PUBLIK MENANTI PUTUSAN YANG ADIL DARI MAHKAMAH AGUNG BAGI SORBATUA SIALLAGAN

Jakarta, Jumat, 9 Mei 2025

Hari ini, Solidaritas Masyarakat Sipil untuk Sorbatua Siallagan bersama Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan kembali mendatangi Mahkamah Agung RI di Jakarta Pusat. Aksi ini merupakan kelanjutan dari aksi sebelumnya pada 26 Februari 2025 untuk menuntut keadilan atas kasus hukum yang menimpa Sorbatua Siallagan, Ketua Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan di Dolok Parmonangan, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Perkara ini saat ini sedang berproses di tingkat kasasi Mahkamah Agung.

Judianto Simanjuntak, Kuasa Hukum Sorbatua Siallagan dari Tim Advokasi Masyarakat Adat Nusantara (TAMAN), menyatakan bahwa perkara ini membawa angin segar bagi penegakan hukum. Hal ini tercermin dalam putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 1820/Pid.Sus-LH/2024/PT MDN, tanggal 17 Oktober 2024, yang menyatakan:

Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No. 155/Pid.Sus/LH/2024/PN.Sim, tanggal 14 Agustus 2024, menyatakan perbuatan terdakwa Sorbatua Siallagan terbukti ada, tetapi bukan merupakan tindak pidana melainkan perbuatan perdata, serta melepaskan Sorbatua dari segala tuntutan hukum.

Menurut Judianto, yang juga pengacara publik dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), putusan tersebut telah mempertimbangkan keberadaan masyarakat adat dan hak-hak tradisional mereka, sebagaimana diatur dalam UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012, dan berbagai instrumen hukum lainnya.

Namun, karena Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi pada 7 November 2024, maka putusan tersebut belum berkekuatan hukum tetap. Hingga kini, status hukum Sorbatua masih sebagai terdakwa dengan perkara yang terdaftar di Mahkamah Agung pada register No. 4398 K/Pid.Sus-LH/2025.

Friska Simanjuntak dari Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan menyampaikan kekecewaan atas kriminalisasi terhadap Sorbatua, yang dimulai dari penculikan, penetapan sebagai tersangka oleh Polda Sumatera Utara atas laporan PT Toba Pulp Lestari (TPL), hingga dihukum dua tahun penjara dan denda Rp1 miliar oleh Pengadilan Negeri Simalungun. Padahal, menurutnya, komunitas adat mereka sudah secara turun-temurun mengelola wilayah adat tersebut sejak tahun 1700-an.

“Generasi kami yang saat ini mendiami Huta Dolok Parmonangan adalah generasi ke-11 dari keturunan Raja Ompu Umbak Siallagan,” ujar Friska. Ia juga menegaskan bahwa kedatangan mereka ke Jakarta adalah untuk menuntut keadilan dan mendesak Mahkamah Agung agar membebaskan Sorbatua.

Sinung Karto dari Divisi Penanganan Kasus PB Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyebut bahwa kasus Sorbatua adalah satu dari banyak contoh kriminalisasi terhadap masyarakat adat. Minimnya pengakuan hukum terhadap hak-hak masyarakat adat membuat wilayah mereka rentan terhadap perampasan, kekerasan, dan intimidasi. Dalam Catatan Akhir Tahun 2024, AMAN mencatat 121 kasus perampasan wilayah adat seluas 2.824.118,36 hektare yang menimpa 140 komunitas adat.

“Kedatangan komunitas adat ke Jakarta ini harus menjadi refleksi bagi negara dan aparat penegak hukum agar menghentikan segala bentuk kriminalisasi terhadap masyarakat adat,” tegas Sinung. Ia berharap Majelis Hakim Mahkamah Agung dapat memutus perkara ini secara objektif dan adil, bukan hanya bagi Sorbatua dan komunitasnya, tetapi juga bagi seluruh masyarakat adat di Nusantara.

Potret Masa Aksi di Mahkamah Agung

Samuel dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) menegaskan bahwa kriminalisasi terhadap Sorbatua Siallagan merupakan bentuk nyata penyalahgunaan hukum untuk merampas hak masyarakat adat atas wilayahnya sendiri.

Negara, melalui aparat penegak hukum, telah gagal memenuhi kewajiban konstitusionalnya dalam melindungi hak-hak asasi masyarakat adat dan justru menjadi alat kekerasan struktural yang melegitimasi kepentingan korporasi. “Ini bukan sekadar persoalan hukum, ini adalah pelanggaran hak asasi manusia. Sorbatua dikriminalisasi karena membela tanah adatnya. Mahkamah Agung harus melihat perkara ini dengan perspektif keadilan sosial dan hak asasi manusia, bukan semata-mata prosedur hukum formal,”.

Marvella Fiorenza Barfiandana, mahasiswa dari BEM Fakultas Hukum Universitas Indonesia, mengatakan aksi damai ini adalah bentuk suara masyarakat sipil kepada Mahkamah Agung. Mereka berharap agar Majelis Hakim memutus perkara ini dengan jujur, adil, dan tanpa campur tangan pihak lain.

Dalam aksi ini, mereka menyerahkan surat dukungan dari Solidaritas Masyarakat Sipil untuk Sorbatua Siallagan yang berisi 324 tanda tangan serta petisi dari Change.org “Bebaskan Sorbatua Siallagan” yang telah didukung oleh 10.017 orang.

Penyerahan Surat Dukungan untuk Sorbatua Siallagan ke Mahkamah Agung

Judianto Simanjuntak menambahkan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Negeri Simalungun keliru dalam menjatuhkan hukuman. “Dalam hukum pidana, hanya tindakan yang merupakan kesalahan dan melawan hukum yang dapat dijatuhi pidana. Sorbatua tidak melakukan kesalahan maupun tindakan yang melanggar hukum,” ujarnya. Karena itu, pihaknya berharap Mahkamah Agung menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Medan dan membebaskan Sorbatua dari seluruh dakwaan.

Jakarta, 09 Mei 2025

Hormat Kami

SOLIDARITAS MASYARAKAT SIPIL UNTUK SORBATUA SIALLAGAN;Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN);Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Tano Batak;Perhimpunan Bantuan Hukum;dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (BAKUMSU);Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak;Siallagandi Dolok Parmonangan, Kab. Simalungun, Sumatera Utara;Lembaga Adat Keturunan;Ompu Mamontang Laut Ambarita (Lamtoras), Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara;Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN);Aliansi Gerak Tutup TPL;Forest Watch Indonesia (FWI);Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI);Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN);Bidang Keadilan dan Perdamaian Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (BKP-PGI) Sayogo Institute;Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Krisnayana;Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (BEM FH UI);Yayasan Forum Adil Sejahtera (YFAS);Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen (JKLPK) Indonesia;Public Interest Lawyer Network (PIL-NET) Indonesia;Yayasan Diakonia Pelangi Kasih (YDPK);Perkumpulan HuMa Indonesia;WeSpeakUp.org,Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA);Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat;Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM);Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Sumatera Utara (Kontras Sumut);Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan;Wahana Lingkungan Hidup Sumatera Utara (WALHI SUMUT);Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Komisariat UNIKA SEJAJARAN (GMNI UNIKA SEJAJARAN);Gerakan Mahasiswa;Nasional Indonesia Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (GMNI FH-USU);Aksi Kamisan Medan;Perempuan AMAN Sumatera Utara;Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Sumatera Utara (AMAN SUMUT);Yayasan Srikandi Lestari.

