9 Tahun BPAN: Sebuah Jalan Dekolonisasi

“Menelusuri jejak leluhur seperti membuka  pintu dan dan jendela kepada dunia yang lebih luas. Menelusuri jejak leluhur menjadi landasan bagi anak muda kembali mengenali dirinya sendiri dengan menggali sejarahnya”, ucap Rukka Sombolinggi.

Ia nampak larut dalam bahagia. Saat bicara, beberapa kali ia nampak mengenang perjuangannya bersama BPAN. Para pemuda-pemudi adat pun tertegun mendengar ia bercerita.

Selaku Sekretaris Jenderal (Sekjen) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi khusus hadir sebagai penanggap dalam acara Bedah Buku dan Peluncuran 4 Buku Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN). Kegiatan ini dilaksanakan untuk merayakan Hari Kebangkitan Pemuda Adat Nusantara dan Perayaan 9 Tahun BPAN secara daring via aplikasi zoom.

Rukka Sombolinggi, Sekjend AMAN

Pukul 13.00 WIB, hari Minggu, 31 januari 2021, Perayaan 9 Tahun BPAN digelar. Di bagian barat dan tengah Indonesia, matahari sudah bergeser dari atas kepala saat kegiatan itu dimulai. Di daerah timur, seperti Maluku dan Papua, kegiatan tersebut berlangsung bersamaan dengan datangnya senja. Perbedaan waktu ini tidak menyurutkan ratusan orang untuk menghadiri iven besar ini. Para pemuda-pemudi adat anggota BPAN dari seluruh nusantara hadir. Para tetua dan komunitas masyarakat adat juga hadir. Tidak hanya Masyarakat Adat, banyak pula masyarakat umum dari berbagai latar belakang turut hadir. Mereka semua menjadi bagian dan saksi momen bersejarah BPAN.

Mars AMAN & Mars BPAN menjadi pembuka acara. Syair dan alunan musiknya menggetarkan semua yang hadir. Mengingatkan kembali semangat dan identitas sebagai bagian dari Masyakarat Adat nusantara yang berdaulat, mandiri, dan bermartabat.

“Pada kesempatan kali ini, ini adalah momen yang sangat spesial, sangat penting. Di usia 9 tahun BPAN, khsususnya bagi generasi muda adat di seluruh nusantara, bagaimana kemudian kita bersama-sama di BPAN bisa belajar, bertanya sama-sama, dan juga terus bertumbuh,” ucap Jakob.

Sebagai Ketua Umum BPAN, Jakob Siringoringo didaulat memberikan sambutan dan membuka acara secara resmi.

“Usia 9 tahun yang masih pendek, tentu kita tahapnya belum bisa berlari kencang. Tapi justru di saat ini kita menyerap pengalaman-pengalaman, menyerap pengetahuan-pegetahuan. Belajar terus. Bertanya terus. Dan kemudian kita merenungkan mimpi yang akan kita wujudkan di masa depan. Bagaimana mimpi kita nanti di wilayah adat kita. Sebagai contoh, misalnya, kita terbebas dari konsesi-kosnsesi yang terus menghantui kita, atau terbebas dari kerusakan-kerusakan lingkungan yang selalu menghantui kita. Seperti akhir-akhir ini, banyak sekali bencana,” jelas Jakob.

Jakob Siringoringo

Ditambahkannya, semoga impian dan mimpi Masyarakat Adat, terlebih khusus BPAN, dapat terwujud ke depannya.

“Impian kita, di wilayah adat kita, kita hidup bahagia, hutan rimbun, sungai mengalir dengan jernih, binatang berkeliaran dengan bebas. Kita bisa membangun rumah dengan sumber daya yang kita miliki dan banyak hal lainnnya yang semuanya sangat bisa membuat kita menjadi Masyarakat Adat yang sejati,” terang Jakob.

Ia berharap generasi muda adat di BPAN menjadikan momentum 9 tahun menjadi tonggak mewujudkan mimpi-mimpi untuk memperkuat kampung.

“Menjadi pemuda-pemudi adat yang terus membuktikan diri sebagai bagian dari bangsa ini, bagian dari negara ini yang tak bisa tercerai beraikan dan kita bangkit terus. Karena itu seperti tema perayaan 9 tahun kali ini, Teruskan Mimpi Perkuat Kampung, kita generasi muda adat terus berusaha, terus bergerak. Maju terus melangkah. Memastikan bahwa kampung kita terjaga. Komunitas kita Masyarakat Adat terawat. Terbebas dari klaim-klaim sepihak pihak ketiga dan kita berdaulat atasnya. Jadi, kerja-kerja yang kita lakukan sekarang adalah menuju impian kita di masa depan,” ungkap Jakob.

Suaranya terdengar tegas. Sorot matanya penuh harap. Nampak di wajahnya keyakinan penuh terhadap sesama generasi muda adat untuk terus berjuang, terus bermimpi dan memperkuat kampung. Jakob menghantar para hadirin masuk ke sesi yang lebih serius: bedah buku. Mendengar kisah-kisah dari pemuda-pemudi adat yang menjadi narasumber sekaligus penulis buku Menelusuri Jejak Leluhur dan Mahakarya Leluhur.

Ali Syamsul, pemuda adat asal Enrekang, mendapat kesempatan bicara pertama. Ia bercerita tentang pengalamannya saat tinggal bersama suku Anak Rimba.

“Rusaknya hutan bagi mereka, itu sama saja kiamat bagi mereka. Karena seluruh aktivitas mereka berada di hutan. Membuatkan rumah hanya menjauhkan mereka dari ruang hidup mereka yang sebenarnya yaitu hutan. Itu adalah wilayah kehidupan mereka,” ujar Ali.

Ali Syamsul

Ia menjadi saksi atas cara hidup suku Anak Rimba yang disebutnya begitu agung karena mampu menjaga hutan sebagai bagian penting kehidupan mereka.

“Saya melihat kehidupan mereka lebih agung dari pada mereka yang mengaku masyarakat modern”.

Di buku Menelusuri Jejak Leluhur, ia bersama Katarina Megawati menulis tentang Anak Rimba Bukit Dua belas.

Cerita yang mirip juga dikisahkan narasumber kedua, Syahadatul Khaira. Ia berasal dari komunitas adat Betetulak, Mataram, Nusa Tenggara Barat. Di buku ini, ia bersama Murshid Toha menulis ‘Cerita tentang Negeri Nua Nea’.

Khaira, menceritakan pengamalannya bersama pemuda adat dari Kalimantan Timur saat live-in di Komunitas Nua Ulu di Pulau Seram, Kota Ambon, Maluku Tengah. Mereka mengikuti keseharian Masyarakat Adat di komunitas Nua Ulu, Nua Nea, dari sejak pagi hari.

Syahadatul Khaira

Khaira bercerita tentang tantangan yang mereka hadapi saat berada di komunitas tempat mereka tinggal. Salah satunya, mereka sempat dicurigai sebagai mata-mata karena saat itu ada banyak kasus perambahan hutan di sana.

“Ada beberapa kejadian di sana ketika kami masuk. Di antaranya ada beberapa kasus perambahan hutan di komunitas adat Nua Ulu. Dan kami dicurigai sebagai mata-mata yang masuk untuk mengintai daerah tersebut”.

Diterangkan Khaira, di sana ada beberapa pos tentara yang berjaga-jaga di gerbang pintu masuk. Kebetulan pintu masuk desa di tempat mereka live in, berjarak sekitar 2 kilometer.

“Kebetulan tempat kami tinggal itu adalah daerah yang datarannya agak tinggi, jadi kami bisa melihat sekitaran gerbang-gerbang tempat jalan masuk ke desa. Ketika ada orang baru yang masuk, itu bisa diiihat”, ucapnya

Sewaktu di sana, ada satu ritual yang sangat menarik perhatian Khaira. Namanya ritual Pataheri.

“Ritual ini diberikan kepada seorang anak yang menuju remaja. Ketika anak itu sudah mengalami beberapa fase yang dianggap masyarakat itu adalah menjadi seorang pemuda, ia akan dibawa ke dalam hutan untuk diajarkan berburu, diajarkan memanah, lalu diajarkan oleh tetua-tetua yang ada di sana, apa saja amanat-amanat yang menjadi seorang pemuda adat, selama 3 hari dua malam,” terang Khaira.

Selain itu ada hal menarik yang ditangkapnya terkait kearifan masyarakat setempat dalam mengelola kebun.

”Kemudian ada juga keseharian masyarakat di kebun yang mereka menggagap kebun itu adalah tata kelola kehidupan untuk perempuan”.

Khaira kemudian penasaran dengan kearifan ini. Istri tetua adat di sana kemudian memberikan pencerahan kepadanya.

“Karena perempuan itu mengelola hasil kebun yang dilanjutkan sebagai kehidupan untuk keuarganya. Dari hasil kelola kebun menjadi lanjutan untuk ruang kehidupan di keluarganya,” ucapnya sambil menirukan ucapan dari istri tetua adat Nua Ulu.

Yosi Narti, seorang pemudi adat lain yang menjadi narasumber, turut menceritakan kisahnya. Ia merekam banyak hal saat berada di komunitas Masyarakat Adat Punan Dulau, tepatnya di Desa Punan Dulau, Kecamatan Sekatak, Kabupaten Bulungan, Provinsi Kalimantan Utara. Yosi sendiri berasal dari komunitas adat Rejang Lebong, Bengkulu. Ia menulis “Cerita tentang Dayak Punan Dulau” bersama Angriawan di buku Menelusuri Jejak Leluhur.

