Hak-Hak Tradisional dalam Konstitusi: Saatnya RUU Masyarakat Adat Disahkan

“Hak-Hak Tradisional” dalam Konstitusi:

Saatnya RUU Masyarakat Adat Disahkan

[Jakarta, Rabu 17 April 2025] – Dalam semangat memperjuangkan keadilan konstitusional dan perlindungan menyeluruh bagi masyarakat adat di Indonesia, Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat menyelenggarakan Diskusi Publik Hak-Hak Tradisional Masyarakat Adat dan Urgensinya terhadap Upaya Mendorong Pengesahan RUU Masyarakat Adat. Kegiatan ini menjadi ruang reflektif sekaligus strategis untuk menggali kembali makna “hak-hak tradisional” dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, serta menegaskan pentingnya kehadiran payung hukum nasional yang melindungi eksistensi masyarakat adat.

Diskusi ini lahir dari keprihatinan atas ketidakjelasan definisi hukum terkait “hak-hak tradisional”, yang hingga kini belum sepenuhnya terjabarkan dalam peraturan perundang-undangan. Frasa ini, yang menggantikan istilah “hak asal-usul” pasca amandemen UUD 1945, menyimpan konsekuensi hukum dan sosial yang mendalam bagi pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan masyarakat adat.

“RUU Masyarakat Adat adalah wujud konkret dari amanat konstitusi. Tanpa undang-undang ini, pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat masih bersifat sektoral, lambat, diskriminatif, dan rawan menimbulkan konflik,” tegas Rina Mardiana, akademisi dari IPB University. Rina juga menyatakan bahwa masyarakat adat adalah masyarakat otohton yaitu masyarakat yang memiliki hubungan historis dan budaya yang kuat dengan wilayah tertentu, serta memiliki sistem hukum, sosial, dan ekonomi sendiri yang berbeda dari masyarakat di sekitarnya. Mereka memiliki hak atas tanah dan sumber daya alam secara tradisional, serta hak untuk mengatur diri sendiri. Mereka bukan dari pecahan dari negara atau pecahan kerajaan (eks-swapraja), pungkasnya.

Erwin dari Perkumpulan HuMa yang juga merupakan dari Koalisi menambahkan, “Istilah hak-hak tradisional tak hanya menyangkut tanah dan sumber daya, tapi juga hak untuk menentukan nasib sendiri. Ini mencakup hak politik, budaya, hingga spiritualitas komunitas adat.”.

Dia juga berpendapat bahwa dalam risalah sidang perubahan UUD, tidak dibahas hak-hak apa saja yang merupakan hak tradisional. Berdasarkan risalah sidang perubahan UUD 1945, dapat disimpulkan bahwa istilah “hak tradisional” memang dimaksudkan untuk membuat pengertian hak tersebut menjadi fleksibel, karena sampai akhir pengesahan Pasal 18B ayat (2) tidak disepakati secara rinci ruang lingkup hak tradisional.

Namun, ketidakhadiran kerangka hukum yang komprehensif membuat masyarakat adat tetap rentan. Di sisi lain, interpretasi terhadap konstitusi tidak dapat hanya mengandalkan pendekatan originalisme. Perlu pendekatan kontekstual agar norma konstitusi hidup dan relevan dengan dinamika zaman. “Namun, justru karena itu, negara punya kewajiban untuk memastikan dan memperjelas hak-hak apa saja yang secara inheren melekat pada Masyarakat Adat. Hak-hak ini adalah bagian dari Hak Asasi Manusia. Maka negara berkewajiban untuk menghormati, memenuhi, dan melindunginya”, tegas Erwin.

Realitas di lapangan semakin memperkuat urgensi ini. Di Sumba Timur, masyarakat adat menghadapi tantangan hilangnya akses terhadap sumber daya agraria akibat tidak adanya payung hukum tersebut. Dibutuhkan dukungan dari DPR RI untuk menciptakan payung hukum yang mengatur khusus terkait masyarakat adat. Triawan Umbu Uli Mekahati dari Koppesda Sumba menambahkan, “Sudah berbagai upaya kami tempuh, agar kedudukan Masyarakat Adat mendapatkan perlindungan dan pengakuan yang utuh, tapi tanpa dukungan regulasi nasional, kami hanya disikapi sebagai gangguan pembangunan”, tutup Triawan yang disapa Umbu Tri.

Potret Aktivitas Masyarakat Adat Meratus – Donny

Sementara itu, bagi Masyarakat Adat Pegunungan Meratus, wilayah adat yang ada saat ini sudah dapat menjamin kebutuhan hidup seperti untuk sandang, pangan, papan, obat-obatan, air minum dan lainnya. Masyarakat Adat menilai bahwa wilayah adat mereka di Pegunungan Meratus seluas kurang lebih 600 hektar merupakan ruang hidup yang tidak bisa dipisahkan dengan jiwa raga mereka.

Harnilis sebagai Tokoh Adat Meratus menyebutkan untuk mengelola sumber daya alam di Pegunungan Meratus di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Kalimantan Selatan, Masyarakat Adat kompak kerjasama antara laki-laki dan perempuan, serta tua dan muda melestarikan budaya-budaya yang sudah diwariskan secara turun temurun.

Tidak ada yang lebih kuat antara laki-laki dan perempuan, semuanya kuat dan penting. Tidak akan berhasil kita berkebun, berladang, mengadakan acara tanpa keduanya”, ungkap Harnilis.

Harnilis juga menjelaskan rencana penetapan wilayah adat mereka menjadi Taman Nasional atau kawasan konservasi oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Harnilis menegaskan bahwa Masyarakat Adat Dayak Meratus merupakan masyarakat yang cinta damai. Mereka siap membela dan mempertahankan wilayah adat mereka agar tidak menjadi kawasan konservasi milik negara.

Rencana penetapan wilayah adat menjadi Taman Nasional dinilai dapat mencederai Hak-Hak Tradisional Masyarakat Adat. “Hutan bukan hanya tempat hidup kami, tapi bagian dari kehidupan itu sendiri. Jika diambil, kami kehilangan segalanya,” tutup Harnilis, Tokoh Adat Meratus.

Hak-Hak Tradisional sebagaimana amanat UUD 1945 merupakan mandat konstitusi yang penting untuk mendorong pengesahan RUU Masyarakat Adat. Keadilan sosial harus ditegakkan bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa terkecuali bagi Masyarakat Adat. Tanpa payung hukum yang menjamin pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan Masyarakat Adat, Indonesia akan terus mengabaikan amanat konstitusi tersebut. Pemenuhan terhadap Hak-Hak Tradisional harus diwujudkan dalam bentuk pengesahan Undang-Undang Masyarakat Adat.

Narahubung: Anggi Prayoga 0822-9831-7272 (Ketua Tim Kampanye Koalisi Kawal RUU MA)

INTERNATIONAL WOMEN’S DAY 2025: PENGESAHAN RUU MASYARAKAT ADAT, JALAN KELUAR MEMASTIKAN RUANG PENGHIDUPAN PEREMPUAN ADAT

Jakarta, 8 Maret 2025 – Peringatan International Women’s Day (IWD) 2025 menjadi momentum penting bagi perjuangan hak Perempuan Adat di Indonesia. Dalam perayaan ini, seruan untuk segera mengesahkan Undang-Undang Masyarakat Adat kembali mengemuka sebagai langkah krusial dalam memastikan perlindungan dan pengakuan hak-hak Perempuan Adat.