Masyarakat Adat Serawai Lawan Putusan Hakim Atas Tuduhan Mencuri di Wilayah Adat

BENGKULU – Anton dan Kayun, masyarakat adat Serawai Semidang Sakti mengajukan upaya banding atas putusan hakim Pengadilan Negeri Tais yang memvonis bersalah keduanya atas tuduhan mencuri buah sawit milik PT Perkebunan Nusantara IV Regional 7 unit Talo-Pino yang tumbuh di atas wilayah adat suku Serawai di Desa Pering Baru, Kecamatan Talo Kecil Kabupaten Seluma.

“Hari ini, kami daftarkan upaya bandingnya atas permintaan Anton dan Kayun serta keluarga,” kata ketua tim kuasa hukum dari Kantor Hukum Masyarakat Adat Bengkulu, Fitriansyah,S.H. Kamis, 24 April 2025.

Menurut Fitriansyah, putusan PN Tais pada Kamis, 17 April 2025 yang menjatuhkan  vonis tindak pidana ringan dengan hukuman pidana penjara satu (1) bulan dan tak perlu dijalani oleh Anton dan Kayun. Dalam perspektif keadilan bagi masyarakat adat akan menjadi preseden buruk atas perjuangan mereka yang telah berlangsung hampir 40 tahun.

Sebab, dalam praktiknya. Secara sepihak, PTPN IV Regional 7 yang dahulunya bernama PTPN VII telah menduduki paksa seluruh tanah milik komunitas adat Serawai yang hidup dan beraktivitas di Desa Pering Baru secara turun temurun.

Atas itu, Fitriansyah menilai, bahwa putusan itu tidak mempertimbangkan penghormatan terhadap keberadaan masyarakat adat di Seluma yang telah diakui dan dilindungi hak-haknya melalui Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2022 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Kabupaten Seluma.

“Jadi, apa yang dialami Anton dan Kayun, sesungguhnya bukan perbuatan pidana karena tanahnya ini milik masyarakat adat yang dikuasai, dikelola dan dirawat mereka sejak puluhan tahun,” kata Fitriansyah.

Selain itu, tambah Fitriansyah, jika pun klaim perusahaan wilayah itu milik Hak Guna Usaha (HGU), nyatanya lahan-lahan itu dikelola dan dirawat oleh masyarakat adat secara rutin dan berlangsung lama. Ini ditandai dengan masih adanya sisa tanam tumbuh berupa tanaman kopi dan lainnya yang sudah berusia tua.

“Prinsipnya keberatan, meskipun hanya sedetik divonis bersalah melakukan pencurian. Ini soal keadilan dan hak masyarakat adat yang sudah direbut. Praktik diskriminasi dan intimidasi pada masyarakat adat harus dihentikan,” kata Fitriansyah didampingi Rendi saputra dan Efyon junaidi.

Tim Kuasa Hukum dari Kantor Hukum Masyarakat Adat Bengkulu berada di PTSP PN Tais

Masyarakat adat Serawai Semidang sakti yang bermukim di Desa Pering Baru, Seluma. Sudah sejak tahun 1800 bermukim di daerah itu. Mereka bercocok tanam padi sawah dan darat serta berladang kopi, durian dan lainnya.

Namun pada tahun 1986, wilayah mereka kemudian dinyatakan sebagai tanah negara dan diperuntukkan untuk usaha perkebunan sawit. Mereka yang berladang dan tinggal di daerah itu pun diusir paksa. Beberapa diiming-imingi bahwa tanah mereka hanya dipinjam.

Sejak itu, konflik pun bermunculan. Masyarakat adat yang merasa tak pernah mendapatkan persetujuan atas perkebunan sawit di wilayah adat mereka terus memprotes dan berjuang. Sejumlah orang dipenjara bahkan ada yang tertembak. Karena itu, selain terus berladang dan merawat tanahnya, mereka juga mengajukan perlawanan ke kementerian, Badan Pertanahan Nasional dan lainnya.

Sampai dengan tahun 2012, berdasar hasil pengukuran ulang oleh BPN memang ditemukan ada kelebihan luas HGU milik PTPN IV Regional 7 di Desa Pering Baru. Namun demikian, hasil itu tak menjadi perhatian oleh pemerintah setempat.

Konflik antara masyarakat adat Serawai dan perkebunan pun menjadi api dalam sekam. Hingga puncaknya pada 9 Februari 2025. Anton dan Kayun, yang merupakan kakak beradik, tiba-tiba ditangkap paksa saat sedang memanen buah sawit di ladang mereka.

Anton sempat mendapatkan penganiayaan oleh dua orang anggota TNI. Keduanya pun digelandang paksa ke kepolisian dan kemudian disidangkan. Hakim pun memvonis mereka dengan tuduhan meyakinkan dan bersalah atas pencurian.

Narahubung:

Kantor Hukum Masyarakat Adat Bengkulu

Fitriansyah ‪

Rendi Saputra

Hak-Hak Tradisional dalam Konstitusi: Saatnya RUU Masyarakat Adat Disahkan

“Hak-Hak Tradisional” dalam Konstitusi:

Saatnya RUU Masyarakat Adat Disahkan

[Jakarta, Rabu 17 April 2025] – Dalam semangat memperjuangkan keadilan konstitusional dan perlindungan menyeluruh bagi masyarakat adat di Indonesia, Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat menyelenggarakan Diskusi Publik Hak-Hak Tradisional Masyarakat Adat dan Urgensinya terhadap Upaya Mendorong Pengesahan RUU Masyarakat Adat. Kegiatan ini menjadi ruang reflektif sekaligus strategis untuk menggali kembali makna “hak-hak tradisional” dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, serta menegaskan pentingnya kehadiran payung hukum nasional yang melindungi eksistensi masyarakat adat.

Diskusi ini lahir dari keprihatinan atas ketidakjelasan definisi hukum terkait “hak-hak tradisional”, yang hingga kini belum sepenuhnya terjabarkan dalam peraturan perundang-undangan. Frasa ini, yang menggantikan istilah “hak asal-usul” pasca amandemen UUD 1945, menyimpan konsekuensi hukum dan sosial yang mendalam bagi pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan masyarakat adat.

