Perlawanan Pemuda Adat Bersama Masyarakat Adat Sinjai Menuntut Hak dan Keadilan

53 Views

Aksi Masyarakat Adat (MA) Sinjai pada 11 Oktober 2024 menjadi puncak kekecewaan dan amarah terhadap berbagai ketidakadilan yang mereka alami. Mengusung isu besar “10 Tahun Jokowi Abaikan Hak Masyarakat Adat, Tolak Penetapan Kawasan Hutan Negara di Wilayah Adat Kami, Tolak Geothermal di Kabupaten Sinjai”, aksi ini tidak hanya menyoroti pelanggaran hak adat, tetapi juga memperlihatkan bagaimana janji-janji pemerintah daerah tak kunjung ditepati.

Latar Belakang Aksi

Aksi ini dipicu oleh ketidakmampuan DPRD Kabupaten Sinjai, khususnya anggota Ardiansyah, untuk memenuhi janji yang diberikan kepada massa aksi sebelumnya pada 19 Agustus 2024. Saat itu, Ardiansyah berjanji akan mengadakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dalam waktu tiga hari. Namun, janji tersebut dilanggar tanpa alasan jelas. Pernyataan Ardiansyah yang mengatakan, “Kalau tidak ada hasil, silakan lakukan apa pun yang kalian ingin lakukan,” menambah kekecewaan massa.

Kronologi Aksi

Berikut adalah rangkaian peristiwa yang terjadi pada 11 Oktober 2024:

  • 10.00 WITA: Massa dari MA Pattiro Toa dan Kampala berkumpul di depan kantor DPRD Sinjai, menunggu kehadiran komunitas adat Barambang Katute, Desa Polewali, dan Desa Batu Belerang.
  • 10.45 WITA: Massa MA Pattiro Toa dan Kampala mulai berorasi di depan kantor DPRD.
  • 11.10 WITA: Massa memasuki ruang rapat paripurna DPRD Sinjai dengan tertib dan diterima oleh Muzawwir, anggota DPRD dari Fraksi Hanura.
  • 11.30 WITA: Massa Barambang Katute, Desa Polewali, dan Desa Batu Belerang bergabung untuk berdialog. Muzawwir menjanjikan kehadiran anggota dapil 1 dan 3 untuk dialog, namun dialog terhenti untuk salat Jumat.
  • 14.00 WITA: Muzawwir meminta maaf melalui WhatsApp, menyatakan tidak dapat menghadiri dialog. Hal ini memicu amarah massa yang merasa dikhianati. Massa merusak fasilitas ruang rapat paripurna secara spontan.
  • 14.45 WITA: Massa aksi kembali tenang, negosiasi dilakukan, dan kesepakatan RDP pada 17 Oktober 2024 dicapai.
  • 15.00 WITA: Massa melanjutkan aksi di kantor Bupati Sinjai.
  • 16.00 WITA: Massa membubarkan diri dengan tertib.

Intimidasi dan Kriminalisasi

Pada 14 Oktober 2024, Sekretaris DPRD Sinjai, Lukman Fattah, melaporkan perusakan fasilitas kepada polisi. Dua orang ditetapkan sebagai tersangka:

  1. Awaluddin Syam (23 tahun), mahasiswa sekaligus Ketua Pengurus Harian Barisan Pemuda Adat Nusantara (PD BPAN).

  2. Muh. Ansar Zulkarnain (28 tahun), seorang petani, Sekaligus anggota BPAN Sinjai.

Penangkapan keduanya memunculkan dugaan intimidasi terhadap massa aksi. Kantor PD AMAN Sinjai, yang menjadi pendamping komunitas adat, tidak pernah dimintai keterangan oleh polisi meskipun lokasinya dekat. Langkah ini dianggap sebagai upaya membungkam suara masyarakat adat yang menolak kebijakan pemerintah terkait hutan dan geothermal.

Kesimpulan dan Tuntutan

Aksi ini memperlihatkan pola berulang di mana aspirasi masyarakat adat diabaikan, sementara janji-janji hanya menjadi alat pengalihan. Beberapa catatan penting dari aksi ini:

  1. Janji yang dilanggar: RDP yang dijanjikan pada Agustus tidak pernah terealisasi.
  2. Kriminalisasi sebagai intimidasi: Penangkapan massa aksi dianggap sebagai strategi untuk menakut-nakuti masyarakat adat.
  3. Dugaan kesengajaan pemerintah: Ada indikasi bahwa pemerintah sengaja menunda proses untuk melemahkan perlawanan masyarakat adat.

Masyarakat Adat Sinjai menegaskan bahwa perjuangan mereka adalah untuk mempertahankan hak atas tanah adat dan menolak eksploitasi sumber daya yang merusak lingkungan dan kehidupan mereka. Aksi ini adalah seruan kepada pemerintah untuk serius menghormati hak masyarakat adat, tidak hanya sebagai janji, tetapi sebagai kewajiban konstitusional. Sahkan UU Masyarakat Adat, hentikan kriminalisasi!

KONTAK KAMI

Sekretariat Jln. Sempur 58, Bogor
bpan@aman.or.id
en_USEnglish