Perempuan Adat memiliki peran vital dalam menjaga keberlanjutan lingkungan dan kedaulatan pangan. Mereka tidak hanya memanfaatkan hutan dan tanah, tetapi juga berperan sebagai penjaga budaya dan pengetahuan tradisional yang diwariskan secara turun-temurun. Namun, minimnya perlindungan hukum membuat ruang hidup mereka semakin terancam.

Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil Kawal RUU Masyarakat Adat, Veni Siregar, menegaskan bahwa RUU Masyarakat Adat yang telah diperjuangkan selama lebih dari dua dekade seharusnya segera disahkan sebagai bentuk pengakuan negara terhadap hak-hak Masyarakat Adat. “Tanpa payung hukum yang kuat, Masyarakat Adat, terutama Perempuan Adat, terus menghadapi ancaman kekerasan, diskriminasi, dan kriminalisasi saat memperjuangkan hak mereka,” ujar Veni.

Menurutnya, pengesahan UU Masyarakat Adat akan memberikan kepastian hukum atas wilayah adat serta mekanisme perlindungan dari perampasan tanah. Selain itu, UU ini juga akan memperkuat posisi Perempuan Adat dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan sumber daya alam.

Salah satu contoh keberhasilan peran Perempuan Adat dalam pengelolaan sumber daya alam dapat ditemukan di Komunitas Adat Toro, yang merupakan bagian dari Suku Kulawi di Sulawesi Tengah. Komunitas ini memiliki sistem adat yang kuat, di mana Perempuan Adat memegang otoritas penting dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Perempuan Adat Toro berwenang dalam perencanaan pertanian, penyelesaian konflik, serta pengaturan jadwal panen. Selain itu, dalam struktur sosial Toro, terdapat posisi tina ngata atau ibu kampung, yang memiliki peran dominan dalam pengambilan keputusan adat. “Setiap musyawarah kampung harus dihadiri oleh tina ngata, jika tidak, keputusan yang diambil dianggap tidak sah secara kultural,” jelas Rukmini Paata Toheke, salah satu Perempuan Adat Toro.

Menurut Rukmini, pengakuan terhadap peran Perempuan Adat dalam pengelolaan sumber daya alam harus diperkuat, terutama dalam kebijakan nasional. “Perempuan Adat harus mendapatkan ruang yang lebih besar dalam setiap diskusi mengenai sumber daya alam. Kesetaraan bagi Perempuan Adat harus diwujudkan dalam semua lini,” tegasnya.

Pada peringatan IWD 2025 ini, Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat menegaskan tiga tuntutan utama:

  1. Segera mengesahkan UU Masyarakat Adat sebagai bentuk perlindungan hak Masyarakat Adat, khususnya Perempuan Adat.
  2. Menghentikan kekerasan dan kriminalisasi terhadap Perempuan Adat yang kerap terjadi saat mereka memperjuangkan hak-haknya.
  3. Memastikan ruang penghidupan yang aman dan berkeadilan bagi Perempuan Adat, agar mereka dapat terus menjalankan peran mereka dalam menjaga alam dan budaya.

Tim Kampanye Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, Yael Stefany, menegaskan bahwa Perempuan Adat di berbagai daerah telah membuktikan ketangguhan mereka dalam melindungi tanah dan hutan. “Sejumlah komunitas adat telah berhasil mengelola hutan adat secara berkelanjutan, menjaga biodiversitas, serta membangun ekonomi berbasis kearifan lokal,” ujar Yael.

Ia menambahkan bahwa contoh seperti Komunitas Adat Toro menunjukkan bahwa Perempuan Adat bukan hanya penjaga lingkungan, tetapi juga pemimpin dalam pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. “Di momen Hari Perempuan Internasional 2025 ini, mari kita tegaskan komitmen nyata dengan segera mengesahkan UU Masyarakat Adat sebagai langkah krusial untuk melindungi, memberdayakan, dan mengakui peran penting Perempuan Adat dalam menjaga budaya, lingkungan, dan keberlanjutan komunitas mereka,” pungkas Veni Siregar.

Peringatan IWD 2025 menjadi ajang untuk memperkuat solidaritas dan mendesak pemerintah agar segera mengambil tindakan nyata dalam melindungi hak-hak Perempuan Adat. Dengan adanya perlindungan hukum yang jelas, Perempuan Adat dapat terus berperan dalam menjaga keberlanjutan lingkungan dan keberlanjutan hidup komunitas mereka.

PUBLIK MENGHARAPKAN MAHKAMAH AGUNG MEMBERIKAN PUTUSAN YANG ADIL UNTUK SORBATUA SIALLAGAN

Massa Aksi yang tergabung dalam aksi “Solidaritas Masyarakat Sipil Untuk Sorbatua Siallagan”

Hari ini, Rabu 26 Februari 2025 publik yang tergabung dalam SOLIDARITAS MASYARAKAT SIPIL UNTUK SORBATUA SIALLAGAN mendatangi  Mahkamah Agung RI di kawasan Jakarta Pusat. Ini dalam rangka melakukan aksi damai untuk meminta keadilan dari Mahkamah Agung terkait dengan perkara Sorbatua Siallagan (Ketua Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan di Dolok Parmonangan, Kab. Simalungun, Sumatera Utara)  yang saat ini sedang berproses di tingkat kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Judianto Simanjuntak, pengacara publik dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) menyatakan sebagaimana diketahui bersama pada tanggal 14 Agustus 2024, menjelang 3 (tiga) hari Kemerdekaan Indonesia ke 79,  Majelis Hakim Pengadilan Negeri Simalungun membacakan putusan yang melukai  rasa keadilan masyarakat khususnya bagi Sorbatua Siallagan. Melalui putusannya Nomor: 155/pid.Sus/LH/2024/PN.Sim, Majelis Hakim menyatakan  menghukum Sorbatua Siallagan bersalah melakukan tindak pidana mengerjakan dan menduduki kawasan hutan dengan hukuman penjara selama 2 (dua) tahun dan denda sebesar Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah), dengan ketentuan apabila tidak dibayar maka diganti dengan kurungan selama 6 (enam) bulan. Putusan tersebut keliru dan menyesatkan, sebab fakta sejarah menunjukkan komunitas masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan yang dipimpin Sorbatua Siallagan lebih dahulu mendiami dan mengelola wilayah adatnya yang merupakan warisan nenek moyangnya dari kehadiran PT. Toba Pulp Lestari (PT. TPL), yaitu sejak tahun 1700-an. Saat ini, generasi yang mendiami Huta Dolok Parmonangan sudah generasi ke-XI (sebelas) dari ketiga anak Raja Ompu Umbak Siallagan.

