Camat Sausu Apresiasi Gerakan AMAN dan BPAN Bantu Korban Bencana di Parimo

Bpan.aman.or.id PARIMO – Tim tanggap darurat dan evakuasi dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyerahkan logistik sembako di Dusun Satu Sausu Piore, Desa Sausu, Kecamatan Sausu, Kabupaten Parimo, Minggu (4/11), penyerahan tersebut dihadiri langsung oleh Camat Sausu dan Pemuda Adat.

Pantauan Tim Tanggap Darurat, Senin (5/11) sejumlah warga sedang membetulkan rumahnya yang terkena dampak gempa di Sulawesi Tengah. Selain itu, sebagian warga juga sedang mencari air ke sungai untuk dimasak.

Kepala Dusun Satu Sausu Abdul Khadir mengatakan bahwa saat ini belum ada bantuan yang diberikan oleh pemerintah daerah atau pun pusat, menurut Khadir di Dusun Satu Sausu ada sekitar lima rumah yang mengalami retak-retak.

“Untuk saat ini, kita sangat kelulitan air bersih, karena dampak dari gempa air menjadi keruh,”ucap Khadir.

Sementara itu, Camat Sausu Lahaba sangat mengapresiasi bantuan sembako (beras, gula, garam, minyak goreng) yang diberikan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan organisasi sayap. Menurut Lahaba tim dari AMAN yang turun ke lokasi korban bencana bisa mengurangi beban warganya dan AMAN bisa memberikan contoh yang baik untuk ormas lain dan pemerintah dalam merespon bencana gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah.

.”Saya apresiasi respon dan tindakan yang dilakukan AMAN maupun BPAN. Bantuan ini, tentu sangat membantu korban bencana, semoga dengan pedataan yang dilakukan AMAN dalam merespon gempa dan tsunami ini bisa meringankan korban yang terkena dampak gempa.”terang Lahaba.

Dikatakan Lahaba, dirinya juga telah mendata dan melakukan pengajukan bantuan ke pemerintah daerah. Tujuanya agar warga bisa mendapatkan pelayanan yang baik terutama air bersih dan kebutuhan pokok lainya.

“Kalau untuk rumah di Dusun Satu Sausu ada lima rumah yang rusak, kita sudah data itu dan coba ajukan. Saya berharap AMAN bisa terus konsisten berjuang digerakan sosial untuk masyarakat,”harapnya.

Penulis : Samsudin Pakis

Lembaga Adat PPU, Pertunjukan Mewarnai dan Menggambar Langkah Positif Pertahankan Identitas

Bpan.aman.or.id PENAJAM – Ketua Lembaga Adat Paser (LAP) Musa apresiasi acara pertunjukan mewarnai dan menggambar tingkat Kabupaten yang diikuti oleh Paud, SD dan SMP yang diselenggarakan oleh pengurus Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) 10 November 2018 mendatang. Ia menilai kegiatan tersebut nanti sebagai ajang promosi dalam melestarikan budaya daerah.

“Pada era globalisasi identitas budaya menjadi penting. Maka saya kira yang dilakukan BPAN PPU sangat baik, itu merupakan salah satu cara mengedepankan keragaman budaya Indonesia,” ungkap Musa usai menerima ketua BPAN PPU Asnan di Seketariat LAP, Kamis (18/10) sekira pukul 14.30 WIT.

Musa mengatakan bahwa dirinya merupakan salah satu yang memiliki minat dalam mengembangkan dan melestarikan budaya daerah. Menurut Musa kegiatan tersebut sebagai bentuk promosi dan memperkenalkan kebudayaan di Paser ada.

”Budaya sebagai kekuatan identitas agar kita tidak tergerus oleh budaya-budaya asing yang akan memecah belah bangsa. Dimana budaya bisa mempertahankan kebhinekaan,” jelasnya.

Di Tempat yang sama Ketua Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Penajam Paser Utara (PPU) Asnan mengatakan bahwa kegiatan penampilan menggambar ini akan bekerja sama dengan Dinas Pariwisata Kabupaten.

Menurut Asnan, penyelenggaraan penampilan menggambar ini juga Sebagai program kerja BPAN Paser mendafatkan dukungan dari Lembaga Adat Paser.

“Harapan saya dengan pertunjukan menggambar Budaya ini dapat memperkenalkan budaya daerah, khususnya budaya paser kepada Adik-adik di PAUD, SD dan SLTP,”terang Asnan.

Acara tersebut nantinya akan di laksanakan pada 10 November 2018 di Taman Pasar Induk Penajam. Kegiatan tersebut juga akan berbarengan dengan Nondoi yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah. Dalam acara tersebut juga akan menampilkan banyak kesenian dari daerah lain, diantaranya yaitu kesenian dari pulau Sumartra, Sulawesi dan Pulau Jawa.

“Tujuan kami untuk mendekatkan budaya Paser kepada masyarakat Penajam dan masyarakat luar, selain itu juga memperkenalkan kepada negara-negara luar tentang pelestarian budaya,”tungkas Asnan.