Yosi Narti

Dari apa yang dialaminya, ia kemudian membuat semacam kredo tentang Masyarakat Adat di tempatnya tinggal.

“Masyarakat Adat itu pintar dan jenius. Mereka  tinggal di hutan itu kaya. Karena mereka jaga hutan,” tegas Yosi.

Ia kemudian menyampaikan pribahasa dalam bahasa setempat. Pribahasa ini menjadi gambaran kuatnya hubungan Masyarakat Adat dengan hutan. Ini juga menjadi alasan kenapa Masyarakat Adat menjaga hutan dengan nyawanya. Pribahasa itu, bila diterjemahkan ke bahasa Indonesia, berarti ‘hutan adalah air susu ibu’.

Buhanudin SJ, pemuda adat asal Komunitas Adat Soppeng Turungan, Sinjai, Sulawesi Selatan menjadi narasumber terakhir. Ia bersama Agung Prabowo, pemuda adat asal Semangus, Sumatera Selatan, menulis tentang ‘Kecapi’. Alat musik tradisional ini berasal dari Komunitas Adat Barambang dan kisahnya diceritakan mereka di buku Mahakarya Leluhur.

“Terkait dengan alat musik tradisional itu, saya fokus ke alat musik kecapi”, ujarnya.

Burhan dan Agung menghabiskan kurang lebih seminggu untuk meneliti, mengamati proses pembuatan kecapi, cara memainkannya, dan mencari tahu filsosi dari kecapi itu.

Burhanudin SJ

Dikisahkannya, ia menginap di rumah salah satu pemangku adat, sekaligus seniman pemain alat musik tradisional. Di kesempatan itu, ia mengikuti keseharian seniman kecapi yang rumahnya ia tinggali. Dari seniman itu, Burhan menulis tentang kecapi. Mulai dari menebang pohon, membentuk pohon sampai kecapi itu selesai. Prosesnya selama empat hari.

“Dari beberapa komunitas adat yang ada, alat musik tradisional seperti kecapi yang masih bertahan, ada di komunitas adat Barambang,’” ungkap Burhan.

Menurutnya, alasan kecapi masih bertahan di komunias Barambang adalah karena mereka punya komunitas yang khusus melestarikan musik tradisi.

“Nama komunitas ini kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, namannya Komunitas Seruling Kembar Satu Hati”.

Ditambahkan Burhan, komunitas itu terdiri dari tujuh orang seniman. Sekarang ini mereka, para seniman, harus bekerja keras mempertahankan warisan tradisi leluhurnya. Hal ini, menurutnya, terjadi karena tidak ada kebijakan pemerintah yang memperhatikan Masyarakat Adat Barambang.

Di akhir kesempatan bicaranya, Burhan kemudian mengajak para pemuda adat untuk menjaga warisan leluhur, misal alat musik tradisional, dengan mendokumentasikannya.

Usai semua narasumber bicara, kesempatan diberikan kepada para penanggap.

Kesempatan pertama diambil oleh Jhontoni Tarihoran selaku DePAN BPAN Region Sumatera. Jhon memang sudah duluan berbicara. Usai Ali Syamsul, narasumber pertama. Jhon sudah meminta izin berbicara terlebih dahulu. Hal ini karena, ia juga punya kegiatan yang lain di jam yang sama bersama kelompok kedaultan pangan. Di komunitasnya, ia dipercayakan sebagai Ketua Kelompok Kedaulatan Pangan. Jhon kemudian mengambil start lebih awal untuk memberikan tanggapan.

“Jadi kegiatan menelusuri jejak leluhur ini menjadi kegiatan yang sangat penting di BPAN. Sejak berdiri di tahun 2012 itu, periode 2012-2105 itu kan semacam periode inisiasi. Nah, saat saya mempimpin BPAN, itu kemudian di 2015-2018 itu kita meluncurkan kegaitan ini,” tutur Jhon.

Jhontoni merupakan Ketua Umum BPAN periode 2015-2018. Ia menjadi Ketua Umum BPAN kedua, menggantikan Simon Pabaras. Di masa kepengurusannya program menelusuri jejak leluhur digagas lebih serius. Program ini kemudian menghasilkan dua buku yang diterbitkan tahun 2017 dan dibedah di Perayaan 9 Tahun BPAN.

“Jadi, kita kan generasi muda saat ini ataupun saat itu, sedang mengalami tantangan. Bahwasannya kita seperti tidak menemukan jati diri. Jadi kegiatan menelusuri jejak leluhur adalah untuk menemukan jati diri. Banyak hal yang kita temukan, banyak pengetahuan-pengetahuan yang kita temukan, banyak kearifan-kearifan yang kita temukan”.

Diungkapkannya, buku Mahakarya Leluhur hadir untuk mendokumentasikan berbagai mahakarya leluhur Masyarakat Adat yang ditemukan saat menelusuri jejak leluhur.

“Nah, dari situlah, satu buku lagi, Mahakarya Leluhur itu muncul. Betapa dahsyatnya ternyata para leluhur kita untuk menyelamatkan, untuk menjaga bumi ini, sehingga bisa kita mewarisinya dengan baik”.

Jhontoni Tarihoran

Jhon mengungkapkan bahwa para leluhur Masyarakat Adat sungguh luar biasa. Menurutnya, mahakarya mereka itu menjadi satu bukti atas eksistensi generasi muda adat terkini.

“Betapa luar biasanya, betapa dahsyatnya, atau mahakarya itu yang sudah mereka lakukan sehingga tanah masih tetap kita jaga, dari tanah itu kita mendapatkan air, dari tanah itu kita bisa hidup, dan sampai sekarang di kampung-kampung kita bisa temukan itu semua atas warisan leluhur,” ungkap pemuda adat yang akrab disapa Jhon ini.

Ia menjelaskan bahwa gerakan BPAN seperti spiral, untuk melangkah ke depan harus melihat jauh ke belakang. Ini dipahami sebagai upaya untuk memperkuat jati diri sebagai pemuda adat dengan mencari tahu asal muasal sejarahnya.

“Sebagai organisasi di BPAN untuk kita semakin maju melangkah ke depan mustinya kita harus juga melihat semakin jauh ke belakang. Jadi kalau digambarakan itu ibarat spiral. Semakin ke depan, semakin dia tahu, semakin memperkuat jati dirinya, asal muasalnya, sejarahnya. Jadi kita tidak akan pernah kehilangan arah lagi untuk menentukan arah hidup ini, mau ke mana BPAN ini sebagaimana visi yang sudah kita rumuskan bersama”.

Jhon mengakhiri sesi bicaranya dengan menyampaikan bahwa ulang tahung ke-9 BPAN menjadi momentum untuk lebih memperkuat gerakan pemuda adat di Nusantara.

Rukka Sombolingi sebagai penanggap berikutnya, mengisi sesi dengan penuh semangat. Cara bicaranya yang khas seorang orator, begitu dinantikan. Namun, kali ini, di sesinya, ia bicara seperti seorang ibu kepada anaknya dan seperti seseorang bicara kepada sahabat karibnya. Ia memulai dengan mengapresiasi kerja-kerja BPAN selama ini. Ia mengawali dengan meletakkan optimisme.

“Umur BPAN masih 9, tetapi sesungguhnya kalau kita secara jujur merefleksikan apa yang sudah dicapai BPAN saat ini, itu sangat luar biasa. Pencapaian BPAN selama ini membuat saya yakin, Masyarakat Adat di nusantara ini tidak akan pernah punah. Kita masih akan tetap ada. Malah kita akan terus berlipat-lipat.

Kak Rukka, begitu kerap kali banyak orang menyapanya, kemudian bercerita sedikit tentang kisah dua buku yang dibedah. Menurutnya, Jhontoni dan Mina Susana Setra sangat berperan penting atas hadirnya dua buku tersebut. Saat gagasan tentang menelusuri jejak leluhur dihembuskan, saat itu ia (Rukka) masih menjabat sebagai deputi II Sekjen AMAN.

“Sebelum berdikusi, itu Mina langsung bilang, keren skali Ka, gagasan mereka”, ucap Rukka sambil menirukan ucapan dan eskpresi Mina Setra yang kini menjadi Deputi IV Sekjen AMAN.

“Dan ketika mendengarkan apa yang di sampaikan Jhontoni itu, saya tersentak”.

Rukka tersadar dan terkagum-kagum. Menurutnya, ternyata anak muda saat itu merasa hilang, tersesat, dan perlu mengenali diri sendiri. Menelusuri Jejak Leluhur kemudian menjadi caranya.

Ia kemudian, melanjutkan cerita dengan menjelaskan alasan Masyarakat Adat minder dan selalu menjadi korban stigma. Sehingga, kadang Masyarakat Adat terjebak dalam rasa minder, merasa kecil, dan kemudian mengakui sejarah yang ditulis orang lain atas dirinya. Bahkan juga, Masyarakat Adat mengaitkan sejarah dirinya dengan sejarah besar untuk membangkitkan kepercayaan diri.

“Masyarakat Adat selalu diletakkan sebagai orang yang kalah, kita selalu dipaksa percaya bahwa kita adalah orang yang kalah, kitalah orang kecil, kita kemudian merasa minder. Bagaimana mengangkat rasa percaya diri sedikit? Kita mengaitkan diri kita dengan mengaitkan sejarah kita dengan beberapa sejarah besar. Mengaitkan sejarah dengan Islam, mengaitkan sejarah dengan Kristen, mengaitkan sejarah dengan agama-agama lain. Karena itu adalah sejarah-sejarah besar. Nah, ini salah satu yang saya sebutkan tadi, bukan hanya sejarah kita yang diceritakan beda oleh orang lain tapi kita pun percaya dengan sejarah yang tidak persis benar itu”.