Tapi ada 1 (satu) orang hakim berbeda pendapat atau sering  disebut Dissenting Opinion yaitu Hakim anggota Agung Cory Fondara Dodo Laia, S.H., M.H., yang menyatakan, “apabila belum dilakukan sosialisasi mengenai izin Kawasan Hutan Produksi yang dimiliki TPL kepada Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan Tetap, maka tindak pidana mengerjakan, menduduki, menguasai Kawasan  kawasan hutan tidak bisa dikenakan kepada Terdakwa”. Pendapat hakim yang berbeda ini menunjukkan sebenarnya Sorbatua Siallagan tidak melakukan tindak  pidana mengerjakan dan menduduki kawasan hutan, ujar Judianto Simanjuntak

Lebih lanjut Judianto menjelaskan bahwa Sorbatua Siallagan tidak  menerima Putusan Pengadilan Negeri Simalungun tersebut karena faktanya Sorbatua Siallagan tidak melakukan tindak pidana sehingga mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi Medan. Upaya hukum banding tersebut akhirnya mendatangkan keadilan bagi Komunitas masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan  dan Sorbatua Siallagan. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Medan memutuskan: 1. Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Medan. 2. Menyatakan perbuatan Sorbatua Siallagan BUKAN PERBUATAN PIDANA melainkan perbuatan perdata. 3. Melepaskan Sorbatua Siallagan dari segala tuntutan Jaksa Penuntut Umum. 4. Memerintahkan Jaksa Penuntut Umum agar MEMBEBASKAN BAPAK SORBATUA SIALLAGAN DARI RUMAH TAHANAN NEGARA. Putusan Pengadilan Tinggi Medan diucapkan pada tanggal 17 Oktober 2024 dengan Nomor : 1820/Pid.Sus-LH/2024/PT MDN.

Saat ini perkara Sorbatua Siallagan sedang berproses di tingkat kasasi Mahkamah Agung  RI karena Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Simalungun mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung, kata Judianto Simanjuntak.

Sinung Karto (Divisi Penanganan Kasus Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara/PB AMAN) menyatakan putusan Pengadilan Negeri Simalungun sangat tidak adil bagi komunitas masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan khususnya bagi Sorbatua, sebab keberadaan masyarakat adat dilindungi dalam konstitusi yaitu Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945 dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945,  UU No 39 Tahun 1999 Tentang Ham, dan instrumen hukum lainnya. Sebaliknya Putusan Pengadilan Tinggi Medan tersebut layak diapresiasi karena mencerminkan rasa keadilan bagi Sorbatua Siallagan dan komunitas masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan, sebab yang dilakukan Sorbatua Siallagan hanya mengelola wilayah adatnya, itu bukan tindak pidana, dan hal itu dilindungi  konstitusi  dan berbagai  instrumen hukum lainnya. 

Menurut Sinung Karto, kriminalisasi yang dialami Sorbatua Siallagan merupakan akibat ketiadaan Undang-Undang Tentang Masyarakat Adat. Itulah akar persoalan karena tidak ada payung hukum melindungi masyarakat adat di seluruh Nusantara. Akibat ketiadaan Undang-Undang Tentang Masyarakat Adat telah menimbulkan konflik masyarakat adat dengan korporasi yang mengakibatkan perampasan wilayah adat, dan kriminalisasi masyarakat adat  di seluruh nusantara, termasuk kriminalisasi terhadap Sorbatua Siallagan. 

Karena itulah Sinung Karto mendesak Presiden RI dan DPR RI agar segera membahas dan mengesahkan RUU Masyarakat Adat.  Presiden RI dan DPR RI harus melaksanakan kewajiban konstitusionalnya membentuk Undang-Undang Tentang Masyarakat Adat. Ini mandat dan perintah konstitusi sebagaimana diatur dalam pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Selain itu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan terhadap UUD 1945, Tanggal 16 Mei 2023 menyatakan urgensi pembentukan Undang-Undang Tentang Masyarakat Adat, yakni sebagai konsekuensi perintah UUD 1945 dan mencegah dampak negatif terhadap masyarakat adat

Mufti Fathul Barri, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia (FWI) menilai proses hukum terhadap Sorbatua Siallagan sampai berproses saat ini di Mahkamah Agung di luar nalar hukum sebab sampai saat ini kawasan yang dimaksud baru sebatas penunjukan dan belum ada penetapan kawasan hutan tepatnya di konsesi PT. TPL Sektor Aek Nauli yang menjadi objek lahan yang disengketakan dengan Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan. Padahal menurut  Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 bahwa pengukuhan kawasan hutan melalui beberapa tahapan yaitu:  penunjukan kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan dan penetapan kawasan. Sedangkan penunjukan kawasan hutan merupakan proses awal suatu wilayah tertentu menjadi Kawasan hutan dan peta tata batas.

Sisi lain konflik  masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan dengan PT. TPL  sedang dalam proses penyelesaian yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup RI melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor SK 352/MENLHK/SETJENKUM.1/6/2021 Tentang Langkah-Langkah Penyelesaian Permasalahan Hutan Adat dan Pencemaran Limbah Industri di Lingkungan Danau  Toba, tanggal 21 Juni 2021, salah satunya penyelesaian konflik masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan dengan PT. TPL. Karena itulah konflik  masyarakat adat ompu Umbak  Siallagan dengan PT. TPL bukan ranah pidana, tetapi penyelesaiannya secara administrasi yang merupakan kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup RI  dan Kementerian Kehutanan RI.

Oleh karena itu, Julius Ibrani Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), menilai bahwa proses hukum terhadap Sorbatua Siallagan merupakan bentuk pengingkaran dan pengabaian negara atas kewajibannya untuk melindungi, mengakui, dan menghormati keberadaan serta hak-hak masyarakat adat sebagaimana dijamin dalam konstitusi dan berbagai instrumen hukum nasional maupun internasional. Kasus ini menunjukkan dengan jelas bagaimana aparat penegak hukum berperan sebagai alat kriminalisasi terhadap masyarakat adat, alih-alih menjalankan tugasnya untuk melindungi dan menjamin akses mereka terhadap keadilan. Pola kriminalisasi yang berulang semacam ini semakin memperkuat impunitas terhadap pelanggaran hak-hak masyarakat adat dan menampilkan lemahnya komitmen negara dalam menegakkan prinsip-prinsip hak asasi manusia di Indonesia, terutama dalam memastikan hak atas tanah, sumber daya alam, dan kelangsungan hidup masyarakat adat yang terus terancam oleh kepentingan oligarki.

Elisabet Simanjutak selaku pimpinan aksi yang juga dari Sekretariat Nasional Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) menyatakan aksi di Mahkamah Agung ini merupakan kegelisahan dari publik atas terjadinya berbagai kriminalisasi kepada masyarakat adat di seluruh nusantara yang mendiami dan mengelola wilayah adatnya sebagai warisan nenek moyangnya, khususnya  yang dialami Sorbatua Siallagan.

Dalam kesempatan ini kami SOLIDARITAS MASYARAKAT SIPIL UNTUK SORBATUA SIALLAGAN mengharapkan Mahkamah Agung RI sebagai kekuasaan kehakiman yang merdeka agar menjaga netralitas dan independensinya menegakkan hukum demi untuk mendatangkan keadilan bagi Sorbatua Siallagan. Kami mengharapkan Mahkamah Agung RI menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor: 1820/Pid.Sus-LH/2024/PT MDN, tanggal 17 Oktober 2024 yang melepaskan Sorbatua Siallagan dari segala tuntutan Jaksa Penuntut Umum, ungkap Elisabet Simanjutak.

