Kearifan Lokal: Gawai di Talang Mamak

oleh Samrizal

 

Salah satu tradisi Masyarakat Adat Talang Mamak adalah adat pernikahan atau yang disebut gawai. Perhelatan gawai di 2016 ini, misalnya diadakan tepatnya di Desa Talang Jerinjing, Kecamatan Rengat Barat, kabupaten Indragiri Hulu, Riau 22-29 Juni 2016. Dalam gawai kali ini terdapat dua pasang pengantin yang tengah mengikat janji sehidup semati.

Pernikahan orang Talang Mamak menurut adatnya selalu menampilkan tradisi menarik berupa atraksi. Atraksi ini serupa berarak melingkar di mana kedua pasang mempelainya diangkat di pundak dan diikuti oleh para batin dan mangku-manti (orang khusus/pengawal) batin khususnya dan diiringi juga oleh kaum perempuan. Menariknya tradisi adat ini diikuti dengan musik tradisional, seperti Gendang, Tawak Tawak dan Celempong. Di tengah-tengah lingkaran ini ada pula dua orang basilat pangian (silat pangian).

[embedyt] http://www.youtube.com/embed?listType=playlist&list=UUXEWNbiCz_IVNoYgk1xxXbA[/embedyt]

Setelah habis berarak, batin dan pemangkunya berjalan menuju tangga naik rumah dan diikuti oleh para pengantin dan masyarakat. Sampai di rumah, makanan untuk disantap makan siang sudah tersedia. Dalam duduk bersila saat makan, barisan mempelai dipisah: mempelai laki-laki berada di depan dan pengantin perempuan duduk di belakang pengantin laki laki. Tidak hanya pengantin, orang yang disunat rasul juga ikut serta makan.

Usai makan sama para batin, pengantin dan batinnya makan sirih yang dicampur dengan pinang ,tembakau dan gambir menurut kebiasaan adat-istiadat orang Talang Mamak. Kemudian masing-masing bisa duduk di mana saja, kecuali batin karena mereka punya aturan tersendiri: batin harus aktif duduk di lapik atau tikar kecil yang ukurannya satu meter persegi, karena tiap menit atau jam harus makan sirih bersama pemangku dan mangku-mantinya serta tamu dari pihak perempuan atau laki-laki yang menggelar pesta.

Di sisi lain tidak hanya atraksi berarak memangku para pengantin sambil berputar mengelilingi sepasang pesilat. Di luar arakan melingkar tersebut diadakan pula sabung ayam. Jumlah ayam yang tengah disabung biasanya ada 80 pasang atau 160 ekor. Dalam sabung ini masing-masing kaki ayam yang disabung dikasih pisau yang sangat tajam. Adu ayam ini berlangsung sepanjang hari, jeda sejenak saat makan siang.

Patroli Hutan Adat

oleh Samrizal

Jakarta (18/6/2016) – Pemuda adat Talang Mamak melanjutkan proses pencarian identitas mereka atau yang biasa disebut Menelusuri Jejak Leluhur. Kali ini, mereka bergerak ke komunitas Dubalang Anak Talang, Talang Mamak Indragiri Hulu Riau. Di sana mereka melakukan patroli hutan adat sekaligus membuat film selama dua hari 15-16 Juni 2016. Rombongan Menelusuri Jejak Leluhur ini terdiri atas BPAN Talang Mamak, Pemuda Sembilan Dubalang Anak Talang dan dua orang dari Hakiki, sebuah organisasi yang memiliki kepedulian terhadap kondisi masyarakat adat di Riau, Ari dan Kidung.

Baca juga: BPAN Talang Mamak, Bergerak Meninggalkan Alasan Tak Produktif

“Patroli hutan adat yaitu meninjau hutan, ingin tahu rusak atau tidak,” kata Jony Iskandar, salah satu anggota Pemuda Sembilan, saat dikonfirmasi lewat telepon, Sabtu (18/6).

BPAN Talang Mamak Patroli Hutan Adat

Rombongan patroli sedang beristirahat. [Dok. Arwan Oscar]

Dalam patroli hutan adat ini mereka menemukan beberapa potensi alam yang indah. Potensi dimaksud merupakan gambaran hutan alami yang terjaga dengan siklus kehidupan manusia, binatang, dan lingkungan berkaitan erat. Hutan adat alami ini menjadi satu contoh bagaimana alam lestari yang membuat manusia hidup dalam alam yang indah dan berkecukupan. Sudah rahasia umum bahwa alam lestari laiknya dalam gambaran itu sudah sulit ditemukan sekarang ini.

Menurut penuturan Jony patroli hutan adat ini sudah berlangsung sejak 2013. Namun selama itu masih berkisar memperhatikan kondisi hutan. Belakangan muncul ide untuk mendokumentasikan kondisi terkini hutan adat dalam bentuk video.

Tidak jauh dari hutan adat yang bisa menjadi rujukan sebagai hutan lestari yang berjabat erat dengan masyarakat adat, itu ternyata kerusakan hutan pun sudah merambat. Adalah PT. Sinaga yang turut merusak hutan adat Dubalang Anak Talang. PT. Sinaga setidaknya telah membabat hutan adat seluas 800 hektar.