Hal ini menurut Rukka perlu diubah. Masyarakat Adat, terutama generasi muda adat harus percaya diri, tidak boleh minder, dan harus melawan stigma serta cerita-cerita yang tidak benar tentang dirinya. Menelusuri jejak leluhur dan menuliskan sejarah serta cerita dari Masyarakat Adat atau pemuda adat tentang dirinya sendiri menjadi salah satu cara ampuh.

Hadirnya buku-buku karya BPAN membuatnya optimis dan menurutnya ini adalah solusi atas masalah-masalah yang ia sampaikan.

“Buku ini membuat saya bahagia”, ucap Rukka sambil memegang buku-buku karya BPAN dan menunjukannya ke kamera.

Sekjend AMAN memegang buku karya BPAN

“Menurut saya, BPAN sudah meletakkan fondasi untuk peta jalan (road map) Masyarakat Adat ke depan. Generasi muda sangat penting untuk menuliskan sejarahnya sendiri. Kita tidak lagi ditulis oleh orang lain, sesuai dengan pandangan dan sensor-sensor dari mereka”.

Sekjen AMAN, Rukka Sombolinggi, menutup sesi bicaranya dengan mengucapkan apresiasi dan selamat ulang tahun bagi BPAN. Di mata dan senyumnya, nampak kebahagiaan dan optimisme baru.

Kendali acara dikembalikan ke moderator. Acara dilanjutkan ke sesi selanjutnya, peluncuran buku. Ketua Umum BPAN, Jakob Siringoringo menahkodai sesi ini.

“Baik, sebelum kita luncurukan buku ini secara khusus. Saya kasih waktu untuk Rikson memberikan tanggapannya dulu. Dua buku sudah dibahas secara mendalam di sesi bedah buku. Dua buku lagi akan kita bahas di lain waktu”.

Jakob kemudian memberikan kesempatan kepada Rikson dari Komunitas Mapatik untuk berbicara. Komunitas Mapatik adalah komunitas menulis di Minahasa yang terdiri dari berbagai latar belakang orang. Banyak penggerak di komunitas ini merupakan pemuda-pemudi adat anggota BPAN dan kader AMAN. BPAN dan Mapatik bekerjasama dalam mendukung aksi literasi pemuda-pemudi adat di Minahasa, Sulawesi Utara. Buku Minahasa Milenial menjadi bukti dan hasil dari upaya ini.

“Apresasi untuk buku, karya luar biasa yang dilahirkan oleh BPAN, kawan-kawan pemuda adat”, ucap Rikson selaku Director Komunitas Mapatik.

Di kesempatan bicaranya, ia mengapresiasi kerja-kerja BPAN, terutama para narasumber penulis buku dan materi yang disampaikan para penanggap. Ia juga menuturkan bahwa tantangan-tantangan yang dihadapi Masyarakat Adat merupakan pengalaman yang juga pernah ia dan kawan-kawan di Minahasa hadapi. Terutama, terkait stigma.

“Stigmatisasi Masyarakat Adat itu membunuh, benar-benar mematikan kepercayaan diri para pemuda adat. Membuat kita minder. Kami Masyarakat Adat Minahasa juga mengalami hal-hal itu. Saya yakin pengalaman ini, juga dialami oleh saudara-saudara saya di komunitas adat lain di nusantara bahkan di seluruh dunia”.

Stigmatisasi ini menurutnya sengaja dilakukan untuk memisahkan Masyarakat Adat dengan tanahnya dan menghilangkan identitasnya sebagai Masyarakat Adat.

“Kita kemudian sadar bahwa tindakan ini sengaja dilakukan. Kita kemudian sadar melalui proses diskusi ringan sesama teman-teman pemuda adat, bahwa ini sengaja dilakukan agar para pemuda, para Masyarakat Adat meninggalkan identitasnya. Agar mereka melupakan semua ingatan tentang tanahnya, tentang leluhurnya,” ungkap Rikson.

Rikson Karudeng

Ia lanjut mengisahkan bagaimana mereka di Minahasa menghadapi tantangan tersebut.

“Menulis tentang kita, menurut saya, sekali lagi sangat penting dilakukan hari ini. Ini untuk menegaskan apa yang disampaikan kawan-kawan narasumber dan para penganggap tadi. Kesadaran ini yang membuat saya dan kawan kawan, di 20 tahun lalu untuk kemudian melakukan gerakan perlahan-lahan. Walaupun dicibir. Namanya anak muda kadang disepelekan. Ketika menulis cerita dianggap tidak ilmiahlah. Tapi hari ini kawan-kawan merasakan betul bahwa karya yang dikerjakan sepuluh, lima belas tahun lalu, hari ini menjadi referensi utama. Bahkan banyak penulis menulis tentang tanah ini, oleh para narasumber menceritakan tentang Minahasa. Karya-karya ini memotivasi dan mengispirasi para pemuda-pemudi adat Minahasa hari ini untuk melakukan kerja-kerja literasi yang lebih giat”, jelas Rikson dengan semangat berapi-api.

Dikisahkan Rikson, upayanya dan para generasi muda di Minahasa, mengerucut dan fokus di kerja pendokumentasian dengan membentuk Mapatik.

“Tahun 2015, kawan-kawan kemudian memilih untuk lebih fokus dalam kerja dokumentasi, sehingga mengumpulkan teman-teman pemuda adat itu, dari berbagai komunitas, dalam sebuah komunitas yang dinamakan komunitas penulis MAPATIK”.

Diungkapkan Rikson, Mapatik, dalam bahasa Minahasa, berarti menulis.

“Karya-karya yang diceritakan oleh Ali dan kawa- kawan itu, tidak sekedar informatif, tapi edukatif, dan memotasi serta bisa menginspriasi,” tutup Rikson.

Acara yang dinantikan pun tiba. Peluncuran 4 buku karya BPAN.

Jakob melanjutkan acara.

Ada dua buku baru dari 4 buku yang akan diluncurkan BPAN. Dua buku tersebut yakni buku Young Indigenous Women Are Marginalised in Their Territories dan Minahasa Milenial.

“Buku ini bercerita tetang bagaimana posisi pemudi adat, khususnya pemudi adat di komunitas kita,” terang Jakob sambil memegang buku Young Indigenous Women Are Marginalised in Their Territories.

“Tapi ini lebih bercerita tentang keseharian pemudi adat di mana gelombang-gelombang masalah membuat mereka tersisih di wilayah adatnya”.

Buku kedua, Minahasa Milenial bercerita banyak hal tentang Minahasa di konteks keininian. Cerita tentang pemuda adat sebagai generasi milenial dan cerita Masyarakat Adat Minahasa juga dibahas di dalamnya.

Usai menjelaskan isi buku, Jakob kemudian meluncurkan buku tersebut secara resmi.

“Atas berkat Tuhan Yang Maha Kuasa dan restu para Leluhur Masyarakat Adat, sore ini kita secara resmi meluncurkan ke empat buku ini: Menelusuri Jejak Leluhur, Mahakarya Leluhur, Minahasa Milenial, dan Pemudi Adat Tersisih di Wilayah Adatnya. Terima kasih. Dengan demikian buku ini sudah menjadi referensi publik”.

Ketua Umum BPAN Meluncurkan 4 Buku Karya BPAN

Nampak terlihat, para hadirin yang hadir bertepuk tangan. Ekspresi-ekspresi gembira nampak di wajah semua yang hadir menyaksikan peluncuran buku secara langsung.

“Dan kiranya melalui launching keempat buku hari ini, kita terus maju bergerak dan kita akan menghasilkan karya-karya berikutny ayang membuktikan Masyarakat Adat akan terus ada dan berlipat ganda dan kita sebagai pemuda-pemudi adat menjadi garda terdepan dalam kerja-kerja kita sebagai Masyarakat Adat”, timpal Jakob.

Jakob menutup bicaranya. Ia mengangkat tangannya sambil dikepal. Ia berucap:

“Salam pemuda adat, Bangkit, Bersatu, Bergerak, Mengurus Wilayah Adat!”

Sebuah video pendek berdurasi 4 menit, kemudian diputar. Video tersebut berisi mimpi-mimpi anggota BPAN dalam satu kata. Video itu menjadi penegas Tema Perayaan 9 tahun BPAN :”Teruskan Mimpi, Perkuat Kampung”.

9 Tahun BPAN menjadi refleksi penting bagi gerakan Masyarakat Adat di nusantara. Upaya menelusuri jejak leluhur, membuat tulisan, dan menghasilkan buku, menjadi jalan dekolonisasi yang dipilih untuk menyatakan sikap dan eksistensi sebagai Masyarakat Adat. Semua upaya yang dilakukan oleh BPAN selama ini menjadi upaya dekolonisasi ala pemuda adat.

Penulis: Kalfein Wuisan

Pernyataan Sikap Sembilan Tahun BPAN

Horas, salam pemuda adat!
Pemuda adat bangkit bersatu bergerak mengurus wilayah adat!

Atas berkat Tuhan Yang Maha Kuasa dan restu para leluhur Masyarakat Adat, generasi penerus terus eksis menjaga nilai-nilai luhur yang diwariskan para pendahulu.