Jakarta, 26 Februari 2025

Hormat Kami

SOLIDARITAS MASYARAKAT SIPIL UNTUK SORBATUA SIALLAGAN:

  1. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
  2. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Tano Batak
  3. Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara   (BAKUMSU)
  4. Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagandi Dolok Parmonangan, Kab. Simalungun, Sumatera Utara
  5. Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita (Lamtoras), Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara
  6. Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN)
  7. Aliansi Gerak Tutup TPL
  8. Forest Watch Indonesia (FWI)
  9. Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI)
  10. Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)
  11. Bidang Keadilan dan Perdamaian Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (BKP-PGI)
  12. Sayogo Institute
  13. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Krisnayana
  14. Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (BEM FH-UI)
  15. Yayasan Forum Adil Sejahtera (YFAS)
  16. Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen (JKLPK) Indonesia
  17. Public Interest Lawyer Network (PIL-NET) Indonesia
  18. Yayasan Diakonia Pelangi Kasih (YDPK)
  19. Perkumpulan HuMa Indonesia
  20. WeSpeakUp.org
  21. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
  22. Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat
  23. Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM)
  24. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Sumatera Utara (Kontras Sumut)
  25. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan
  26. Wahana Lingkungan Hidup Sumatera Utara (WALHI SUMUT)
  27. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Komisariat UNIKA SEJAJARAN (GMNI UNIKA SEJAJARAN)
  28. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (GMNI FH-USU)
  29. Aksi Kamisan Medan
  30. Perempuan AMAN Sumatera Utara
  31. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Sumatera Utara (AMAN SUMUT)
  32. Yayasan Srikandi Lestari

Peran dan Aspirasi Pemuda Adat Menghadapi Tantangan Masa Depan

Cindy Yohana dari Sekretariat Nasional Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) menyampaikan pandangannya dalam sesi Gelar Wicara bertajuk “Peran dan Aspirasi Pemuda Adat Menghadapi Tantangan Masa Depan” pada Seminar MBKM RIMBAHARI 2025

Pada Senin, 17 Februari 2025, Program Studi Sarjana Departemen Antropologi FISIP Universitas Indonesia bekerja sama dengan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) akan melaksanakan Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) program tersebut di beri judul RIMBAHARI – Research Initiatives on Management of Biocultural Heritage and Resilient Innovations. Dalam rangka program ini, akan diadakan SeminarMBKM RIMBAHARI 2025: Diversitas Biokultural dan Masyarakat Adat, yang berlangsung di Auditorium Mochtar Riady, Gedung C Lantai 2, Kampus UI Depok. Salah satu sesi utama dalam seminar ini adalah gelar wicara bertajuk “Peran dan Aspirasi Pemuda Adat Menghadapi Tantangan Masa Depan”, yang menghadirkan Cindy Yohana dari Sekretariat Nasional Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) serta bersama pemuda adat lainnya.

Dalam berbagai diskusi mengenai masyarakat adat, peran pemuda sering kali kurang mendapat sorotan. Namun, di tengah tantangan modernisasi dan eksploitasi sumber daya alam, pemuda adat justru menjadi garda terdepan dalam mempertahankan hak-hak komunitas mereka. Dalam seminar ini, para pemuda adat berbagi pengalaman dan strategi dalam menghadapi dilema identitas, tekanan ekonomi, serta tantangan sosial dan lingkungan. Cindy Yohana, mewakili BPAN, menekankan bahwa pemuda adat memiliki peran ganda dalam menjaga keberlanjutan komunitas mereka. “Kami bukan hanya pewaris tradisi, tetapi juga penggerak perubahan,” ujar Cindy. Pemuda adat harus terus mengawal hak-hak masyarakat adat, memperjuangkan pengakuan wilayah adat, dan memastikan bahwa keputusan politik dan hukum yang dibuat oleh pemerintah berpihak pada keberlangsungan budaya serta lingkungan mereka.

Pemuda adat menghadapi berbagai tantangan, mulai dari isu identitas yang terus berkembang akibat modernisasi, keterbatasan akses terhadap pendidikan dan sumber daya, hingga tekanan ekonomi yang sering kali menghambat keterlibatan mereka dalam komunitas. Dilema ini semakin kompleks ketika ekspektasi sosial dari masyarakat dan persepsi dari pihak luar terhadap mereka sebagai pemuda adat menimbulkan tekanan tersendiri. Sementara itu, dalam komunitas mereka sendiri, pemuda adat harus berjuang untuk mendapatkan peran dalam pengambilan keputusan serta menjaga keberlanjutan budaya dan bahasa mereka. Hambatan lainnya datang dari eksploitasi sumber daya alam dan perubahan iklim, yang mengancam kelestarian lingkungan serta hak atas tanah adat mereka.

Sebagai langkah maju, seminar ini menyoroti pentingnya kolaborasi antara pemuda adat, akademisi, dan aktivis dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat adat. Strategi yang dapat ditempuh mencakup peningkatan pendidikan dan kapasitas kepemimpinan pemuda adat, pembangunan jaringan advokasi yang lebih luas, serta pemanfaatan teknologi dan media sosial untuk menyuarakan perjuangan mereka. Pemuda adat harus aktif dalam pengambilan keputusan dan memperkuat peran mereka sebagai agen perubahan, bukan hanya menjadi objek dalam wacana pembangunan.

Seminar MBKM RIMBAHARI 2025: Diversitas Biokultural dan Masyarakat Adat menjadi momentum penting dalam memperkuat posisi pemuda adat dalam menjaga warisan biokultural mereka. BPAN menegaskan bahwa perjuangan ini tidak hanya untuk masa kini, tetapi juga untuk memastikan bahwa generasi mendatang dapat tetap hidup dalam harmoni dengan identitas dan tanah leluhur mereka. Dengan semangat kolaborasi dan ketahanan yang kuat, pemuda adat akan terus berjuang demi keberlanjutan komunitas dan hak-hak masyarakat adat di masa depan.

Masyarakat Adat Onan Harbangan Menjadi Korban Kekerasan oleh PT TPL: Penegakan Hukum Dipertanyakan!!!

Onan Harbangan, Desa Pohan Jae, Kecamatan Siborong-borong, Tapanuli Utara (20/01/2025)Masyarakat Adat Onan Harbangan kembali menjadi korban kekerasan dalam konflik lahan dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL). Insiden ini terjadi saat pihak perusahaan melakukan upaya penanaman paksa bibit eucalyptus di wilayah adat yang diklaim masyarakat setempat. Tindakan tersebut memicu bentrokan, di mana petugas keamanan PT TPL dilaporkan menggunakan kayu yang telah dipersiapkan sebelumnya untuk menyerang Masyarakat Adat.

