
Tahun 2024 menjadi tahun kelam bagi demokrasi di Kabupaten Sinjai. Alih-alih menjadi pesta rakyat, pemilihan bupati berubah menjadi panggung pembungkaman suara-suara kritis, khususnya dari masyarakat adat yang selama ini berjuang mempertahankan hak mereka. Demokrasi, yang seharusnya menjadi ruang partisipasi publik, justru digunakan untuk menekan dan mengkriminalisasi mereka yang menuntut keadilan.
Kekecewaan atas Janji Kosong Pemerintah
Salah satu peristiwa mencolok terjadi pada 11 Oktober 2024. Sejumlah masyarakat adat turun ke jalan untuk menyuarakan kekecewaan mereka atas pemerintah yang gagal menepati janji Rapat Dengar Pendapat (RDP). Janji yang dilontarkan sebulan sebelumnya ini menguap tanpa kepastian, meninggalkan masyarakat adat dalam ketidakpastian yang mendalam.
Demonstrasi tersebut bukan hanya sekadar luapan emosi, tetapi akumulasi dari frustrasi panjang. Selama sebulan penuh, tuntutan masyarakat adat diabaikan. Pemerintah bukannya menghadirkan solusi, tetapi justru memperparah konflik dengan tindakan-tindakan yang merugikan komunitas adat.
Kriminalisasi Pejuang Hak Adat


Kriminalisasi masyarakat adat di Sinjai menjadi salah satu bentuk nyata pembungkaman demokrasi. Muh. Ansar Zulkarnain, seorang petani dari komunitas adat Barambang Katute, ditangkap karena menolak pematokan batas kawasan hutan yang dilakukan sepihak oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah VII Makassar. Penetapan ini tidak hanya merampas tanah adat, tetapi juga melukai kedaulatan masyarakat adat atas wilayah mereka.
Ansar, yang jauh-jauh datang ke kota dengan harapan suaranya didengar, justru mendapati dirinya dipenjarakan oleh pemerintahnya sendiri. Penangkapan ini kemudian diikuti oleh penahanan Awaluddin Syam, Ketua Pengurus Daerah Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Sinjai, yang bersolidaritas terhadap perjuangan masyarakat adat.
Penangkapan ini menambah catatan hitam konflik tenurial di Kabupaten Sinjai, khususnya di komunitas adat Barambang Katute. Sepanjang 30 tahun terakhir, jumlah korban kriminalisasi meningkat menjadi 50 orang. Konflik ini tidak hanya mencerminkan marginalisasi masyarakat adat tetapi juga menunjukkan pola represif yang terus berulang.
Pembungkaman Suara Rakyat
Alih-alih membuka ruang dialog atau mencari solusi, pemerintah dan aparat keamanan memilih jalur represif. Penangkapan para demonstran hanya memperkuat kesan bahwa pemerintah memandang aspirasi rakyat sebagai ancaman, bukan sebagai bagian dari demokrasi.
Pembungkaman ini menjadi ironi di tengah momentum pemilihan bupati yang seharusnya menjadi ruang demokrasi. Di Sinjai, demokrasi seolah menjadi alat bagi segelintir elite untuk mempertahankan kekuasaan, sementara rakyat yang mencoba mempertahankan haknya justru dihukum.
Refleksi: Demokrasi Tanpa Keadilan Adalah Ilusi
Peristiwa ini menjadi cerminan buram demokrasi kita. Demokrasi tanpa keadilan sosial hanya akan menjadi sebuah ilusi—sebuah konsep kosong yang tidak memiliki makna. Ketika masyarakat adat, yang berada di garis depan mempertahankan hak atas tanah dan budaya, harus menghadapi kriminalisasi, maka jelas bahwa demokrasi kita sedang berada dalam ancaman.
Perjuangan masyarakat adat bukan hanya tentang hak atas tanah, tetapi juga tentang mempertahankan nilai-nilai demokrasi yang sejati. Mereka yang terusir dari tanahnya, yang suaranya dibungkam, sedang berjuang bukan hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi untuk seluruh rakyat Indonesia yang mendambakan keadilan dan kemerdekaan.
Sinjai 2024 menjadi pengingat bahwa janji tanpa realisasi hanyalah omong kosong. Dan pembungkaman demokrasi di tengah pemilihan bupati adalah peringatan bagi kita semua: bahwa perjuangan belum selesai, dan suara rakyat tidak boleh dibungkam.