BPAN Gelar Pelatihan Kepemimpinan Generasi Penerus

bpan.aman.or.id – Sungai Utik kembali menjadi tempat penyelenggaraan pelatihan yang sudah dimulai sejak 2014. Tiga kali berturut-turut pelatihan ini diadakan di komunitas Dayak Iban itu.

Tahun 2016 terdapat 24 peserta yang mengikuti pelatihan ini dari berbagai wilayah adat: Tano Batak (Sumut), Talang Mamak (Riau), Jambi, Palembang, Banyuwangi (Jawa Timur), Semunying (Kalimantan Barat), Sungai Utik (Kalimantan Barat), Pulan (Kalimantan Barat), Kalimantan Selatan, Punan (Kalimantan Utara), Paser (Kalimantan Timur), Ranowangko (Sulawesi Utara), Sulawesi Tengah, Flores (NTT), Molo (NTT), Halmahera (Maluku Utara), dan Moi (Papua Barat).

Para peserta: pemuda yang bertekad baja untuk mengurus dan memperjuangkan wilayah adatnya dari gempuran perusahaan yang semakin menggila. Semua peserta diberangkat dan dipertemukan oleh perasaan senasib sepenanggungan. Keadaan wilayah adat yang menggawat dan menimbulkan krisis menjadi titik semangat perjuangan mereka untuk mengikuti pelatihan berdurasi tiga minggu.

Hadir beberapa fasilitator dalam pelatihan ini antara lain Serge Marti – Simon Pabaras – Eny Setyaningsih dari LifeMosaic, Mina Susana Setra dari AMAN, Jhontoni dari PN BPAN, Muhamad Yusuf dan Ahmad Mursidi atau yang akrab disapa Tole dari Taring Padi (seniman), Sandrayati Fay (musisi), Olvy Tumbelaka – Nedine Helena Sulu – Herkulanus Edmundus – Melianus Ulimpa (peserta 2015) dan Noer Fauzi Rachman (Kantor Staf Kepresidenan/KSP).

Seluruh peserta dan fasilitator tinggal bersama di Rumah Panjang atau Rumah Betang atau dikenal juga dalam bahasa setempat Rumah Panjai. Rumah Panjai yang berjumlah 28 bilik atau 28 pintu menjadi tempat bermain, belajar, tidur dan segalanya. Peserta yang ada pun diacak penempatannya dalam berbagai bilik, sehingga tidak semua bilik terisi penuh oleh peserta atau fasilitator.

Hening

Alam Sungai Utik nan indah untuk tempat bermain dan belajar memang tiada taranya. Tidak ada keributan ataupun usikan yang memungkinkan timbulnya ketidaknyamanan selama pelatihan. Semua peserta mendapati dirinya dalam kehangatan dan kebahagiaan yang sudah sulit dijumpai di tempat lain.

Kuatnya tradisi menjadi satu hal yang mengikat dan menciptakan seluruh suasana nyaman dan tenang yang kami alami. Tradisi adat yang kuat itu berjalan biasa, mengalir, bukan dibuat-buat saat kami datang. Itu merupakan kebiasaan mereka sejak dahulu sehingga kehidupan masyarakat kampung tertata rapi dan bebas dalam aturan main adat yang mereka sepakati dan praktikkan terus-menerus.

Hening di sini yang paling penting bukan saja tidak banyak suara bising seperti dari kendaraan roda dua, tiga, empat bahkan lebih atau suara riuh masyarakat. Hening dalam arti mendalam adalah tidak ada satu pun perusahaan perampas tanah atau hutan di sepanjang wilayah adat Sungai Utik. Inilah kenyataan yang membanggakan sebab sangat jarang sekali terdapat wilayah adat yang jauh dari taring korporasi perusak lingkungan dan kehidupan.

Masyarakat adat Sungai Utik benar-benar tidak mau menerima perusahaan yang datang ke wilayah adat mereka. Kegigihan dan keteguhan menolak “pembangunan” tersebut sungguh kenyataan yang terbukti, meskipun seolah dalam mimpi. Kesadaran mereka akan begitu berharganya hutan, ladang, sungai dan segala yang ada di wilayah adatnya membuat mereka tidak bisa disentuh oleh rencana-rencana jahat.

“Kami dibilang kolot. Tidak mau pembangunan, ketinggalan zaman dan bodoh oleh masyarakat adat tetangga. Begitu pun orang-orang Pontianak (ibukota Kalimantan Barat),” cerita Rengga pemilik bilik dua.