Foto dan video yang beredar menunjukkan masyarakat dipukuli secara brutal oleh petugas keamanan. Peristiwa ini telah menambah daftar panjang pelanggaran hak asasi manusia terhadap Masyarakat Adat di Nusantara, yang berjuang mempertahankan wilayahnya dari ancaman perusahaan besar.

Kini, Masyarakat Adat Onan Harbangan yang terluka akibat kekerasan tersebut sedang dalam perjalanan menuju Polres Tapanuli Utara untuk membuat laporan resmi. Namun, muncul pertanyaan besar: apakah aparat penegak hukum akan serius menangani kasus ini dan menghukum pelaku kekerasan? Ataukah, seperti yang sering terjadi, justru masyarakat adat yang akan didiskriminasi dan dihadapkan pada proses hukum yang tidak adil?

Siklus kekerasan yang dialami Masyarakat Adat Onan Harbangan mencerminkan masalah yang lebih luas. RUU Masyarakat Adat, yang bertujuan melindungi hak-hak adat, hingga kini belum disahkan oleh DPR dan Presiden. Hal ini semakin memperburuk keadaan, terutama ketika negara terlihat lebih memihak pada kepentingan korporasi dengan dalih investasi, alih-alih melindungi rakyatnya sendiri.

Seruan untuk menutup operasional PT TPL semakin menggema, terutama dari Masyarakat Adat dan aktivis yang peduli terhadap keberlanjutan lingkungan dan perlindungan hak asasi manusia. Mereka mendesak agar pemerintah segera mengambil langkah tegas untuk melindungi Masyarakat Adat dan menuntaskan konflik yang telah berlangsung bertahun-tahun.

“Tutup PT TPL, si perampas wilayah adat milik masyarakat adat di Tanah Batak, dan segera sahkan RUU Masyarakat Adat! Pemerintah harus menjalankan amanat konstitusi untuk melindungi masyarakat adat dari kejahatan negara dan korporasi,” ujar salah satu tokoh adat dalam pernyataannya.

Situasi di Onan Harbangan masih terus berkembang, dengan harapan besar agar aparat hukum benar-benar menegakkan keadilan tanpa memihak. Masyarakat Adat dan pendukungnya kini menunggu respons nyata dari pihak berwenang atas kasus ini.

PD BPAN Banten Kidul Menggelar Jambore Daerah II di Kasepuhan Lebak Larang

Pengurus Daerah Barisan Pemuda Adat Nusantara (PD BPAN) Banten Kidul sukses melaksanakan Jambore Daerah (Jamda) II, yang diikuti oleh para Pemuda Adat Banten Kidul serta Masyarakat Adat setempat. Acara ini berlangsung di Kasepuhan Lebak Larang, Desa Mekarsari, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, pada Minggu (29/12/2024).

Kegiatan ini dihadiri oleh Pemuda Adat dari berbagai komunitas, termasuk Kasepuhan Lebak Larang, Karang Nunggal, Cisungsang, Cisitu, Ciptamulya, Gelar Alam, Cicarucub, Bayah, Ciherang, dan Kasepuhan Bongkok. Selain itu, Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Banten Kidul dan Ketua Pengurus Nasional BPAN juga turut hadir.

Dalam Jamda ini, saudara Anas Sopian terpilih sebagai Ketua PD BPAN Banten Kidul periode 2024-2028. Kegiatan ini mengusung tema “Miindung ka Waktu, Mibapa ka Zaman,” yang mencerminkan semangat menjaga nilai-nilai adat di tengah perubahan zaman.

Jamda II PD BPAN Banten Kidul merupakan bagian dari proses kaderisasi bagi Pemuda Adat yang ingin bergabung dengan Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN). Agenda utama kegiatan ini meliputi pelaporan kepengurusan PD BPAN Banten Kidul selama masa jabatan, serta pemilihan kepengurusan baru untuk periode berikutnya.

Aang Anggra Hariyana, Ketua PD BPAN Banten Kidul yang akan segera mengakhiri masa jabatannya, menyatakan bahwa Jambore ini bukan hanya untuk anggota BPAN, tetapi juga untuk semua pemuda yang peduli terhadap adat di Banten Kidul.

“Pemuda Adat jangan sampai kehilangan jati diri. Kehilangan ini bukan berarti hilangnya generasi, melainkan pudarnya kesadaran akan adat dan tradisi yang diwariskan leluhur. Banyak Pemuda Adat yang mulai tergerus arus zaman, merasa tidak lagi bangga dengan identitas adat mereka. BPAN hadir untuk mengembalikan kebanggaan itu dan memberikan ruang bagi mereka untuk berkembang,” ujarnya.

Aang menyoroti tantangan yang dihadapi Pemuda Adat dalam menjaga identitas mereka di tengah derasnya arus modernisasi. Pemuda Adat mulai meninggalkan pakaian adat seperti udeng dan pangsi, yang dianggap “tidak keren” dibandingkan dengan jas, dasi, atau fashion modern.

“Kita telah terpengaruh framing dunia luar yang menganggap pakaian adat kuno atau kampungan. Sebaliknya, kita harus bangga dengan identitas kita sebagai Masyarakat Adat. Namun, ini tidak berarti kita menutup mata terhadap perkembangan zaman,” tambahnya.

Bangbang Sugentry, Kepala Bidang OKK PD AMAN Banten Kidul, menegaskan bahwa BPAN merupakan salah satu organisasi sayap dari AMAN yang mewadahi Pemuda Adat.

“BPAN adalah ruang bagi Pemuda Adat untuk berkumpul, berdiskusi, dan berinovasi demi kemajuan bersama. Saya berharap kader-kader baru ini benar-benar peduli terhadap adat dan dapat menunjukkan eksistensinya dengan bangga,” ujarnya.

Hero Aprila, Penjabat Ketua Pengurus Nasional BPAN, dalam sambutannya menekankan pentingnya semangat juang bagi kader BPAN.

“Kita, Pemuda Adat, harus bisa berinovasi tanpa meninggalkan identitas kita. BPAN adalah wadah untuk menjaga dan merawat wilayah adat kita serta memperjuangkan hak-hak Masyarakat Adat. Pemuda Adat harus menjadi garda terdepan dalam upaya ini,” tegasnya.

Ari Fadilah, salah satu kader PD BPAN Banten Kidul, berharap bahwa kegiatan Jamda II dapat memperkuat solidaritas di antara Pemuda Adat.

“Banten Kidul memiliki wilayah adat yang luas, meliputi empat kabupaten dan dua provinsi. Dengan adanya BPAN, kami bisa saling mengenal, bekerja sama, dan menjaga warisan budaya leluhur bersama-sama,” ucapnya.

Jamda II PD BPAN Banten Kidul menjadi momentum penting untuk memperkuat peran Pemuda Adat dalam menjaga tradisi dan menghadapi tantangan modernisasi. Acara ini tidak hanya mempererat hubungan antar-komunitas adat, tetapi juga memberikan semangat baru bagi generasi muda untuk terus melestarikan budaya adat mereka.

