RAKERNAS KE-V BPAN, RESMI DIBUKA

Rangkaian kegiatan rapat kerja nasional ke-V Barisan Pemuda Adat Nusantara dibuka dengan resmi oleh Batin Komunitas Masyarakat Adat Ampang Delapan. Pembukaan kegiatan ini didahului dengan parade budaya yang di ikuti oleh seluruh peserta Pemuda Adat se-nusantara. Para Batin Masyarakat Adat Talang Mamak turut serta dalam rombongan parade. Wilayah Adat Ampang Delapan, Indragiri Hulu, Riau (14/08/2025).

Parade budaya Pemuda Adat Nusantara, sebagai wujud penegasan keragaman yang ada di dalam organisasi Barisan Pemuda Adat Nusantara yang saat ini sedang melaksanakan rapat kerja nasional ke-V.

Dalam sambutannya, pelaksana jabatan (PJ) Ketua Umum BPAN Hero Aprila menyampaikan rasa bangga nya karena pelaksanaan Rakernas ke-V BPAN bisa dilaksanakan di Wilayah Adat Ampang Delapan, Talang Mamak.

Rakernas ke-V ini mengambil tema “Pemuda Adat Kuat, Wilayah Adat Berdaulat”. Hero Aprila mengatakan tema ini merupakan penegasan terhadap situasi dan kondisi yang terjadi di nasional maupun di wilayah pengorganisasian.

“BPAN hadir untuk menghubungkan pengetahuan leluhur dengan semangat anak muda. BPAN di bangun berdasarkan apa yang kita inginkan di kampung, artinya apa yang kita inginkan di kampung adalah yang harus kita perkuat di nasional. Suara-suara kita di kampung harus di dengar, baik di nasional maupun di internasional. Berjuta-juta hektar wilayah Adat di rampas, di Talang Mamak begitu banyak wilayah yang di rampas. Berubah menjadi kebun kelapa sawit.” Jelas Hero Aprila.

Dia juga menjelaskan betapa pentingnya hutan bagi masyarakat Talang Mamak. Hutan menyimpan seluruh kekayaan yang tidak bisa digantikan dengan uang. Apa yang terjadi di Talang Mamak, juga terjadi di wilayah-wilayah lain di seluruh Nusantara.

“Sebagai generasi muda kita tidak boleh apatis. Kita harus peduli dengan kampung kita sendiri. Belajar bagaimana cara berpikir para orang tua kita dalam menjaga kampung, menghormati leluhur, menjalankan Adat istiadat, budaya dan bangga akan identitas kita sebagai Masyarakat Adat dan Pemuda Adat. Hal ini akan terus kita gaungkan melalui Rakernas ke-V BPAN.” Tambahnya.

PJ Ketua Umum juga memberikan pesan bahwa semangat perjuangan ini harus terus berlanjut sampai kapanpun, karena Pemuda Adat juga akan berada pada posisi sama seperti orang-orang tua dan tokoh-tokoh Adat hari ini. Sebagai generasi muda, harus siap untuk menjadi pemimpin, baik di lembaga Adat, lembaga negara dan tempat lainnya. Momen rakernas ini mempertegas kembali kerja-kerja BPAN dan Pemuda Adat dalam menjaga kampung di seluruh Nusantara.

Gunduk, sebagai Batin Ampang Delapan mewakili para Batin dan masyarakat Ampang Delapan mengucapkan terima kasih atas dukungan Pemuda Adat se-Nusantara terhadap perjuangan Masyarakat Adat Talang Mamak.

“Atas nama Batin Ampang Delapan dan Wilayah Adat Talang Mamak, menyampaikan dukungan penuh dari Komunitas Adat. Kami siap menyumbangkan tenaga dan semangat hingga akhir acara, untuk mensukseskan Rakernas ke-V BPAN.” tutup Tokoh Adat Komunitas Masyarakat Adat Ampang Delapan.

Rangkaian pembukaan resmi Rakernas ke-V BPAN dimulai dari parade budaya Pemuda Adat Nusantara, Upacara Adat, Praktek Barter Pemuda Adat dan dialog publik. Pembukaan Rapat Kerja Nasional ke-V BPAN ini dihadiri para Batin, Direktur OKK AMAN Arifin Monang Saleh, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Indragiri Hulu Kamaruzaman, S.Sos, M.Si, Ketua Pengurus Harian Daerah Indragiri Hulu Gilung dan ketua-ketua wilayah pengorganisasian BPAN se-Nusantara serta masyarakat Komunitas Adat Ampang Delapan.

Penulis : B. M. Lapong, Pemuda Adat Minahasa

Komitmen Pemuda Adat se-Nusantara di Wilayah Adat Talang Mamak

Ampang Delapan, 13/08/2025

Rapat Kerja Nasional ke-V Barisan Pemuda Adat Nusantara (Rakernas BPAN) akan berlangsung secara resmi pada tanggal 14-16 Agustus 2025 di Wilayah Adat Ampang Delapan, Rakit Kulim, Indragiri Hulu, Riau.

Berdasar data yang didapat dari sekretariat panitia Rakernas ke-V BPAN, peserta sudah mulai tiba pada tanggal 11 agustus sampai batasnya tanggal 13 agustus. Mereka langsung dijemput di Bandara Sultan Syarif Kasim II dan diantar selama 8 jam ke Kampung Ampang Delapan

Mengawali rangkaian kegiatan di rakernas, rombongan pengurus dan beberapa peserta yang sudah hadir terlebih dahulu, diantar oleh Tetua Adat dan Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PD AMAN) Indragiri Hulu melakukan ziarah makam leluhur masyarakat adat Talang Mamak.

Ketua umum BPAN, Hero Aprila menjelaskan bahwa kegiatan ziarah situs ini merupakan salah satu kegiatan pra-rakernas di kampung Ampang Delapan.
“Kami Pemuda Adat dari seluruh Nusantara, melakukan ziarah bersama Tetua Adat dan Pemuda Adat Kampung Ampang Delapan. Situs ini merupakan situs tua dalam Masyarakat Adat Talang Mamak, adalah makam leluhur mereka. Melalui Tetua Adat, kami meminta ijin kepada leluhur agar jalannya rakernas ke-V BPAN ini dapat berjalan dengan baik.” Jelas Hero Aprila.