Juga kerusakan hutan terjadi di sekitar Air Abadi seluas 60 hektar. Kerusakan lain terdapat pada tiga gua yang merupakan hulu sungai: Sungai Pompang, Sungai Kandis, dan Sungai Ulu Tenaku. Ketiga gua dan Air Abadi ini merupakan sumber mata air bagi masyarakat Dubalang Anak Talang. Mata air ini sangat vital bagi keberlangsungan hidup masyarakat adat Dubalang Anak Talang. Bisa dibayangkan jika dalam sewindu atau satu dekade ke depan masih terus dilanjutkan perusakan hutan bakal terjadi kekeringan di komunitas Dubalang Anak Talang.

13432143_1721049864827201_3835412456417822163_n

Sungai Pompang [Dok. Arwan Oscar]

Arwan Oscar, anggota BPAN Talang Mamak yang sekaligus merangkap biro Infokom AMAN Indragiri Hulu (Inhu), melihat kerusakan hutan adat tersebut, ia pun bergerak cepat bersama-sama pemuda adat Talang Mamak lainnya melakukan aksi. Dalam kerja-kerja Menelusuri Jejak Leluhur, dia bersama kawannya terus mendorong para generasi muda adat di sektarnya untuk memperjuangkan wilayah adatnya.

“Melihat kondisi sekarang 5-10 tahun ke depan kita mungkin akan mengalami kekeringan air bersih,” tulis Arwan Oscar dalam status facebooknya.

Pada kesempatan yang sama, dalam rangka patroli hutan adat ini, rombongan juga membuat film dokumenter tentang kerusakan hutan di sekitar perairan sungai. Film ini bertujuan untuk menunjukkan kondisi kerusakan hutan khususnya di perairan sungai.

“Film yang kita buat itu mengenai kerusakan hutan di perairan sungai. Ini adalah salah satu sisi dari hutan adat Dubalang Anak Talang yang luasnya ± 24.000 hektar,” kata Aan Pardinata, anggota BPAN Talang Mamak.

 

Ritual Tiwah

Oleh Hantingan

 

Rabu 8 Juni 2016 – Masyarakat Adat Datah Poah (Cangkang) Kecamatan Tanah Siang Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah tengah melaksanakan ritual adat memindahkan tulang –belulang manusia yang sudah lama meninggal untuk persiapan kegiatan Totoh/ Tiwah (ritual menghantar roh yang bersangkutan menuju lewu tatau/ surga).

Ritual adat ini memang sudah dilakukan oleh Suku Dayak Siang Murung yang beragama Hindu Kaharingan dari zaman nenek moyang terdahulu yang maknanya yaitu untuk memindahkan tulang tersebut dari peti jenazah lalu dipindahkan ke rumah berbentuk kecil atau yang biasa disebut dengan sandung.

Ritual  ini dilaksanakan oleh keluarga almarhum. Prosesi acaranya yaitu menggali kembali kuburan jenazah yang sudah lama dikubur, lalu membongkar peti jenazah tersebut dan mengumpulkan tulang-tulangnya untuk dibersihkan dan kemudian memasukkannya ke dalam sandung dengan keadaan bersih. Di dalam sandung tersebut sudah tersedia satu kain bahalai dan satu stel pakaian untuk alas tempat tulang-tulang tersebut.

Untuk melakukan ritual ini tidak bisa sembarangan. Dalam ritual ini harus ada yang namanya basi/ basir sebagai pemimpin ritualnya. Selain itu juga harus disediakan babi dan ayam sebagai konsumsi semua orang yang melaksanakan ritual tersebut maupun tamu undangan.

Ingat 1 Juni, BPAN Nusa Bunga Gelar Diskusi tentang Pancasila

Jakarta (4/6/2016)—Bertepatan 1 Juni hari kelahiran Pancasila, Barisan Pemuda Adat Nusantara Wilayah Nusa Bunga menyelenggarakan diskusi dengan tema “Pemuda Adat dan Pancasila dalam Bingkai NKRI” untuk menjadi bekal pemuda dalam membangun kampung serta menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia, di Kampus Stipar Ende Rabu (1 Juni) lalu.

“Hari ini, kita mengenang hari kelahiran Pancasila, 1 Juni yang sudah berusia 71 tahun. Sudah tujuh dekade republik ini berdiri. Selama itu pula, Pancasila tampil sebagai nilai penjaga keutuhan negara. Tak bisa dipungkiri, Republik Indonesia masih berdiri hingga hari ini berkat Pancasila juga. Namun, Pancasila dihadirkan bukan hanya sebagai alat pemersatu, tetapi juga sebagai dasar negara sekaligus penunjuk jalan bagi bangsa ini menuju masyarakat adil dan makmur,” beber Jhuan Mari dari AMAN.

Di sela-sela diskusi, peserta yang hadir mengutarakan bahwa Pancasila harus diwujudnyatakan dalam kehidupan sehari-hari.

“Pancasila adalah dasar dan filosofi negara yang kepadanya seluruh rakyat Indonesia berpijak. Berpijak di sini  bukan cuma dihayati dan elus-elus, namun harus dipraktikkan ke dalam kehidupan sehari-hari. Kita, Barisan Pemuda Adat Nusantara bukan hanya memahami secara teori semata apa itu pancasila, namun kita perlu membangun kecerdasan dalam berpijak  dan melihat ketertindasan masyarakat adat di Indonesia,” kata Ketua BPAN Kans.