“RUU Masyarakat Adat adalah wujud konkret dari amanat konstitusi. Tanpa undang-undang ini, pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat masih bersifat sektoral, lambat, diskriminatif, dan rawan menimbulkan konflik,” tegas Rina Mardiana, akademisi dari IPB University. Rina juga menyatakan bahwa masyarakat adat adalah masyarakat otohton yaitu masyarakat yang memiliki hubungan historis dan budaya yang kuat dengan wilayah tertentu, serta memiliki sistem hukum, sosial, dan ekonomi sendiri yang berbeda dari masyarakat di sekitarnya. Mereka memiliki hak atas tanah dan sumber daya alam secara tradisional, serta hak untuk mengatur diri sendiri. Mereka bukan dari pecahan dari negara atau pecahan kerajaan (eks-swapraja), pungkasnya.

Erwin dari Perkumpulan HuMa yang juga merupakan dari Koalisi menambahkan, “Istilah hak-hak tradisional tak hanya menyangkut tanah dan sumber daya, tapi juga hak untuk menentukan nasib sendiri. Ini mencakup hak politik, budaya, hingga spiritualitas komunitas adat.”.

Dia juga berpendapat bahwa dalam risalah sidang perubahan UUD, tidak dibahas hak-hak apa saja yang merupakan hak tradisional. Berdasarkan risalah sidang perubahan UUD 1945, dapat disimpulkan bahwa istilah “hak tradisional” memang dimaksudkan untuk membuat pengertian hak tersebut menjadi fleksibel, karena sampai akhir pengesahan Pasal 18B ayat (2) tidak disepakati secara rinci ruang lingkup hak tradisional.

Namun, ketidakhadiran kerangka hukum yang komprehensif membuat masyarakat adat tetap rentan. Di sisi lain, interpretasi terhadap konstitusi tidak dapat hanya mengandalkan pendekatan originalisme. Perlu pendekatan kontekstual agar norma konstitusi hidup dan relevan dengan dinamika zaman. “Namun, justru karena itu, negara punya kewajiban untuk memastikan dan memperjelas hak-hak apa saja yang secara inheren melekat pada Masyarakat Adat. Hak-hak ini adalah bagian dari Hak Asasi Manusia. Maka negara berkewajiban untuk menghormati, memenuhi, dan melindunginya”, tegas Erwin.

Realitas di lapangan semakin memperkuat urgensi ini. Di Sumba Timur, masyarakat adat menghadapi tantangan hilangnya akses terhadap sumber daya agraria akibat tidak adanya payung hukum tersebut. Dibutuhkan dukungan dari DPR RI untuk menciptakan payung hukum yang mengatur khusus terkait masyarakat adat. Triawan Umbu Uli Mekahati dari Koppesda Sumba menambahkan, “Sudah berbagai upaya kami tempuh, agar kedudukan Masyarakat Adat mendapatkan perlindungan dan pengakuan yang utuh, tapi tanpa dukungan regulasi nasional, kami hanya disikapi sebagai gangguan pembangunan”, tutup Triawan yang disapa Umbu Tri.

Potret Aktivitas Masyarakat Adat Meratus – Donny

Sementara itu, bagi Masyarakat Adat Pegunungan Meratus, wilayah adat yang ada saat ini sudah dapat menjamin kebutuhan hidup seperti untuk sandang, pangan, papan, obat-obatan, air minum dan lainnya. Masyarakat Adat menilai bahwa wilayah adat mereka di Pegunungan Meratus seluas kurang lebih 600 hektar merupakan ruang hidup yang tidak bisa dipisahkan dengan jiwa raga mereka.

Harnilis sebagai Tokoh Adat Meratus menyebutkan untuk mengelola sumber daya alam di Pegunungan Meratus di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Kalimantan Selatan, Masyarakat Adat kompak kerjasama antara laki-laki dan perempuan, serta tua dan muda melestarikan budaya-budaya yang sudah diwariskan secara turun temurun.

Tidak ada yang lebih kuat antara laki-laki dan perempuan, semuanya kuat dan penting. Tidak akan berhasil kita berkebun, berladang, mengadakan acara tanpa keduanya”, ungkap Harnilis.

Harnilis juga menjelaskan rencana penetapan wilayah adat mereka menjadi Taman Nasional atau kawasan konservasi oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Harnilis menegaskan bahwa Masyarakat Adat Dayak Meratus merupakan masyarakat yang cinta damai. Mereka siap membela dan mempertahankan wilayah adat mereka agar tidak menjadi kawasan konservasi milik negara.

Rencana penetapan wilayah adat menjadi Taman Nasional dinilai dapat mencederai Hak-Hak Tradisional Masyarakat Adat. “Hutan bukan hanya tempat hidup kami, tapi bagian dari kehidupan itu sendiri. Jika diambil, kami kehilangan segalanya,” tutup Harnilis, Tokoh Adat Meratus.

Hak-Hak Tradisional sebagaimana amanat UUD 1945 merupakan mandat konstitusi yang penting untuk mendorong pengesahan RUU Masyarakat Adat. Keadilan sosial harus ditegakkan bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa terkecuali bagi Masyarakat Adat. Tanpa payung hukum yang menjamin pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan Masyarakat Adat, Indonesia akan terus mengabaikan amanat konstitusi tersebut. Pemenuhan terhadap Hak-Hak Tradisional harus diwujudkan dalam bentuk pengesahan Undang-Undang Masyarakat Adat.

Narahubung: Anggi Prayoga (Ketua Tim Kampanye Koalisi Kawal RUU MA)

Keadilan dan Kemerdekaan di Wilayah Adat Sorong Raya

Sejak 1900-an, Sorong Raya—mencakup Kota Sorong, Kabupaten Sorong Selatan, dan Raja Ampat di Papua Barat—sudah melewati tiga era industri. Era pertama adalah zaman minyak bumi yang dimulai 1935 ketika maskapai minyak Belanda mengebor minyak di Sorong. Era kedua adalah zaman minyak sawit mulai tahun 2000-an. Era ketiga, yang terbaru, adalah zaman Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang diresmikan pada 2016. KEK berada di Distrik Mayamuk, Kabupaten Sorong dengan luasnya 500 hektar dan diperuntukkan bagi suplai logistik, pertambangan, hingga perkebunan.

Tapi kemakmuran di setiap zaman itu “tak pernah mampir” ke komunitas Masyarakat Adat sebagai pemilik kawasan/wilayah adat tempat semua industri itu berdiri. Sampai hari ini bisa dihitung berapa banyak profesor, berapa doktor, berapa S1, berapa S2, berapa dosen, berapa guru, berapa banyak fasilitas pendidikan dan kesehatan yang bisa diakses secara gratis oleh komunitas adat dan marga yang wilayahnya sudah dikuasai oleh industri.

