Masyarakat Adat Serawai Lawan Putusan Hakim Atas Tuduhan Mencuri di Wilayah Adat

Masyarakat Adat Serawai Lawan Putusan Hakim Atas

Tuduhan Mencuri di Wilayah Adat

BENGKULU – Anton dan Kayun, masyarakat adat Serawai Semidang Sakti mengajukan upaya banding atas putusan hakim Pengadilan Negeri Tais yang memvonis bersalah keduanya atas tuduhan mencuri buah sawit milik PT Perkebunan Nusantara IV Regional 7 unit Talo-Pino yang tumbuh di atas wilayah adat suku Serawai di Desa Pering Baru, Kecamatan Talo Kecil Kabupaten Seluma.

“Hari ini, kami daftarkan upaya bandingnya atas permintaan Anton dan Kayun serta keluarga,” kata ketua tim kuasa hukum dari Kantor Hukum Masyarakat Adat Bengkulu, Fitriansyah,S.H. Kamis, 24 April 2025.

Menurut Fitriansyah, putusan PN Tais pada Kamis, 17 April 2025 yang menjatuhkan  vonis tindak pidana ringan dengan hukuman pidana penjara satu (1) bulan dan tak perlu dijalani oleh Anton dan Kayun. Dalam perspektif keadilan bagi masyarakat adat akan menjadi preseden buruk atas perjuangan mereka yang telah berlangsung hampir 40 tahun.

Sebab, dalam praktiknya. Secara sepihak, PTPN IV Regional 7 yang dahulunya bernama PTPN VII telah menduduki paksa seluruh tanah milik komunitas adat Serawai yang hidup dan beraktivitas di Desa Pering Baru secara turun temurun.

Atas itu, Fitriansyah menilai, bahwa putusan itu tidak mempertimbangkan penghormatan terhadap keberadaan masyarakat adat di Seluma yang telah diakui dan dilindungi hak-haknya melalui Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2022 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Kabupaten Seluma.

“Jadi, apa yang dialami Anton dan Kayun, sesungguhnya bukan perbuatan pidana karena tanahnya ini milik masyarakat adat yang dikuasai, dikelola dan dirawat mereka sejak puluhan tahun,” kata Fitriansyah.

Selain itu, tambah Fitriansyah, jika pun klaim perusahaan wilayah itu milik Hak Guna Usaha (HGU), nyatanya lahan-lahan itu dikelola dan dirawat oleh masyarakat adat secara rutin dan berlangsung lama. Ini ditandai dengan masih adanya sisa tanam tumbuh berupa tanaman kopi dan lainnya yang sudah berusia tua.

“Prinsipnya keberatan, meskipun hanya sedetik divonis bersalah melakukan pencurian. Ini soal keadilan dan hak masyarakat adat yang sudah direbut. Praktik diskriminasi dan intimidasi pada masyarakat adat harus dihentikan,” kata Fitriansyah didampingi Rendi saputra dan Efyon junaidi.

Tim Kuasa Hukum dari Kantor Hukum Masyarakat Adat Bengkulu berada di PTSP PN Tais

Masyarakat adat Serawai Semidang sakti yang bermukim di Desa Pering Baru, Seluma. Sudah sejak tahun 1800 bermukim di daerah itu. Mereka bercocok tanam padi sawah dan darat serta berladang kopi, durian dan lainnya.

Namun pada tahun 1986, wilayah mereka kemudian dinyatakan sebagai tanah negara dan diperuntukkan untuk usaha perkebunan sawit. Mereka yang berladang dan tinggal di daerah itu pun diusir paksa. Beberapa diiming-imingi bahwa tanah mereka hanya dipinjam.

Sejak itu, konflik pun bermunculan. Masyarakat adat yang merasa tak pernah mendapatkan persetujuan atas perkebunan sawit di wilayah adat mereka terus memprotes dan berjuang. Sejumlah orang dipenjara bahkan ada yang tertembak. Karena itu, selain terus berladang dan merawat tanahnya, mereka juga mengajukan perlawanan ke kementerian, Badan Pertanahan Nasional dan lainnya.