Menurutnya masyarakat adat di Indonesia mengalami ketertindasan akibat kebijakan di negara ini yang tidak menjalankan nilai-nilai Pancasila. Bahkan di luar dari sila-sila yang ada dalam Pancasila itu sendiri. Sebenarnya kalau dijalankan secara benar, hari ini masyarakat adat di Indonesia tidak mengalami ketertindasan dan diskriminasi.

Hal senada disampaikan Andre bahwa Pancasila adalah dasar negara. Menjadi dasar, tambahnya, semestinya pemangku kepentingan negara tidak melanggar dasar negara. Jika dalam pengelolaan bangsa ini tidak sesuai dengan Pancasila, maka sebenarnya mereka itulah yang mengkhianati dasar negara. Ambil contoh penggusuran, perampasan tanah masyarakat adat  secara sepihak oleh negara  dan penghilangan orang yang ingin memperjuangkan hidupnya.

Selain itu, salah seorang peserta diskusi menanyakan bagaimana peran pemuda khususnya pemuda adat untuk mengahayati dan menjalankan nilai-nilai Pancasila.

“Peran pemuda adat, ya harus pulang kampung membangun kecerdasan masyarakat adat akan hak-haknya, menjaga wilayah adatnya dan kembali menelusuri jejak leluhur sebagai bagian dari mengenal identidas diri kita,” tutur Kans.

Lebih lanjut dikatakannya, “Kita, pemuda harus melakukan sesuatu untuk membantu negara ini dalam mewujudkan cita-cita nasional yaitu masyarakat adil dan makmur. Kembali ke kampung dan mulailah dari kampung, di sanalah kita akan menemukan pembangunan nasional yang sesungguhnya.”

 

 

Media BPAN

Ekspresi Musik Tradisional

 Pesta Budaya Rondang Bittang

Pesta Rondang Bittang adalah suatu kegiatan yang bersifat massal serta tradisional pada suku Simalungun. Pesta Rondang Bittang merupakan penyampaian rasa syukur dan terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala keberhasilan hidup dalam satu tahun penuh. Pesta ini dilakukan pada saat bulan purnama di mana bintang-bintang turut menambah keindahan terang bulan. Perayaan ini merupakan sarana mempererat rasa kekeluargaan, melestarikan seni budaya bangsa sebagai peninggalan leluhur, kesempatan bersukaria di antara seluruh warga masyarakat dan pewarisan serta kesempatan mempelajari seni budaya bagi generasi muda dan remaja.

pretty tujuh

Menari massal [Dok. Pretty Manurung]

Di dalam acara ini banyak bentuk-bentuk kesenian Simalungun yang ditampilkan, seperti Tortor Sombah yang disebut-sebut sebagai tarian agung atau tarian klasik yang biasa dipersembahkan untuk menyambut orang-orang yang dihormati. Jumlah penari dalam Tor Tor Sombah/sembah ini enam orang. Selain itu, terdapat Huda-huda atau Toping-toping yaitu tarian Simalungun yang memakai topeng dan paruh burung Enggang. Jenis tarian ini diiringi Gual Huda-huda, jumlah penarinya ada tiga orang. Ada lagi Taur-taur yakni duet tradisional Simalungun yang menggambarkan cinta yang berkomunikasi melalui lagu.

pretty lima

Tortor Sombah [Dok. Pretty Manurung]

Tidak hanya itu, ada berbagai macam lagi acara yang ditampilkan mulai dari menari Tortor (manortor), menyanyi (taur-taur), berbalas pantun (marumpasa) dengan diiringi musik tradisional seperti Gual, Sulim, Sordam, Tulila sampai olahraga ketangkasan tradisional.

***

Masyarakat suku Simalungun memiliki musik tradisional yang secara turun-temurun digunakan dan berfungsi dalam kehidupan sehari-harinya. Musik tradisional Simalungun diwariskan turun-temurun secara lisan kepada generasi berikutnya.

Penggunaan Sarunei dalam ensambel gonrang sebagai musik pengiring tari-tarian yang ditampilkan dalam Pesta Rondang Bittang, misalnya,  dapat memberikan reaksi jasmani pada setiap penonton. Bunyi-bunyian Sarunei tersebut akan menjadi sumber komunikasi bagi masyarakat, baik yang muda maupun tua. Sehingga para penonton yang biasanya mayoritas muda-mudi berdatangan ke tempat tersebut untuk menonton, melihat, menari dan menggunakan kesempatan tersebut untuk saling berkomunikasi, berinteraksi bahkan mencari jodoh.

***

Berdasarkan pengklasifikasian/penggolongannya, maka alat-alat musik tradisional Simalungun dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Klasifakasi/Golongan Idiofon

  1. Mongmongan, yaitu alat musik yang terbuat dari bahan metal, kuningan atau besi yang mempunyai “pencu” (bossed gong). Ada dua jenis mongmongan: sibanggalan dan sietekan yang dipergunakan dalam seperangkat gonrang sidua-dua dan gonrang sipitu-pitu/gonrang bolon. Fungsi mongmongan dipergunakan untuk memanggil massa di suatu kampung.
  2. Ogung, yaitu alat musik yang terbuat dari bahan metal, kuningan atau besi yang mempunyai pencu (bossed gong). Ogung juga memiliki dua macam yaitu sibanggalan dan sietekan yang dipergunakan dalam seperangkat gonrang sidua-dua dan gonrang sipitu-pitu/gonrang bolon.
  3. Gerantung, adalah alat musik yang terbuat dari kayu dan mempunyai kotak resonator (trough resonator). Kotak resonator ada yang terbuat dari kayu, ada yang langsung ditempatkan di atas lobang tanah sebagai resonatornya. Gerantung terdiri dari tujuh bilah dan mempunyai nada yang berbeda. Gerantung biasanya dimainkan sebagai hiburan ketika istirahat di ladang sebagai pelepas lelah dan sebagai bahan pelajaran untuk menabuh gonrang sipitu-pitu/gonrang bolon.