Bahwa kawasan-kawasan ini adalah wilayah yang memiliki alas hukum yang kokoh yang dikuasai secara turun-temurun sebelum adanya negara hingga kelahiran negara. Buhulnya juga adalah UUD 1945 pasal 18 B ayat 2 Amandemen Kedua yang mengakui keberadaan Masyarakat Adat. Di bawahnya ada UU 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Bab XI, tentang “Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat” yang diperkuat Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 yang menegaskan bahwa “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah Masyarakat Adat, dan bukan lagi sebagai hutan negara”. Lalu ada Perdasus Nomor 21, 22, 23 tahun 2018 yang menyatakan wilayah Papua adalah wilayah adat. Adapun di Kabupaten Sorong ada pula regulasi khusus, yaitu Perda No.10 tahun 2017 tentang “Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Moi di Kabupaten Sorong”. Dan juga di beberapa kabupaten/kota dalam tahapan penyusunan Perda Pengakuan dan Perlindungan terhadap Masyarakat Adat.

Namun, pengakuan atas hak Masyarakat Adat hanya selesai secara teori hukum. Implementasinya di lapangan lain cerita. Industri alih-alih membuat komunitas adat dan marga sejahtera, malah jadi sengsara di wilayah adat mereka sendiri.

Bagi komunitas Adat, hutan, dusun, atau wilayah adat adalah Mama yang memberikan kehidupan. Ketika Masyarakat Adat membutuhkan sagu, dia akan pergi ke dusun sagu. Ketika dia membutuhkan sayur dan daging, dia ke hutan. Ketika dia membutuhkan ikan, dia akan memancing. Ketika dia butuh obat, ada obat-obatan di dalam hutan. Ketika dia butuh keindahan, dia ke hutan untuk melihat anggrek hingga burung cenderawasih.

Hingga akhirnya, investasi mengubah hutan mereka yang kaya raya menjadi suatu jenis tanaman saja: kelapa sawit. Segala yang di luar kelapa sawit adalah hama, dari tikus hingga komunitas marga pemilik wilayah yang punya wilayah adat.

Hal itu terjadi karena kesengajaan dari industri/investor untuk mengangkangi konstitusi demi keuntungan perusahaan/pribadi. Karena itu, cara yang konstitusional bagi Masyarakat Adat untuk mendapatkan kembali hak-haknya adalah merebutnya melalui jalur hukum. Tapi tantangannya besar dan itu tidak mudah, karena investor sudah siap di jalur hukum ini, sebab mereka memiliki uang dan koneksinya di kekuasaan. Adapun Masyarakat Adat hingga saat ini praktis tanpa pembela hukum. Keberadaan pendampingan hukum untuk Masyarakat Adat makin krusial karena, seperti di banyak wilayah adat yang diokupasi perusahaan, ada potensi konflik antara komunitas marga yang menuntut haknya dan investor yang melindungi keserakahannya.

Di bidang penguatan ekonomi, Masyarakat Adat telah menunjukkan bahwa sistem ekonomi kolektif Masyarakat Adat yang bertumpu pada pengetahuan dan kearifan dalam pengelolaan wilayah adat dan sumber daya alamnya, terbukti mampu bertahan dari berbagai terpaan krisis. Hal ini menunjukkan bahwa sepanjang dua dekade, Masyarakat Adat punya andil besar dalam membangun tatanan dan kedaulatan pangan di wialayah Adat. Sayangnya, di tengah situasi ekonomi global yang semakin dinamis, kekuatan ekonomi Masyarakat Adat belum dijadikan sebagai dasar utama dalam kebijakan pembangunan ekonomi.

Kontribusi yang telah diberikan oleh Masyarakat Adat tak selaras dengan perlakuan negara terhadap Masyarakat Adat. Sepanjang dua dekade pula, Masyarakat Adat masih terus menghadapi beragam agresi pembangunan. Pengabaian, kriminalisasi hingga perampasan wilayah adat terus terjadi. Perlindungan dan penghormatan atas hak konstitusional Masyarakat Adat hingga kini bagai panggang jauh dari api.

Dalam hal ini Masyarakat Adat adalah instrumen penting untuk menyelesaikan persoalan-persolan mendasar yang selama ini menghambat proses berdaulat dan merdeka di atas wilayah adat. Juga situasi politik hukum dan kebijakan-kebijakan dalam kurun waktu ini, serta proyeksi arah gerak perjuangan organisasi gerakan Masyarakat Adat di tahun yang akan datang akan lebih banyak mengalami situasi dan kondisi yang berat.

Generasi dan gerakan Masyarakat Adat adalah penentu. Kita mati musnah atau bangkit melawan dan kita menang. Itu pilihan dan pilihan itu ada di atas tangan kita, juga masa depan wilayah Adat ada di atas pundak generasi hari ini untuk membawa dan memperjuangkan wilayah adat seutuhnya menjadi milik Masyarakat Adat. Dan ketika kita hari ini duduk diam melihat penindasan dan kita merasakan penindasan dan kita tidak bergerak, maka percuma saja karena perjuangan Masyarkat Adat tidak hanya duduk diam dan meyakini bahwa tanah Adat Papua akan bebas dari eksploitasi.

Tanah Adat Papua akan bebas dan merdeka jika generasi dan gerakan Masyarakat Adat aadar bersatu dan melawan, karena perjuangan adalah milik Masyarakat Adat Papua dan milik Masyarakat Adat dunia. Oleh karenanya, kita percaya perjuangan kebenaran akan memerdekakan Masyarakat Adat Papua”.

Oleh: Feki Mobalen, Ketua BPH AMAN Sorong Raya

Simanjutak: TPL Tutup, Ekonomi Masyarakat Adat Makin Berkembang

“Jadi tidak adalah ceritanya Masyarakat Adat akan susah jika TPL ditutup, justru perekonomian masyarakat akan semakin berkembang jika TPL ditutup,” ungkap Maruli Simanjutak.

Ia adalah pemuda adat Parpatihan, Sipahutar, Tapanuli Utara, Sumatera Utara (Sumut). Selain giat dalam perjuangan bersama pemuda dan Masyarakat Adat dalam aksi #TutupTPL, Maruli aktif dalam wilayah adatnya dengan memastikan kedaulatan pangan di komunitasnya. Ia juga membantu Masyarakat Adat dalam memasarkan hasil-hasil pertanian mereka. Salah satunya, hasil pertanian Eben Simanjutak.

Kamis, 17 Juni 2021, Eben Simanjutak salah satu warga Desa Tapian Nauli III begitu bahagia. Ia merupakan keturunan Ompu Niharbangan Pardede dari pihak boru. Usahanya mengelola tanah di wilayah adat Ompu Niharbangan Pardede berbuah manis. Di hari tersebut ia panen cabai dan kentang sekitar 1.200 kilogram yang kemudian dikirim dan dijual ke Siborongborong.