Barisan Pemuda Adat Nusantara atau BPAN yang lahir pada 29 Januari 2012 silam, tahun ini memasuki usia sembilan tahun. Sebagaimana sering diibaratkan pada manusia, umur sembilan tahun adalah usia anak-anak atau dengan kata lain masih kecil.

Usia masih sangat muda dengan periode kepengurusan normal baru tiga, namun BPAN dengan tegas dan tegap terus melangkah membawa generasi penerus Masyarakat Adat mencintai budaya dan adat istiadat warisan leluhur. Karena kami menyadari betul bahwa nasib dan masa depan kami sepenuhnya bergantung pada keberadaan hak-hak Masyarakat Adat, yaitu wilayah adat dan segala isinya.

Menjaga warisan leluhur ibarat seorang ibu merawat anak, yaitu darah dagingnya sendiri. Bagi kami merawat warisan leluhur, menjaga wilayah adat adalah tugas pokok yang mendarah daging, tanpa paksaan. Kami memperjuangkan tanah leluhur dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab turun-temurun dan tidak ada yang perlu diperdebatkan di situ.

Sebagai generasi penerus yang lahir dari rahim Masyarakat Adat, BPAN maju bergerak membela masa depan kami yang berbahagia. Dalam usia yang masih pendek, sesungguhnya kami belum dapat berlari kencang dan justru dimasa-masa inilah kami banyak belajar dan bertanya pada tetua, pada para pejuang, pada para leluhur dan segala mahluk ciptaan-Nya.

Dari proses belajar terus-menerus tersebutlah kami semakin menegaskan tujuan untuk memperkuat kampung sebgai benteng terpenting dalam membendung kekuatan penghancur yang berwujud dalam berbagai kebijakan yang merugikan Masyarakat Adat seperti HPH, Tambang, HTI, perkebunan skala besar, industri pariwisata dan sebagainya.

Ruang hidup Masyarakat Adat atau wujudnya wilayah adat yang telah dirampas puluhan tahun sudah menjadi rahasia umum yang mengakibatkan kami generasi penerus Masyarakat Adat harus berjuang memperoleh eksistensi, mendapatkan kembali kebanggaan atas jati diri kami dan merusak perekonomian kami yaitu sumber daya alam, dan sumber dari SDA itu sendiri.

Sehingga sekali lagi, pada umur sembilan tahun, BPAN bergerak memperkuat komunitas adat, merapatkan barisan di tingkat kampung. Pengurus-pengurus BPAN dari waktu ke waktu tumbuh terus di berbagai daerah di seluruh nusantara. Sebab apa pun yang kami lakukan saat ini adalah cerminan akan impian kami atas wilayah adat kami dimasa mendatang.

Barisan Pemuda Adat Nusantara mengajak seluruh pemuda dan pemudi adat seluruh nusantara untuk meneruskan mimpi memperkuat kampung. Kita dapat melakukan kegiatan kreatif apa saja, contoh berkebun dan berladang dan mengelola sawah untuk kedaulatan pangan, menginisiasi sekolah adat, memprakarsai ruang-ruang belajar untuk menenun, membaca penanggalan pertanian, membuka perpustakaan, membuat video dokumenter atau film pendek dan sebagainya.

Kita, para pemuda adat senusantara harus terus menegakkan ilmu pengetahuan Masyarakat Adat yang sudah terbukti sangat beradaptasi dengan lingkungan, dan sama sekali tidak memancing bencana, katakanlah satu contoh konkret yaitu rumah adat. Arsitektur rumah adat dipelajari sedemikian rupa dengan tingkat kerumitan yang tinggi, tapi terbukti bertahan dan nyaman kita huni berabad-abad.

Para pendukung gerakan Masyarakat Adat khususnya generasi milenial juga tak henti-hentinya kami undang agar kita bersama-sama menyuarakan bahwa Masyarakat Adat adalah komunitas beradap tinggi di planet ini. Kita harus sama-sama menyuarakan isu-isu yang menjadi kepentingan kita bersama khususnya berkaitan dengan perubahan iklim sekaligus mendukung gerakan kami dalam memperkuat kampung untuk kehidupan kita bersama.

Kampung adalah jalan pulang bagi kami generasi penerus, dan sebagai warga negara kami juga di sisi lain berpulang pada negara dengan cara mendesak pemerintah mengesahkan Rancangan Undang Undang Masyarakat Adat. RUU Masyarakat Adat sangat tepat dan bermanfaat bagi generasi penerus, di mana di dalamnya kami akan semakin terlindungi dalam menjaga kekayaan alam nusantara yang tiada taranya. Kami meyakini sumbangsih dari wilayah adat baik dari sisi ekonomi, sosial, budaya, keamanan hingga politik akan sangat berdampak luas bagi bangsa dan negara Indonesia.

Pemuda adat bangkit bersatu bergerak mengurus wilayah adat!

Salam pemuda adat!

Jakob Siringoringo
Ketua Umum BPAN

PD BPAN Sintang, Lahir Di Kampung Remiang

“Ke depannya diharapkan pemuda Adat bisa bekerja sama dengan baik dengan tetua adat, saling membangun, demi tercapainya tujuan yang lebih besar terutama dalam melestarikan dan menjaga adat, budaya, tradisi dan wilayah adat,” ucap Pak Aki.

Ia salah satu dari tiga orang tetua yang duduk bersama dengan para generasi muda adat Sintang. Bapak Aki selaku Ketua Adat Kampung Remiang, Bapak Amborsius Lukas Bandar selaku Temenggung Tempunak Hulu, dan Bapak Yakobus Niat selaku Tetua Adat Kampung Tembak. Ketiganya nampak sangat bangga. Di gaung suara mereka, terpancar harapan dan semangat baru, melihat perjuangan mereka diteruskan para generasi muda adat di Sintang.

Mereka bertiga turut hadir dalam Pertemuan Daerah (Perda) I Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Daerah Sintang. Perda ini dilaksanakan pada 13-14 Desember 2020, di di Kampung Remiang, Dusun Batu Limau, Desa Merti Jaya, Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat.

Kegiatan ini dihadiri oleh 47 orang. Terdiri dari para pemuda-pemudi adat dari 7 kampung, tetua adat, tokoh adat, Pengurus Daerah AMAN Sintang, dan Masyarakat Adat di Sintang.

Perda BPAN Daerah Sintang dibagi dalam dua sesi, selama dua hari. Hari pertama, dilaksanakan Pelatihan Advokasi Kebijakan. Dalam pelatihan ini para generasi muda adat Sintang mendapatkan beberapa materi. Pertama, materi tentang Progres Pengakuan Masyarakat Adat di Indonesia dan di Kabupaten Sintang. Materi ini disampaikan oleh Ketua BPH AMAN Daerah Sintang. Materi kedua, tentang Kedudukan Pemuda Adat dan Posisi Masyarakat Adat dalam ketatanegaraan Indonesia. Materi ini dipaparkan oleh Yakobus Irwan Topo selaku pemuda adat. Sesi hari pertama diakhiri dengan diskusi mengenai peran pemuda dan perempuan sebagai bagian dari Masyarakat Adat untuk ikut aktif ambil bagian dalam setiap keputusan di komunitas.

Hari Kedua, diawali dengan penyampaian beberapa materi lanjutan. Materi tentang pemuda membangun komunitas melalui Gerakan Pulang Kampung dan materi mengenai pengantar dan uraian profil BPAN . Kedua materi ini disampaikan oleh H. Januar Pogo.

Kegiatan hari kedua berpuncak pada musyawarah pembentukan PD BPAN Sintang. Hasil musyawarah memutuskan Ketua BPAN Daerah Sintang yang pertama diamanatkan kepada  Timotius. Dalam menjalankan roda kepengurusan ia didampingi oleh Natalia Kori selaku Sekretaris dan Dominikus Agenda Gusti selaku Bendahara.

Menurut Januar Pogo, ada beberapa alasan mengapa PD BPAN Sintang harus dibentuk.

“Pertama, selama ini belum ada wadah yang menyatukan pemuda pemudi adat khusus yang konsen ke adat dan menghubungkan kembali wilayah adat. Kedua, terkikisnya adat dan budaya terutama di generasi muda. Oleh karena itu, BPAN diharapkan menjadi perintis untuk menyelamatkan adat dan budaya. Ketiga, untuk membuka jaringan dengan seluruh pemuda adat di Indonesia, karena BPAN adalah organisasi se-Indonesia. Keempat, untuk menumbuhkan kembali semangat dan cinta generasi muda untuk bersatu mengembangkan, melestarikan serta menjaga adat, budaya, serta tradisi sebagai masyarakat adat”, jelas Januar Pogo.

Ketua BPAN Daerah Sintang terpilih, Timotius, turut pula menjelaskan mengapa para pemuda-pemudi adat harus bergabung dengan BPAN.

“BPAN memberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk berkembang dan meningkatkan kapasitas pemuda pemudi adat dan memungkinkan untuk terhubung dengan seluruh pemuda pemudi adat di seluruh nusantara” ucapnya.

Kondisi ini pula yang menurutnya, menjadi sebuah kebutuhan dan keharusan BPAN harus dibentuk di banyak daerah di nusantara.

“BPAN harus dibentuk di banyak tempat di nusantara supaya semakin banyak pemuda pemudi adat yang sadar dan peduli kepada kampung halaman, membangun kampung dan menyelamatkan kampung. Kenapa harus BPAN? Karena BPAN terhubung dan berjejaring di seluruh Indonesia, sehingga gerakan kita bisa semakin kuat dan menguatkan satu sama lain,” ungkap Timotius.