Penulis : Eko

AMAN Gerakan Organisasi Sayap Tangani Bencana di Sulteng

Bpan.aman.or.id PALU – Alianisi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), bersama organisasi sayap Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), Perempuan AMAN melakukan rapat. Tujuannya untuk melakukan langkah penenganan bencana di komunitas adat yang terkena dampak bencana Palu dan Donggala, Sulawesi (2/11) sekira pukul 10.WITA. Dalam agenda tersebut ada tujuh pengurus daerah yang hadir.

Ketua Badan Harian (BPH) Wilayah Aliansi Masyarakat Aadat Nusantara (AMAN) Sulawesi Tengah Asran sangat menyambut baik tentang dibentuknya tim tanggap darurat, menurutnya tim itu sangat membantu dalam melakukan evakuasi.

“Kita telah membuka posko selama satu bulan di Kantor PW AMAN, harapnya beberapa yang terkena dampak gempa, AMAN bisa membantu komunitasnya.”kata Asran.

Di tempat yang sama, Annas Rasidin Korrdinator Tanggap Bencana dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan kita akan membantu dan merespon akan tetapi harus melakukan pendataan anggota komunitas yang terekana dampak gempa di Sulawesi Tengah.

”Kita akan data dan pastikan komunitas mana yang terekana dampak, apa yang kita bisa bantu dan penanganan apa yang bisa kita lakukan, seperti contoh kebutuhan mendesak makanan, tempat tinggal sementara, sarana air bersih, tenda, selimut, terutama makanan untuk bayi, obat-obatan, pasokan air serta yang berkaitan dengan listrik.”ujar Annas.

Dikatakan Annas, AMAN juga akan menyesuaikan bantuan yang dikiranya mereka bisa lakukan sesuai dengan kemapuan, menurut Annas yang paling penting dalam tanggap darurat itu masyarakat adat di sini tidak kelaparan sehingga tidak sakit dan dipastikan ketersediaan logistik.

”Kalau nantinya kita mempunyai data tentu lebih mudah dalam melakukan penanganannya, karena kalau pun AMAN tidak bisa membantu nantinya akan berkordinasi dengan lembaga lain yang bersedia membantu.”terang Annas.

Ditambahkan Annas, penanganan bencana di sini sebenarnya bisa kita lakukan lewat sayap-sayap AMAN yang ada di sini, seperti BPAN dan Perempuan AMAN, menurut Annas minimal dari setiap daerah ada tiga atau empat orang yang bisa koordinasi dengan tim tanggap darurat.

”Pembuatan tim bencana ini, agar memudahkan AMAN juga dalam merespon kondisi yang terkena dampak gempa agar terkordinis,”ungkap Annas.

Sementara itu, Samsudin Ketua Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Wilayah Sulawesi Tengah mengatakan bahwa kita anak muda di sini, tetap terus bergerak beriringan dengan AMAN sebagai organisasi Induk, selama ini kita bergerak selalu berkordinasi dengan ketua PW dan PD.

”Kebetulan anak muda di sini banyak yang ikut terlibat dan memang poskonya kita gabungkan di AMAN Sulteng,”terang Samsudin.

Samsudin juga menyampaikan rasa terimakasih kepada kawan-kawan BPAN dari wilayah lain seperti BPAN Minahasa, BPAN Kalbar, Bengkulu dan yang lain-ain yang ikut melakukan solidaritas dalam melakukan penangganan bencana cepat selama ini.

”Saya apresiasi tanggap darurat ini dan menyampaikan rasa terima kasih kepada kawan-kawan BPAN, AMAN dan Perempuan AMAN.”tutup Samsudin.

Penulis : Sisi Boka Anggota BPAN

Lakukan Konsolidasi BPAN, Ini Pesan Dewan Pemuda Adat Nusantara

Bpan.aman.or.id LOMBOK – Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Wilayah Bali Nusa menggelar konsolidasi dan pendidikan pemuda bagi calon anggota yang akan bergabung, Rabu (31/10) di Pantai Tanjung Menangis, Komunitas Pringgabaya Lombok Timur. Acara tersebut dihadiri Dewan Pemuda Adat Nusantara (Depan) Region Bali Nusa, Badan Pengurus Harian AMAN Lombok Timur dan Puluhan Calon Anggota BPAN.

“Pemuda Adat merupakan harapan, karena kita yang menjaga dan mempertahankan tradisi, wilayah adat, tanah adat, budaya kita sendiri,”Kata Lalu Kusuma Jayadi saat memberikan materi pengkaderan, Rabu (31/10) di Lombok Timur.

Dewan Pemuda Adat Nusantara (Depan) Region Bali Nusa itu juga menyampaikan bahwa pemuda harus bisa mengurus wilayah adatnya agar bisa tercapai cita-citanya, ini bagian konsolidasi menjelang pra Jambore Daerah di Lombok Timur, “Tentu semua orang harus punya harapan agar cita-cita berdaulat madiri dan bermartabat,”tegas Lalu.

Pria yang disapa LKJ itu menambahkan bahwa BPAN merupakan organisasi pemuda yang menjaga negara ini dan BPAN harus menjadi garda paling depan, “Kita anggotanya itu, bermacam suku, agama, adat istiadat dan kita semua menerima perbedaan itu. Ini lah yang disebut Indonesia.”ungkap LKJ.