Penulis: Dika Setiawan (Jurnalis Masyarakat Adat & Tim Infokom PD AMAN Banten Kidul)

Editor: RH (Infokom Seknas BPAN)

Masyarakat Adat Pulau Rempang Kembali Diserang, Banyak Korban Luka dan Kendaraan Dirusak

Puluhan orang menyerang sejumlah posko warga yang menolak relokasi proyek Rempang Eco City di Kampung Sembulang Hulu dan Kampung Sei Buluh, Kelurahan Sembulang, Kecamatan Galang, Rabu dini hari (18/12/2024).

Batam, 18 Desember 2024—Masyarakat Adat Pulau Rempang kembali menjadi korban kekerasan dalam insiden yang terjadi pada Selasa dini hari sekitar pukul 00.50 WIB. Peristiwa tragis ini diduga dilakukan oleh puluhan orang yang terindikasi sebagai pegawai PT Makmur Elok Graha (MEG)

Berdasarkan data sementara, serangan tersebut menyebabkan kerusakan pada beberapa posko warga di Kampung Sembulang Hulu, Kampung Sei Buluh, Kelurahan Sembulang, Kecamatan Galang, serta Pasir Merah. Selain itu, setidaknya delapan warga mengalami luka-luka dan telah dilarikan ke rumah sakit terdekat. Berikut adalah rincian korban:

Rincian Korban:

Kampung Sembulang Hulu:

  1. Satu orang mengalami luka ringan.
  2. Satu orang mengalami luka parah.

Posko Pak Sutaji:

  1. Dua orang mengalami luka sobek di kepala.
  2. Satu orang mengalami patah tangan.

Kampung Sei Buluh:

  1. Dua orang mengalami luka sobek di kepala.

Pasir Merah:

  1. Satu orang terkena panah.

Tak hanya itu, belasan kendaraan bermotor milik warga juga dirusak oleh pelaku.

Atas peristiwa kekerasan yang berulang ini, masyarakat Kampung Tua Rempang bersama organisasi masyarakat sipil menyerukan langkah-langkah tegas dari pemerintah dan lembaga terkait. Adapun tuntutan tersebut adalah:

  1. Presiden Prabowo Subianto dan DPR RI untuk memastikan perlindungan bagi masyarakat adat dan tempatan di Pulau Rempang atas wilayah adat mereka, serta membatalkan seluruh rencana pengembangan Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco-City.
  2. Kapolri untuk memerintahkan jajaran kepolisian melakukan penegakan hukum secara serius dan tegas terhadap seluruh peristiwa intimidasi dan kekerasan yang dialami masyarakat adat Pulau Rempang.
  3. Komnas HAM untuk mengawasi dan mengambil tindakan tegas atas rentetan pelanggaran HAM di Pulau Rempang, sekaligus memastikan skema perlindungan bagi seluruh masyarakat adat di wilayah tersebut.

Menanggapi peristiwa ini, Pj. Ketua Umum Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) menyampaikan kecaman keras terhadap tindakan kekerasan tersebut.

“Kami mengecam keras tindakan puluhan orang (diduga pegawai PT. MEG) yang menyerang masyarakat adat Pulau Rempang. Akibat serangan ini, terdapat korban dengan luka patah tangan, luka sobek di kepala, hingga terkena serangan busur panah,” tegasnya.

Narahubung Solidaritas Nasional untuk Rempang:

  1. LBH Pekanbaru: +62 812 6643 8036
  2. WALHI Riau: +62 822 8824 5828

Kejadian ini menegaskan perlunya perhatian serius dari pemerintah dan semua pihak terkait untuk menghentikan intimidasi dan kekerasan terhadap masyarakat adat. Masyarakat Adat Pulau Rempang dan seluruh pendukungnya akan terus bersuara hingga keadilan dan perlindungan yang layak terwujud.

Pengesahan RUU Masyarakat Adat pada 2025:Menanti Tindakan Nyata DPR dan Pemerintah kepada Masyarakat Adat

Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat

Jakarta, 18 Desember 2024 – Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat mendesak DPR dan Pemerintah Republik Indonesia untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat (RUU MA) pada tahun 2025, agar hak-hak Masyarakat Adat dapat diakui dan dilindungi secara lebih efektif. Saat ini, RUU Masyarakat Adat telah masuk kembali dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2025 dan masuk dalam Prolegnas lima tahunan usulan DPR RI.

Namun dalam daftar Prolegnas RUU ini masih menggunakan frasa RUU Masyarakat Hukum Adat. Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat mendorong penggunaan frasa Masyarakat Adat untuk mengakomodir nomenklatur Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Tradisional dalam konstitusi. Serta mendorong adanya kemajuan pasti dalam upaya pengesahannya.

Veni Siregar, Senior Kampanye Kaoem Telapak menegaskan bahwa pembahasan dan pengesahan RUU Masyarakat Adat menjadi momentum penting bagi DPR RI dan Pemerintah Prabowo Subianto untuk menunjukkan keberpihakannya kepada Masyarakat Adat. “Pengakuan dan perlindungan terhadap Masyarakat Adat adalah bentuk tanggung jawab negara dalam memastikan keberlanjutan hidup dan kepastian hukum  bagi  mereka. DPR RI, khususnya Badan Legislasi dan delapan Fraksi Partai Politik, harus mengambil langkah strategis untuk terus membangun dialog konstruktif dengan Masyarakat Adat, agar Rancangan Undang-Undang yang dihasilkan mampu menjawab persoalan yang dihadapi. Perlindungan dan pemenuhan hak-hak Masyarakat Adat di tengah kekerasan dan kriminalisasi harus menjadi prioritas. Kontribusi Masyarakat Adat dalam menjaga kelestarian lingkungan juga patut diapresiasi.”

Veni menambahkan bahwa Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat akan terus melakukan mengawal secara intensif untuk memastikan RUU Masyarakat Adat disahkan pada tahun 2025.

Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum, dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Muhammad Arman mengatakan pengesahan RUU Masyarakat Adat merupakan jalan utama sekaligus tindakan nyata untuk mewujudkan cita-cita pembentukan negara Indonesia yakni melindungi segenap tumpah darah, dan memajukan kesejahteraan umum termasuk bagi Masyarakat Adat yang selama ini termarjinalkan.

“Pengesahan RUU Masyarakat Adat akan memberikan kepastian hukum  sekaligus menciptakan investasi yang berkeadilan bagi semua pihak. Undang-Undang Masyarakat Adat adalah ‘jalan pulang’ untuk meneguhkan kebangsaan dan Ke-Indonesiaan yang beragam,” ucapnya.

Lebih lanjut, Arman memaparkan data yang dihimpun AMAN selama 10 tahun terakhir, dimana telah terjadi 687 konflik agraria di wilayah adat, mencakup lahan seluas 11,07 juta hektar. Konflik tersebut tidak hanya merampas tanah ulayat, tetapi juga mengakibatkan 925 Masyarakat Adat menjadi korban kriminalisasi. Dari jumlah tersebut, 60 orang mengalami kekerasan yang dilakukan oleh aparat negara, dan bahkan satu orang meninggal dunia.

Menurut Arman, perampasan tanah ulayat sering kali dilakukan melalui proyek-proyek besar yang dijalankan tanpa konsultasi atau persetujuan yang memadai, serta mengabaikan prinsip Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan (Padiatapa/FPIC).

Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, yang terdiri dari 35 organisasi masyarakat sipil, menegaskan bahwa RUU ini merupakan peluang besar untuk memperbaiki ketidakadilan yang terus dialami oleh Masyarakat Adat. Selain itu, RUU ini juga diharapkan mampu memberikan perlindungan hukum yang komprehensif, termasuk pengakuan dan perlindungan terhadap wilayah adat dan hutan adat yang menjadi sumber kehidupan dan identitas Masyarakat Adat.

Juandi Gultom, dari Bidang Keadilan dan Perdamaian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), menegaskan dukungan PGI terhadap pengesahan RUU Masyarakat Adat. Juandi menyatakan bahwa Masyarakat Adat adalah pemilik awal sekaligus pemilik sah dari negeri ini, Namun ironisnya justru mengalami pengucilan oleh negara. “Masyarakat Adat adalah pemilik awal dan pemilik sah dari negara ini. Namun, mereka dikucilkan oleh kebijakan negara saat ini,” ujarnya.

Lebih lanjut, Juandi menambahkan bahwa PGI aktif melakukan advokasi untuk mendukung perjuangan Masyarakat Adat. Kantor PGI bahkan menjadi rumah bersama bagi berbagai pengaduan dan permohonan bantuan yang diajukan oleh Masyarakat Adat dalam memperjuangkan hak-hak mereka.

Ermelina Singereta, Manajer Bidang Advokasi Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) menyatakan bahwa sikap pengabaian negara terhadap perlindungan hukum bagi Masyarakat Adat, khususnya perempuan, anak, dan kelompok rentan dalam mempertahankan ruang hidup mereka, merupakan bentuk nyata pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

“Banyak Perempuan Adat harus berhadapan dengan hukum yang tidak adil. Mereka ditangkap, diadili, bahkan dihukum karena mempertahankan hak dan identitas mereka sebagai Perempuan Adat. Bagi Perempuan Adat, hukum ibarat fatamorgana: terlihat jelas tetapi sulit untuk dijangkau,” ucap Ermelina.

Ermelina menekankan bahwa perlindungan hak Masyarakat Adat tidak hanya penting dari aspek keadilan, tetapi juga memiliki peran kunci dalam melestarikan keanekaragaman hayati global. Wilayah adat merupakan benteng terakhir bagi keanekaragaman hayati dunia, di mana diperkirakan 80% keanekaragaman hayati global tersimpan di dalamnya. Dengan pengetahuan tradisional yang diwariskan selama ribuan tahun, Masyarakat Adat telah menjadi penjaga alam dan ekosistem hayati yang tak tergantikan.

Lebih lanjut, Ermelina menjelaskan bahwa keterlibatan Masyarakat Adat dalam pengelolaan wilayah adat berkontribusi besar terhadap upaya global untuk melestarikan lingkungan, mitigasi perubahan iklim, dan perlindungan ekosistem. Di tengah tantangan lingkungan yang semakin kompleks, peran Pemuda Adat menjadi sangat krusial sebagai generasi penerus dalam menjaga warisan leluhur. Pemuda Adat, menurutnya, adalah garda terdepan dalam upaya mempertahankan wilayah adat dalam menghadapi berbagai tantangan yang semakin kompleks.

Hero Aprila, Ketua Umum Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), menekankan bahwa keberadaan Undang-Undang Masyarakat Adat memiliki peran penting dalam menjawab berbagai persoalan yang dihadapi Pemuda Adat di berbagai sektor, mulai dari politik dan hukum, sosial dan budaya, hingga kemandirian ekonomi serta pendidikan adat.

“Sebagai generasi penerus, kami, Pemuda Adat, memiliki tanggung jawab besar dalam memastikan keberlanjutan pengelolaan wilayah adat yang lestari dan bebas dari diskriminasi serta intimidasi. Ketiadaan UU Masyarakat Adat hanya akan memperpanjang rantai ketidakadilan yang telah berlangsung lama. Bagi kami, UU Masyarakat Adat adalah solusi nyata untuk menjawab tantangan yang kami hadapi,” tutur Hero.

Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat terdiri dari YLBHI, HuMa, Seknas WALHI, KPA, KEMITRAAN, ICEL, Debt Watch, PEREMPUAN AMAN, Yayasan PUSAKA, Kaoem Telapak, Yayasan Madani Berkelanjutan, BRWA, JKPP, merDesa Institute, RMI, EPISTEMA, Greenpeace Indonesia, Lakpesdam NU, KIARA, LOKATARU, Forest Watch Indonesia (FWI), Sawit Watch, PPMAN, Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), Yayasan Jurnal Perempuan (YPJ), Forum Masyarakat Adat Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Format-P), Kalyanamitra, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), SATUNAMA, Protection International Indonesia, KKC Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Working Group ICCAs Indonesia, AMAN, Samdhana, EcoAdat.

Kontak Media:
A.P. Prayoga, Tim Kampanye Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, HP. 0857 2034 6154

Veni Siregar, Senior Kampanye Kaoem Telapak, HP. 0838-9344-5587

RUU Masyarakat Adat: Kunci Keberhasilan Konservasi Pasca COP16

Jakarta, 5 Desember 2024 – Pasca Konferensi Dunia Keanekaragaman Hayati (COP16) yang berlangsung pada 1 November 2024 di Cali, Kolombia, urgensi pengesahan RUU Masyarakat Adat di Indonesia semakin mendesak. Pengakuan dan perlindungan hak-hak Masyarakat Adat menjadi kunci untuk memastikan keterlibatan mereka dalam implementasi Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (KM-GBF). Tanpa RUU Masyarakat Adat, kontribusi Masyarakat Adat dalam konservasi berkelanjutan dan inklusif akan terus terhambat.

Hal ini disampaikan oleh Cindy Julianty, Program Manager Working Group Indigenous Peoples’ and Community Conserved Areas and Territories Indonesia (WGII) dalam diskusi publik bertajuk “Urgensi Pengesahan RUU Masyarakat Adat dalam Merespon Kebijakan Konservasi Pasca COP16” yang diselenggarakan di Rumah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Jakarta, Rabu (4/12). Selain Cindy Julianty, turut hadir juga Bimantara Adjie (Perkumpulan HuMa), Teo Reffelsen (WALHI Eksekutif Nasional), Rukmini Paata Toheke (Dinamisator Regional Sulawesi JPH AKKM), Mufti Fathul Barri (FWI), Tommy Indyan (AMAN) sebagai narasumber dan Salma Zakiyah (MADANI Berkelanjutan) sebagai moderator.

Cindy Julianty juga menekankan pentingnya keterlibatan Masyarakat Adat dalam mencapai target perlindungan keanekaragaman hayati global. “Konservasi tidak bisa hanya sekadar membicarakan pelestarian lingkungan. Konservasi juga berarti pengakuan hak tenurial di wilayah Masyarakat Adat,” ujar Cindy. Ia menyebutkan bahwa database wilayah adat mencatat 22,5 juta hektare wilayah adat yang berpotensi untuk dikonservasi. “Praktik-praktik konservasi dari bawah ini dapat mendorong kontribusi Indonesia untuk mencapai target keanekaragaman hayati global,” tambahnya.