Lahan pertanian yang dikelola Eben Simanjutak di wilayah adatnya dahulu ditanami eukaliptus oleh PT. Toba Pulp Lestari (TPL). Namun, sejak tahun 2000 Masyarakat Adat berjuang untuk merebut tanah adat tersebut.

“Lahan ini sebelumnya diklaim sepihak oleh Kehutanan dan memberikan izin konsesi ke PT. Toba Pulp Lestari, Tbk untuk ditanami eukaliptus. Mulai sekitar tahun 2000, masyarakat sudah berjuang untuk tanah ini. Namun perusahaan selalu menakut-nakuti masyarakat dengan menghadapkan aparat kepada kami. Banyak masyarakat yang menjadi korban kriminalisasi oleh perusahaan. Namun masyarakat tidak pernah takut dan semangat perjuangan tidak pernah luntur. Karena memang tanah ini adalah tanah adat,” tutur Maruli.

Menurutnya, perjuangan panjang Masyarakat Adat di tempatnya tidak pernah padam sehingga upaya mereka pelan-pelan berujung keberhasilan. Tahun 2016 Masyarakat Adat berhasil melawan dan menjadikan wilayah adat tersebut sebagai lahan untuk bercocok tanam.

“Masyarakat Adat terus menerus berjuang dengan semangat yang tidak pernah luntur sehingga pada tahun 2016 Masyarakat Adat Turunan Ompu Niharbangan Pardede berhasil melawan koorporasi dan menjadikan lahan ini sebagai  lahan untuk bercocok tanam,” ucapnya.

Ditambahkan Maruli, Masyarakat Adat  yang ada di komunitasnya telah menikmati hasil pertanian yang melimpah sejak tahun 2016.

“Menikmati hasil pertanian melimpah seperti ini dalam kurun waktu 5 tahun terakhir sudah sering dilakukan masyarakat Desa Tapian Nauli III setelah masyarakat bertekad atas wilayah adatnya melawan korporasi. Namun sampai saat ini masih sering terjadi intimidasi maupun ancaman dari pihak perusahaan,” tambahnya.

Maruli mengatakan, walau di tengah perjuangan melawan intimidasi perusahaan, Masyarakat Adat di Desa Tapian Nauli III tetap semangat mengelola wilayah adatnya. Setelah panen cabai dan kentang, mereka sementara bersiap panen padi.

“Saat ini Desa Tapian Nauli III sedang menunggu masa panen padi gogo dengan benih sekitar 300 kaleng. Semoga alam semesta memberikan hasil yang baik,” tutupnya.

Penulis: Kalfein Wuisan

PD BPAN Majene: Lahir Memenuhi Amanat Leluhur

“Mua’ purami nipalandang bassi’ pemali nili’ai, mua’ purami nipowamba pemali nipeppondo’i disesena attonganan, petawung tarra’ba maroro tanniwassi’.

Artinya,

“Apabila sesuatu sudah ditentukan haram untuk dilangkahi, kalau sudah diucapkan/disepakati pantang diingkari. Aturan harus tetap berjalan sesuai dengan azasnya”

“Ropo’mo’o Mai langi’, tilili’ mo’o sau buttu, tannaulele diuru pura loau, dotami iyami’ sisara’ uli’i dai sisara’  pura loai”

Artinya,

“Sekiranya langit akan runtuh, runtuhlah. Gunung mau terbang, terbanglah. Namun saya tidak akan beranjak dari kata semula. Lebih baik kepala kami berpisah dengan badan daripada mengingkari kata semula.”

Amanat leluhur tersebut, menurut Hamsir, menjadi alasan pemuda-pemudi adat Majene mesti bergabung dan berjuang bersama Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN). Kedua kalimat tersebut adalah pesan leluhur Masyarakat Adat Adolang dalam Bahasa Mandar.

“ Oleh karena itu, saat ini jangan menunggu waktu untuk menyumbangkan jiwa dan raga kita bangkit, bersatu menjaga dan melestarikan aset-aset leluhur yang telah diletakkan di genggaman kita sesuai dengan pesan leluhur itu”, ungkap Hamsir.

Hamsir merupakan pemuda adat dari komunitas adat Adolang. Ia menjadi ketua pertama BPAN Daerah Majene. Ia terpilih berdasarkan hasil musyawarah generasi muda adat Majene dalam kegiatan Pertemuan Daerah (Perda) I BPAN Majene.

“’Inggai situlu-tulung lao diapiangang, mappeppondo’i inggannana adzaeang, alesei adzaeang, tinro’i apiangang, situlu-tulung paratta rupa tau’. Pesan leluhur ini juga turut disampaikan oleh Gading Corai”, ucap Hamsir.

Ia kemudian mengartikan petuah leluhur tersebut. Pesan leluhur itu disampaikan oleh Gading Corai pada kegiatan Perda I yang dilaksanakan oleh pemuda-pemudi adat Majene, 3-4 Januari 2021.

“Mari kita tolong-menolong menuju kebaikan, meninggalkan seluruh kejahatan, hindarilah kejahatan, kejarlah kebaikan, saling tolong-menolong sesama manusia. Itu artinya”, tutur Hamsir.

Gading Gorai adalah seorang Pappuangang Adolang. Ia adalah salah satu tetua adat yang hadir di Perda I BPAN Daerah Majene.

“Pappuangang artinya pemimpin komunitas. Adolang itu nama komunitas adat,” tambah Hamsir.

Komunitas Adat Adolang menjadi tempat dilaksanakannya kegiatan Perda I Pengurus Daerah (PD) BPAN Majene. Dalam kegiatan Perda ini, dilaksanakan pula Pelatihan Advokasi di hari pertama dan dilanjutkan dengan deklarasi PD BPAN Majene.

Kegiatan Perda I ini dihadiri oleh sekitar 40 orang yakni pemuda-pemudi adat dari 6 komunitas adat di Kabupaten Majene, Pappuangang Adolang, Ketua BPH Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Sulawesi Selatan (Sulsel), Ketua BPAN Wilayah Sulsel, dan Pengurus Daerah (PD) AMAN Majene.

Di hari pertama, kegiatan diisi dengan agenda pelatihan advokasi. Sesi pelatihan ini difasilitatori oleh Sardi Razak selaku Ketua BPH AMAN Wilayah Sulsel dan Marjuli selaku Ketua BPAN Wilayah Sulsel. Mereka membawakan materi mengenai advokasi, sejarah AMAN dan BPAN. Gerakan Pulang Kampung Pemuda Adat menjadi topik penting yang dibahas di sesi ini.