Pemuda adat se-nusantara selesai melaksanakan upacara adat bersama tetua adat Kampung Ampang Delapan

Bagi Masyarakat Adat Talang Mamak, khususnya yang ada di Kampung Ampang Delapan, situs ini merupakan penanda identitas yang sedari dulu telah ada dan tak bisa di pisahkan dari komunitas adat. Hal ini ditegaskan oleh Gilung, ketua PD AMAN Indragiri Hulu yang turut ikut serta mengantar rombongan dalam ziarah situs ini.
“Ada pepatah tua kami yang mengatakan ‘biar mati anak asal jangan mati Adat’. Artinya kalau mati anak kita bisa ziarah ke pekuburan berkali-kali, kalau mati Adat hancurlah kampung terbakarlah negeri. Ziarah ke makam leluhur adalah hal wajib ketika ada kegiatan besar di kampung ini. Kami wajib memberi tahu ke leluhur kami, apa yang kami perbuat di kampung. Tadi kami memperkenalkan siapa saja yang bertamu di kampung, artinya kalian semua sudah dianggap sebagai anak-cucu Talang Mamak juga.” Tegas putra asli Talang Mamak ini.

Menutup kegiatan ziarah situs ini, Hero Aprila menegaskan pentingnya kehadiran BPAN di komunitas Talang Mamak. Sebagai penegasan dukungan Pemuda Adat se-nusantara terhadap komunitas Adat Talang Mamak yang saat ini terancam punah oleh kehadiran perusahaan sawit yang mengelilingi Wilayah Adat mereka.
“Talang Mamak adalah salah satu Komunitas Adat yang terancam punah. Kehadiran BPAN diharapkan mendukung komunitas ini untuk segera mendapatkan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak nya. Ini juga menjadi spirit bersama untuk seluruh Pemuda Adat se-nusantara untuk terus bersolidaritas ke Masyarakat Adat Talang Mamak. Gerakan ini menjadi contoh bagi gerakan pemuda adat di Nusantara bahkan di tingkat global untuk memegang teguh prinsip senasib dan sepenanggungan.” Tutup Hero, yang pada perayaan Hari Internasional Masyarakat Adat Nusantara 2025 di Kasepuhan Guradog diteguhkan sebagai pengacara masyarakat adat.

Diketahui pada Rakernas ke-V BPAN ini akan berlangsung dalam bentuk offline dan online. Peserta adalah ketua-ketua BPAN yang tersebar di 106 wilayah pengorganisasian se-nusantara, yang terbagi dalam 7 region, Papua, Bali-Nusa Tenggara, Maluku, Sulawesi, Jawa, Kalimantan dan Sumatera.

Penulis : Belarmino Lapong, Pemuda Adat Tombulu Tomohon – Minahasa.

Menolak Kehadiran Proyek Strategis Nasioan Berbasis Perkebunan Kelapa Sawit, PT Fajar Surya Persada

Sorong, 4 Juli 2025. Masyarakat Hukum Adat Moi di Distrik Moi Segen, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat Daya mengadakan musyawarah yang difasilitasi oleh Dewan Adat Suku Moi di Distrik Moi Sigin. Musyawarah adat yang dihadiri oleh perwalikan masyarakat adat tersebut bertujuan untuk menyikapi rencana Proyek Strategis Nasional (PSN) berbasis Perkebunan kelapa sawit yang akan beroperasi di wilayah adat mereka.

Turut hadir dalam musyawarah tersebut, Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Malamoi, Silas Kalami Bersama anggotanya. Masyarakat meolak PSN tersebut karena dinilai akan memberikan dampak buruk bagi mereka. Saat ini saja PT Inti Kebun Sejahtera (IKSJ) yang sudah beroperasi diwailayah distrik Moi Segen tidak memberikan dampak positif bagi kami masyarkat adat, ucap Raymon Klagilit perwakilan tokoh pemuda yang lantang meneriakan dan memperjuangankan hak-hak masyarkat adat Moi Sigin.

Raymon mengatakan kehadiran PSN akan memperburuk situasi masyarkat adat yang saat ini sedang memperjuangkan hak mereka atas tanah dan hutan adat. Sejak 2007 PT Inti Kebun Sejahtera beroperasi kami masyarkat adat Moi tidak ada yang Sejahtera malah mereka memiliki utang dengan jumlah ratusan hingga miliaran ripiah, hal tersebut diakibatkan karena pengelolaan Plasma yang buruk dan tidak transparan.

Yakub Klagilit, pemuda lainnya yang mengatakan kini hutan mereka di wilayah Moi telah dibabat habis oleh PT Inti Kebun Sejahtera. Dusun Sagu yang menjadi sumber penghidupan kami digusur tanpa consent atau persetujuan dari kami masyarakat adat. Saya adalah korban dari penggusuran dusun sagu tersebut ucap Yakub, dilakukan oleh perusahaan pada bulan Desember 2023 saat kami sedang merayakan natal, dan hingga kini tidak ada upaya pemulihan dusun sagu kami dari pihak Perusahaan.

Sadrak Klawen, selaku Sekretaris Dewan Adat distrik Moi Segen mengatakan perusahaan yang sedang beroperaasi harusnya menghormati hak-hak masyararakat hukum adat Moi segabaimana diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Sorong Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan perlindungan Masyararakat Hukum Adat Moi di Kabupaten Sorong. Klawen juga berharap agar perusahaan yang saat ini sedang beroperasi bisa terbuka dan transparan terhadap pengelolaan plasma (20%) yang menjadi hak mereka.

Musyawarah tersebut diakhiri dengan pembacaan tuntutan dan pernyataan penolakan

Yakun Klagilit

Sadrak Klawen 

Hak-Hak Tradisional dalam Konstitusi: Saatnya RUU Masyarakat Adat Disahkan

“Hak-Hak Tradisional” dalam Konstitusi:

Saatnya RUU Masyarakat Adat Disahkan

[Jakarta, Rabu 17 April 2025] – Dalam semangat memperjuangkan keadilan konstitusional dan perlindungan menyeluruh bagi masyarakat adat di Indonesia, Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat menyelenggarakan Diskusi Publik Hak-Hak Tradisional Masyarakat Adat dan Urgensinya terhadap Upaya Mendorong Pengesahan RUU Masyarakat Adat. Kegiatan ini menjadi ruang reflektif sekaligus strategis untuk menggali kembali makna “hak-hak tradisional” dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, serta menegaskan pentingnya kehadiran payung hukum nasional yang melindungi eksistensi masyarakat adat.