Ditempat yang bersamaan, Ketua Badan Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Lombok Timur, Sayadi menyampaikan bahwa konsolidasi dan kaderisasi ini sangat penting. Sehingga bisa mendukung dalam kerja-kerja organisasi induk yaitu AMAN ke depannya. “Saya apresiasi kegiatan konsolidasi ini, karena kegiatan ini bagian dari kerja organisasi yang akan mendukung perjuangan AMAN,”ucap Sayadi.

Dalam kegiatan konsolidasi juga, BPAN membahas tentang gerakan AMAN yang sedang mendorong Rancangan Undang Undang Masyarakat Adat agar anak muda ikut terlibat menyuarakan isu masyarakat adat.

Penulis : Nanang Noise

Posko Bencana Dijadikan Ajang Konsolidasi Dukung RUU Masyarakat Adat

Bpan.aman.or.id PALU – Puluhan anggota dari Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) yang membuka Posko untuk korban Gempa dan Tsunami di Sulawesi Tengah, Sabtu (3/11) melakukan aksi untuk mendukung Rancangan Undang-undang Masyarakat Adat (RUU MA). Mereka membentangkan keretas dengan bertulisan Sahkan RUU Masyarakat Adat.

Ketua Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Wilayah Sulawesi Tengah Samsudin mengatakan bawha anak muda di Sulteng sangat antusias mendukung tim evakuasi bencana yang dilakukan AMAN selama ini, mulai dari mendirikan posko untuk evakuasi tanggap darurat bencana sampai dengan membentuk tim evakuasi komunitas AMAN yang ada di Sulawesi tengah yang terdampak gempa.

“Kebetulan ada kawan-kawan BPAN di Posko, kita suarakan isu masyarakat adat, seperti tuntutan agar pemerintah sahkan RUU Masyarakat Adat. Sebelum aksi kita juga melakukan pemahaman terhadap anggota terlebih dulu tentang RUU Masyarakat Adat “tegas Samsudin.

Menurut Samsudin bahwa dalam bencana ini, bisa menjadi ajang konsolidasi antara gerakan rakyat, dimana selama proses evakuasi tanggap darurat yang dibentuk PW AMAN Sulteng ini, beberapa organisasi banyak yang teibat dan peduli terhadap gerakan sosial.

“Selain AMAN dan beberapa organisasi sayap yang terlibat membantu evakuasi dampak gempa, ada organisasi lain yang ikut terlibat diantaranya NU, Pencinta Alam dan Mahasiswa-mahasiswa.”tuturnya.

Sementara itu, Dewan Pemuda Adat Nudantara (Depan) Region Sulawesi Joko Sunarto mengapresiasi kawan-kawan BPAN yang terlibat dalam tim evakuasi tanggap darurat. Menurut Joko selama evakuasi tanggap darurat BPAN menjadi motor dan ujung tombak di bawah dalam membantu kerja-kerja AMAN.

“Tanggap darurat yang dilakukan kawan-kawan BPAN bukan semata-mata perjuangan untuk komunitas saja, akan tetapi semua masyarakat yang membutuhkan uluran tangan kita respon dan tanggapi,”ungkap Joko.

Dikatakan Joko bahwa memang saat ini, dalam proses perekrutan untuk menjadi anggota bpan itu tidak terbatas. Mereka yang bergabung tidak mesti anggota komunitas AMAN.

“BPAN harus bisa menjadi wadah perjuangan untuk menyelesaikan isu-isu strategis di masyarakat salah satunya bencana.”tutup Joko.

Penulis : Sisi Boka

Diskusi Setahun PD BPAN Osing Angkat Kearifan Lokal

bpan.aman.or.id – Mengenalkan budaya kita kepada orang lain tidaklah mudah. Sebab kita kudu memastikan bahwa pesan yang hendak disampaikan kepada publik bisa mengendap di hati mereka. Ada banyak nilai-nilai etis maupun moral dari dalam budaya kita, namun menunjukkannya kepada orang membutuhkan strategi yang tepat dan efektif.

Barisan Pemuda Adat Nusantara Daerah Osing, Banyuwangi punya satu cerita terkait strategi ini. Ulang tahun perdana BPAN dari timur Pulau Jawa ini melakukan acara menarik untuk merayakan usia setahunnya. Selain potong tumpeng, sebagaimana lazimnya, mereka mengadakan talk show Gesah Using Milenial.

 

“Tujuan acara ini adalah untuk mengenalkan budaya dengan diskusi yang dikemas santai dan kekinian. Jadi, anak muda lebih tertarik untuk datang ke acara Gesah Using Milenial (obrolan orang Using Milenial—red),” ujar Ketua Panitia Arif Wibowo, Jumat (2/3/2018).

“Harapannya, di Banyuwangi akan banyak muncul forum diskusi kreatif serta berbagi cerita, ide, dan gagasan dari orang-orang keren. Lalu semangatnya bisa menular ke orang lain,” tambahnya.