Sardi Razak saat memberikan pelatihan advokasi

Usai pelatihan advokasi, kegiatan dilanjutkan dengan musyawarah pembentukan, deklarasi, dan pengukuhan PD BPAN Majene. Hasil musyawarah memutuskan sturuktur kepenguruan PD BPAN Majene. HAMSIR, SP, sebagai Ketua, Andriani sebagai Sekretaris, dan Samsul H sebagai Bendahara.

Tepat tanggal 4 Januari 2021, PD BPAN Majene resmi dideklarasikan. Pengurus dan anggota dikukuhkan. Mereka lantas mengucapkan Janji Pemuda Adat, dipimpin oleh Ketua BPAN Wilayah Sulsel, Marjuli. PD BPAN Majene lahir untuk memenuhi amanat para leluhurnya.

Penulis: Kalfein Wuisan

Pemuda Adat Gowa Adalah Tiga Batu Tungku

(Sebuah Catatan dari Pembentukan BPAN Daerah Gowa)

bpan.aman.or.id – Ada sebatang pohon aren penghasil tuak, tumbuh di samping sebuah baruga atau pondok, di Arangangia, Komunitas Adat Pattallassang, Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan. Pohon aren tersebut memiliki mayang bak rambut terurai. Di sekitarnya terhampar bentang alam yang begitu indah.

 “Karena tungku tersebut hanya ada 3 batu yang berbentuk segitiga dan mampu menyangga tungku untuk memasak. Begitupun dengan pemuda adat, jika pemuda adat terorganisir, maka pemuda adat dapat menjaga, mengangkat wilayah adatnya untuk hal yang lebih baik ke depannya”, ucap Muhlis Paraja. Ia menganalogikan pemuda adat sebagai tiga batu tungku.

Tiga bantu tungku merupakan kompor tradisional Masyarakat Adat di Gowa. Batu itu dijadikan penyangga panci untuk memasak. Di Gowa batu tersebut namanya batu taring.

“Kalau Soekarno meminta 10 pemuda untuk mengguncangkan dunia, kami hanya meminta 3 pemuda untuk mendidihkan dunia sebagaimana cara kerja tungku tersebut”, tambah Muhlis.

Suaranya memecah hening suasana di dalam pondok. Ia sedang membakar semangat para pemuda adat yang sementara mendengarnya bicara.

Di dalam baruga tersebut berkumpul puluhan pemuda adat daerah Gowa. Mereka belajar dan berdikusi bersama. Selama dua hari mereka berada di sana. Mulai tanggal 26-27 Desember 2020.  Di pondok itu, para pemuda adat yang tergabung dalam Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Daerah Gowa melaksanakan Pertemuan Daerah (Perda) I dan Pelatihan Advokasi Kebijakan. Kegiatan ini difasilitasi oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Daerah Gowa dan BPAN Wilayah Sulawesi Selatan lewat koordinasi dengan Pengurus Nasional (PN) BPAN.

Di hari pertama kegiatan, para pemuda adat mendapat materi mengenai advokasi kebijakan. Kegiatan ini dimaksudkan untuk peningkatan kapasitas pemuda adat dalam hal pengawalan kebijakan dalam menjaga wilayah adat mereka. Pelatihan ini difasilitasi oleh Arman Muhammad dari Pengurus Besar (PB) AMAN dan Mulya Sarmono dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN). Materi di sesi ini menekankan pentingnya pemuda adat untuk mengambil peran di komunitas masing-masing terlebih dalam proses pembentukan kebijakan, misal turut serta dalam musyawarah-musyawarah adat dan desa. Di materi ini pemuda adat juga diajarkan bagaimana mengatur strategi pemuda adat dalam hal pengawalan dan pembentukan Peraturan Daerah di Kabupaten Gowa.

Arman Muhammad saat memberikan materi

Selain materi advokasi kebijakan, mereka juga diberikan pengenalan tentang AMAN dan BPAN. Ini dilakukan sebagai bentuk pengenalan awal kepada pemuda-pemudi tentang organisasi. Materi tentang AMAN dibawakan oleh Muhlis Paraja. Ia membahas tentang gerakan AMAN, visi misi, tujuan organisasi, dan keanggotaan. Sementara itu, materi tentang BPAN disampaikan oleh Marjuli. Ia membahas tentang sejarah, visi misi, tujuan, dan gerakan pulang kampung BPAN sebagai ideologi pemuda adat.

“Ini digelar untuk menambah kapasitas adat dalam advokasi menjaga semangat pemuda-pemudi adat di kabupaten gowa yang sangat menggelora untuk Bangkit Bergerak Mengurus Wilayah-wilayah Adat Mereka, oleh karenanya mereka harus memiliki ruang untuk mengorganisir diri melalui BPAN,” tutur Muhlis Paraja.

Muhlis Paraja sedang memberikan materi dan petuah serta semangat kepada para pemuda adat.

Muhlis Paraja adalah Ketua BPH AMAN Daerah Gowa, sekaligus Tetua Adat di Komunitas Adat Pattallassang. Dalam kesempatan bicaranya, ia berpesan kepada pemuda adat untuk tetap menjaga kebersamaan dan semangat mereka. Di saat yang sama ia menganalogikan pemuda adat seperti tiga batu tungku.

“Dalam perjalanan PD AMAN Gowa selama waktu satu tahun terakhir, kami melihat potensi pemuda adat di seluruh komunitas adat anggota AMAN Gowa sangatlah besar dan bersemangat untuk mengurus wilayah adat mereka. Olehnya kami berinisiatif untuk menjaga semangat tersebut dengan memberi ruang kepada mereka untuk mengorganisir diri mereka sendiri melalui BPAN”, ungkap Muhlis.

Semangat para pemuda adat di Gowa menjaga wilayah adatnya menjadi salah satu alasan diadakan Pertemuan Daerah I. Alasan ini juga yang melatarbelakangi kelahiran BPAN PD Gowa. Kegiatan Pertemuan Daerah I BPAN Daerah Gowa merupakan kegiatan yang baru pertama kali dilaksanakan. Dalam kegiatan ini, dibentuk dan dideklarasikan pengurus BPAN Daerah Gowa sebagai kepengurusan yang baru di Sulawesi Selatan.

Ketua BPAN Wilayah Sulawesi Selatan, Marjuli, mengatakan bahwa Gowa ini adalah PD yang pertama kali melakukan Pertemuan Daerah BPAN di wilayah Sulawesi Selatan. 

“Saya berharap semangat pemuda-pemudi adat hari ini dapat terjaga sehingga dan dapat menjadi percontohan di wilayah Sulawesi Selatan,” kata Marjuli.

Marjuli saat memberikan materi tentang BPAN

Kegitan Perda I BPAN Daerah Gowa dihadiri 35 pemuda adat yang berasal dari 7 komunitas adat anggota Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN GOWA) yaitu, Komunitas Adat Balassuka, Komunitas Adat Suka, Komunitas Adat Pattallassang, Komunitas Adat Matteko, Komunitas Adat Buluttana, Komunitas Adat Garassi, dan Komunitas Adat Teko. 