Diskusi ini lahir dari keprihatinan atas ketidakjelasan definisi hukum terkait “hak-hak tradisional”, yang hingga kini belum sepenuhnya terjabarkan dalam peraturan perundang-undangan. Frasa ini, yang menggantikan istilah “hak asal-usul” pasca amandemen UUD 1945, menyimpan konsekuensi hukum dan sosial yang mendalam bagi pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan masyarakat adat.

“RUU Masyarakat Adat adalah wujud konkret dari amanat konstitusi. Tanpa undang-undang ini, pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat masih bersifat sektoral, lambat, diskriminatif, dan rawan menimbulkan konflik,” tegas Rina Mardiana, akademisi dari IPB University. Rina juga menyatakan bahwa masyarakat adat adalah masyarakat otohton yaitu masyarakat yang memiliki hubungan historis dan budaya yang kuat dengan wilayah tertentu, serta memiliki sistem hukum, sosial, dan ekonomi sendiri yang berbeda dari masyarakat di sekitarnya. Mereka memiliki hak atas tanah dan sumber daya alam secara tradisional, serta hak untuk mengatur diri sendiri. Mereka bukan dari pecahan dari negara atau pecahan kerajaan (eks-swapraja), pungkasnya.

Erwin dari Perkumpulan HuMa yang juga merupakan dari Koalisi menambahkan, “Istilah hak-hak tradisional tak hanya menyangkut tanah dan sumber daya, tapi juga hak untuk menentukan nasib sendiri. Ini mencakup hak politik, budaya, hingga spiritualitas komunitas adat.”.

Dia juga berpendapat bahwa dalam risalah sidang perubahan UUD, tidak dibahas hak-hak apa saja yang merupakan hak tradisional. Berdasarkan risalah sidang perubahan UUD 1945, dapat disimpulkan bahwa istilah “hak tradisional” memang dimaksudkan untuk membuat pengertian hak tersebut menjadi fleksibel, karena sampai akhir pengesahan Pasal 18B ayat (2) tidak disepakati secara rinci ruang lingkup hak tradisional.

Namun, ketidakhadiran kerangka hukum yang komprehensif membuat masyarakat adat tetap rentan. Di sisi lain, interpretasi terhadap konstitusi tidak dapat hanya mengandalkan pendekatan originalisme. Perlu pendekatan kontekstual agar norma konstitusi hidup dan relevan dengan dinamika zaman. “Namun, justru karena itu, negara punya kewajiban untuk memastikan dan memperjelas hak-hak apa saja yang secara inheren melekat pada Masyarakat Adat. Hak-hak ini adalah bagian dari Hak Asasi Manusia. Maka negara berkewajiban untuk menghormati, memenuhi, dan melindunginya”, tegas Erwin.

Realitas di lapangan semakin memperkuat urgensi ini. Di Sumba Timur, masyarakat adat menghadapi tantangan hilangnya akses terhadap sumber daya agraria akibat tidak adanya payung hukum tersebut. Dibutuhkan dukungan dari DPR RI untuk menciptakan payung hukum yang mengatur khusus terkait masyarakat adat. Triawan Umbu Uli Mekahati dari Koppesda Sumba menambahkan, “Sudah berbagai upaya kami tempuh, agar kedudukan Masyarakat Adat mendapatkan perlindungan dan pengakuan yang utuh, tapi tanpa dukungan regulasi nasional, kami hanya disikapi sebagai gangguan pembangunan”, tutup Triawan yang disapa Umbu Tri.

Potret Aktivitas Masyarakat Adat Meratus – Donny

Sementara itu, bagi Masyarakat Adat Pegunungan Meratus, wilayah adat yang ada saat ini sudah dapat menjamin kebutuhan hidup seperti untuk sandang, pangan, papan, obat-obatan, air minum dan lainnya. Masyarakat Adat menilai bahwa wilayah adat mereka di Pegunungan Meratus seluas kurang lebih 600 hektar merupakan ruang hidup yang tidak bisa dipisahkan dengan jiwa raga mereka.

Harnilis sebagai Tokoh Adat Meratus menyebutkan untuk mengelola sumber daya alam di Pegunungan Meratus di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Kalimantan Selatan, Masyarakat Adat kompak kerjasama antara laki-laki dan perempuan, serta tua dan muda melestarikan budaya-budaya yang sudah diwariskan secara turun temurun.

Tidak ada yang lebih kuat antara laki-laki dan perempuan, semuanya kuat dan penting. Tidak akan berhasil kita berkebun, berladang, mengadakan acara tanpa keduanya”, ungkap Harnilis.

Harnilis juga menjelaskan rencana penetapan wilayah adat mereka menjadi Taman Nasional atau kawasan konservasi oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Harnilis menegaskan bahwa Masyarakat Adat Dayak Meratus merupakan masyarakat yang cinta damai. Mereka siap membela dan mempertahankan wilayah adat mereka agar tidak menjadi kawasan konservasi milik negara.

Rencana penetapan wilayah adat menjadi Taman Nasional dinilai dapat mencederai Hak-Hak Tradisional Masyarakat Adat. “Hutan bukan hanya tempat hidup kami, tapi bagian dari kehidupan itu sendiri. Jika diambil, kami kehilangan segalanya,” tutup Harnilis, Tokoh Adat Meratus.

Hak-Hak Tradisional sebagaimana amanat UUD 1945 merupakan mandat konstitusi yang penting untuk mendorong pengesahan RUU Masyarakat Adat. Keadilan sosial harus ditegakkan bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa terkecuali bagi Masyarakat Adat. Tanpa payung hukum yang menjamin pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan Masyarakat Adat, Indonesia akan terus mengabaikan amanat konstitusi tersebut. Pemenuhan terhadap Hak-Hak Tradisional harus diwujudkan dalam bentuk pengesahan Undang-Undang Masyarakat Adat.

Narahubung: Anggi Prayoga (Ketua Tim Kampanye Koalisi Kawal RUU MA)

INTERNATIONAL WOMEN’S DAY 2025: PENGESAHAN RUU MASYARAKAT ADAT, JALAN KELUAR MEMASTIKAN RUANG PENGHIDUPAN PEREMPUAN ADAT

Jakarta, 8 Maret 2025 – Peringatan International Women’s Day (IWD) 2025 menjadi momentum penting bagi perjuangan hak Perempuan Adat di Indonesia. Dalam perayaan ini, seruan untuk segera mengesahkan Undang-Undang Masyarakat Adat kembali mengemuka sebagai langkah krusial dalam memastikan perlindungan dan pengakuan hak-hak Perempuan Adat.