Acara Gesah Using Milenial yang digelar di Gedung Pamer Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kabupaten Banyuwangi tersebut merupakan talk show dengan tema budaya, namun berkonsep modernitas atau pop-culture yang mampu merangkul semua kalangan berbagai latar belakang, mulai dari siswa SMA, mahasiswa, sampai tenaga pendidik.

Panitia acara mengundang tiga inspirator yakni Vicky Hendri Kurniawan, Nur Holipah, dan kelompok penggiat media sosial kreatif yakni Byek Banyuwangi. Bersama ketiga inspirator, 100 pemuda Banyuwangi saling berbagi cerita, pengalaman, dan inspirasi tentang aksi-aksi untuk melestarikan budaya lewat cara-cara masa kini.

Jadi mereka saling belajar dan tukar pengalaman. Sebagaimana semangat kebersamaan para pemuda adat yang mengikuti slogan “semua orang itu guru, alam raya sekolahku”.

 

Vicky, sang kreator film dokumenter berbagi cerita kepada audiens mengenai sumber ide ketika dia akan menciptakan sebuah karya. Pendiri komunitas Banyucindih Creator ini mengaku sebelum menentukan tema karyanya, dia melihat sesuatu yang sifatnya lokal, seperti demografi, topografi, dan sifat daerah.

Menurut dia, sesuatu yang lokal pasti mempunyai potensi besar untuk dikembangkan. Hal tersebut membuat Vicky tertarik mengangkat kearifan dan potensi lokal di setiap film garapannya. Hasilnya, ia sudah beberapa kali mendapat penghargaan di tingkat nasional dan internasional.

Karena itu, ia mengajak para pemuda adat agar terus menggali potensi di daerahnya.

Sementara itu Nur Holipah (22) berperan melestarikan budaya leluhurnya dengan bentuk tulisan fiksi. Sejumlah puisi, cerpen, bahkan novel telah ia tulis dalam bahasa Using. Dia mengajak pemuda untuk menjadi penulis, sebab menurut Holip–sapaan akrabnya–tulisan itu abadi. Sekalipun sang pengarang telah tiada, ada jejak yang tak hilang yakni sebuah tulisan.

Maka dari itu, kata Holip, salah satu cara untuk melestarikan budaya yakni dengan cara menuangkanya ke dalam karya tulisan. Selain mengangkat Banyuwangi, dia juga membuat cerpen yang mengangkat unsur lokal daerah lain, seperti Bali dan Aceh.

Kemudian, media Byek Banyuwangi menjadi inspirator terakhir yang turut berbagi pengalamannya. Media yang sudah berdiri dua tahun ini mengangkat budaya lewat media yang sedang digandrungi para millenia yakni Instagram dan Facebook. Sejarah, tradisi, dan bahasa menjadi konten kreatifnya untuk mengedukasi para pengikutnya dalam bermedia sosial.

 

Aditya Catur Ginanjar, salah satu pendiri Byek Banyuwangi mengaku menurunnya minat pemuda terhadap budaya lokal menjadi alasan Byek Banyuwangi lahir. Lunturnya bahasa Using dan sedikit pemahaman tentang adat tradisi menjadi pecut semangat bagi Byek Banyuwangi yang berjumlahkan empat penggiat ini untuk mengunggah berbagai konten informasi tentang budaya.

Sentuhan gaya desain grafis yang selalu mengikuti tren dan sejumlah konten jokes juga turut diangkat. Dengan begitu, setiap konten dapat dengan mudah diterima oleh generasi millenial. Aditya berharap melalui medianya, budaya lokal dapat menjadi tren lagi, sehingga identitas Lare Osing tidak hilang.

Ketua BPAN Osing Kezia Fitriani berharap setelah setahun terbentuk, BPAN Osing menjadi salah satu wadah inspirasi dan mempererat persaudaraan pemuda adat untuk mempertahankan dan melestarikan adat budaya di komunitasnya.

Dalam setahun terakhir, BPAN Osing sudah berhasil merangkul puluhan pemuda adat yang tersebar di delapan komunitas adat Using Banyuwangi. Mereka telah melakukan sebuah kegiatan guna memperkompak dan menambah kapasitas pengetahuan para anggotanya yakni Jelajah Using.

Kegiatan Jelajah Using merupakan agenda berkumpulnya para anggota yang dilaksanakan di komunitas-komunitas adat secara bergantian setiap sebulan sekali. Pada acara tersebut pemuda BPAN menggelar beberapa kegiatan di antaranya diskusi isu-isu tentang hak-hak Masyarakat Adat, pelatihan menulis, pendalaman terhadap kesenian tradisonal, dan terlibat dalam pelaksaan suatu tradisi di salah satu komunitas.

Selain itu, sejak pertengahan tahun lalu, pembentukan sekolah adat di Banyuwangi tengah dicanangkan. Prosesnya kini masuk dalam pematangan konsep.

[Akbar Wiyana]

Awal 2018, AMAN Inhu Gelar Pelatihan Hukum dan Politik

28 Februari 2018

bpan.aman.or.id – Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Daerah Indragiri Hulu (Inhu) gelar pelatihan hukum dan politik serta penguatan basis di komunitas adat Talang Mamak, Kamis (15/2) bertempat di Hotel Miki Mutiara, Belilas.