Para pemuda-pemudi adat dari 7 komunitas tersebut melakukan musyawarah dan membentuk BPAN PD Gowa. Hasil musyawarah menyepakati Alqadri Arsyad dari komunitas Adat Buluttana sebagai Ketua Umum BPAN Gowa, Syahrul Ramadhan dari Komunitas Adat Suka sebagai Sekretaris, dan Riska Ana dari Komunitas Adat Balassuka sebagai Bendahara.

Marjuli, Ketua BPAN Wilayah Sulsel memimpin pengukuhan pengurus dan anggota BPAN Daerah Gowa

Pengurus dan anggota BPAN daerah Gowa dikukuhkan dengan mengucapkan Janji Pemuda Adat, disaksikan oleh Sang Pencipta, Alam Semesta, dan leluhur Masyarakat Adat Gowa.

BPAN daerah Gowa adalah masa depan Masyarakat Adat Gowa. Mereka adalah tiga batu tungku.

Penulis: Kalfein Wuisan

Generasi Muda Adat dan Peran Advokasi Kebijakan

(Sebuah Catatan dari Pelatihan Advokasi Kebijakan BPAN)

bpan.aman.or.id – “Selama ini tantangan berat yang biasa dihadapi itu apa Pak Sinung Karto?” tanya Pekam Usut Ngaik.

Ia nampak antusias. Hasrat untuk mendapatkan pengetahuan mendalam tentang advokasi kebijakan membuatnya mengajukan pertanyaan itu.

Pekam Usut Ngaik adalah pemuda adat asal Mentawai. Minggu (20/12/2020), ia mengikuti Training Advokasi yang diselenggarakan oleh Pengurus Nasional Barisan Pemuda Adat Nusantara (PN BPAN) secara daring via aplikasi zoom.

Training advokasi ini diikuti oleh pemuda-pemudi adat anggota BPAN. Tujuannya supaya mereka dapat mengambil bagian dalam kerja-kerja advokasi kebijakan di tingkat kampung atau wilayah adat. Selain itu, bisa mengajak dan memulai membiasakan pemuda-pemudi adat terlibat perjuangan di lapangan dari sisi advokasi khususnya terkait mengawal kebijakan-kebijakan pemerintah di tingkat kampung atau wilayah adat. Sementara, hasil dari pelatihan ini diharapkan akan muncul 2 atau 3 orang yang serius menjadi semacam paralegal pemuda adat.

Sinung Karto selaku Staf Deputi II Sekjen AMAN, Nur Amalia selaku Ketua PPMAN, Jhontoni Tarihoran selaku DePAN Region Sumatera, dan Katarina Megawati selaku Ketua Pengurus Wilayah BPAN Kalimantan Utara, menjadi fasilitator pelatihan. Hadir pula Ketua Umum BPAN, Jakob Siringoringo, yang membuka kegiatan.

“Salam Pemuda Adat, Bangkit, Bersatu, Bergerak Mengurus Wilayah Adat”.

Kalimat tersebut diucapkan Jakob dengan lantang. Salam tersebut menjadi slogan perjuangan yang memanggil pemuda adat untuk berjuang.

Jakob Siringoringo

Dalam sambutannya, Jakob menegaskan maksud penyelenggaraan kegiatan.

“Pelatihan ini bertujuan untuk membekali diri atau mempersenjatai diri pemuda pemudi adat untuk mengurus wilayah adatnya,” tuturnya.

Ia juga menambahkan bahwa pelatihan advokasi kebijakan bagi anak-anak muda adat dimaksudkan untuk membekali mereka dengan wawasan advokasi atau hukum secara umum yang setiap waktu sangat dibutuhkan dalam kerja-kerja mengurus wilayah adat.

Di akhir kesempatan bicaranya, ia memotivasi para peserta untuk tetap saling menguatkan dan mengambil pengetahuan penting di pelatihan ini.

“Kita saling menguatkan, sehingga apa yang kita petik hari ini dapat memperkuat gerakan kita di kampung”, ucapnya.

Ia kemudian menutup sesi sambutannya dengan salam pemuda adat nusantara yang ia ucapkan di awal.

Acara berlanjut ke sesi materi.

Rusmita

Rusmita, pemudi adat asal Paser, selaku moderator langsung meminta Katarina Megawati menjadi pembicara pertama. Katarina kemudian bercerita hal-hal yang sudah ia lakukan selama ini.

Ia bercerita bahwa mereka baru selesai melakukan pelatihan advokasi dan deklarasi pengurus daerah BPAN Sungai Kayan. Di acara tersebut, para pemuda adat diberikan pelatihan advokasi. Materi-materinya kemudian menyadarakan mereka atas ancaman sawit di wilayah adatnya.

“Saya salut karena ada teman-taman di sana yang merasa terancam dan ada yang merasa akan terancam. Kami menonton film karya LifeMosaic. Film itu bercerita tentang trik-trik yang digunakan oleh perusahaan,” ucap Katarina yang akrab disapa Rina.

Katarina Megawati

Materi advokasi menggungah pemudi adat untuk membentuk wadah perjuangan bagi pemuda adat. Rina kemudian memfasilitasi pembentukan BPAN Pengurus Daerah Sungai Kayan.

“Setelah kami deklarasi mereka sadar bahwa mereka punya wadah untuk melawan”.

Di akhir sesi bicaranya, Rina menceritakan kisah dari teman-temannya yang kini semangat untuk menjaga wilayah adatnya.

Sesi materi Rina pun selesai. Dilanjutkan giliran Jhontoni Tarihoran, pemuda adat Tano Batak, dari kampung Janji.

Jhon mengawali materinya dengan bercerita tentang aktivitasnya, baik di organisasi AMAN, di komunitasnya, dan tentang dirinya. Ceritanya kembali ke kampung.

Materi Jhontoni Tarihoran

Ia mengatakan bahwa upaya kembali ke kampungnya Janji untuk menepati janji yaitu kembali ke kampung sebagai janji bersama BPAN. Kembali ke kampung adalah cara untuk mewujudkan Gerakan Pulang Kampung yang dicetuskan BPAN.

Bagi Jhon, kembali ke kampung bukan cuma sekedar pulang kampung, tapi dalam rangka memperkuat dan memastikan wilayah adat semakin kuat.

“Mengurus kampung, lebih memikirkan nasib bersama,” imbuhnya.

Berada di kampung tidak hanya untuk mengurus diri sendiri, tapi juga untuk kerja-kerja organisasi. Ia melakukan banyak hal. Misalnya dengan menjadi relawan yang berkaitan dengan sekolah adat.

