salah satu peristiwa mencolok terjadi pada 11 Oktober 2024. Sejumlah masyarakat adat turun ke jalan untuk menyuarakan kekecewaan mereka atas pemerintah yang gagal menepati janji Rapat Dengar Pendapat (RDP). Janji yang dilontarkan sebulan sebelumnya ini menguap tanpa kepastian, meninggalkan masyarakat adat dalam ketidakpastian yang mendalam.

Demonstrasi tersebut bukan hanya sekadar luapan emosi, tetapi akumulasi dari frustrasi panjang. Selama sebulan penuh, tuntutan masyarakat adat diabaikan. Pemerintah bukannya menghadirkan solusi, tetapi justru memperparah konflik dengan tindakan-tindakan yang merugikan komunitas adat.

Kriminalisasi Pejuang Hak Adat

Kriminalisasi masyarakat adat di Sinjai menjadi salah satu bentuk nyata pembungkaman demokrasi. Muh. Ansar Zulkarnain, seorang petani dari komunitas adat Barambang Katute, ditangkap karena menolak pematokan batas kawasan hutan yang dilakukan sepihak oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah VII Makassar. Penetapan ini tidak hanya merampas tanah adat, tetapi juga melukai kedaulatan masyarakat adat atas wilayah mereka.

Ansar, yang jauh-jauh datang ke kota dengan harapan suaranya didengar, justru mendapati dirinya dipenjarakan oleh pemerintahnya sendiri. Penangkapan ini kemudian diikuti oleh penahanan Awaluddin Syam, Ketua Pengurus Daerah Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Sinjai, yang bersolidaritas terhadap perjuangan masyarakat adat.

Penangkapan ini menambah catatan hitam konflik tenurial di Kabupaten Sinjai, khususnya di komunitas adat Barambang Katute. Sepanjang 30 tahun terakhir, jumlah korban kriminalisasi meningkat menjadi 50 orang. Konflik ini tidak hanya mencerminkan marginalisasi masyarakat adat tetapi juga menunjukkan pola represif yang terus berulang.

Pembungkaman Suara Rakyat

Alih-alih membuka ruang dialog atau mencari solusi, pemerintah dan aparat keamanan memilih jalur represif. Penangkapan para demonstran hanya memperkuat kesan bahwa pemerintah memandang aspirasi rakyat sebagai ancaman, bukan sebagai bagian dari demokrasi.

Pembungkaman ini menjadi ironi di tengah momentum pemilihan bupati yang seharusnya menjadi ruang demokrasi. Di Sinjai, demokrasi seolah menjadi alat bagi segelintir elite untuk mempertahankan kekuasaan, sementara rakyat yang mencoba mempertahankan haknya justru dihukum.

Refleksi: Demokrasi Tanpa Keadilan Adalah Ilusi

Peristiwa ini menjadi cerminan buram demokrasi kita. Demokrasi tanpa keadilan sosial hanya akan menjadi sebuah ilusi—sebuah konsep kosong yang tidak memiliki makna. Ketika masyarakat adat, yang berada di garis depan mempertahankan hak atas tanah dan budaya, harus menghadapi kriminalisasi, maka jelas bahwa demokrasi kita sedang berada dalam ancaman.

Perjuangan masyarakat adat bukan hanya tentang hak atas tanah, tetapi juga tentang mempertahankan nilai-nilai demokrasi yang sejati. Mereka yang terusir dari tanahnya, yang suaranya dibungkam, sedang berjuang bukan hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi untuk seluruh rakyat Indonesia yang mendambakan keadilan dan kemerdekaan.

Sinjai 2024 menjadi pengingat bahwa janji tanpa realisasi hanyalah omong kosong. Dan pembungkaman demokrasi di tengah pemilihan bupati adalah peringatan bagi kita semua: bahwa perjuangan belum selesai, dan suara rakyat tidak boleh dibungkam.

Perlawanan Pemuda Adat Bersama Masyarakat Adat Sinjai Menuntut Hak dan Keadilan

Aksi Masyarakat Adat (MA) Sinjai pada 11 Oktober 2024 menjadi puncak kekecewaan dan amarah terhadap berbagai ketidakadilan yang mereka alami. Mengusung isu besar “10 Tahun Jokowi Abaikan Hak Masyarakat Adat, Tolak Penetapan Kawasan Hutan Negara di Wilayah Adat Kami, Tolak Geothermal di Kabupaten Sinjai”, aksi ini tidak hanya menyoroti pelanggaran hak adat, tetapi juga memperlihatkan bagaimana janji-janji pemerintah daerah tak kunjung ditepati.

Latar Belakang Aksi

Aksi ini dipicu oleh ketidakmampuan DPRD Kabupaten Sinjai, khususnya anggota Ardiansyah, untuk memenuhi janji yang diberikan kepada massa aksi sebelumnya pada 19 Agustus 2024. Saat itu, Ardiansyah berjanji akan mengadakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dalam waktu tiga hari. Namun, janji tersebut dilanggar tanpa alasan jelas. Pernyataan Ardiansyah yang mengatakan, “Kalau tidak ada hasil, silakan lakukan apa pun yang kalian ingin lakukan,” menambah kekecewaan massa.