Dalam acara tersebut Ketua PD AMAN Inhu Gilung menyampaikan beberapa hal yang harus dibicarakan terkait dengan tema pelatihan. Antara lain tentang hukum formal (negara—red) yang sewenang-wenang terhadap Masyarakat Adat. Masyarakat Adat dibodoh-bodohi, sehingga ada pemeo yang mengistilahkan: hukum tajam ke bawah tumpul ke atas.

Tommy Indiyan dari Perhimpunan Pengacara Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) memaparkan tentang hukum yang melindungi Masyarakat Adat dan banyak hal lagi yang dibicarakan olehnya terkait hukum-hukum ke Masyarakat Adat.

Selain itu pelatihan ini juga membahas tentang politik karena tahun ini merupakan tahun politik menghadapi pilkada serentak 2018 dan legislatif di tahun 2019 sekaligus berkaitan dengan penguatan basis di komunitas adat Talang Mamak.

Abdi Akbar dari Pengurus Besar AMAN menyampaikan tentang langkah politik yang akan dilaksanakan oleh Batin serta pengurus AMAN Inhu. “Kita harus merebut ruang-ruang politik untuk memastikan kebijakan berpihak kepada kita (Masyarakat Adat—red),” ujarnya.

Salah seorang peserta pelatihan, Suher (23), pemuda adat Talang Mamak mengatakan bahwa pandangannya terhadap situasi hukum dan politik di negeri ini semakin terbuka. Menurutnya, pelatihan ini sangat bermanfaat bagi pemuda adat yang merupakan generasi penerus Talang Mamak.

“Supaya sejarah dan asal usul kami tetap ada sampai ke depannya dari dunia takambang sampai dunia kiamat,” tuturnya.

Ketua AMAN Inhu Gilung berharap kegiatan ini bisa berkelanjutan atau tidak hanya sampai sini saja. Sementara peserta yang ikut dalam acara tersebut bertanggung jawab untuk menyampaikan isi pelatihan ke komunitasnya masing-masing.

Acara ini dihadiri Pengurus Besar Aliansi AMAN, Batin Adat, Masyarakat Adat dan pemuda adat Talang Mamak.

[Arwan Oscar]

AMAN Sintang Kawal Penyusunan Perbup Pembukaan Lahan

28 Februari 2018

bpan.aman.or.id – Tata cara pembukaan lahan bagi masyarakat di Kabupaten Sintang merupakan salah satu amanat dalam Peraturan Daerah No. 1 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang harus disusun dan diatur dalam Peraturan Bupati.

Karena itu, Dinas Lingkungan Hidup Kab. Sintang kembali melaksanakan rapat dengan agenda pembahasan lanjutan Perbup Pembukaan Lahan di ruang rapat Dinas Lingkungan Hidup Kab. Sintang, Kalbar (21/02/2018).

Ketua BPH PD AMAN Sintang, Antonius Antong mengapresiasi langkah yang diambil pemerintah yang dianggap masih memperhatikan hak-hak Masyarakat Adat. “Semoga ke depan tidak ada lagi Masyarakat Adat yang ditangkap karena membakar ladang miliknya sendiri. Sebab mereka berladang untuk memenuhi kebutuhan hidup, bukan untuk membabat hutan,” kata Antong.

Yang sudah terjadi selama ini Masyarakat Adat ketakutan untuk berladang. Di sisi lain pemerintah tidak memberikan solusi kepada masyarakat. “Pemerintah secara tidak langsung mengintimidasi kehidupan Masyarakat Adat,” tegasnya.

Dengan adanya Peraturan Bupati ini diharapkan akan mampu menjamin hak Masyarakat Adat. Draf Perbup akan diserahkan ke bupati untuk segera ditandatangani dan diteruskan ke Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat.

K. Danil B, Ketua DAMANDA Sintang menyampaikan bahwa AMAN akan selalu mengawal dan ambil bagian dalam setiap langkah pemerintah guna memastikan hak-hak Masyarakat Adat terlindungi.

“AMAN Sintang bersedia bekerja sama dalam penyusunan draf, pelaksanaan maupun untuk mensosialisasikan Perbup (Pembukaan Lahan—red) kepada Masyarakat Adat, supaya masyarakat betul-betul memahami apa yang menjadi hak mereka,” tegas Danil.

Maraknya kasus pembukaan lahan dan kebakaran hutan yang mengakibatkan polusi asap berdampak pada lahirnya Inpres No 11 Tahun 2015 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, dan Peraturan Men-LHK No. P.32/Men-LHK/Setjen/Kum.1/3/2016, yang berakibat larangan melakukan pembakaran lahan oleh pemerintah. Hal ini sangat mempengaruhi kehidupan Masyarakat Adat Sintang yang sebagian besar adalah petani berladang.