Perempuan Adat memiliki peran vital dalam menjaga keberlanjutan lingkungan dan kedaulatan pangan. Mereka tidak hanya memanfaatkan hutan dan tanah, tetapi juga berperan sebagai penjaga budaya dan pengetahuan tradisional yang diwariskan secara turun-temurun. Namun, minimnya perlindungan hukum membuat ruang hidup mereka semakin terancam.

Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil Kawal RUU Masyarakat Adat, Veni Siregar, menegaskan bahwa RUU Masyarakat Adat yang telah diperjuangkan selama lebih dari dua dekade seharusnya segera disahkan sebagai bentuk pengakuan negara terhadap hak-hak Masyarakat Adat. “Tanpa payung hukum yang kuat, Masyarakat Adat, terutama Perempuan Adat, terus menghadapi ancaman kekerasan, diskriminasi, dan kriminalisasi saat memperjuangkan hak mereka,” ujar Veni.

Menurutnya, pengesahan UU Masyarakat Adat akan memberikan kepastian hukum atas wilayah adat serta mekanisme perlindungan dari perampasan tanah. Selain itu, UU ini juga akan memperkuat posisi Perempuan Adat dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan sumber daya alam.

Salah satu contoh keberhasilan peran Perempuan Adat dalam pengelolaan sumber daya alam dapat ditemukan di Komunitas Adat Toro, yang merupakan bagian dari Suku Kulawi di Sulawesi Tengah. Komunitas ini memiliki sistem adat yang kuat, di mana Perempuan Adat memegang otoritas penting dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Perempuan Adat Toro berwenang dalam perencanaan pertanian, penyelesaian konflik, serta pengaturan jadwal panen. Selain itu, dalam struktur sosial Toro, terdapat posisi tina ngata atau ibu kampung, yang memiliki peran dominan dalam pengambilan keputusan adat. “Setiap musyawarah kampung harus dihadiri oleh tina ngata, jika tidak, keputusan yang diambil dianggap tidak sah secara kultural,” jelas Rukmini Paata Toheke, salah satu Perempuan Adat Toro.

Menurut Rukmini, pengakuan terhadap peran Perempuan Adat dalam pengelolaan sumber daya alam harus diperkuat, terutama dalam kebijakan nasional. “Perempuan Adat harus mendapatkan ruang yang lebih besar dalam setiap diskusi mengenai sumber daya alam. Kesetaraan bagi Perempuan Adat harus diwujudkan dalam semua lini,” tegasnya.

Pada peringatan IWD 2025 ini, Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat menegaskan tiga tuntutan utama:

  1. Segera mengesahkan UU Masyarakat Adat sebagai bentuk perlindungan hak Masyarakat Adat, khususnya Perempuan Adat.
  2. Menghentikan kekerasan dan kriminalisasi terhadap Perempuan Adat yang kerap terjadi saat mereka memperjuangkan hak-haknya.
  3. Memastikan ruang penghidupan yang aman dan berkeadilan bagi Perempuan Adat, agar mereka dapat terus menjalankan peran mereka dalam menjaga alam dan budaya.

Tim Kampanye Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, Yael Stefany, menegaskan bahwa Perempuan Adat di berbagai daerah telah membuktikan ketangguhan mereka dalam melindungi tanah dan hutan. “Sejumlah komunitas adat telah berhasil mengelola hutan adat secara berkelanjutan, menjaga biodiversitas, serta membangun ekonomi berbasis kearifan lokal,” ujar Yael.

Ia menambahkan bahwa contoh seperti Komunitas Adat Toro menunjukkan bahwa Perempuan Adat bukan hanya penjaga lingkungan, tetapi juga pemimpin dalam pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. “Di momen Hari Perempuan Internasional 2025 ini, mari kita tegaskan komitmen nyata dengan segera mengesahkan UU Masyarakat Adat sebagai langkah krusial untuk melindungi, memberdayakan, dan mengakui peran penting Perempuan Adat dalam menjaga budaya, lingkungan, dan keberlanjutan komunitas mereka,” pungkas Veni Siregar.

Peringatan IWD 2025 menjadi ajang untuk memperkuat solidaritas dan mendesak pemerintah agar segera mengambil tindakan nyata dalam melindungi hak-hak Perempuan Adat. Dengan adanya perlindungan hukum yang jelas, Perempuan Adat dapat terus berperan dalam menjaga keberlanjutan lingkungan dan keberlanjutan hidup komunitas mereka.

PUBLIK MENGHARAPKAN MAHKAMAH AGUNG MEMBERIKAN PUTUSAN YANG ADIL UNTUK SORBATUA SIALLAGAN

Massa Aksi yang tergabung dalam aksi “Solidaritas Masyarakat Sipil Untuk Sorbatua Siallagan”

Hari ini, Rabu 26 Februari 2025 publik yang tergabung dalam SOLIDARITAS MASYARAKAT SIPIL UNTUK SORBATUA SIALLAGAN mendatangi  Mahkamah Agung RI di kawasan Jakarta Pusat. Ini dalam rangka melakukan aksi damai untuk meminta keadilan dari Mahkamah Agung terkait dengan perkara Sorbatua Siallagan (Ketua Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan di Dolok Parmonangan, Kab. Simalungun, Sumatera Utara)  yang saat ini sedang berproses di tingkat kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Judianto Simanjuntak, pengacara publik dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) menyatakan sebagaimana diketahui bersama pada tanggal 14 Agustus 2024, menjelang 3 (tiga) hari Kemerdekaan Indonesia ke 79,  Majelis Hakim Pengadilan Negeri Simalungun membacakan putusan yang melukai  rasa keadilan masyarakat khususnya bagi Sorbatua Siallagan. Melalui putusannya Nomor: 155/pid.Sus/LH/2024/PN.Sim, Majelis Hakim menyatakan  menghukum Sorbatua Siallagan bersalah melakukan tindak pidana mengerjakan dan menduduki kawasan hutan dengan hukuman penjara selama 2 (dua) tahun dan denda sebesar Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah), dengan ketentuan apabila tidak dibayar maka diganti dengan kurungan selama 6 (enam) bulan. Putusan tersebut keliru dan menyesatkan, sebab fakta sejarah menunjukkan komunitas masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan yang dipimpin Sorbatua Siallagan lebih dahulu mendiami dan mengelola wilayah adatnya yang merupakan warisan nenek moyangnya dari kehadiran PT. Toba Pulp Lestari (PT. TPL), yaitu sejak tahun 1700-an. Saat ini, generasi yang mendiami Huta Dolok Parmonangan sudah generasi ke-XI (sebelas) dari ketiga anak Raja Ompu Umbak Siallagan.