Klasifikasi/Golongan Aerofon

  1. Sarunei bolon, suatu alat musik yang mempunyai dua lidah (double reed) sebagai lobang hembusan yang dipergunakan sebagai pembawa melodi dalam seperangkat gonrang sidua-dua dan gonrang sipitu-pitu/gonrang bolon. Badannya terbuat dari silastom, nalih-nya terbuat dari timah, tumpak bibir terbuat dari tempurung, lidah terbuat dari daun kelapa dan sigumbang terbuat dari bambu. Sarunei bolon mempunyai enam lobang di bagian atas dan satu lobang di bawah.
  2. Sarunei buluh, adalah suatu alat musik yang mempunyai lobang hembusan yang terdiri dari satu lidah (single reed) yang memukul badannya sendiri. Sarunei buluh yang terbuat dari bambu ini mempunyai tujuh lobang suara. Enam lobang berada di bagian atas dan sisanya di bagian bawah.

Klasifikasi/Golongan Membranofon

  1. Gonrang Sidua-dua, adalah gendang yang dipergunakan dalam seperangkat gonrang sidua-dua. Badannya terbuat dari kayu Ampiwaras dan kulitnya terbuat dari kulit Kancil atau kulit Kambing. Gonrang sidua-dua terdiri dari dua buah gendang, oleh karena itu diberi nama gonrang sidua-dua.
  2. Gonrang sipitu-pitu/gonrang bolon, adalah gendang yang terbuat dari kulit pada bagian atas sedangkan sebelah bawah ditutup dengan kayu. Gendang terdiri dari tujuh buah yang badannya terbuat dari kayu dan kulitnya terbuat dari kulit lembu, kerbau atau kambing. Gendang ini dipergunakan dalam seperangkat gonrang sipitu-pitu/gonrang bolon.

Klasifikasi/Golongan Kordofon

  1. Arbab, adalah alat musik yang tabung resonatornya terbuat dari labu atau tempurung; lehernya terbuat dari kayu atau bambu; lempeng atas terbuat dari kulit kancil atau kulit biawak; senar terbuat dari benang dan alat penggesek terbuat dari ijuk enau yang masih muda.
  2. Husapi, adalah alat musik sejenis lute yang mempunyai leher, terbuat dari kayu dan mempunyai dua senar. Bagian badan dan lehernya dihiasi gambar ukiran wajah manusia.

***

Masyarakat Batak Simalungun merupakan suku yang sangat menjunjung tinggi warisan leluhur. Ucapan syukur mereka senantiasa dipanjatkan lewat upacara adat. Budaya para leluhur yang menjadi kebanggaan suku Simalungun salah satunya adalah pemakaian Ulos. Ulos yang disebut Hiou sarat ornamen. Secara legenda bagi masyarakat Simalungun, Ulos dianggap salah satu dari tiga sumber kehangatan manusia selain api dan matahari.

Sampai sekarang ini Pesta Rondang Bittang masih dilestarikan dan menjadi pesta tahunan bagi masyarakat Simalungun, Sumatera Utara.

pretty

Pemuda budaya [Dok. Pretty Manurung]

[Pretty  Manurung]

 

Masyarakat Adat: Gerakan Kolektiva Terperlu Penopang Indonesia

Jakarta – Pemilik pertama nusantara ini adalah lembaga-lembaga adat. Adapun lembaga-lembaga adat ini dibentuk oleh masyarakat adat yang sudah ada di nusantara, jauh sebelum negara Indonesia terbentuk. Demikian penjelasan Prof. Thamrin Amal Tomagola dalam orasi ilmiahnya pada acara Simposium Masyarakat Adat dalam memperingati tiga tahun Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 35 di Aula Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta, Senin (16/5/2016).

Guru Besar Sosiologi Universitas Indonesia itu menyebutkan terdapat lima lembaga dominan yang ada di negara Indonesia. Pertama, lembaga-lembaga adat yakni yang sudah ada sejak zaman sebelum Indonesia sekaligus yang merupakan pemilik nusantara. Kedua, lembaga-lembaga agama. Lembaga-lembaga agama tersebut merujuk pada agama alam atau agama leluhur dan agama impor.

“Sedihnya, negara Indonesia justru hanya mengakui agama-agama impor. Agama leluhur, untuk sekadar dicantumkan di Kartu Tanda Penduduk (KTP) pun bukan main susahnya,” ujarnya.

Ketiga, lembaga negara. Keempat lembaga-lembaga bisnis dan kelima, lembaga-lembaga civil society. Menurutnya, lembaga-lembaga pertama dan kedua sudah sulit dipisahkan. Keduanya sudah saling berkelindan, saling terikat. Hal ini misalnya yang paling kentara bisa dilihat di Sumatera Barat dan Aceh. Jadi sudah saling menyatu.