[HJ Pogo]

KEMBALI KE KAMPUNG: Jambore Wilayah II BPAN Kalimantan Timur

Pemuda Adat – Proses demokrasi deliberatif (musyawarah mufakat) mengantarkan Muhammad Napis sebagai Ketua Pengurus Wilayah BPAN Kalimantan Timur untuk periode 2017 – 2020. Dia dan para anggota baru yang diangkat secara serempak mengikrarkan diri dengan mengucapkan Janji Pemuda Adat.

“Semoga kita selalu bersama-sama dalam menjalankan organisasi (BPAN Kaltim—red) ini dari awal sampai akhir kepengurusan,” ujar pemuda adat asal Paser Mayang itu sesaat setelah dia diberi waktu untuk menyampaikan pernyataan perdananya sebagai ketua baru.

Acara yang berlangsung di Rangan, Kecamatan Kuaro, Kab. Paser, Sabtu (11/12) berlangsung lancar. Jambore Wilayah ini sekaligus momentum untuk mengonsolidasi para pemuda adat dalam rangka menyambut Jambore Nasional III BPAN. Sebagaimana diputuskan dalam Jamnas II di Bogor (2015), Kalimantan Timur menjadi tuan rumah untuk Jamnas III.

Karena itu, salah satu agenda pada Jamwil ini adalah persiapan kepanitiaan Jamnas di tingkat lokal. Kepanitiaan pun dibentuk. Semua peserta Jamwil II ini tercatat sepenuhnya dalam susunan kepanitiaan. Bahkan masih bertambah lagi para pemuda adat di Kaltim yang pada saat Jamwil tidak dapat hadir.

Program kerja

Olvy Tumbelaka, Plt Ketua BPAN Kaltim, menjadi fasilitator dalam merumuskan Garis-garis Besar Program Kerja. Dalam metode lingkaran yang diadakan sejak awal Jamwil, ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan kunci untuk menggali program kerja yang sesuai dengan keinginan para pemuda adat Kaltim. Masing-masing peserta mengalir secara memutar menyampaikan pendapat masing-masing.

Setiap pendapat ditampung dan kemudian diajukan lewat musyawarah mufakat untuk memastikan program prioritas dan paling realistis untuk dikerjakan sama-sama selama tiga tahun ke depan.

Salah satu yang menarik dari pendiskusian ini adalah usul untuk mengelola lahan (berladang, berkebun). Keinginan para pemuda adat ini rupanya menarik dua peserta untuk meminjamkan tanahnya dikelola pengurus.

Zainul dan Robby menawarkan tanah mereka untuk dipinjampakai para pengurus pemuda adat Kaltim. Mereka bersedia memberikan tanah mereka untuk tujuan mendukung gerakan pemuda adat “kembali ke kampung”.

Berladang atau mengelola lahan bertujuan untuk mempelajari cara-cara bertani. Kedekatan emosional juga antara pemuda adat terhadap tanah semakin kuat. Di sisi lain, mengelola lahan juga menjadi penopang kemandirian ekonomi organisasi.

Selain mengelola lahan, program lain yang menarik sebagian besar dirangkum dalam tema umum: menelusuri jejak leluhur. Turunan dari program umum ini, di antaranya belajar Pendidikan kaderisasi, kemah pemuda adat, sempuri (dongeng), sekulo (menanam kembali) membangun sekolah adat, berbahasa adat, bepekat (pertemuan) bulanan, membuddayakan tanaman obat, membangn sanggar tari, festival budaya tahunan hingga aksi demonstrasi (turun ke jalan) tahunan dan protes lewat seni.

Jambore ini dihadiri perwakilan Pengurus Nasional BPAN Jakob Siringoringo, perwakilan Perempuan AMAN yang juga sekaligus jadi tuan rumah Yuri, Syukran Amin dan sebanyak 24 pemuda-pemudi adat yang hadir.

[Media BPAN]

 

Asap yang Mengepul dari Lebak

Pemuda Adat – Jakarta. Kasukri mendekam di penjara tanpa tahu apa salahnya. Ia ditangkap Polisi Kehutanan dan dibawa ke kantor polisi, diadili dan ditahan. Kejadian tersebut menyebabkan Masyarakat Adat Kasepuhan Karang ketakutan.

“Penangkapan tersebut bagi saya merupakan sebuah penjajahan. Hati saya sakit dan terluka,” ujar Jaro Wahid lirih, Sabtu (18/11/2017) lalu.

Perhutani melarang warga beraktivitas di kawasan hutan adat yang diklaim negara sebagai hutan negara (Perhutani) dan belakangan dijadikan Taman Nasional. Masyarakat Adat Kasepuhan Karang pemilik wilayah adat tersebut justru diposisikan sebagai pihak asing di tanahnya sendiri. Perlakuan tersebut meninggalkan trauma bagi warga.

“Dia hanya membawa sebatang dahan untuk dijadikan kayu bakar di rumahnya. Seketika, langkahnya dihentikan di jalan itu,” telunjuknya mengarah ke jalan lintas beraspal tak jauh dari tempat kami duduk.

Asap di dapur Kasukri tak jadi mengepul, petaka malah menghampiri.

*

Saya dan teman-teman pemuda adat senusantara duduk bersila dan melingkar di atas tanah adat yang sudah mereka rebut dari Taman Nasional. Sepenuhnya kami berguru di tanah merdeka kepada sang teladan Jaro Wahid.