Tapi ada 1 (satu) orang hakim berbeda pendapat atau sering  disebut Dissenting Opinion yaitu Hakim anggota Agung Cory Fondara Dodo Laia, S.H., M.H., yang menyatakan, “apabila belum dilakukan sosialisasi mengenai izin Kawasan Hutan Produksi yang dimiliki TPL kepada Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan Tetap, maka tindak pidana mengerjakan, menduduki, menguasai Kawasan  kawasan hutan tidak bisa dikenakan kepada Terdakwa”. Pendapat hakim yang berbeda ini menunjukkan sebenarnya Sorbatua Siallagan tidak melakukan tindak  pidana mengerjakan dan menduduki kawasan hutan, ujar Judianto Simanjuntak

Lebih lanjut Judianto menjelaskan bahwa Sorbatua Siallagan tidak  menerima Putusan Pengadilan Negeri Simalungun tersebut karena faktanya Sorbatua Siallagan tidak melakukan tindak pidana sehingga mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi Medan. Upaya hukum banding tersebut akhirnya mendatangkan keadilan bagi Komunitas masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan  dan Sorbatua Siallagan. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Medan memutuskan: 1. Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Medan. 2. Menyatakan perbuatan Sorbatua Siallagan BUKAN PERBUATAN PIDANA melainkan perbuatan perdata. 3. Melepaskan Sorbatua Siallagan dari segala tuntutan Jaksa Penuntut Umum. 4. Memerintahkan Jaksa Penuntut Umum agar MEMBEBASKAN BAPAK SORBATUA SIALLAGAN DARI RUMAH TAHANAN NEGARA. Putusan Pengadilan Tinggi Medan diucapkan pada tanggal 17 Oktober 2024 dengan Nomor : 1820/Pid.Sus-LH/2024/PT MDN.

Saat ini perkara Sorbatua Siallagan sedang berproses di tingkat kasasi Mahkamah Agung  RI karena Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Simalungun mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung, kata Judianto Simanjuntak.

Sinung Karto (Divisi Penanganan Kasus Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara/PB AMAN) menyatakan putusan Pengadilan Negeri Simalungun sangat tidak adil bagi komunitas masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan khususnya bagi Sorbatua, sebab keberadaan masyarakat adat dilindungi dalam konstitusi yaitu Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945 dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945,  UU No 39 Tahun 1999 Tentang Ham, dan instrumen hukum lainnya. Sebaliknya Putusan Pengadilan Tinggi Medan tersebut layak diapresiasi karena mencerminkan rasa keadilan bagi Sorbatua Siallagan dan komunitas masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan, sebab yang dilakukan Sorbatua Siallagan hanya mengelola wilayah adatnya, itu bukan tindak pidana, dan hal itu dilindungi  konstitusi  dan berbagai  instrumen hukum lainnya. 

Menurut Sinung Karto, kriminalisasi yang dialami Sorbatua Siallagan merupakan akibat ketiadaan Undang-Undang Tentang Masyarakat Adat. Itulah akar persoalan karena tidak ada payung hukum melindungi masyarakat adat di seluruh Nusantara. Akibat ketiadaan Undang-Undang Tentang Masyarakat Adat telah menimbulkan konflik masyarakat adat dengan korporasi yang mengakibatkan perampasan wilayah adat, dan kriminalisasi masyarakat adat  di seluruh nusantara, termasuk kriminalisasi terhadap Sorbatua Siallagan. 

Karena itulah Sinung Karto mendesak Presiden RI dan DPR RI agar segera membahas dan mengesahkan RUU Masyarakat Adat.  Presiden RI dan DPR RI harus melaksanakan kewajiban konstitusionalnya membentuk Undang-Undang Tentang Masyarakat Adat. Ini mandat dan perintah konstitusi sebagaimana diatur dalam pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Selain itu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan terhadap UUD 1945, Tanggal 16 Mei 2023 menyatakan urgensi pembentukan Undang-Undang Tentang Masyarakat Adat, yakni sebagai konsekuensi perintah UUD 1945 dan mencegah dampak negatif terhadap masyarakat adat

Mufti Fathul Barri, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia (FWI) menilai proses hukum terhadap Sorbatua Siallagan sampai berproses saat ini di Mahkamah Agung di luar nalar hukum sebab sampai saat ini kawasan yang dimaksud baru sebatas penunjukan dan belum ada penetapan kawasan hutan tepatnya di konsesi PT. TPL Sektor Aek Nauli yang menjadi objek lahan yang disengketakan dengan Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan. Padahal menurut  Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 bahwa pengukuhan kawasan hutan melalui beberapa tahapan yaitu:  penunjukan kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan dan penetapan kawasan. Sedangkan penunjukan kawasan hutan merupakan proses awal suatu wilayah tertentu menjadi Kawasan hutan dan peta tata batas.

Sisi lain konflik  masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan dengan PT. TPL  sedang dalam proses penyelesaian yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup RI melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor SK 352/MENLHK/SETJENKUM.1/6/2021 Tentang Langkah-Langkah Penyelesaian Permasalahan Hutan Adat dan Pencemaran Limbah Industri di Lingkungan Danau  Toba, tanggal 21 Juni 2021, salah satunya penyelesaian konflik masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan dengan PT. TPL. Karena itulah konflik  masyarakat adat ompu Umbak  Siallagan dengan PT. TPL bukan ranah pidana, tetapi penyelesaiannya secara administrasi yang merupakan kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup RI  dan Kementerian Kehutanan RI.

Oleh karena itu, Julius Ibrani Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), menilai bahwa proses hukum terhadap Sorbatua Siallagan merupakan bentuk pengingkaran dan pengabaian negara atas kewajibannya untuk melindungi, mengakui, dan menghormati keberadaan serta hak-hak masyarakat adat sebagaimana dijamin dalam konstitusi dan berbagai instrumen hukum nasional maupun internasional. Kasus ini menunjukkan dengan jelas bagaimana aparat penegak hukum berperan sebagai alat kriminalisasi terhadap masyarakat adat, alih-alih menjalankan tugasnya untuk melindungi dan menjamin akses mereka terhadap keadilan. Pola kriminalisasi yang berulang semacam ini semakin memperkuat impunitas terhadap pelanggaran hak-hak masyarakat adat dan menampilkan lemahnya komitmen negara dalam menegakkan prinsip-prinsip hak asasi manusia di Indonesia, terutama dalam memastikan hak atas tanah, sumber daya alam, dan kelangsungan hidup masyarakat adat yang terus terancam oleh kepentingan oligarki.