Sampai dengan tahun 2012, berdasar hasil pengukuran ulang oleh BPN memang ditemukan ada kelebihan luas HGU milik PTPN IV Regional 7 di Desa Pering Baru. Namun demikian, hasil itu tak menjadi perhatian oleh pemerintah setempat.

Konflik antara masyarakat adat Serawai dan perkebunan pun menjadi api dalam sekam. Hingga puncaknya pada 9 Februari 2025. Anton dan Kayun, yang merupakan kakak beradik, tiba-tiba ditangkap paksa saat sedang memanen buah sawit di ladang mereka.

Anton sempat mendapatkan penganiayaan oleh dua orang anggota TNI. Keduanya pun digelandang paksa ke kepolisian dan kemudian disidangkan. Hakim pun memvonis mereka dengan tuduhan meyakinkan dan bersalah atas pencurian.

Narahubung:

Kantor Hukum Masyarakat Adat Bengkulu

Fitriansyah ‪+62 812-7140-2215

Rendi Saputra ‪+62 856-5865-6809

Hak-Hak Tradisional dalam Konstitusi: Saatnya RUU Masyarakat Adat Disahkan

“Hak-Hak Tradisional” dalam Konstitusi:

Saatnya RUU Masyarakat Adat Disahkan

[Jakarta, Rabu 17 April 2025] – Dalam semangat memperjuangkan keadilan konstitusional dan perlindungan menyeluruh bagi masyarakat adat di Indonesia, Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat menyelenggarakan Diskusi Publik Hak-Hak Tradisional Masyarakat Adat dan Urgensinya terhadap Upaya Mendorong Pengesahan RUU Masyarakat Adat. Kegiatan ini menjadi ruang reflektif sekaligus strategis untuk menggali kembali makna “hak-hak tradisional” dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, serta menegaskan pentingnya kehadiran payung hukum nasional yang melindungi eksistensi masyarakat adat.

Diskusi ini lahir dari keprihatinan atas ketidakjelasan definisi hukum terkait “hak-hak tradisional”, yang hingga kini belum sepenuhnya terjabarkan dalam peraturan perundang-undangan. Frasa ini, yang menggantikan istilah “hak asal-usul” pasca amandemen UUD 1945, menyimpan konsekuensi hukum dan sosial yang mendalam bagi pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan masyarakat adat.

“RUU Masyarakat Adat adalah wujud konkret dari amanat konstitusi. Tanpa undang-undang ini, pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat masih bersifat sektoral, lambat, diskriminatif, dan rawan menimbulkan konflik,” tegas Rina Mardiana, akademisi dari IPB University. Rina juga menyatakan bahwa masyarakat adat adalah masyarakat otohton yaitu masyarakat yang memiliki hubungan historis dan budaya yang kuat dengan wilayah tertentu, serta memiliki sistem hukum, sosial, dan ekonomi sendiri yang berbeda dari masyarakat di sekitarnya. Mereka memiliki hak atas tanah dan sumber daya alam secara tradisional, serta hak untuk mengatur diri sendiri. Mereka bukan dari pecahan dari negara atau pecahan kerajaan (eks-swapraja), pungkasnya.

Erwin dari Perkumpulan HuMa yang juga merupakan dari Koalisi menambahkan, “Istilah hak-hak tradisional tak hanya menyangkut tanah dan sumber daya, tapi juga hak untuk menentukan nasib sendiri. Ini mencakup hak politik, budaya, hingga spiritualitas komunitas adat.”.

Dia juga berpendapat bahwa dalam risalah sidang perubahan UUD, tidak dibahas hak-hak apa saja yang merupakan hak tradisional. Berdasarkan risalah sidang perubahan UUD 1945, dapat disimpulkan bahwa istilah “hak tradisional” memang dimaksudkan untuk membuat pengertian hak tersebut menjadi fleksibel, karena sampai akhir pengesahan Pasal 18B ayat (2) tidak disepakati secara rinci ruang lingkup hak tradisional.

