Ratusan Masyarakat Adat dan Aktivis Tolak Izin Pertambangan Nikel di Raja Ampat

Hari ini (26/5/2025), ratusan masyarakat adat, aktivis lingkungan, dan pelaku pariwisata yang tergabung dalam Aliansi Jaga Alam Raja Ampat (ALJARA) melakukan aksi protes terhadap aktivitas dan izin pertambangan nikel Raja Ampat di Kantor DPRD Kabupaten Raja Ampat. Sebelumnya ALJARA telah bertemu perwakilan DPRD dan pemerintah daerah pada Maret 2025.

Kehadiran Aktivitas pertambangan nikel PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) di wilayah pulau Batang Pele dan Manyaifun akan berdampak terhadap kerusakan ekologi di pesisir pulau, nelayan lokal menjadi kesulitan untuk menemukan ikan saat melaut. Kesulitan terjadi, karena limbah dari aktivitas tambang nikel akan berakhir di pesisir atau laut dan memicu kerusakan terumbu karang yang menjadi habitat ikan dan biota laut, yang disampaikan dalam Surat Pernyataan Sikap Aljara.

Aljara menuntut dan mendesak pemerintah mencabut dan menghentikan izin PT Mulia Raymond Perkasa. Aljara menolak ekspansi dan eksplitasi perusahaan pertambangan nikel PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) di Pulau Manyaifun dan Batang Pele dan meminta pemerintah mengevaluasi semua izin pertambangan nikel di Kabupaten Raja Ampat.

Bupati Raja Ampat saat menemui massa aksi yang tergabung dalam ALJARA, dalam penyampaiannya dinilai tidak punya sikap tegas untuk melindungi Alam Raja Ampat dari ancaman perusahaan pertambangan nikel yang hendak beroperasi. Sebut saja PT Mulia Raymond Perkasa (MRP)bupati menyampaikan bahwa sejauh ini pemerintah daerah belum bertemu dengan pihak perusahaan, ini pernyataan yang menunjukkan kelemahan pemerintah daerah yang tidak mampu mengendalikan semua aktivitas di daerah yang dia pimpin.

Bupati juga menyampaikan bahwa kewenangan mengenai perizinan pertambangan ada di provinsi dan pusat. Namun faktanya IUP milik PT MRP yang saat ini dijadikan dasar untuk kegiatan eksplorasi di pulau Batan Pele dan kampung Manyaifun, distrik Waigeo Barat Kepulauan diterbitkan oleh mantan bupati sebelumnya pada tahun 2013. Meskipun setelah adanya UU Nomor 03 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara semua yang berkaitan dengan izin pertambangan menjadi kewenangan pusat namun ada pengecualian mengenai IUP terutama untuk Eksplorasi masih tetap menjadi kewenangan pemerintah daerah dalam hal ini bupati Raja Ampat yang menerbitkan IUP eksplorasi untuk PT MRP.

Sehingga alasan bupati R4 yang menyatakan kewenangan ada pada pemerintah Provinsi dan Pusat adalah pernyataan yang tidak bisa dibenarkan.

pemerintah daerah juga dinilai kurang aktif untuk menengahi persoalan konflik horizontal antara masyarakat yang menolak dan menerima kehadiran perusahaan.

PUBLIK MENANTI PUTUSAN YANG ADIL DARI MAHKAMAH AGUNG BAGI SORBATUA SIALLAGAN

Jakarta, Jumat, 9 Mei 2025

Hari ini, Solidaritas Masyarakat Sipil untuk Sorbatua Siallagan bersama Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan kembali mendatangi Mahkamah Agung RI di Jakarta Pusat. Aksi ini merupakan kelanjutan dari aksi sebelumnya pada 26 Februari 2025 untuk menuntut keadilan atas kasus hukum yang menimpa Sorbatua Siallagan, Ketua Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan di Dolok Parmonangan, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Perkara ini saat ini sedang berproses di tingkat kasasi Mahkamah Agung.

Judianto Simanjuntak, Kuasa Hukum Sorbatua Siallagan dari Tim Advokasi Masyarakat Adat Nusantara (TAMAN), menyatakan bahwa perkara ini membawa angin segar bagi penegakan hukum. Hal ini tercermin dalam putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 1820/Pid.Sus-LH/2024/PT MDN, tanggal 17 Oktober 2024, yang menyatakan:

Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No. 155/Pid.Sus/LH/2024/PN.Sim, tanggal 14 Agustus 2024, menyatakan perbuatan terdakwa Sorbatua Siallagan terbukti ada, tetapi bukan merupakan tindak pidana melainkan perbuatan perdata, serta melepaskan Sorbatua dari segala tuntutan hukum.

Menurut Judianto, yang juga pengacara publik dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), putusan tersebut telah mempertimbangkan keberadaan masyarakat adat dan hak-hak tradisional mereka, sebagaimana diatur dalam UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012, dan berbagai instrumen hukum lainnya.

Namun, karena Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi pada 7 November 2024, maka putusan tersebut belum berkekuatan hukum tetap. Hingga kini, status hukum Sorbatua masih sebagai terdakwa dengan perkara yang terdaftar di Mahkamah Agung pada register No. 4398 K/Pid.Sus-LH/2025.