Elisabet Simanjutak selaku pimpinan aksi yang juga dari Sekretariat Nasional Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) menyatakan aksi di Mahkamah Agung ini merupakan kegelisahan dari publik atas terjadinya berbagai kriminalisasi kepada masyarakat adat di seluruh nusantara yang mendiami dan mengelola wilayah adatnya sebagai warisan nenek moyangnya, khususnya  yang dialami Sorbatua Siallagan.

Dalam kesempatan ini kami SOLIDARITAS MASYARAKAT SIPIL UNTUK SORBATUA SIALLAGAN mengharapkan Mahkamah Agung RI sebagai kekuasaan kehakiman yang merdeka agar menjaga netralitas dan independensinya menegakkan hukum demi untuk mendatangkan keadilan bagi Sorbatua Siallagan. Kami mengharapkan Mahkamah Agung RI menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor: 1820/Pid.Sus-LH/2024/PT MDN, tanggal 17 Oktober 2024 yang melepaskan Sorbatua Siallagan dari segala tuntutan Jaksa Penuntut Umum, ungkap Elisabet Simanjutak.

Jakarta, 26 Februari 2025

Hormat Kami

SOLIDARITAS MASYARAKAT SIPIL UNTUK SORBATUA SIALLAGAN:

  1. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
  2. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Tano Batak
  3. Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara   (BAKUMSU)
  4. Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagandi Dolok Parmonangan, Kab. Simalungun, Sumatera Utara
  5. Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita (Lamtoras), Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara
  6. Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN)
  7. Aliansi Gerak Tutup TPL
  8. Forest Watch Indonesia (FWI)
  9. Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI)
  10. Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)
  11. Bidang Keadilan dan Perdamaian Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (BKP-PGI)
  12. Sayogo Institute
  13. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Krisnayana
  14. Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (BEM FH-UI)
  15. Yayasan Forum Adil Sejahtera (YFAS)
  16. Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen (JKLPK) Indonesia
  17. Public Interest Lawyer Network (PIL-NET) Indonesia
  18. Yayasan Diakonia Pelangi Kasih (YDPK)
  19. Perkumpulan HuMa Indonesia
  20. WeSpeakUp.org
  21. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
  22. Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat
  23. Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM)
  24. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Sumatera Utara (Kontras Sumut)
  25. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan
  26. Wahana Lingkungan Hidup Sumatera Utara (WALHI SUMUT)
  27. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Komisariat UNIKA SEJAJARAN (GMNI UNIKA SEJAJARAN)
  28. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (GMNI FH-USU)
  29. Aksi Kamisan Medan
  30. Perempuan AMAN Sumatera Utara
  31. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Sumatera Utara (AMAN SUMUT)
  32. Yayasan Srikandi Lestari

Peran dan Aspirasi Pemuda Adat Menghadapi Tantangan Masa Depan

Cindy Yohana dari Sekretariat Nasional Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) menyampaikan pandangannya dalam sesi Gelar Wicara bertajuk “Peran dan Aspirasi Pemuda Adat Menghadapi Tantangan Masa Depan” pada Seminar MBKM RIMBAHARI 2025

Pada Senin, 17 Februari 2025, Program Studi Sarjana Departemen Antropologi FISIP Universitas Indonesia bekerja sama dengan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) akan melaksanakan Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) program tersebut di beri judul RIMBAHARI – Research Initiatives on Management of Biocultural Heritage and Resilient Innovations. Dalam rangka program ini, akan diadakan SeminarMBKM RIMBAHARI 2025: Diversitas Biokultural dan Masyarakat Adat, yang berlangsung di Auditorium Mochtar Riady, Gedung C Lantai 2, Kampus UI Depok. Salah satu sesi utama dalam seminar ini adalah gelar wicara bertajuk “Peran dan Aspirasi Pemuda Adat Menghadapi Tantangan Masa Depan”, yang menghadirkan Cindy Yohana dari Sekretariat Nasional Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) serta bersama pemuda adat lainnya.

Dalam berbagai diskusi mengenai masyarakat adat, peran pemuda sering kali kurang mendapat sorotan. Namun, di tengah tantangan modernisasi dan eksploitasi sumber daya alam, pemuda adat justru menjadi garda terdepan dalam mempertahankan hak-hak komunitas mereka. Dalam seminar ini, para pemuda adat berbagi pengalaman dan strategi dalam menghadapi dilema identitas, tekanan ekonomi, serta tantangan sosial dan lingkungan. Cindy Yohana, mewakili BPAN, menekankan bahwa pemuda adat memiliki peran ganda dalam menjaga keberlanjutan komunitas mereka. “Kami bukan hanya pewaris tradisi, tetapi juga penggerak perubahan,” ujar Cindy. Pemuda adat harus terus mengawal hak-hak masyarakat adat, memperjuangkan pengakuan wilayah adat, dan memastikan bahwa keputusan politik dan hukum yang dibuat oleh pemerintah berpihak pada keberlangsungan budaya serta lingkungan mereka.

Pemuda adat menghadapi berbagai tantangan, mulai dari isu identitas yang terus berkembang akibat modernisasi, keterbatasan akses terhadap pendidikan dan sumber daya, hingga tekanan ekonomi yang sering kali menghambat keterlibatan mereka dalam komunitas. Dilema ini semakin kompleks ketika ekspektasi sosial dari masyarakat dan persepsi dari pihak luar terhadap mereka sebagai pemuda adat menimbulkan tekanan tersendiri. Sementara itu, dalam komunitas mereka sendiri, pemuda adat harus berjuang untuk mendapatkan peran dalam pengambilan keputusan serta menjaga keberlanjutan budaya dan bahasa mereka. Hambatan lainnya datang dari eksploitasi sumber daya alam dan perubahan iklim, yang mengancam kelestarian lingkungan serta hak atas tanah adat mereka.