Kami, pemuda adat senusantara, tengah melaksanakan RPN IV BPAN pada  17 – 18 November 2017 di Kasepuhan Karang, Desa Jagaraksa, Kec. Muncang, Kab. Lebak, Banten. RPN ini adalah yang terakhir untuk periode 2015 – 2018 di bawah kepemimpinan Jhontoni Tarihoran. RPN kali ini membahas persiapan-persiapan Jambore Nasional III BPAN pada Februari 2018. Selain itu, kami juga sekaligus belajar pendidikan politik dari Masyarakat Adat Lebak.

Baca juga RPN IV BPAN: Persiapan Jambore Nasional III

Sebab Masyarakat Adat Lebak merupakan kelompok yang secara nyata kesadaran politiknya tinggi. Hal ini dipastikan antara lain dengan duduknya utusan-utusan mereka di posisi-posisi strategis. H. Ade Sumardi duduk sebagai Wakil Bupati Lebak, Junaedi Ibnu Jarta, Ketua DPRD Lebak dan Jaro Wahid jadi Kepala Desa Jagaraksa.

Di lain sisi sebagai generasi penerus Masyarakat Adat yang bertujuan untuk mendapatkan pengakuan dari negara, saya mendapatkan pelajaran baru untuk siap berpolitik. Politik di sini saya mudahkan pemahamannya sesuai konteks perjuangan Masyarakat Adat yaitu merebut ruang untuk memastikan kebijakan negara benar-benar berpihak kepada Masyarakat Adat.

Dengan kata lain, menghadirkan negara di tengah-tengah Masyarakat Adat.

*

Ketua PD AMAN Banten Kidul itu berhasil membawa Kasepuhan Karang mendapatkan pengakuan hutan adat seluas 486 hektar langsung dari Istana Negara dan diserahkankan Presiden RI Joko Widodo pada 30 Desember 2016 lalu.

Perjuangan Panjang yang berhasil ini dimenangkan setelah melewati tantangan berliku. Penjajahan mulai dari Perum Perhutani sampai Taman Nasional sangat membekas dalam batinnya. Pada 1987 Perhutani memulai penggusuran dan pada 2007, Perhutani berganti menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS).

Sebagai area konservasi, Masyarakat Adat dilarang beraktivitas di sana. Pengaturan pemerintah semakin ketat. Masyarakat Adat semakin dihimpit di wilayah adatnya sendiri, meskipun untuk urusan mengisi perut sejengkal.

Pengalaman pahit tersebut menempa dirinya untuk berani bermimpi dan berjuang merebut hak-hak mereka dan membebaskan dia, keluarga dan Masyarakat Adat Kasepuhan Karang dari “penjajahan”.

“Mimpi saya waktu itu mengeluarkan tanah adat dari cengkeraman Taman Nasional,” ujarnya.

Untuk mengimplementasikan mimpinya, Jaro—demikian dia akrab disapa—mengatur strategi perjuangan. Strategi yang dilakukannya adalah dengan mencalonkan diri sebagai kepala desa.

“Kunci perubahan ada di kepala desa,” katanya.

Ia pun berjuang mengikuti pemilihan kepala desa. Hasilnya, ia kalah dengan selisih 25 suara dari pesaingnya. Meskipun kalah, ia tidak patah arang. Kukuh pada tekad, ia akhirnya mendapat “bisikan” dari kakeknya.

“Kamu tidak akan bisa menjadi kepala desa, kalau kamu tidak membuat desa sendiri,” bisik sang kakek.

Pendek cerita, dia berhasil memekarkan kampungnya dari Desa Cikarang menjadi satu desa: Jagaraksa. Ia pun maju sebagai kandidat kepala desa satu-satunya. Satu periode ia memimpin Desa Jagaraksa, Kecamatan Muncang, Kabupaten Lebak, Banten.

Selama menjadi kepala desa, ia berjuang terus untuk mendapatkan pengakuan hak-hak Masyarakat Adat Kasepuhan Karang. Pada 2015, Pemkab Lebak menerbitkan Perda Masyarakat Adat Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan.

Kini dia masih menjabat sebagai kepala desa untuk periode kedua.

Pengakuan hak-hak mereka belum sepenuhnya terasa meskipun Perda Masyarakat Adat sudah terbit. Karena itu, Jaro yang bermimpi melepaskan hutan adatnya dari cengkeraman TNGHS, sempat diolok-olok warganya.

“Sudahlah, mimpi itu tidak akan terwujud,” ujar saudaranya pesimis.

Walaupun berjuang sendirian, khususnya dalam menyangkut urusan administrasi dan desakan-desakan ke lembaga, ia melangkah konsisten, kukuh pada pendiriannya. Pada akhir 2016, ia membuktikan mimpinya.

Sebelumnya, pada 5 Oktober 2015, pria berperawakan santai itu mendaftarkan hutan adat mereka ke KLHK  sesuai dengan Peraturan Menteri Nomor 32 tahun 2015 dan melewati dua tahap verifikasi dan validasi. Persyaratan tersebut mencakup surat pernyataan permohonan hutan adat, Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat serta wilayah adat.