Namun, ketidakhadiran kerangka hukum yang komprehensif membuat masyarakat adat tetap rentan. Di sisi lain, interpretasi terhadap konstitusi tidak dapat hanya mengandalkan pendekatan originalisme. Perlu pendekatan kontekstual agar norma konstitusi hidup dan relevan dengan dinamika zaman. “Namun, justru karena itu, negara punya kewajiban untuk memastikan dan memperjelas hak-hak apa saja yang secara inheren melekat pada Masyarakat Adat. Hak-hak ini adalah bagian dari Hak Asasi Manusia. Maka negara berkewajiban untuk menghormati, memenuhi, dan melindunginya”, tegas Erwin.

Realitas di lapangan semakin memperkuat urgensi ini. Di Sumba Timur, masyarakat adat menghadapi tantangan hilangnya akses terhadap sumber daya agraria akibat tidak adanya payung hukum tersebut. Dibutuhkan dukungan dari DPR RI untuk menciptakan payung hukum yang mengatur khusus terkait masyarakat adat. Triawan Umbu Uli Mekahati dari Koppesda Sumba menambahkan, “Sudah berbagai upaya kami tempuh, agar kedudukan Masyarakat Adat mendapatkan perlindungan dan pengakuan yang utuh, tapi tanpa dukungan regulasi nasional, kami hanya disikapi sebagai gangguan pembangunan”, tutup Triawan yang disapa Umbu Tri.

Potret Aktivitas Masyarakat Adat Meratus – Donny

Sementara itu, bagi Masyarakat Adat Pegunungan Meratus, wilayah adat yang ada saat ini sudah dapat menjamin kebutuhan hidup seperti untuk sandang, pangan, papan, obat-obatan, air minum dan lainnya. Masyarakat Adat menilai bahwa wilayah adat mereka di Pegunungan Meratus seluas kurang lebih 600 hektar merupakan ruang hidup yang tidak bisa dipisahkan dengan jiwa raga mereka.

Harnilis sebagai Tokoh Adat Meratus menyebutkan untuk mengelola sumber daya alam di Pegunungan Meratus di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Kalimantan Selatan, Masyarakat Adat kompak kerjasama antara laki-laki dan perempuan, serta tua dan muda melestarikan budaya-budaya yang sudah diwariskan secara turun temurun.

Tidak ada yang lebih kuat antara laki-laki dan perempuan, semuanya kuat dan penting. Tidak akan berhasil kita berkebun, berladang, mengadakan acara tanpa keduanya”, ungkap Harnilis.

Harnilis juga menjelaskan rencana penetapan wilayah adat mereka menjadi Taman Nasional atau kawasan konservasi oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Harnilis menegaskan bahwa Masyarakat Adat Dayak Meratus merupakan masyarakat yang cinta damai. Mereka siap membela dan mempertahankan wilayah adat mereka agar tidak menjadi kawasan konservasi milik negara.

Rencana penetapan wilayah adat menjadi Taman Nasional dinilai dapat mencederai Hak-Hak Tradisional Masyarakat Adat. “Hutan bukan hanya tempat hidup kami, tapi bagian dari kehidupan itu sendiri. Jika diambil, kami kehilangan segalanya,” tutup Harnilis, Tokoh Adat Meratus.

Hak-Hak Tradisional sebagaimana amanat UUD 1945 merupakan mandat konstitusi yang penting untuk mendorong pengesahan RUU Masyarakat Adat. Keadilan sosial harus ditegakkan bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa terkecuali bagi Masyarakat Adat. Tanpa payung hukum yang menjamin pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan Masyarakat Adat, Indonesia akan terus mengabaikan amanat konstitusi tersebut. Pemenuhan terhadap Hak-Hak Tradisional harus diwujudkan dalam bentuk pengesahan Undang-Undang Masyarakat Adat.

Narahubung: Anggi Prayoga 0822-9831-7272 (Ketua Tim Kampanye Koalisi Kawal RUU MA)

PENGURUS NASIONAL BPAN 2022-2026

KONTAK KAMI

Sekretariat BPAN, Alamat, Jln. Sempur, Bogor

officialbpan@gmail.com

en_USEnglish