Friska Simanjuntak dari Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan menyampaikan kekecewaan atas kriminalisasi terhadap Sorbatua, yang dimulai dari penculikan, penetapan sebagai tersangka oleh Polda Sumatera Utara atas laporan PT Toba Pulp Lestari (TPL), hingga dihukum dua tahun penjara dan denda Rp1 miliar oleh Pengadilan Negeri Simalungun. Padahal, menurutnya, komunitas adat mereka sudah secara turun-temurun mengelola wilayah adat tersebut sejak tahun 1700-an.

“Generasi kami yang saat ini mendiami Huta Dolok Parmonangan adalah generasi ke-11 dari keturunan Raja Ompu Umbak Siallagan,” ujar Friska. Ia juga menegaskan bahwa kedatangan mereka ke Jakarta adalah untuk menuntut keadilan dan mendesak Mahkamah Agung agar membebaskan Sorbatua.

Sinung Karto dari Divisi Penanganan Kasus PB Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyebut bahwa kasus Sorbatua adalah satu dari banyak contoh kriminalisasi terhadap masyarakat adat. Minimnya pengakuan hukum terhadap hak-hak masyarakat adat membuat wilayah mereka rentan terhadap perampasan, kekerasan, dan intimidasi. Dalam Catatan Akhir Tahun 2024, AMAN mencatat 121 kasus perampasan wilayah adat seluas 2.824.118,36 hektare yang menimpa 140 komunitas adat.

“Kedatangan komunitas adat ke Jakarta ini harus menjadi refleksi bagi negara dan aparat penegak hukum agar menghentikan segala bentuk kriminalisasi terhadap masyarakat adat,” tegas Sinung. Ia berharap Majelis Hakim Mahkamah Agung dapat memutus perkara ini secara objektif dan adil, bukan hanya bagi Sorbatua dan komunitasnya, tetapi juga bagi seluruh masyarakat adat di Nusantara.

Potret Masa Aksi di Mahkamah Agung

Samuel dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) menegaskan bahwa kriminalisasi terhadap Sorbatua Siallagan merupakan bentuk nyata penyalahgunaan hukum untuk merampas hak masyarakat adat atas wilayahnya sendiri.

Negara, melalui aparat penegak hukum, telah gagal memenuhi kewajiban konstitusionalnya dalam melindungi hak-hak asasi masyarakat adat dan justru menjadi alat kekerasan struktural yang melegitimasi kepentingan korporasi. “Ini bukan sekadar persoalan hukum, ini adalah pelanggaran hak asasi manusia. Sorbatua dikriminalisasi karena membela tanah adatnya. Mahkamah Agung harus melihat perkara ini dengan perspektif keadilan sosial dan hak asasi manusia, bukan semata-mata prosedur hukum formal,”.

Marvella Fiorenza Barfiandana, mahasiswa dari BEM Fakultas Hukum Universitas Indonesia, mengatakan aksi damai ini adalah bentuk suara masyarakat sipil kepada Mahkamah Agung. Mereka berharap agar Majelis Hakim memutus perkara ini dengan jujur, adil, dan tanpa campur tangan pihak lain.

Dalam aksi ini, mereka menyerahkan surat dukungan dari Solidaritas Masyarakat Sipil untuk Sorbatua Siallagan yang berisi 324 tanda tangan serta petisi dari Change.org “Bebaskan Sorbatua Siallagan” yang telah didukung oleh 10.017 orang.

Penyerahan Surat Dukungan untuk Sorbatua Siallagan ke Mahkamah Agung

Judianto Simanjuntak menambahkan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Negeri Simalungun keliru dalam menjatuhkan hukuman. “Dalam hukum pidana, hanya tindakan yang merupakan kesalahan dan melawan hukum yang dapat dijatuhi pidana. Sorbatua tidak melakukan kesalahan maupun tindakan yang melanggar hukum,” ujarnya. Karena itu, pihaknya berharap Mahkamah Agung menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Medan dan membebaskan Sorbatua dari seluruh dakwaan.

Jakarta, 09 Mei 2025

Hormat Kami

SOLIDARITAS MASYARAKAT SIPIL UNTUK SORBATUA SIALLAGAN;Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN);Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Tano Batak;Perhimpunan Bantuan Hukum;dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (BAKUMSU);Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak;Siallagandi Dolok Parmonangan, Kab. Simalungun, Sumatera Utara;Lembaga Adat Keturunan;Ompu Mamontang Laut Ambarita (Lamtoras), Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara;Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN);Aliansi Gerak Tutup TPL;Forest Watch Indonesia (FWI);Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI);Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN);Bidang Keadilan dan Perdamaian Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (BKP-PGI) Sayogo Institute;Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Krisnayana;Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (BEM FH UI);Yayasan Forum Adil Sejahtera (YFAS);Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen (JKLPK) Indonesia;Public Interest Lawyer Network (PIL-NET) Indonesia;Yayasan Diakonia Pelangi Kasih (YDPK);Perkumpulan HuMa Indonesia;WeSpeakUp.org,Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA);Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat;Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM);Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Sumatera Utara (Kontras Sumut);Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan;Wahana Lingkungan Hidup Sumatera Utara (WALHI SUMUT);Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Komisariat UNIKA SEJAJARAN (GMNI UNIKA SEJAJARAN);Gerakan Mahasiswa;Nasional Indonesia Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (GMNI FH-USU);Aksi Kamisan Medan;Perempuan AMAN Sumatera Utara;Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Sumatera Utara (AMAN SUMUT);Yayasan Srikandi Lestari.

KONTAK KAMI

Sekretariat Jln. Sempur 58, Bogor
bpan@aman.or.id
en_USEnglish