*

Wah kalau cerita perjuangan ini, saya tidak pernah serius, katanya. Menurutnya istilah memperjuangkan dalam cerita dia, kurang tepat. Istilah memperjuangkan itu, katanya, ada pada masa Soekarno. Kala itu perjuangan yang dimaksud adalah perjuangan kemerdekaan.

Sekarang ini, kita hanya mempertahankan. Kita sudah di dalam Indonesia, tugas selanjutnya yaitu mempertahankan hak-hak kita dari rampasan penjajah seperti Perhutani/Taman Nasional, katanya.

Ia mengenang masa kecilnya yang terasa di bawah kesewenang-wenangan Perhutani. Saat itu mulai timbul perlawanan dalam batinnya. Lalu ia memilih pergi dari kampung untuk bersekeloh. Ia menempuh pendidikan hingga tingkat SLTP di perantauannya.

“Saya satu-satunya waktu itu yang sekolah dari kampung ini,” kata Jaro. Pada 1993, ia lulus dari SLTP.

Ketika itu, ia kembali mengenang kampung dan memutuskan kembali ke kampung. Situasi tetap sama. Kembali bapaknya kesakitan, saat ia tidak bebas bekerja di tanahnya sendiri. Perum Perhutani semakin mengancam dan menambah kesengsaraan di kampungnya.

Sadar tidak berdaya, jabatan tidak punya, ekonomi lemah, dan hukum tidak berpihak membuat Jaro kembali merantau. Kali ini ia melanjutkan jenjang pendidikannya sendiri dari SLTA hingga Perguruan Tinggi. Harunya, kedua orang tuanya mengetahui anaknya merantau cari pekerjaan, bukan bersekolah.

“Saya tidak kasih tahu mereka bahwa saya sekolah. Sama saja artinya saya mencekik leher mereka,” ujarnya. Biaya pendidikan yang tinggi menyurutkan Jaro memberitahu kedua orang tuanya. Dia membiayai sendiri pendidikannya.

Sampai suatu ketika, Jaro kembali ke kampung. Ia mengajak kedua orang tua dan kerabat dekatnya jalan-jalan ke Jakarta. Curiga dengan ajakan anak, orang tua Jaro lantas bertanya. Jaro menyatakan siap mendanai keberangkatan, asal kedua orang tua dan kerabat mau diajak mengenal dunia luar, terlebih ibukota metropolitan Jakarta.

Akhirnya mereka tiba di Jakarta dalam rombongan tiga bus. Alamat perjalanan pun tertuju ke sebuah kampus swasta di Jakarta Timur. Bukannya melihat pemandangan atau arena hiburan, kedua orang tua Jaro malah bingung setelah mereka tiba di kampus tersebut.

Undangan jalan-jalan tak seperti dibayangkan, mereka justru mengikuti prosesi wisuda. Kedua orang tua Jaro bersimpuh, kehilangan kata-kata. Mata keduanya berkaca-kaca, tidak percaya.

“Bapak saya menangis, bersimpuh, menangis kala itu,” kenang Jaro. Kedua orang tuanya bangga bukan main. Anaknya menjadi orang pertama yang menempuh pendidikan tinggi di kampungnya. Mereka benar-benar tidak mengira saya selama ini kuliah, bukan hanya kerja, tambahnya.

Sejak itu, dia kembali ke kampung untuk meneruskan perjuangan atau sesuai istilah beliau mempertahankan hak-hak Masyarakat Adat Kasepuhan. Setiap perjuangan akan bertemu dan bertalian dengan teman yang senasib sepenanggungan. Seiring waktu, Jaro pun bertemu dengan RMI, AMAN, Epistema Institue, dan Sajogyo Institute.

*

Di antara kisah yang saya dengar dari Jaro, pergerakan pemuda adatnya juga layak diteladani. Engkos Kosasih, penggerak pemuda adatnya bertutur singkat perihal aktivitas mereka.

Engkos bercerita bagaimana mereka melakukan banyak hal setelah hutan adat dikembalikan. Mulai dari menanam pohon yang mereka sebut dengan istilah “adopsi pohon”. Hingga saat ini mereka sudah menanam sebanyak 2700 pohon buah. Rencana mereka akan menanam sebanyak 29000 pohon buah.

Menurut Jaro, mempertahankan hak-hak Masyarakat Adat harus diwariskan kepada generasi muda. Karena itu dia mengajak para pemuda adat Kasepuhan Karang untuk bersama-sama menjaga dan mempertahankan wilayah adat yang sudah diakui negara tersebut.

“Saya ajak mereka bermain, bukan bekerja. Permainan itu mengasyikkan, bekerja menjenuhkan. Saya mengajak, bukan menyuruh. Jadi saya mengajak anak muda bermain-main di wilayah adat, padahal itu adalah perjuangan. Mereka pun ‘terjebak’,” tutupnya.

[Jakob Siringoringo]

KONTAK KAMI

Sekretariat Jln. Sempur 58, Bogor
bpan@aman.or.id
en_USEnglish