Disaksikan Sang Pencipta, leluhur Masyarakat Adat, dan alam semesta, pengurus dan anggota PD BPAN Sintang dikukuhkan menjadi bagian dari BPAN dengan mengucapkan Janji Pemuda Adat. Momen ini kemudian menjadi pernyataan sikap bersama para generasi muda adat Sintang  dengan mendeklrasikan PD BPAN Sintang.

Penulis: Kafein M. Wuisan

Janji Pemuda Adat, Menggema di Lombok Tengah

“Pemuda adat adalah penerus bagi perjuangan-perjuangan kita ke depannya”, ucap tetua Adat Komunitas Jelantik, Lalu Prima Wira Putra. Tatapannya tajam. Suaranya begitu berkharisma. Ia mengobarkan semangat para pemuda adat yang sementara mendengar ia bicara.

Selain sebagai tetua adat, ia juga merupakan Ketua Badan Pengurus Harian (BPH) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB). Ia turut hadir dalam Pertemuan Daerah (Perda) Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Daerah Lombok Tengah, 17 Januari 2021. Kegiatan ini diselengarakan di Rumah AMAN Jelantik, Kabupaten Lombok Utara.

Ketua BPH AMAN Wilayah NTB (memakai kaos Putih) saat hadir di Perda BPAN Daerah Lombok Tengah

Perda ini dihelat dengan dua agenda yakni Pengkaderan dan Pembentukan Pengurus Daerah (PD) BPAN Lombok Tengah. Kegiatan ini diikuti oleh 21 orang generasi muda adat dari 6 komunitas adat yaitu Komunitas Adat Sengkol Paer Pujut, Komunitas Adat Segala Anyar paer Pujut, Komunitas Adat Pengembur, Komunitas Adat Jelantik, Komunitas Marong, dan Komunitas Adat Langko.

Kegiatan Perda diawali dengan materi pengkaderan yang dibawakan oleh Dewan Pemuda Adat Nasional Region Balinusra, Lalu Kesumajayadi, dan Ketua BPH AMAN Wilayah NTB.

“Ini untuk membantu gerakan masyarakat adat sesuai anggaran dasar organisasi AMAN dan ikut membela hak masyarakat adat, dan melakukan pemetaan partisipatif” tutur Lalu Kesumajayadi.

Lalu Kesumajayadi saat memberikan materi

Usai agenda pengkaderan, acara dilanjutkan dengan musyawarah pembentukan PD BPAN Lombok Tengah. Musyawarah para generasi muda adat Lombok Tengah memutuskan Lalu Erpan Maulana sebagai Ketua BPAN Daerah Lombok Tengah. Ia damping oleh Lalu Faozan Hakim sebagai Sekretaris dan Mis Mardiana sebagai Bendahara dalam kerja PD BPAN Lombok Tengah.

Ketua BPAN Daerah Lombok terpilih mengatakan bahwa BPAN Lombok Tengah hadir karena adanya rasa senasib sepenangungan para generasi muda adat di daerahnya. Mereka berkomitmen menjaga wilayah adat dengan menjadikan BPAN sebagai wadah perjuangan. Menurutnya BPAN merupakan organisasi pemuda adat terbesar yang konsisten dalam perjuangan masyarakat adat.

“Karena BPAN merupakan organisasi besar yang bergerak mengurus wilayah Adat dan menjaga wilayah Adat”, ungkapnya. Ini juga menurutnya, menjadi alasan banyak pemuda adat di seluruh nusantara bergabung dan berjuang bersama BPAN.

Lalu Erpan Maulana tercatat dalam sejarah sebagai Ketua pertam BPAN Daerah Lombok Tengah. Ia dan kepengurusan pertamanya menjadi titik pijak baru bagi perjuangan masyarakat adat di NTB. Pengukuhan pengurus dan anggota BPAN Daerah Lombok Tengah dipimpin oleh Lalu Kesumajayadi.

17 Januari 2021 menjadi titik awal perjuangan para generasi muda adat Lombok Tengah bersama BPAN dan AMAN. Mereka dikukuhkan menjadi bagian dari BPAN dengan mengemakan Janji Pemuda Adat sebagai ikrar perjuangan BPAN di Komunitas Adat Jelantik. Sang Pencipta, Alam Semesta, dan Leluhur Masyarakat Adat menjadi saksi ikrar mereka itu.

Penulis: Kalfein Wuisan

Kharisma BPAN, Insiprasi Lahirnya PD BPAN Kerinci

“Sebagai organisasi yang sudah lama berdiri dan selalu konsisten dalam membantu masyarakat adat baik secara hukum maupun pemberdayaan, dan sebagai wadah mengimplementasikan bakat dan minat para anggota baik secara, sosial, budaya, dan politik,” ucap Rici Ricardo. Ini menjadi alasan, ia dan 26 pemuda-pemudi adat Kerinci bergabung bersama BPAN.

Rici adalah Ketua BPAN Daerah Kerinci. Ia terpilih dalam musyawarah pembentukan Pengurus Daerah (PD) BPAN Kerinci, 9 September 2020 di Desa Air Bersih, Kecamatan Air Hangat Barat, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi. Pembentukan PD BPAN Kerinci menjadi salah satu agenda Pertemuan Daerah (Perda) I BPAN Kerinci. Selain itu, diskusi tentang wilayah adat dan perencanaan launching sekolah adat juga menjadi agenda di dalam kegiatan Perda tersebut.

Kegiatan Perda I BPAN Daerah Kerinci dihadiri oleh 26 orang, pemuda-pemudi adat, dari 5 (Lima) komunitas adat yaitu Komunitas Depati Mudo, Komunitas Depati Rencong Telang, Komunitas Depati Intan, Komunitas Depati Sungai Langit, dan Komunitas Depati Kepalo Sembah. Turut hadir pula perwakilan dari Pengurus Daerah (PD) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kerinci dan tokoh masyarakat adat.

PD AMAN Kerinci dan Rici menjadi insiator Perda I dan pembentukan BPAN Daerah Kerinci. Menurut Rici, BPAN harus ada di Kerinci supaya ada lembaga atau organisasi yang dekat dengan masyarakat adat, selalu memperhatikan dan menyuarakan keinginan masyarakat adat kepada pemerintah.

“Mendorong para pemuda-pemudi untuk melakukan kegiatan positif, memfasilitasi pemuda-pemudi pecinta dan pegiat adat budaya kerinci serta membantu masyarakat adat dan masyarakat di sekitar hutan adat demi kesejahteraan bersama”, tutur Ricardo. Hal ini menurutnya, menjadi alasan PD BPAN Kerinci harus dibentuk.

Rici juga menegaskan bahwa BPAN perlu dibentuk, di banyak daerah di Indonesia. Ditambahkannya, bahwa BPAN hadir untuk membantu menyuarakan hak-hak masyarakat adat.

“BPAN harus ada di daerah-daerah untuk membantu masyarakat dalam pengelolaan hutan adat dan sekitarnya. Serta membantu menyuarakan hak-hak masyarakat adat dan sekitarnya demi kesejahteraan”, ungkap Rici.

Rici Ricardo dikukuhkan sebagai Ketua pertama BPAN Daerah Kerinci. Dalam kepengurusannya, ia dibantu oleh Rozi Aguswira sebagai Sekertaris dan Khairul Akbar sebagai Bendahara.

Cerita Pemudi Adat Pimpin PD BPAN Massenrempulu

“’Marilah kita bersama bangkit, bergerak, mengurus wilayah adat dan mempertahankan kehidupan harmonis yang selalu berorientasikan pada kearifan lokal di Massenrempulu. Itu pesan yang disampaikan oleh Ibu Dida,” tutur Jusmiati.

Ibu Dida merupakan tetua adat dari komunitas adat Pana. Ia salah satu tetua adat yang hadir di Pelatihan Kader Pemula dan Konsolidasi Pemuda Adat Massenrempulu. Kegiatan ini digelar oleh Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PD AMAN) Massenrempulu di Rumah AMAN Mendatte, Kecamatan Anggeraja, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan (Sulsel), pada 9-10 Januari 2021. Turut hadir di kegiatan ini, pemuda-pemudi adat dari 12 Komunitas Adat di Sulsel, tetua adat, Ketua BPH AMAN Sulsel, Ketua PD AMAN Massenrempulu, Ketua BPAN Wilayah Sulsel, dan Ketua PHD PEREMPUAN AMAN Sulsel.

Hari pertama, diawali dengan pembukaan dan dilanjutkan dengan materi yang dibawakan oleh  para fasilitator. Materi pertama tentang gerakan masyarakat adat nusantara disampaikan oleh Sardi Razak selaku Ketua BPH AMAN Sulsel. Materi kedua tentang Organisasi AMAN, disampaikan oleh Solihin dari Pengurus Wilayah AMAN Sulsel. Materi ketiga dibawakan oleh Ketua BPH AMAN Daerah Massenrempulu tentang situasi dan perkembangan AMAN Massenrempulu.

Di hari kedua, para fasililtator melanjutkan materi. Dimulai dari materi pendidikan kader pemula, materi kesetiakawanan sosial dengan menonton 3 film, materi teknik komunikasi, dan terakhir materi menulis. Usai sesi materi dilanjutkan dengan agenda konsolidasi dan pembentukan BPAN Daerah Massenrempulu.