Masyarakat adat Sungai Utik dicap tidak mengikuti perkembangan zaman. Terisolasi dalam keterbelakangan seperti setia dalam penggunaan pelita, walau belakangan sudah masuk solar panel, listrik bersumberkan cahaya matahari. Lebih jauh bahkan dalam Oktober nanti, listrik negara akan mulai masuk. Namun itu semua adalah jenis kebutuhan yang bukan pertanda kemajuan. Itu sebabnya orang Sungai Utik tidak ambil pusing soal kedatangan listrik yang bagi masyarakat di luar Sungai Utik, itu merupakan suatu anugerah zaman. Dengan kata lain rencana kedatangan PLN ke Sungai Utik bukanlah atas permohonan yang memelas sehingga pemerintah akan memasukkan listrik. Kebijakan tersebut bagi masyarakat adat Sungai Utik tidak memengaruhi kebiasaan atau kebudayaan mereka sebagai orang yang pantang berjabat tangan dengan korporasi yang bersifat eksploitatif.

Pelatihan

Selama pelatihan, seluruh peserta selalu terlibat aktif. Dengan beragam metode yang disajikan fasilitator, ya sangat memperkaya bekal peserta untuk menjadi fasilitator di komunitasnya masing-masing. Metode partisipatif dan berbentuk lingkaran selalu menjadi ruang yang diciptakan untuk memulai dan melanjutkan setiap kegiatan. Efektifitas lingkaran tentu sangat terasa sekali bagi seluruh peserta dalam mengikuti pelatihan yang dinikmati dengan serius, santai, dan selesai itu.

Menurut Ibu Viktoria Mael, peserta asal Nusa Tenggara Timur, jenis pelatihan ini berbeda sekali dengan yang pernah ia dapatkan sebelumnya. Pelatihan ini mengantarkan peserta pada tingkat partisipasi yang maksimal sehingga setiap sesi yang memunculkan pembahasan atau masalah yang harus dihadapi selalu dipecahkan secara bersama-sama. Dalam duduk melingkar diibaratkan bahwa semua orang setara, sehingga tidak ada yang mendominasi atau malah menguasai kegiatan.

“Jadi, menurut saya ini adalah pelatihan yang sangat bagus. Sebelumnya saya bekerja di birokrasi dan mendapat pelatihan namun bentuknya hanya searah. Bahkan kita tidak punya waktu untuk menyatakan pendapat. Kita selalu hanya jadi pendengar,” tuturnya dengan wajah mengkerut seakan kesal dengan pengalaman di birokrasi.

Berbeda dengan Ibu Viktoria atau yang biasa disapa Ibu Viki itu, Jafri pemuda adat dari Talang Mamak menyampaikan bahwa pelatihan dengan bercermin pada metode-metode yang digunakan sudah pernah ia ketahui. Hal itu ia dapat dengan turut mempraktikkan beberapa metode dalam pelatihan ini secara langsung di Talang Mamak bersama dengan Eny dan Simon dari LifeMosaic.

“Namun ada beberapa yang menurutku itu sangat bagus. Misalnya, selain metode baru, kehidupan masyarakat di sini itu sangat perlu diteladani,” kata pemuda yang lihai berpantun ini.

Pelatihan ini memang berbeda dengan yang umum dikenal di mana-mana. Meskipun ada banyak pelatihan yang mungkin sudah merubah caranya dalam menyajikan metode-metodenya, yang pasti ini adalah salah satu yang baru dalam gerakan masyarakat adat khususnya. Berikut perlu disampaikan bentuknya yang sudah bergeser dari pelatihan biasa, sekalipun sudah ditonjolkan beberapa di paragraf sebelumnya.

Metode lingkaran

Sejak awal seluruh peserta tiba di Rumah Panjai, Sungai Utik, duduk melingkar sempurna telah diperagakan. Seterusnya setiap ada pembicaraan atau setiap masuk sesi, duduk melingkar dan kadang berdiri sebelum memulai, misalnya sekadar bernyanyi untuk memompa semangat, selalu dilakukan dengan melingkar penuh. Dengan demikian dalam duduk melakukan sesi, semua peserta maupun fasilitator yang memfasilitasi berada dalam keliling cincin.

Falsafah lingkaran sangat sederhana. Setiap orang berada dalam posisi yang sama. Secara fisik, semua orang bisa bertatap muka dan karena itu tidak ada yang membelakangi maupun yang dibelakangi. Tambahan lagi, posisi melingkar ini mempersembahkan pemaknaan bahwa kesetaraanlah yang diutamakan, sehingga semua orang bebas berpendapat. Tidak peduli benar atau salah. Sebab semua orang adalah guru. Satu dengan yang lain bisa menyampaikan pendapat, juga mendengar apa pesan orang lain.

Duduk melingkar ini sudah dipraktikkan cukup banyak oleh masyarakat adat di Filipina. Di negeri bekas sekutu Amerika itu sekarang telah ada pendidikan adat yang jenjangnya mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Metode belajar dan berdiskusi yang selalu mereka gunakan adalah dengan duduk melingkar atau berdiri melingkar.

Demikianlah metode ini dalam setiap sesi selalu dipergunakan. Untuk menggali pendapat pun dilakukan mengalir secara melingkar sehingga tidak pernah terjadi dominasi satu atau dua orang yang sudah tahu atau sok tahu atas suatu pemahaman. Semua turut menyumbang pendapat, sekalipun tidak relevan dengan topik atau pertanyaan yang diajukan bersama.