Sementara itu, lembaga yang berada di urutan ketiga dan keempat juga sudah bersekutu. Lembaga bisnis dan negara sudah “tidur seranjang”. Seperti umum terjadi bahwa negara menyediakan ruang selapang-lapangnya kepada korporasi untuk berinvestasi. Misalnya sebuah perusahaan A hendak membangun suatu usaha di sekitar hutan, maka negara menyediakan regulasi yang diperuntukkan mengamankan jalannya investasi, tanpa memperhatikan hak-hak masyarakat di sekitar hutan. Ini yang disebut kong kali kong. Setubuh untuk merampas tanah, seringnya tanah adat, untuk dijadikan lokasi perkebunan atau industri dan sebagainya.

“Saat ini kedaulatan berada di tangan modal dan pemodal,” tambahnya.

Selanjutnya, dalam orasi ilmiahnya, ia menutup, “Jika Negara Tidak Mengakui Masyarakat Adat, Masyarakat Adat Tidak Mengakui Negara”.

[Jakob Siringoringo]

BPAN Nusa Bunga Dideklarasikan, Kanisius Laka Dikukuhkan menjadi Ketua Periode 2016-2019

IMG_0681

Ketua BPAN Nusa Bunga terpilih Kanisius Laka memberikan sambutan atas pengukuhannya memimpin BPAN Wilayah Nusa Bunga. (Dok: AMAN Nusa Bunga)

Sabtu, 07 Mei 2016 – Atas berkat Tuhan Yang Maha Esa serta penyertaan leluhur masyarakat adat, akhirnya Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Nusa Bunga dideklarasikan, Sabtu pekan lalu. Pada kegiatan ini juga dilakukan pengukuhan Kanisius Laka menjadi Ketua BPAN Wilayah Nusa Bunga Periode 2016-2019 oleh Ketua Umum Barisan Pemuda Adat Nusantara Jhontoni Tarihoran.

Pada acara pengukuhan ini turut hadir Ketua BPH AMAN Nusa Bunga yang juga anggota DPRD Kabupaten Ende Philipus Kami. Selain itu, ada juga beberapa utusan organisasi kemahasiswaan dan pemuda Gereja seperti LMND, GMNI, PMKRI, HMMT dan OMK.

Dalam sambutannya Ketum BPAN Jhontoni Tarihoran mengatakan bahwa pemuda adat harus bangga dengan budayanya, bangga dengan atribut adatnya dan menjadi pelaku dari nilai-nilai yang telah diwarisi dari leluhur masyarakat adat.

“Pemuda adat harus menolak penyebutan masyarakat adat sebagai masyarakat terbelakang. Kita punya semangat untuk menang, menentang yang salah. Pemuda adat bangga berbudaya, bangga mengenakan atribut atau pakaian adat dan melakukan nilai-nilai dan pola hidup yang diajarkan oleh tetua-tetua adat. Bagi kita tetua adat menjadi guru agar kita menemukan kembali pintu pulang ke jati diri kita yang sesungguhnya,” ujarnya.

Sementara itu Ketua BPH AMAN Nusa Bunga sekaligus penasehat BPAN Nusa Bunga Philipus Kami mengatakan bahwa pemuda adat harus cinta kepada wilayah adatnya. Cinta itu jugalah yang akan menggerakkan pemuda adat untuk berjuang dengan cerdas dan semangat.

“Karena cinta tanahnya, cinta hutannya, cinta lingkungannya, kita sebagai pemuda adat harus berani untuk itu. Harus berani dalam memperjuangkan cinta kita tadi. Untuk itulah BPAN menyatukan satu visi pemuda adat di seluruh nusantara untuk kembali bangkit mencintai tanahnya dan tidak boleh diganggu oleh orang lain. Barisan Pemuda Adat Nusantara Nusa Bunga hari ini telah lahir. Ini harus dirawat dengan baik, dipupuk sehingga menjadi cerdas, kuat dan berkualitas. Hari ini juga kita telah bersepakat untuk pulang kampung,” tegas Philipus.

Sebelumnya di gedung PSE Kota Ende, Nusa Tenggara Timur pemuda adat yang berasal dari tiga wilayah di Flores: Barat, Tengah dan Timur melakukan pertemuan. Pada pertemuan ini dilakukan Sarasehan tentang peran pemuda adat untuk mendorong terwujudnya Pengakuan, Perlindungan dan Penghormatan terhadap Masyarakat Hukum Adat.

Sebelum kegiatan Sarasehan utusan pemuda adat dari beberapa kabupaten di Nusa Tenggara Timur ini melakukan parade dari Monumen Pancasila Kota Ende menuju tempat kegiatan. Parade dilakukan untuk menyatakan kepada masyarakat Ende bahwa pemuda adat di Nusa Bunga telah bersepakat untuk bangkit, bersatu dan bergerak menjadi  bagian dari perjuangan masyarakat adat. Dengan mengenakan pakaian adat pemuda-pemudi berjalan kaki dan berorasi menyuarakan tuntutan kepada pemerintah. Adapun tuntutan tersebut seperti berikut ini:

  1. Segera sahkan RUU Masyarakat Adat menjadi UU!
  2. Presiden Jokowi segera tandatangani Satgas Masyarakat Adat!
  3. Segera sahkan Perda Masyarakat Adat di Kabupaten Ende!
  4. Mendeseak pemerintah se-NTT untuk tidak melakukan tindakan diskriminasi dan perampasan terhadap hak-hak masyarakat adat.