Pembentukan PD BPAN Massenrempulu diawali dengan musyawarah generasi muda adat Massenrempulu dan memutuskan struktur PD BPAN Massenrempulu yang pertama. Posisi Ketua dipercayakan kepada Jusmiati. Posisi Sekretaris dijabat oleh Ayyup dan Bendahara dijabat oleh Wahyu. Pengurus dan anggota PD BPAN Massenrempulu dikukuhkan dengan mengucapakan Janji Pemuda Adat yang dipandu oleh Ketua BPAN Wilayah Sulsel, Marjuli.

Jusmiati adalah pemudi adat dari Komunitas Uru. Ia mencatatkan dirinya sebagai pemudi adat pertama yang menjabat sebagai ketua BPAN Daerah Massenrempulu. Ia memberanikan diri menjadi ketua, karena terinpirasi perjuangan para perempuan adat.

“Mama Deen, Mama Yosepha, dan Kak Jaisa adalah perempuan adat yang menginspirasi saya. Mereka adalah perempuan tangguh yang berani berada di garda terdepan untuk mempertahakan hak-hak mereka”, ucapnya

Selain beraktivitas sebagai mahasiswa tingkat akhir, ia juga aktif di pengembangan ekonomi perempuan adat di komunitas adat Uru untuk membantu ibu-ibu meningkatkan ekonomi secara mandiri.

Di semua kesibukannya, ia memilih untuk mengabdikan diri dalam perjuangan pemuda adat bersama BPAN. Menurutnya, kehadiran BPAN di Kabupaten Enrekang menjadi hal yang sangat penting.

“Di BPAN kita mendapat ruang, tempat, dan mendapat dukungan sehingga kita tidak merasa berjalan sendirian. Oleh karna itu pemuda adat sudah saatnya bangkit bergerak mengurus wilayah adat dan mempertahankan kehidupan harmonis yang selalu berorientasi pada kearifan lokal”, ujar Jusmiati

Ia juga menambahkan bahwa kehadiran BPAN adalah upaya untuk menyadarkan para pemuda-pemudi tentang adat yang ada di kampung yang beriringan dengan kemajuan teknologi.

10 Januari menjadi tanggal bersejarah, lahirnya sebuah tonggak perjuangan baru para pemuda-pemudi adat Massenrempulu. Hari dimana PD BPAN Massenrempulu dideklrasikan.

Tiga Kualitas Hidup Pemudi Adat Minahasa

bpan.aman.or.id – Gambar seorang pemudi adat Minahasa berbaju Kawasaran terpampang di sebuah baleho. Tulisan “Lokakarya Hak-hak Pemudi Adat Minahasa” juga ada di situ.

Di depan baleho, duduk sejumlah pemudi adat Minahasa. Mereka sedang berkumpul, berdiskusi tentang hak-hak Pemudi Adat Minahasa.

Putri Kapoh dan Nedine Sulu menjadi narasumber kegiatan. Pemudi adat asal Roong Wuwuk, Lisah Rumengan, menjadi moderator.

Lisah Rumengan menjadi moderator kegiatan

Sebelum Mars BPAN dikumangdankan, kegiatan diawali dengan doa yang dipimpin oleh Giska Silangen dari Wanua Tandengan.

Giska Silangen memimpin doa

Kegiatan yang digagas Barisan Pemuda Adat Nusantara ini dilangsungkan di Kebeng Lounge & Eatery, di Sasaran Tondano, pada Jumat (18/12/2020).  Puluhan pemudi adat dari beberapa kampung di Minahasa hadir di acara tersebut.

“Kita sebagai pemudi adat masih menemui tatangan dalam menjalankan peran sebagai pemudi adat”, ucap Nedine Helena Sulu.

Nedine adalah pemudi adat asal Wanua Koha, Minahasa. Ia menjadi narasumber yang membuka sesi materi.

Nedine Sulu

Nedine menyampaikan materi mengenai kondisi perempuan adat di nusantara. Kisah mengenai sejarah perjuangan perempuan di tanah Minahasa, Talang Mamak, Dayak Iban dan di nusantara yang hidup dari wilayah adatnya, turut disampakan Nedine. Ia kemudian menghantar materi lebih spesifik ke topik posisi dan peran pemudi adat. Konteks perjuangan BPAN menjadi contoh konkrit yang diangkat Nedine.

“Peran pemudi adat ialah memperjuangkan wilayah adat. Sama seperti peran pemuda adat. Inilah mengapa peran tersebut menjadi visi BPAN yaitu generasi muda adat bangkit bersatu bergerak mengurus wilayah adat,” ucapnya.

Nedine kemudian mengajak para pemudi adat untuk merefleskikan hak dan kewajiban mereka sebagai perempuan adat Minahasa, sebagai pemudi adat.

“Di Minahasa, secara kultural, posisi laki-laki dan perempuan itu sederajat, egaliter. Sehingga semua peran untuk menjaga kehidupan tetap berlangsung di tanah ini, juga menjadi kewajiban kita sebagai pemudi adat. Kita memiliki hak-hak yang sama seperti kaum pria di Minahasa untuk hidup dan Tanah Minahasa”, tutur Nedine.

Ia juga menyampaikan bahwa pemudi adat wajib menjelaskan peran dan haknya di tengah masyarakat. Upaya ini dimaksudkannya untuk menghancurkan sistem patriarki warisan kolonial yang masih tersisa di Minahasa. Bagi Nedine upaya ini justru menjadi hak-hak dasar pemudi adat untuk menyatakan diri sebagai manusia Minahasa sejati.

“Menjelaskan perempuan adalah tindakan untuk membebaskan laki-laki,” ujar Nedine, mengakhiri sesi materinya.

Pemaparan materi dilanjutkan ke pemateri selanjutnya. Putri Kapoh kemudian mengisi sesi ini.

“Dalam struktur masyarakat Minahasa, laki-laki dan perempuan itu setara. Sehingga sebagai pemudi adat, kita juga harus bertindak sebagaimana seharusnya seorang manusia Minahasa. Lokakarya ini hendak memberikan pemahaman dan  pengetahuan kepada kita tentang itu”, ungkap putri.

Putri Kapoh

Ia melanjutkan materi dengan kisah perjuangannya menjaga kampung bersama generasi muda Wanua Tandengan. Salah satu kisah yang diceritakan yaitu advokasi terhadap penggundulan gunung Kamintong di kampungnya. Gunung Kamintong merupakan sumber air bersih dan penjaga ekosistem yang sudah dijaga para leluhur sejak kampung berdiri. Beberapa waktu lalu, bagian puncak gunung digundulkan oleh oknum yang hendak menjadikannya tempat wisata paralayang.  Putri, Manguni Muda Minaesa (komunitas generasi muda Tandengan), dan pemuda adat Tandengan melakukan aksi atas upaya tersebut. Mereka kemudian bergerak menyelamatkan gunung Kamintong sebagai penopang hidup Tandengan, kini dan nanti.

“Kasus Kamintong menjadi pelajaran bagi kita semua. Menjaga kampung adalah tanggung jawab semua orang. Termasuk pemuda adat,” ucap Putri.

Upayanya mengorganisir generasi muda untuk menyelamatkan gunung Kamintong menjadi satu cara untuk menunjukan bahwa hak laki-laki dan perempuan itu sama. Hak untuk bersuara, menyatakan sikap, dan bertindak di tengah kehidupan bermasyarakat di kampung Tandengan dan di Minahasa.

“Seperti di Mars BPAN, bahwa kita harus menjaga wilayah adat. Para perampas harus kita lawan. Akhirnya kami berhasil menyampaikan hak kami untuk bersuara, hak untuk menjaga wilayah adat kami”, ungkap Putri dengan suara lantang.

Di bagian-bagian akhir sesi bicaranya, ia juga menjelaskan tentang beberapa hal penting yang bisa didapatkan dari kegiatan.

“Ada beberapa hal pentting yang kita dapatkan di lokakarya ini. Pertama, pemudi adat berhak menjaga wilayah adat, seperti yang disampaikan kak Nedine, karena itu adalah tempat hidup kita. Hal lain yaitu hak menyampaikan pendapat. Syukur karena kita hidup di Minahasa, kita sebagai perempuan untuk menyampaikan pendapat tidak dibatasi. Mungkin berbeda dengan kondisi pemudi atau perempuan adat di tempat lain,” jelasnya.

Putri kemudian menutup sesi materinya dengan menjelaskan tentang kualitas hidup manusia Minahasa yang harus dimiliki pemudi adat Minahasa. Kualitas hidup ini menjadi modal untuk menjadi manusia Minahasa seutuhnya yang siap menjaga kampung dan tanah Minahasa.

“Sebagai permulaan, kita juga harus memiliki 3 kuliatas hidup manusia  atau Tou Minahasa yaitu Ningaasan, Niatean, dan Mawai. Ningaasan artinya berpengetahuan. Seorang pemudi adat harus mengisi dirinya dengan pengetahuan sehingga membentuk pola pikir dan intelektualitas yang khas manusia Minahasa. Niatean berarti bijak menggunakan hati/perasaan. Artinya seorang pemudi adat wajib mendayagunakan hati dan perasaaan untuk hidup sebagai seorang manusia. Mawai artinya kuat, baik secara fisik maupun mental. Ini artinya pemudi adat Minahasa secara fisik maupun mental ia kuat dan mampu memaksimalkannya untuk hidup. Kita sebagai pemudi adat wajib memiliki 3 hal ini. Ketiga hal ini menjadi ukuran kita untuk bisa disebut Tou Minahasa,” tutup Putri.