Bimantara Adjie Wardhana, Divisi Advokasi Hukum Rakyat Perkumpulan HuMa menambahkan, meskipun Masyarakat Adat memiliki posisi strategis dalam Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) tepatnya pada Target 16 dan Target 17 implementasi kebijakan seringkali gagal melibatkan mereka secara aktif dan inklusif. “Partisipasi aktif dan bermakna Masyarakat Adat seringkali diabaikan dalam implementasi kebijakan biodiversitas di Indonesia, misalnya dalam proses penyusunan IBSAP. Padahal, IBSAP adalah kunci dari pengarusutamaan biodiversitas di Indonesia,” ujarnya.

Sementara itu, Teo Reffelsen, Manajer Hukum dan Pembelaan WALHI Eksekutif Nasional mengkritik proses pembentukan UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE) yang dinilai mengabaikan partisipasi bermakna. “Banyak fakta lapangan yang diajukan oleh koalisi diabaikan tanpa alasan jelas dari DPR,” kata Teo. Ia juga mengingatkan bahwa Mahkamah Konstitusi sejak 2012 telah mengamanatkan pemerintah untuk membentuk peraturan terkait Masyarakat Adat, namun hingga kini belum terealisasi. “Sayangnya dalam gugatan AMAN, Pengadilan Tata Usaha Negara gagal menilai prinsip-prinsip judicial order yang ada di beberapa putusan MK terkait urgensi UU Masyarakat Adat, sehingga dari segi legislasi dan kebijakan, masyarakat adat di nomor duakan. Tidak heran kita lihat situasi Masyarakat Adat yang berada dalam dan dekat dengan kawasan hutan semakin buruk dan memprihatinkan,” tutupnya.

Rukmini Paata Toheke, Dinamisator Regional Sulawesi Jaringan Pemangku Hak Areal Konservasi Kelola Masyarakat (JPH AKKM), menjelaskan bahwa Masyarakat Adat Ngata Toro telah lama mempraktikkan konservasi berbasis kearifan lokal. Upaya ini dilakukan diantaranya dengan mendokumentasikan hukum adat, mengelola tempat-tempat yang dapat dikelola dan sekolah adat. “Kami memiliki filosofi tiga tungku kehidupan, Taluhi Takuhua, dimana masyarakat menjaga hubungan baik dengan pencipta bumi yang telah memberikan isinya dengan sesama manusia serta alam. Ketika kita merusak alam, maka kita merusak kehidupan. Ini menjadi landasan kami untuk menjaga kearifan leluhur. Ini menjadi kebanggaan kami sebagai Masyarakat Adat. Namun, negara kurang menghargai upaya kami,” tegasnya.

Senada dengan itu, Mufti Fathul Barri, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia (FWI), menyebut bahwa 80% keanekaragaman hayati dunia berada di wilayah Masyarakat Adat. Namun, UU KSDAHE di Indonesia justru mengecilkan peran mereka. “Paradigma konservasi kita belum bergeser, padahal Masyarakat Adat terbukti menjadi aktor utama dalam menjaga biodiversitas,” ungkapnya.

Tommy Indyan dari Direktorat Advokasi kebijakan Hukum dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), menegaskan bahwa pengesahan RUU Masyarakat Adat adalah langkah penting untuk melindungi hak-hak Masyarakat Adat. Ia menekankan perlunya definisi yang jelas, mekanisme pendaftaran yang sederhana, dan pengakuan hak-hak perempuan, pemuda, serta anak-anak adat dalam RUU Masyarakat Adat. “RUU yang ideal harus berbasis pada prinsip HAM dan mencakup mekanisme pemulihan hak, penyelesaian konflik, serta penguatan hak atas identitas budaya dan wilayah adat,” tuturnya.

Pengesahan RUU Masyarakat Adat tidak hanya memberikan perlindungan hukum bagi Masyarakat Adat, tetapi juga memperkuat peran mereka dalam mencapai target KM-GBF secara inklusif. Langkah ini menjadi krusial untuk memastikan keberlanjutan konservasi dan keanekaragaman hayati di Indonesia.

Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat terdiri dari YLBHI, HuMa, Seknas WALHI, KPA, KEMITRAAN, ICEL, Debt Watch, PEREMPUAN AMAN, Yayasan PUSAKA, Kaoem Telapak, Yayasan Madani Berkelanjutan, BRWA, JKPP, merDesa Institute, RMI, EPISTEMA, Greenpeace Indonesia, Lakpesdam NU, KIARA, LOKATARU, Forest Watch Indonesia (FWI), Sawit Watch, PPMAN, Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), Yayasan Jurnal Perempuan (YPJ), Forum Masyarakat Adat Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Format-P), Kalyanamitra, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), SATUNAMA, Protection International Indonesia, KKC Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Working Group ICCAs Indonesia, AMAN, Samdhana, EcoAdat.

Kontak Media:
A.P. Prayoga, Tim Kampanye Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, HP. 0857 2034 6154

Bentrok di Hutan Adat Dolok Parmonangan Masyarakat Adat Korban Kekerasan oleh PT. TPL dan Aparat

Dolok Parmonangan, 2 Desember 2024 – Ketegangan memuncak di Hutan Adat Dolok Parmonangan (Huta Utte Anggir) ketika PT. Toba Pulp Lestari (TPL) bersama aparat kepolisian dan TNI memasuki wilayah tersebut sejak pukul 09.00 WIB. Keberadaan mereka yang mencurigakan membuat Masyarakat Adat setempat melakukan pemeriksaan ke lokasi.

Sesampainya di Hutan Utte Anggir, Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan menemukan jalan menuju kawasan hutan telah ditutup dan dipalang oleh pihak TPL. Ketegangan semakin meningkat ketika terdengar suara singso dari dalam hutan, yang memaksa Masyarakat Adat mencoba memasuki wilayah tersebut. Namun, mereka dihalangi oleh pihak TPL dan aparat keamanan.

Situasi pun berubah menjadi bentrok. Dalam insiden ini, salah satu warga Masyarakat Adat Dolok Parmonangan mengalami luka serius di bagian kepala akibat tindakan kekerasan yang diduga dilakukan oleh pihak TPL.

Hero Aprila, Ketua Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), mengutuk keras kejadian ini. Dalam pernyataannya, Hero menyampaikan, “Kami mengecam keras tindakan aparat dan pihak TPL yang mengakibatkan salah satu Masyarakat Adat Dolok Parmonangan mengalami luka bocor di bagian kepala. Tindakan ini harus segera dihentikan.”

Insiden ini kembali menyoroti konflik yang sering terjadi di wilayah-wilayah adat antara perusahaan besar dan masyarakat setempat. Tindakan intimidasi, kekerasan, dan penguasaan sepihak atas tanah adat menjadi isu yang belum terselesaikan.

Masyarakat Adat menyerukan penghentian kekerasan dan intimidasi terhadap mereka, serta menuntut agar hak-hak mereka atas wilayah adat diakui dan dihormati.

PENGURUS NASIONAL BPAN 2022-2026

KONTAK KAMI

Sekretariat BPAN, Alamat, Jln. Sempur, Bogor

officialbpan@gmail.com

en_USEnglish