“Saya menjadi relawan di AMAN Wilayah Tano Batak, yang ditugaskan untuk memfasiltasi  proses pendirian sekolah adat”, tuturnya

Ia turut berbaur dalam kehidupan komunitas sebagai petani: berkebun, beladang, mengolah sawah (menanam, panen padi, dan kolam ikan). Selain itu, ia juga hadir untuk mengawal kebijakan pemerintah setempat, sebagai upayanya berjuang bersama Masyarakat Adat.

“Kalau terkait dengan kebijakan yah, kita mendorong pemerintah mulai dari tingkat desa. Saya juga hadir di pertemuan tingkat desa dan mendorong pemerintah desa untuk berpihak pada Masyarakat Adat”, ungkap Jhon.

Ia juga banyak membantu Masyarakat Adat di tempatnya. Memastikan mereka mendapatkan hak-haknya. Misal mengurus dokumen kependudukan. Ia bercerita di tempatnya ada orang tua yang sudah tidak bisa menulis karena kondisi fisik, sehingga ia membantu mengurusnya.

“Terkait dokumen kependudukan, saya hadir tidak hanya menyuarakan tetapi juga mengurusnya secara teknis”, ungkap Jhon.

Jhon juga bercerita bagaimana ia mendampingi masyarakat yang berurusan dengan polisi karena menjaga wilayah adatnya. Ini bukti kongkritnya menjaga kampung secara bersama-sama. Ia menampingi warga di kantor polisi dan bahkan sampai ke pengadilan. Menurut Jhon, upayanya itu membuat orang yang ia dampingi menjadi percaya diri dan sadar bahwa ia tidak sendiri. Cerita ini merupakan satu dari sekian banyak banyak hal lain yang ia kerjakan sebagai kerja advokasi. Baginya, kembali ke kampung dan mengurusnya menjadi urusan yang asyik.

“Mengurus kampung adalah urusan yang rame, urusan yang asyik,” tutupnya.

Rina dan Jhon menjadi narsumber yang bicara dari sisi praktis. Hal-hal terkait advokasi yang sudah mereka lakukan. Di sisi lain, dua narasumber selanjutnya, bicara soal wawasan dan pengetahuan teoritik tentang advokasi. Sinung Karto dan Nur Amalia, menjadi punggawa di ranah ini.

Sinung Karto, menjadi pembicara ketiga. Ia akrab disapa Bang Sinung oleh pemuda adat di BPAN. Di sesi materinya, ia begitu humanis. Ia menggendong anak sambil membawakan materi.

Sinung Karto bersama anaknya

Pengantar Advokasi adalah materi yang disampaikannya. Menurut Bang Sinung, materi ini menjadi penting karena merupakan dasar bagaimana sebenarnya advokasi itu. Ia menjelaskan secara teoritik tentang advokasi. Ia juga kemudian menjelaskan juga tentang penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak Masyarakat Adat yang menjadi hal pokok kerja advokasi.

“Tiga kewajiban negara ini, menjadi pegangan kita melakukan advokasi”, ucap Bang Sinung.

Menurutnya, advokasi merupakan serangkaian tindakan dan kegiatan aktif, dilakukan secara sisematis, serta terencana untuk mendorong terjadinya suatu perubahan.

“Saya yakin dengan membuat definisi seperti ini, orang akan lebih mudah memahami apa itu advokasi,” akunya.

Sinung Karto kemudian memberikan pengertian tentang advokasi bagi Masyarakat Adat.

“Dalam konteks Masyarakat Adat, advokasi adalah upaya untuk mengubah kebijakan yang merugikan Masyarakat Adat menjadi kebijakan yang menguntungkan Masyarakat Adat”.

Ia memberikan contoh kongkrit tentang advokasi. Kisah Jhontoni dipakainya sebagai contoh yang nyata.

“Dalam advokasi yang diutamakan adalah pastisipasi. Yang terpenting harus melibatkan korban, melibatkan masyarakat”, tegas Sinung.

Materinya kemudian dilanjutkan dengan menjelaskan langkah-langkah mengadvokasi. Di akhir bicaranya, ia mengusulkan tindak lanjut dari materinya dengan membuat kelompok dari pemuda adat yang fokus di ranah advokasi secara mendalam.

Sinung Karto membuka wawasan para peserta tentang advokasi dan meletakan titik pijak bagi materi selanjutnya yang disampaikan Nur Amalia.

Nur Amalia

Nur Amalia merupakan Ketua PPMAN (Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara). Di sesi materinya, ia menjelaskan soal profil PPMAN dan berbagai hal terkait dengan kerja advokasinya.

Disampaikannya bahwa mandat PPMAN berfokus pada pendampingan kasus.

“PPMAN itu mandatnya untuk melakukan pendampingan kasus. Itu fokusnya”, cetusnya.

Ditambahkannya, walapun fokus PPMAN pada pendampingan kasus, namun saat diminta AMAN, sebagai oraganisasi induk, PPMAN terlibat dalam penciptaan kader dan advokasi kebijakan. Hal itu menjadi tugas tambahan PPMAN. Sejauh ini PPMAN sudah menangani 213 kasus. Paling banyak di antaranya yaitu kasus pidana,sebanyak 135 kasus.

Hingga waktu bicaranya usai, Nur Amalia menjelaskan kasus-kasus yang sudah ditangani PPMAN.

Usai materi, sesi tanya jawab dan diskusi menjadi sesi yang juga paling dinanti. Bagian ini menjadi ramai dengan pertanyaan-pertanyaan peserta. Kisah dan masalah yang terjadi di komunitas juga diceritakan oleh peserta di sesi ini. Pertanyaan dan masalah yang dikemukakan di sesi ini langsung ditanggapi oleh para narasumber yang berkompeten.

“Selama ini tantangan berat yang biasa dihadapi itu apa pak Sinung Karto? Misalnya, pertama, masyarakat itu sendiri, biasanya tidak sabar, pengen cepat-cepat selesai masalahnya. Tanpa kehati-hatian. Kedua, pihak ‘lawan’ yang merasa tindakan yang mereka lakukan sudah paling benar apalagi dibackup oleh aktor keamanan”.

Pernyataan tersebut disampaikan Sinung Karto sebagai jawaban atas pertanyaan dari pemuda adat Mentawai, Pekam Usut Ngaik. Beberapa pertanyaan penting lain juga ditanyakan para peserta dan dijawab secara detail oleh narasumber di sesi ini.

Kegiatan pelatihan advokasi ini, diakhiri dengan foto bersama. Batara Tambing, pemuda adat asal Toraja, selaku host dan pembawa acara, memandu sesi ini.

Penulis: Kalfein Wuisan

KONTAK KAMI

Sekretariat BPAN, Alamat, Jln. Sempur 58, Bogor
bpan@aman.or.id
en_USEnglish