жжж

 

[BPAN]

Sarasehan: Pemuda Adat Harus Pulang Kampung

Ende, 07 Mei 2016 – Barisan Pemuda Adat Nusantara Wilayah Nusa Bunga menyelenggarakan Sarasehan untuk mendorong kekritisan pemuda-pemuda adat dalam merespon dan menjaga warisan leluhur yang saat ini perlahan pudar. Tema yang diangkat dalam sarasehan ini adalah “Menata kekuatan kaum muda untuk mendorong terwujudnya pengakuan, perlindungan dan penghormatan terhadap masyarakat adat yang berdaulat, mandiri dan bermartabat” dengan narasumber Pater Steph Tupeng Witin, SVD Pimpinan Redaksi Flores Pos dan Ketua Umum BPAN Jhontoni Tarihoran.

 

Para_pemateri

Para pemateri Sarasehan. (Dok: AMAN Nusa Bunga)

Sarasehan sehari ini diselenggarakan di Jalan Durian Ende pada Sabtu kemaren. Sarasehan ini menjadi media dalam membangun cara berpikir kaum muda dalam mengembangkan organisasi pemuda adat untuk mempertahankan wilayah adatnya.

Dalam Sarasehan tersebut  kedua narasumber lebih menyoroti terhadap peran kaum muda dalam mempertahankan hak masyarakat adat dan juga nilai-nilai luhur yang diwariskan secara turun-temurun. Di sisi lain narasumber juga menyoroti terkait dengan korelasi antara perjuangan nilai serta  Rancangan UU dan Perda Masyarakat Adat.

“Saat ini masyarakat adat memperjuangkan dan mendesak para pemangku kebijakan untuk menetapkan aturan negara terkait masyarakat adat. Sebab di dalam aturan itu telah termuat sejumlah nilai yang sejak dahulu masyarakat adat pertahankan. Nilai yang terkandung di dalam masyarakat adat adalah nilai yang membuat kita tidak akan lupa identitas kita. Kita akan mengetahui dari mana kita berasal. Jika saat ini penyusunan produk hukum tersebut tersendat oleh orang-orang yang lupa pada identitas dirinya maka masyarakat adat harus siap dalam menghadapi situasi itu,” kata Pater Steph.

IMG_0613

Peserta Sarasehan (Dok: AMAN Nusa Bunga)

Pemuda hari ini mesti lebih mengenal kampungnya dan harus kembali ke asal usulnya. Sebab di sanalah kita akan menemukan identitas dengan nilai-nilai yang baik yang diajarkan sejak leluhur.

Menurut Pater, masyarakat adat dan pemuda adat harus terus memperjuangkan nilai itu karena itu adalah  kebenaran. Kebenaran itu hanya ada di masyarakat adat. Semua pengetahuan apa pun ada di masyarakat adat. Pemuda saat ini harus lebih mempertahankan keutamaan.

Kenyataannya saat ini pemuda adat semakin jauh dari kampung. Realita ini terlihat ketika pendidikan seseorang semakin tinggi maka ia akan semakin jauh dari kampungnya. Ia lupa pulang. Ini disebabkan oleh kita yang memakai pendidikan warisan penjajah. Karena itu, pendidikan kita mesti diterapkan sesuai dengan wilayah adat dan budaya yang telah diajarkan oleh leluhur kepada  kita.

“Pendidikan harus lebih menyawab kebutuhan hidup di kampung atau komunitas kita,” kata Jhontoni.

Perlu diketahui, masyarakat adat mempunyai sistem pendidikan yang lebih mengenal sesama manusia, alam dan seluruh unsur yang ada di dalam komunitas tersebut. Ketika hari ini kaum muda khususnya pemuda adat jauh dari kampungnya sendiri maka semua yang ada di komunitas perlahan-lahan akan hilang sebab kita tidak mendokumentasikannya.

“Pasca mendeklarasikan pemuda adat ini, maka kita harus melakukan pendokumentasikan seluruh warisan leluhur. Kita harus kembali turun ke kampung-kampung mendiskusikan bersama tetua-tetua kita agar nilai yang diwariskan terus eksis sampai ribuan tahun yang akan datang,” tambah Jhontoni yang akrab disapa Jhon.

Salah seorang peserta diskusi menannyakan, “Bagaimana Pemuda adat Nusa Bunga dalam menghadapi penjajahan gaya baru atau yang disebut dengan sistem kapitalisme?”

IMG_0601

Salah seorang peserta Sarasehan bertanya. (Dok: AMAN Nusa Bunga)

Menanggapi pertanyaan tersebut Jhon menerangkan bahwa Pemuda harus mulai dengan menelusuri jejak leluhur dan mendokumentasikan seluruh warisan leluhur. Dengan melakukan cara itu kita akan memastikan di mana identitas yang harus dipertahankan. Pastikan wilayah-wilayah adat dan seluruh hukum yang ada di masyarakat adat. Itulah salah satu cara untuk melawan sistem itu dan mulailah kita kembali ke kampung.

Sarasehan tersebut diakiri dengan seremonial Deklarasi Pemuda Adat Nusantara Wilayah Nusa Bunga.

 

 

Jhuan S Mari

Parade Pemuda Adat Nusa Bunga

Ende, 07 Mei 2016 –  Barisan Pemuda Adat Nusantara Wilayah Nusa Bunga menggelar parade dengan melakukan long march menuju Ruang Pertemuan. Pemuda adat yang tergabung dalam Barisan Pemuda Adat Nusantara ini terdiri dari pemuda yang berasal dari kampung sedaratan Flores Lembat.