Sebagai langkah maju, seminar ini menyoroti pentingnya kolaborasi antara pemuda adat, akademisi, dan aktivis dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat adat. Strategi yang dapat ditempuh mencakup peningkatan pendidikan dan kapasitas kepemimpinan pemuda adat, pembangunan jaringan advokasi yang lebih luas, serta pemanfaatan teknologi dan media sosial untuk menyuarakan perjuangan mereka. Pemuda adat harus aktif dalam pengambilan keputusan dan memperkuat peran mereka sebagai agen perubahan, bukan hanya menjadi objek dalam wacana pembangunan.

Seminar MBKM RIMBAHARI 2025: Diversitas Biokultural dan Masyarakat Adat menjadi momentum penting dalam memperkuat posisi pemuda adat dalam menjaga warisan biokultural mereka. BPAN menegaskan bahwa perjuangan ini tidak hanya untuk masa kini, tetapi juga untuk memastikan bahwa generasi mendatang dapat tetap hidup dalam harmoni dengan identitas dan tanah leluhur mereka. Dengan semangat kolaborasi dan ketahanan yang kuat, pemuda adat akan terus berjuang demi keberlanjutan komunitas dan hak-hak masyarakat adat di masa depan.

Masyarakat Adat Onan Harbangan Menjadi Korban Kekerasan oleh PT TPL: Penegakan Hukum Dipertanyakan!!!

Onan Harbangan, Desa Pohan Jae, Kecamatan Siborong-borong, Tapanuli Utara (20/01/2025)Masyarakat Adat Onan Harbangan kembali menjadi korban kekerasan dalam konflik lahan dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL). Insiden ini terjadi saat pihak perusahaan melakukan upaya penanaman paksa bibit eucalyptus di wilayah adat yang diklaim masyarakat setempat. Tindakan tersebut memicu bentrokan, di mana petugas keamanan PT TPL dilaporkan menggunakan kayu yang telah dipersiapkan sebelumnya untuk menyerang Masyarakat Adat.

Foto dan video yang beredar menunjukkan masyarakat dipukuli secara brutal oleh petugas keamanan. Peristiwa ini telah menambah daftar panjang pelanggaran hak asasi manusia terhadap Masyarakat Adat di Nusantara, yang berjuang mempertahankan wilayahnya dari ancaman perusahaan besar.

Kini, Masyarakat Adat Onan Harbangan yang terluka akibat kekerasan tersebut sedang dalam perjalanan menuju Polres Tapanuli Utara untuk membuat laporan resmi. Namun, muncul pertanyaan besar: apakah aparat penegak hukum akan serius menangani kasus ini dan menghukum pelaku kekerasan? Ataukah, seperti yang sering terjadi, justru masyarakat adat yang akan didiskriminasi dan dihadapkan pada proses hukum yang tidak adil?

Siklus kekerasan yang dialami Masyarakat Adat Onan Harbangan mencerminkan masalah yang lebih luas. RUU Masyarakat Adat, yang bertujuan melindungi hak-hak adat, hingga kini belum disahkan oleh DPR dan Presiden. Hal ini semakin memperburuk keadaan, terutama ketika negara terlihat lebih memihak pada kepentingan korporasi dengan dalih investasi, alih-alih melindungi rakyatnya sendiri.

Seruan untuk menutup operasional PT TPL semakin menggema, terutama dari Masyarakat Adat dan aktivis yang peduli terhadap keberlanjutan lingkungan dan perlindungan hak asasi manusia. Mereka mendesak agar pemerintah segera mengambil langkah tegas untuk melindungi Masyarakat Adat dan menuntaskan konflik yang telah berlangsung bertahun-tahun.

“Tutup PT TPL, si perampas wilayah adat milik masyarakat adat di Tanah Batak, dan segera sahkan RUU Masyarakat Adat! Pemerintah harus menjalankan amanat konstitusi untuk melindungi masyarakat adat dari kejahatan negara dan korporasi,” ujar salah satu tokoh adat dalam pernyataannya.

Situasi di Onan Harbangan masih terus berkembang, dengan harapan besar agar aparat hukum benar-benar menegakkan keadilan tanpa memihak. Masyarakat Adat dan pendukungnya kini menunggu respons nyata dari pihak berwenang atas kasus ini.

PD BPAN Banten Kidul Menggelar Jambore Daerah II di Kasepuhan Lebak Larang

Pengurus Daerah Barisan Pemuda Adat Nusantara (PD BPAN) Banten Kidul sukses melaksanakan Jambore Daerah (Jamda) II, yang diikuti oleh para Pemuda Adat Banten Kidul serta Masyarakat Adat setempat. Acara ini berlangsung di Kasepuhan Lebak Larang, Desa Mekarsari, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, pada Minggu (29/12/2024).

Kegiatan ini dihadiri oleh Pemuda Adat dari berbagai komunitas, termasuk Kasepuhan Lebak Larang, Karang Nunggal, Cisungsang, Cisitu, Ciptamulya, Gelar Alam, Cicarucub, Bayah, Ciherang, dan Kasepuhan Bongkok. Selain itu, Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Banten Kidul dan Ketua Pengurus Nasional BPAN juga turut hadir.

Dalam Jamda ini, saudara Anas Sopian terpilih sebagai Ketua PD BPAN Banten Kidul periode 2024-2028. Kegiatan ini mengusung tema “Miindung ka Waktu, Mibapa ka Zaman,” yang mencerminkan semangat menjaga nilai-nilai adat di tengah perubahan zaman.

Jamda II PD BPAN Banten Kidul merupakan bagian dari proses kaderisasi bagi Pemuda Adat yang ingin bergabung dengan Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN). Agenda utama kegiatan ini meliputi pelaporan kepengurusan PD BPAN Banten Kidul selama masa jabatan, serta pemilihan kepengurusan baru untuk periode berikutnya.

Aang Anggra Hariyana, Ketua PD BPAN Banten Kidul yang akan segera mengakhiri masa jabatannya, menyatakan bahwa Jambore ini bukan hanya untuk anggota BPAN, tetapi juga untuk semua pemuda yang peduli terhadap adat di Banten Kidul.

“Pemuda Adat jangan sampai kehilangan jati diri. Kehilangan ini bukan berarti hilangnya generasi, melainkan pudarnya kesadaran akan adat dan tradisi yang diwariskan leluhur. Banyak Pemuda Adat yang mulai tergerus arus zaman, merasa tidak lagi bangga dengan identitas adat mereka. BPAN hadir untuk mengembalikan kebanggaan itu dan memberikan ruang bagi mereka untuk berkembang,” ujarnya.