Penulis: Kalfein Wuisan

PD BPAN Majene: Lahir Memenuhi Amanat Leluhur

“Mua’ purami nipalandang bassi’ pemali nili’ai, mua’ purami nipowamba pemali nipeppondo’i disesena attonganan, petawung tarra’ba maroro tanniwassi’.

Artinya,

“Apabila sesuatu sudah ditentukan haram untuk dilangkahi, kalau sudah diucapkan/disepakati pantang diingkari. Aturan harus tetap berjalan sesuai dengan azasnya”

“Ropo’mo’o Mai langi’, tilili’ mo’o sau buttu, tannaulele diuru pura loau, dotami iyami’ sisara’ uli’i dai sisara’  pura loai”

Artinya,

“Sekiranya langit akan runtuh, runtuhlah. Gunung mau terbang, terbanglah. Namun saya tidak akan beranjak dari kata semula. Lebih baik kepala kami berpisah dengan badan daripada mengingkari kata semula.”

Amanat leluhur tersebut, menurut Hamsir, menjadi alasan pemuda-pemudi adat Majene mesti bergabung dan berjuang bersama Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN). Kedua kalimat tersebut adalah pesan leluhur Masyarakat Adat Adolang dalam Bahasa Mandar.

“ Oleh karena itu, saat ini jangan menunggu waktu untuk menyumbangkan jiwa dan raga kita bangkit, bersatu menjaga dan melestarikan aset-aset leluhur yang telah diletakkan di genggaman kita sesuai dengan pesan leluhur itu”, ungkap Hamsir.

Hamsir merupakan pemuda adat dari komunitas adat Adolang. Ia menjadi ketua pertama BPAN Daerah Majene. Ia terpilih berdasarkan hasil musyawarah generasi muda adat Majene dalam kegiatan Pertemuan Daerah (Perda) I BPAN Majene.

“’Inggai situlu-tulung lao diapiangang, mappeppondo’i inggannana adzaeang, alesei adzaeang, tinro’i apiangang, situlu-tulung paratta rupa tau’. Pesan leluhur ini juga turut disampaikan oleh Gading Corai”, ucap Hamsir.

Ia kemudian mengartikan petuah leluhur tersebut. Pesan leluhur itu disampaikan oleh Gading Corai pada kegiatan Perda I yang dilaksanakan oleh pemuda-pemudi adat Majene, 3-4 Januari 2021.

“Mari kita tolong-menolong menuju kebaikan, meninggalkan seluruh kejahatan, hindarilah kejahatan, kejarlah kebaikan, saling tolong-menolong sesama manusia. Itu artinya”, tutur Hamsir.

Gading Gorai adalah seorang Pappuangang Adolang. Ia adalah salah satu tetua adat yang hadir di Perda I BPAN Daerah Majene.

“Pappuangang artinya pemimpin komunitas. Adolang itu nama komunitas adat,” tambah Hamsir.

Komunitas Adat Adolang menjadi tempat dilaksanakannya kegiatan Perda I Pengurus Daerah (PD) BPAN Majene. Dalam kegiatan Perda ini, dilaksanakan pula Pelatihan Advokasi di hari pertama dan dilanjutkan dengan deklarasi PD BPAN Majene.

Kegiatan Perda I ini dihadiri oleh sekitar 40 orang yakni pemuda-pemudi adat dari 6 komunitas adat di Kabupaten Majene, Pappuangang Adolang, Ketua BPH Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Sulawesi Selatan (Sulsel), Ketua BPAN Wilayah Sulsel, dan Pengurus Daerah (PD) AMAN Majene.

Di hari pertama, kegiatan diisi dengan agenda pelatihan advokasi. Sesi pelatihan ini difasilitatori oleh Sardi Razak selaku Ketua BPH AMAN Wilayah Sulsel dan Marjuli selaku Ketua BPAN Wilayah Sulsel. Mereka membawakan materi mengenai advokasi, sejarah AMAN dan BPAN. Gerakan Pulang Kampung Pemuda Adat menjadi topik penting yang dibahas di sesi ini.

Sardi Razak saat memberikan pelatihan advokasi

Usai pelatihan advokasi, kegiatan dilanjutkan dengan musyawarah pembentukan, deklarasi, dan pengukuhan PD BPAN Majene. Hasil musyawarah memutuskan sturuktur kepenguruan PD BPAN Majene. HAMSIR, SP, sebagai Ketua, Andriani sebagai Sekretaris, dan Samsul H sebagai Bendahara.

Tepat tanggal 4 Januari 2021, PD BPAN Majene resmi dideklarasikan. Pengurus dan anggota dikukuhkan. Mereka lantas mengucapkan Janji Pemuda Adat, dipimpin oleh Ketua BPAN Wilayah Sulsel, Marjuli. PD BPAN Majene lahir untuk memenuhi amanat para leluhurnya.

Penulis: Kalfein Wuisan

Generasi Muda Adat dan Peran Advokasi Kebijakan

(Sebuah Catatan dari Pelatihan Advokasi Kebijakan BPAN)

bpan.aman.or.id – “Selama ini tantangan berat yang biasa dihadapi itu apa Pak Sinung Karto?” tanya Pekam Usut Ngaik.

Ia nampak antusias. Hasrat untuk mendapatkan pengetahuan mendalam tentang advokasi kebijakan membuatnya mengajukan pertanyaan itu.

Pekam Usut Ngaik adalah pemuda adat asal Mentawai. Minggu (20/12/2020), ia mengikuti Training Advokasi yang diselenggarakan oleh Pengurus Nasional Barisan Pemuda Adat Nusantara (PN BPAN) secara daring via aplikasi zoom.

Training advokasi ini diikuti oleh pemuda-pemudi adat anggota BPAN. Tujuannya supaya mereka dapat mengambil bagian dalam kerja-kerja advokasi kebijakan di tingkat kampung atau wilayah adat. Selain itu, bisa mengajak dan memulai membiasakan pemuda-pemudi adat terlibat perjuangan di lapangan dari sisi advokasi khususnya terkait mengawal kebijakan-kebijakan pemerintah di tingkat kampung atau wilayah adat. Sementara, hasil dari pelatihan ini diharapkan akan muncul 2 atau 3 orang yang serius menjadi semacam paralegal pemuda adat.

Sinung Karto selaku Staf Deputi II Sekjen AMAN, Nur Amalia selaku Ketua PPMAN, Jhontoni Tarihoran selaku DePAN Region Sumatera, dan Katarina Megawati selaku Ketua Pengurus Wilayah BPAN Kalimantan Utara, menjadi fasilitator pelatihan. Hadir pula Ketua Umum BPAN, Jakob Siringoringo, yang membuka kegiatan.

“Salam Pemuda Adat, Bangkit, Bersatu, Bergerak Mengurus Wilayah Adat”.

Kalimat tersebut diucapkan Jakob dengan lantang. Salam tersebut menjadi slogan perjuangan yang memanggil pemuda adat untuk berjuang.

Jakob Siringoringo

Dalam sambutannya, Jakob menegaskan maksud penyelenggaraan kegiatan.

“Pelatihan ini bertujuan untuk membekali diri atau mempersenjatai diri pemuda pemudi adat untuk mengurus wilayah adatnya,” tuturnya.

Ia juga menambahkan bahwa pelatihan advokasi kebijakan bagi anak-anak muda adat dimaksudkan untuk membekali mereka dengan wawasan advokasi atau hukum secara umum yang setiap waktu sangat dibutuhkan dalam kerja-kerja mengurus wilayah adat.

Di akhir kesempatan bicaranya, ia memotivasi para peserta untuk tetap saling menguatkan dan mengambil pengetahuan penting di pelatihan ini.

“Kita saling menguatkan, sehingga apa yang kita petik hari ini dapat memperkuat gerakan kita di kampung”, ucapnya.

Ia kemudian menutup sesi sambutannya dengan salam pemuda adat nusantara yang ia ucapkan di awal.

Acara berlanjut ke sesi materi.

Rusmita

Rusmita, pemudi adat asal Paser, selaku moderator langsung meminta Katarina Megawati menjadi pembicara pertama. Katarina kemudian bercerita hal-hal yang sudah ia lakukan selama ini.

Ia bercerita bahwa mereka baru selesai melakukan pelatihan advokasi dan deklarasi pengurus daerah BPAN Sungai Kayan. Di acara tersebut, para pemuda adat diberikan pelatihan advokasi. Materi-materinya kemudian menyadarakan mereka atas ancaman sawit di wilayah adatnya.

“Saya salut karena ada teman-taman di sana yang merasa terancam dan ada yang merasa akan terancam. Kami menonton film karya LifeMosaic. Film itu bercerita tentang trik-trik yang digunakan oleh perusahaan,” ucap Katarina yang akrab disapa Rina.

Katarina Megawati

Materi advokasi menggungah pemudi adat untuk membentuk wadah perjuangan bagi pemuda adat. Rina kemudian memfasilitasi pembentukan BPAN Pengurus Daerah Sungai Kayan.

“Setelah kami deklarasi mereka sadar bahwa mereka punya wadah untuk melawan”.

Di akhir sesi bicaranya, Rina menceritakan kisah dari teman-temannya yang kini semangat untuk menjaga wilayah adatnya.

Sesi materi Rina pun selesai. Dilanjutkan giliran Jhontoni Tarihoran, pemuda adat Tano Batak, dari kampung Janji.

Jhon mengawali materinya dengan bercerita tentang aktivitasnya, baik di organisasi AMAN, di komunitasnya, dan tentang dirinya. Ceritanya kembali ke kampung.