“Pemuda Adat Bangkit, Bersatu dan Bergerak” itulah yel-yel dalam Parade Nusa Bunga saat long march dengan titik kumpul di Bundaran Lampu Lima Monumen Pancasila Ende, Sabtu kemaren.

parade_BPAN

Pemuda adat membentangkan spanduk saat parade di Ende. (Dok: AMAN Nusa Bunga)

Isu utama yang diangkat  oleh pemuda adat di wilayah Nusa Bunga adalah Mendesak DPR RI segera Membahas dan Mengesahakan RUU PPHMA Menjadi UU, Mendesak DPRD Kabupaten Ende segera Membahas dan Menetapkan Ranperda PPHMA menjadi Perda, Mendesak Presiden Jokowi untuk segera menandatangani Satgas masyarakat Adat dan Menyerukan Pemerintah Daerah se-NTT untuk tidak boleh melakukan tindakan diskriminasi terhadap Masyarakat adat.

“Hari ini kami telah ada dan bangkit bergerak untuk menjaga wilayah adat kami yang telah di wariskan secara turun-temurun. Kami tidak mengijinkan siapa pun yang ingin merusak alam kami dan merampas tanah kami. Dan kepada kaum muda di Nusa Bunga mulailah kita pulang kampung dan membangun kampung ,” ujar Yulius Mari dalam orasi di Bundaran Lampu lima Ende.

gelar_parade

Peserta parade BPAN Nusa Bunga. (Dok: AMAN Nusa Bunga)

Menurutnya saat ini masyarakat adat telah mengalami penjajahan yang tersistematis dengan gaya baru. Budaya masyarakat adat secara perlahan mulai dihilangkan oleh sistem pembangunan negara yang program pembangunannya  tidak mempertimbangkan keberlanjutan hidup masyarakat adat. Saat ini pendidikan nasional dengan sisitem pendidikannya, mengajarkan anak-anak adat keluar dan pergi menjauh serta lupa untuk pulang dan membangun kampung.

“Kampung adalah ibu yang melahirkan dan menghidupkan kita. Jangan sekali-kali kita melupakan kampung. Jika kita lupa kampung sama halnya kita lupa terhadap ibu kita sendiri. Jika kita membiarkan kampung kita diobrak-abrik maka kita sedang membiarkan ibu kita disiksa dan ditindas. Mulailah sakarang kita pulang kampung dan membangun kampung karena di sanalah kita akan mengenal masyarakat adat dan identitas kita,” tuturnya.

Angkutan_megapon

Kendaraan komando parade. (Dok: AMAN Nusa Bunga)

Di sepanjang jalan, Barisan Pemuda Adat Nusa Bunga terus berteriak dan menyatakan mereka bangkit dan bergerak.

“Saat ini masyarakat adat telah kehilangan budaya aslinya. Masyarakat adat selalu dipinggirkan oleh negara. Padahal untuk mendirikan negara ini tidak terlepas dari masyarakat adat. Di komunitas adat itu sendiri banyak mangandung nilai yang akan menyatukan seluruh manusia dalam menjaga tanahnya. Oleh karena itu, Pemuda adat harus kembali memperjuangkan nilai-nilai di komunitas yang sudah mulai hilang,” pekik Refan koordinator lapangan (korlap) parade.

Dikatakannya, “Sudah saatnya kita kembali menelusuri  identias budaya kita. Sudah saatnya kita menelusuri kembali pengetahuan-pengetahuan leluhur kita yang sekarang ini sudah mulai pudar.”

IMG_0459

Dok: AMAN Nusa Bunga

Dalam Parade ini juga hadir Ketua Umun  Barisan Pemuda Adat Nusantara ( Ketum BPAN ) Jhontoni Tarihoran dan dalam orasinya ia mengatakan, “Kita saat ini ada di Nusa Bunga dan akan terus ada dan terus berlipat ganda. BPAN adalah organisasi yang menghimpun seluruh pemuda adat dari berbagai pelosok nusantara dengan permasalahan yang sama. BPAN juga bagian dari masyarakat adat dan kita merupakan anak-anak dari masyarakat adat yang siap mempertahankan wilayah adat.”

“Selain itu BPAN di wilayah Nusa Bunga akan terus berjuang mewujudkan cita-cita masyarakat adat yang berdaulat, mandiri dan bermartabat. Kita Pemuda adat harus kembali menelusuri asal muasal leluhur  kita dari berbagai komunitas adat dan siap melanjutkan cita-cita leluhur dalam menjaga bumi ini. Tentu dengan cara kita sebagai kaum muda. Dan saat ini pemuda adat tidak harus malu mengatakan kampung kita adalah kolot, udik, terpencil, dan peramba. Pemuda adat harus berani mengatakan bahwa kita memiliki kedaulatan atas tanah dan seluruh kekayaan alam kita,” pungkas Ketua Umum BPAN.

Ketum_BPAN

Ketum BPAN Jhontoni Tarihoran saat berorasi dalam parade BPAN Nusa Bunga. (Dok: AMAN Nusa Bunga)

Parade BPAN Nusa Bunga berakhir di Gedung PSE Ende. Di tempat ini pemuda adat Nusa Bunga bersama-sama dengan para undangan mendiskusikan peran kaum muda dalam mendorong pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat.

 

Jhuan S Mari

Deklarasi Peta Wilayah Adat yang Menghadirkan Negara Itu….