Aang menyoroti tantangan yang dihadapi Pemuda Adat dalam menjaga identitas mereka di tengah derasnya arus modernisasi. Pemuda Adat mulai meninggalkan pakaian adat seperti udeng dan pangsi, yang dianggap “tidak keren” dibandingkan dengan jas, dasi, atau fashion modern.

“Kita telah terpengaruh framing dunia luar yang menganggap pakaian adat kuno atau kampungan. Sebaliknya, kita harus bangga dengan identitas kita sebagai Masyarakat Adat. Namun, ini tidak berarti kita menutup mata terhadap perkembangan zaman,” tambahnya.

Bangbang Sugentry, Kepala Bidang OKK PD AMAN Banten Kidul, menegaskan bahwa BPAN merupakan salah satu organisasi sayap dari AMAN yang mewadahi Pemuda Adat.

“BPAN adalah ruang bagi Pemuda Adat untuk berkumpul, berdiskusi, dan berinovasi demi kemajuan bersama. Saya berharap kader-kader baru ini benar-benar peduli terhadap adat dan dapat menunjukkan eksistensinya dengan bangga,” ujarnya.

Hero Aprila, Penjabat Ketua Pengurus Nasional BPAN, dalam sambutannya menekankan pentingnya semangat juang bagi kader BPAN.

“Kita, Pemuda Adat, harus bisa berinovasi tanpa meninggalkan identitas kita. BPAN adalah wadah untuk menjaga dan merawat wilayah adat kita serta memperjuangkan hak-hak Masyarakat Adat. Pemuda Adat harus menjadi garda terdepan dalam upaya ini,” tegasnya.

Ari Fadilah, salah satu kader PD BPAN Banten Kidul, berharap bahwa kegiatan Jamda II dapat memperkuat solidaritas di antara Pemuda Adat.

“Banten Kidul memiliki wilayah adat yang luas, meliputi empat kabupaten dan dua provinsi. Dengan adanya BPAN, kami bisa saling mengenal, bekerja sama, dan menjaga warisan budaya leluhur bersama-sama,” ucapnya.

Jamda II PD BPAN Banten Kidul menjadi momentum penting untuk memperkuat peran Pemuda Adat dalam menjaga tradisi dan menghadapi tantangan modernisasi. Acara ini tidak hanya mempererat hubungan antar-komunitas adat, tetapi juga memberikan semangat baru bagi generasi muda untuk terus melestarikan budaya adat mereka.

Penulis: Dika Setiawan (Jurnalis Masyarakat Adat & Tim Infokom PD AMAN Banten Kidul)

Editor: RH (Infokom Seknas BPAN)

Masyarakat Adat Pulau Rempang Kembali Diserang, Banyak Korban Luka dan Kendaraan Dirusak

Puluhan orang menyerang sejumlah posko warga yang menolak relokasi proyek Rempang Eco City di Kampung Sembulang Hulu dan Kampung Sei Buluh, Kelurahan Sembulang, Kecamatan Galang, Rabu dini hari (18/12/2024).

Batam, 18 Desember 2024—Masyarakat Adat Pulau Rempang kembali menjadi korban kekerasan dalam insiden yang terjadi pada Selasa dini hari sekitar pukul 00.50 WIB. Peristiwa tragis ini diduga dilakukan oleh puluhan orang yang terindikasi sebagai pegawai PT Makmur Elok Graha (MEG)

Berdasarkan data sementara, serangan tersebut menyebabkan kerusakan pada beberapa posko warga di Kampung Sembulang Hulu, Kampung Sei Buluh, Kelurahan Sembulang, Kecamatan Galang, serta Pasir Merah. Selain itu, setidaknya delapan warga mengalami luka-luka dan telah dilarikan ke rumah sakit terdekat. Berikut adalah rincian korban:

Rincian Korban:

Kampung Sembulang Hulu:

  1. Satu orang mengalami luka ringan.
  2. Satu orang mengalami luka parah.

Posko Pak Sutaji:

  1. Dua orang mengalami luka sobek di kepala.
  2. Satu orang mengalami patah tangan.

Kampung Sei Buluh:

  1. Dua orang mengalami luka sobek di kepala.

Pasir Merah:

  1. Satu orang terkena panah.

Tak hanya itu, belasan kendaraan bermotor milik warga juga dirusak oleh pelaku.

Atas peristiwa kekerasan yang berulang ini, masyarakat Kampung Tua Rempang bersama organisasi masyarakat sipil menyerukan langkah-langkah tegas dari pemerintah dan lembaga terkait. Adapun tuntutan tersebut adalah:

  1. Presiden Prabowo Subianto dan DPR RI untuk memastikan perlindungan bagi masyarakat adat dan tempatan di Pulau Rempang atas wilayah adat mereka, serta membatalkan seluruh rencana pengembangan Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco-City.
  2. Kapolri untuk memerintahkan jajaran kepolisian melakukan penegakan hukum secara serius dan tegas terhadap seluruh peristiwa intimidasi dan kekerasan yang dialami masyarakat adat Pulau Rempang.
  3. Komnas HAM untuk mengawasi dan mengambil tindakan tegas atas rentetan pelanggaran HAM di Pulau Rempang, sekaligus memastikan skema perlindungan bagi seluruh masyarakat adat di wilayah tersebut.

Menanggapi peristiwa ini, Pj. Ketua Umum Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) menyampaikan kecaman keras terhadap tindakan kekerasan tersebut.

“Kami mengecam keras tindakan puluhan orang (diduga pegawai PT. MEG) yang menyerang masyarakat adat Pulau Rempang. Akibat serangan ini, terdapat korban dengan luka patah tangan, luka sobek di kepala, hingga terkena serangan busur panah,” tegasnya.

Narahubung Solidaritas Nasional untuk Rempang:

  1. LBH Pekanbaru: +62 812 6643 8036
  2. WALHI Riau: +62 822 8824 5828

Kejadian ini menegaskan perlunya perhatian serius dari pemerintah dan semua pihak terkait untuk menghentikan intimidasi dan kekerasan terhadap masyarakat adat. Masyarakat Adat Pulau Rempang dan seluruh pendukungnya akan terus bersuara hingga keadilan dan perlindungan yang layak terwujud.

KONTAK KAMI

Sekretariat Jln. Sempur 58, Bogor
bpan@aman.or.id
en_USEnglish