Kronologi Aksi

Berikut adalah rangkaian peristiwa yang terjadi pada 11 Oktober 2024:

  • 10.00 WITA: Massa dari MA Pattiro Toa dan Kampala berkumpul di depan kantor DPRD Sinjai, menunggu kehadiran komunitas adat Barambang Katute, Desa Polewali, dan Desa Batu Belerang.
  • 10.45 WITA: Massa MA Pattiro Toa dan Kampala mulai berorasi di depan kantor DPRD.
  • 11.10 WITA: Massa memasuki ruang rapat paripurna DPRD Sinjai dengan tertib dan diterima oleh Muzawwir, anggota DPRD dari Fraksi Hanura.
  • 11.30 WITA: Massa Barambang Katute, Desa Polewali, dan Desa Batu Belerang bergabung untuk berdialog. Muzawwir menjanjikan kehadiran anggota dapil 1 dan 3 untuk dialog, namun dialog terhenti untuk salat Jumat.
  • 14.00 WITA: Muzawwir meminta maaf melalui WhatsApp, menyatakan tidak dapat menghadiri dialog. Hal ini memicu amarah massa yang merasa dikhianati. Massa merusak fasilitas ruang rapat paripurna secara spontan.
  • 14.45 WITA: Massa aksi kembali tenang, negosiasi dilakukan, dan kesepakatan RDP pada 17 Oktober 2024 dicapai.
  • 15.00 WITA: Massa melanjutkan aksi di kantor Bupati Sinjai.
  • 16.00 WITA: Massa membubarkan diri dengan tertib.

Intimidasi dan Kriminalisasi

Pada 14 Oktober 2024, Sekretaris DPRD Sinjai, Lukman Fattah, melaporkan perusakan fasilitas kepada polisi. Dua orang ditetapkan sebagai tersangka:

  1. Awaluddin Syam (23 tahun), mahasiswa sekaligus Ketua Pengurus Harian Barisan Pemuda Adat Nusantara (PD BPAN).

  2. Muh. Ansar Zulkarnain (28 tahun), seorang petani, Sekaligus anggota BPAN Sinjai.

Penangkapan keduanya memunculkan dugaan intimidasi terhadap massa aksi. Kantor PD AMAN Sinjai, yang menjadi pendamping komunitas adat, tidak pernah dimintai keterangan oleh polisi meskipun lokasinya dekat. Langkah ini dianggap sebagai upaya membungkam suara masyarakat adat yang menolak kebijakan pemerintah terkait hutan dan geothermal.

Kesimpulan dan Tuntutan

Aksi ini memperlihatkan pola berulang di mana aspirasi masyarakat adat diabaikan, sementara janji-janji hanya menjadi alat pengalihan. Beberapa catatan penting dari aksi ini:

  1. Janji yang dilanggar: RDP yang dijanjikan pada Agustus tidak pernah terealisasi.
  2. Kriminalisasi sebagai intimidasi: Penangkapan massa aksi dianggap sebagai strategi untuk menakut-nakuti masyarakat adat.
  3. Dugaan kesengajaan pemerintah: Ada indikasi bahwa pemerintah sengaja menunda proses untuk melemahkan perlawanan masyarakat adat.

Masyarakat Adat Sinjai menegaskan bahwa perjuangan mereka adalah untuk mempertahankan hak atas tanah adat dan menolak eksploitasi sumber daya yang merusak lingkungan dan kehidupan mereka. Aksi ini adalah seruan kepada pemerintah untuk serius menghormati hak masyarakat adat, tidak hanya sebagai janji, tetapi sebagai kewajiban konstitusional. Sahkan UU Masyarakat Adat, hentikan kriminalisasi!

Selamat Hari Guru Nasional 2024: Guru sebagai Penjaga Ilmu dan Kearifan Lokal

Hari Guru Nasional menjadi momen penting untuk memberikan penghormatan kepada para guru yang telah berkontribusi besar dalam membangun generasi penerus bangsa. Tidak hanya guru formal di ruang kelas, tetapi juga mereka yang menjaga dan mewariskan nilai-nilai luhur, tradisi, dan kearifan lokal kepada generasi muda.

Bagi Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), guru adalah sosok yang tak terbatas pada pendidik akademik. Tetua adat, sebagai penjaga pengetahuan tradisional, memiliki peran luar biasa dalam melestarikan budaya dan identitas bangsa. Mereka adalah sumber ilmu yang membimbing Pemuda Adat memahami akar sejarah, bahasa, seni, hingga keutuhan ekosistem adat.

Hari Guru Nasional menjadi pengingat bahwa pendidikan adalah kunci untuk menjaga harmoni antara ilmu modern dan tradisi lokal. Dengan bimbingan para guru, baik di sekolah maupun di komunitas adat, generasi muda diharapkan mampu menjadi pelopor yang mencintai budaya sekaligus berkontribusi untuk kemajuan bangsa.

Mari kita terus menghormati dan mendukung perjuangan para guru yang telah mendedikasikan hidupnya untuk mencerdaskan anak bangsa dan menjaga identitas budaya Nusantara.

“Hormat Guru, Hidup Mulia. Jaga Budaya, Jaga Nusantara.”

PENGURUS NASIONAL BPAN 2022-2026

KONTAK KAMI

Sekretariat BPAN, Alamat, Jln. Sempur, Bogor

officialbpan@gmail.com

en_USEnglish