Masyarakat adat telah lama menunggu sikap pemerintah untuk mendukung kehidupan komunitas adat yang berkelanjutan. Hari itu, si lelaki: asisten tiga Pemerintah Kabupaten Lamandau, secara terang-terangan mendukung sepenuhnya keberadaan masyarakat adat. Ia bercerita bahwa bicara mengenai masyarakat adat bukan hanya soal hutan.

Asisten III Bupati Lamandau, Albert Zakat menjadi saksi pendeklarasian peta wilayah adat Kinipan, Sabtu terakhir April lalu.

Masyarakat adat Kinipan menggelar Lokakarya dan Deklarasi Peta Wilayah Adat yang bertujuan untuk men-sosialisasi-kan peta adat kepada masyarakat adat Kinipan. Juga kepada pemerintah dan DPRD, serta pada komunitas-komunitas bersambitan (tetangga batas) yang sekaligus turut mempersaksikan peta adat Kinipan.

Acara yang digelar  di Gedung Pertemuan Umum, Komunitas Kinipan Kecamatan Batang Kawa, Kabupaten Lamandau, Provinsi Kalimantan Tengah, ini selain Albert Zakat dan Simpun Sampurna turut hadir FX Wiradato anggota DPRD Kabupaten Lamandau, Dewan Wilayah AMAN Kalimantan Tengah Isang dan perwakilan-perwakilan bersambitan (tetangga batas wilayah).

Sebelumnya, masyarakat adat Kinipan telah memetakan wilayah adat mereka yang luasnya mencakup ± 16. 169, 942 hektar. Kinipan yang berada di Kecamatan Batang Kawa, Kabupaten Lamandau, Provinsi Kalimantan Tengah, itu melakukan pemetaan yang difasilitasi oleh Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PD AMAN) Daerah Lamandau.

“Deklarasi ini adalah untuk memberitahukan kepada setiap orang, agar apabila ingin memasuki wilayah adat Kinipan harus terlebih dahulu meminta izin kepada komunitas,” ujar Ketua AMAN Kalimantan Tengah Simpun Sampurna.

Dadut, begitu Simpun Sampurna biasa disapa, menuturkan bahwa komunitas Kinipan ada dan memiliki aturan adat, hukum adat, pengaturan secara adat, memiliki batas wilayah adat, memiliki sumber daya alam yang cukup untuk menghidupi komunitas. Sehingga Kinipan bukanlah komunitas yang tidak memiliki identitas atau dianggap terbelakang karena lokasi komunitas ini yang cukup sulit dijangkau dengan infrastruktur yang belum memadai untuk ukuran manusia berwatak “pembangunan”.

Komunitas adat Kinipan merupakan salah satu komunitas adat di Kalimantan Tengah yang masih cukup terjaga kelestariannya. Hadirnya AMAN, dan langsung menyikapi perkembangan situasi yaitu dengan mendorong masyarakat adat setempat melakukan pemetaan wilayah adat mereka, telah mengamankan Kinipan dari ancaman penghancuran oleh pihak ketiga, sekalipun baru satu langkah. Satu langkah kecil yang harus terus diperkuat.

Kesyadi Antang, Ketua Pengurus Wilayah Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Kalimantan Tengah membenarkan hal itu. Menurutnya, pemetaan wilayah adat adalah satu tahapan urgen bagi masyarakat adat untuk mencegah kemungkinan datangnya klaim kehutanan dan dilanjutkan oleh korporasi perusak lingkungan.

Pria Dayak Ngaju ini bercerita bahwa Kinipan juga sedang menghadapi ancaman. Serupa dengan wilayah adat lainnya, Kinipan juga telah disorot oleh pihak ketiga sekalipun belum ada “aktivitas” di sana. “Sementara itu Kinipan sudah dikapling-kapling oleh perusahaan,” ujarnya.

Acara yang berlangsung selama satu hari penuh diakhiri dengan penandatanganan berita acara Lokakarya dan Deklarasi Peta Wilayah Adat Komunitas Adat Kinipan. Berita acara ini ditandatangani oleh perwakilan-perwakilan dari komunitas bersambitan dengan diketahui oleh kepala desa Kinipan.

Hari itu menjadi sebuah catatan bersejarah bagi masyarakat adat Kinipan. Mereka memantapkan langkah untuk menjaga tanah leluhurnya. Bersamaan dengan itu, mereka diharapkan bisa menjadi teladan bagi komunitas adat lain di sekitarnya.

“Ke depan komunitas lain pun bisa segera melakukan pemetaan wilayah adatnya dan disosialisasikan melalui acara seperti ini. Pemerintah Kabupaten sangat mendukung. Setidaknya dalam mulut,” kata Kesyadi.

Masyarakat adat Kinipan pun cukup bergembira sore itu. Hal yang sama juga dialami oleh Zakat sang asisten. Ia bahkan menambahkan, “Penting sekali menjaga hutan untuk anak cucu kita yang akan datang”.

Meskipun demikian, langkah sang asisten terasa gontai. Masyarakat adat Kinipan meminta segera diterbitkannya, paling tidak, Surat Keterangan (SK) Bupati tentang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat Kabupaten Lamandau. Ia pun kembali dengan membawa setumpuk “Pekerjaan Rumah (PR)” yang wajib segera dia sampaikan ke bosnya: bupati.

[BPAN]

 

KONTAK KAMI

Sekretariat Jln. Sempur 58, Bogor
bpan@aman.or.id
en_USEnglish