Materi Jhontoni Tarihoran

Ia mengatakan bahwa upaya kembali ke kampungnya Janji untuk menepati janji yaitu kembali ke kampung sebagai janji bersama BPAN. Kembali ke kampung adalah cara untuk mewujudkan Gerakan Pulang Kampung yang dicetuskan BPAN.

Bagi Jhon, kembali ke kampung bukan cuma sekedar pulang kampung, tapi dalam rangka memperkuat dan memastikan wilayah adat semakin kuat.

“Mengurus kampung, lebih memikirkan nasib bersama,” imbuhnya.

Berada di kampung tidak hanya untuk mengurus diri sendiri, tapi juga untuk kerja-kerja organisasi. Ia melakukan banyak hal. Misalnya dengan menjadi relawan yang berkaitan dengan sekolah adat.

“Saya menjadi relawan di AMAN Wilayah Tano Batak, yang ditugaskan untuk memfasiltasi  proses pendirian sekolah adat”, tuturnya

Ia turut berbaur dalam kehidupan komunitas sebagai petani: berkebun, beladang, mengolah sawah (menanam, panen padi, dan kolam ikan). Selain itu, ia juga hadir untuk mengawal kebijakan pemerintah setempat, sebagai upayanya berjuang bersama Masyarakat Adat.

“Kalau terkait dengan kebijakan yah, kita mendorong pemerintah mulai dari tingkat desa. Saya juga hadir di pertemuan tingkat desa dan mendorong pemerintah desa untuk berpihak pada Masyarakat Adat”, ungkap Jhon.

Ia juga banyak membantu Masyarakat Adat di tempatnya. Memastikan mereka mendapatkan hak-haknya. Misal mengurus dokumen kependudukan. Ia bercerita di tempatnya ada orang tua yang sudah tidak bisa menulis karena kondisi fisik, sehingga ia membantu mengurusnya.

“Terkait dokumen kependudukan, saya hadir tidak hanya menyuarakan tetapi juga mengurusnya secara teknis”, ungkap Jhon.

Jhon juga bercerita bagaimana ia mendampingi masyarakat yang berurusan dengan polisi karena menjaga wilayah adatnya. Ini bukti kongkritnya menjaga kampung secara bersama-sama. Ia menampingi warga di kantor polisi dan bahkan sampai ke pengadilan. Menurut Jhon, upayanya itu membuat orang yang ia dampingi menjadi percaya diri dan sadar bahwa ia tidak sendiri. Cerita ini merupakan satu dari sekian banyak banyak hal lain yang ia kerjakan sebagai kerja advokasi. Baginya, kembali ke kampung dan mengurusnya menjadi urusan yang asyik.

“Mengurus kampung adalah urusan yang rame, urusan yang asyik,” tutupnya.

Rina dan Jhon menjadi narsumber yang bicara dari sisi praktis. Hal-hal terkait advokasi yang sudah mereka lakukan. Di sisi lain, dua narasumber selanjutnya, bicara soal wawasan dan pengetahuan teoritik tentang advokasi. Sinung Karto dan Nur Amalia, menjadi punggawa di ranah ini.

Sinung Karto, menjadi pembicara ketiga. Ia akrab disapa Bang Sinung oleh pemuda adat di BPAN. Di sesi materinya, ia begitu humanis. Ia menggendong anak sambil membawakan materi.

Sinung Karto bersama anaknya

Pengantar Advokasi adalah materi yang disampaikannya. Menurut Bang Sinung, materi ini menjadi penting karena merupakan dasar bagaimana sebenarnya advokasi itu. Ia menjelaskan secara teoritik tentang advokasi. Ia juga kemudian menjelaskan juga tentang penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak Masyarakat Adat yang menjadi hal pokok kerja advokasi.

“Tiga kewajiban negara ini, menjadi pegangan kita melakukan advokasi”, ucap Bang Sinung.

Menurutnya, advokasi merupakan serangkaian tindakan dan kegiatan aktif, dilakukan secara sisematis, serta terencana untuk mendorong terjadinya suatu perubahan.

“Saya yakin dengan membuat definisi seperti ini, orang akan lebih mudah memahami apa itu advokasi,” akunya.

Sinung Karto kemudian memberikan pengertian tentang advokasi bagi Masyarakat Adat.

“Dalam konteks Masyarakat Adat, advokasi adalah upaya untuk mengubah kebijakan yang merugikan Masyarakat Adat menjadi kebijakan yang menguntungkan Masyarakat Adat”.

Ia memberikan contoh kongkrit tentang advokasi. Kisah Jhontoni dipakainya sebagai contoh yang nyata.

“Dalam advokasi yang diutamakan adalah pastisipasi. Yang terpenting harus melibatkan korban, melibatkan masyarakat”, tegas Sinung.

Materinya kemudian dilanjutkan dengan menjelaskan langkah-langkah mengadvokasi. Di akhir bicaranya, ia mengusulkan tindak lanjut dari materinya dengan membuat kelompok dari pemuda adat yang fokus di ranah advokasi secara mendalam.

Sinung Karto membuka wawasan para peserta tentang advokasi dan meletakan titik pijak bagi materi selanjutnya yang disampaikan Nur Amalia.

Nur Amalia

Nur Amalia merupakan Ketua PPMAN (Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara). Di sesi materinya, ia menjelaskan soal profil PPMAN dan berbagai hal terkait dengan kerja advokasinya.

Disampaikannya bahwa mandat PPMAN berfokus pada pendampingan kasus.

“PPMAN itu mandatnya untuk melakukan pendampingan kasus. Itu fokusnya”, cetusnya.

Ditambahkannya, walapun fokus PPMAN pada pendampingan kasus, namun saat diminta AMAN, sebagai oraganisasi induk, PPMAN terlibat dalam penciptaan kader dan advokasi kebijakan. Hal itu menjadi tugas tambahan PPMAN. Sejauh ini PPMAN sudah menangani 213 kasus. Paling banyak di antaranya yaitu kasus pidana,sebanyak 135 kasus.

Hingga waktu bicaranya usai, Nur Amalia menjelaskan kasus-kasus yang sudah ditangani PPMAN.

Usai materi, sesi tanya jawab dan diskusi menjadi sesi yang juga paling dinanti. Bagian ini menjadi ramai dengan pertanyaan-pertanyaan peserta. Kisah dan masalah yang terjadi di komunitas juga diceritakan oleh peserta di sesi ini. Pertanyaan dan masalah yang dikemukakan di sesi ini langsung ditanggapi oleh para narasumber yang berkompeten.

“Selama ini tantangan berat yang biasa dihadapi itu apa pak Sinung Karto? Misalnya, pertama, masyarakat itu sendiri, biasanya tidak sabar, pengen cepat-cepat selesai masalahnya. Tanpa kehati-hatian. Kedua, pihak ‘lawan’ yang merasa tindakan yang mereka lakukan sudah paling benar apalagi dibackup oleh aktor keamanan”.

Pernyataan tersebut disampaikan Sinung Karto sebagai jawaban atas pertanyaan dari pemuda adat Mentawai, Pekam Usut Ngaik. Beberapa pertanyaan penting lain juga ditanyakan para peserta dan dijawab secara detail oleh narasumber di sesi ini.

Kegiatan pelatihan advokasi ini, diakhiri dengan foto bersama. Batara Tambing, pemuda adat asal Toraja, selaku host dan pembawa acara, memandu sesi ini.

Penulis: Kalfein Wuisan

Bahagia Kedua Pemuda Adat Sakai

bpan.aman.or.id – Sebuah truk besar terparkir di kebun Komunitas Adat Sakai. Di sampingnya ada ribuan kilogram semangka yang menggunung. Beberapa pemuda pemudi dan Masyarakat Adat Batin Beringin Sakai nampak di sekitarnya.

Sabtu (6/12/2020) menjadi kali kedua truk tersebut datang. Ia dipakai untuk mengangkut hasil panen buah semangka yang ditanam oleh pemuda adat Sakai. Ini merupakan panen kedua.

Menanam semangka menjadi salah satu bagian dari program kedaulatan pangan Masyarakat Adat Batin Beringin Sakai. Program ini dikelola secara bersama. Pemuda pemudi adat menjadi penggeraknya.

“Kami panen lagi”, ucap Ismail Dolek begitu bahagia.

Ismail adalah ketua kedaulatan pangan Masyarakat Adat Batin Beringin Sakai. Ia bergerak bersama anggota Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Sakai.

“Buah semangka ditanam oleh pemuda adat Batin Beringin Sakai, Komunitas Sakai, untuk menaikan ekonomi masyarakat adat dan meningkatkan sumber vitamin dan memperkuat daya tahan tubuh demi menghadapi masa covid19” tutur Ismail.

Panen pertama, mereka menghasilkan 4.298 kg semangka. Kini di panen kedua mereka menghasilkan 6.220 kg semangka.

Selain Semangka, mereka juga menanam berbagai macam tanaman lain yaitu padi, sayuran-sayuran, dan buah-buahan.

Ismail dan kawan-kawan pemuda adat sedang bahagia. Ini adalah bahagia kedua. Bahagia mereka tentu masih akan berlanjut. Menikmati hasil usaha mengolah tanah. Membuktikan kedaulatan pangan Masyarakat Adat di tengah pandemi.

Penulis: Kalfein Wuisan

KONTAK KAMI

Sekretariat Jln. Sempur 58, Bogor
bpan@aman.or.id
en_USEnglish