Terkait lingkaran lagi, satu metode yang diperlukan dan dipergunakan untuk memfasilitasi peserta untuk berkontemplasi terkait dirinya masing-masing dengan wilayah adatnya yaitu Lingkaran Jiwa. Metode ini merangkai setiap jiwa yang saling mendapat pengalaman betapa wilayah adatnya semakin terancam oleh rakusnya penguasa dan pengusaha. Juga sebagai keterhubungan antara satu dengan yang lain dalam skopnya memperjuangkan wilayah adat yang sebab dan penyebabnya tidak berbeda jauh.

Dalam sesi ini, siapa saja dituntut untuk hening dan memikirkan nasib masa depan di wilayah adat masing-masing. Kompleksitas persoalan yang telah dimulai penjahat sejak masa lalu dan berlangsung terus di masa kini direnungkan untuk kemudian dipikirkan bagaimana supaya semakin marak orang menyadari betapa pentingnya menjaga bumi, salah satunya lewat masyarakat adat, untuk membayangkan masa depan yang berhasil tanpa kerakusan kekuasaan.

Dalam praktik bermeditasi sederhana ini, disajikan batu, ranting, bakul kosong, dan daun-daunan sebagai simbol empat hal yang bisa mewakili perasaan setiap orang akan apa yang terjadi atas wilayah adatnya. Batu merupakan simbol ketakutan atas apa yang telah terjadi di wilayah adat, namun sekaligus juga simbol kekuatan atau keteguhan yang mana ketakutan jika semakin lama mengendap akan mengeras menjadi kekukuhan dalam setiap orang. Ranting merupakan simbol kemarahan atas segala kerusakan dan perusakan yang terus terjadi di wilayah adat. Di mana penguasa dan selingkuhannya: pengusaha, selalu menaburkan kebencian terhadap alam dan kepada manusia. Mereka tak henti-hentinya merusak hutan, merampas tanah dan akhirnya menghancurkan kehidupan masyarakat adat pemilik tanah itu. Bakul kosong yaitu simbol perasaan yang kosong. Kecut. Terkadang perasaan masyarakat adat sudah kosong sebab segala sesuatunya memang sudah dirampas oleh negara dan korporasi yang terus merajalela. Daun-daunan menjadi simbol kelemahan, keragu-raguan. Di titik ini siapa saja yang berjuang bersama masyarakat adat atau yang mempertahankan tanahnya dari ancaman bertubi-tubi penakluk dengan ganasnya sangat terasa bisa melumpuhkan kekuatan. Siapa saja peserta diperbolehkan untuk menyampaikan isi hatinya dalam Lingkaran Jiwa dengan memegang simbol-simbol yang mewakili kemarahan, ketakutan, kekosongan, bahkan keraguannya. Dan setiap siapa saja yang sudah selesai menumpahkan kegeramannya, dan kembali ke barisan cincin, peserta lainnya merangkul dan menguatkan dan meneguhkan dengan mengucapkan kata-kata “aku bersamamu” secara serempak.

Barangkali ada penjelasan lain yang belum tertuang dalam paragraf di atas. Akan tetapi, Lingkaran Jiwa merupakan suatu metode mendasar yang dibutuhkan dan diperlukan untuk menyentuh hati siapa saja yang benar-benar mau memperjuangkan hak-hak atas wilayah adatnya. Dengan demikian, metode ini bisa dikatakan salah satu metode yang sangat berharga.

Panen

Salah satu yang menarik dari pelatihan ini adalah peniadaan notulensi. Notulensi atau mencatat setiap sesi yang dilewati ke dalam catatan bundel dianggap tidak relevan lagi. Satu alasan yang paling sering diucapkan mengapa notulensi ditiadakan adalah kurang berfungsinya catatan setelah serangkaian pelatihan selesai diadakan. Catatan yang membundel dikatakan hanya menjadi dokumentasi yang tidak bermanfaat sebab selesai kegiatan, catatan itu akan tenggelam menjadi bundel, tidak akan tersentuh oleh peserta atau siapa saja. Sebab jika sudah dicatat hingga menghabiskan sebuah buku atau lebih ditulis tebal, orang akan malas membaca atau membukanya.

Karena itu, panen adalah solusi alternatif yang dimanfaatkan dalam pelatihan ini. Panen ialah penjabaran dan pemahaman ulang atas sesi yang telah dilewati sehari sebelumnya. Jadi setiap pagi sebelum sesi baru dimulai, selalu disajikan terlebih dahulu panen dari sesi-sesi di hari sebelumnya. Selain panen harian, terdapat juga panen raya. Panen raya yaitu panen atas semua atau ¾ jalannya kegiatan sebelum diakhiri dengan panen raya yang kali kedua dengan merangkum keseleruhan proses sejak awal sampai akhir segala sesi.

Panen ini sendiri memiliki kelebihan atau keunikan tersendiri. Panen harian misalnya disajikan dengan berbagai cara yang menarik, attraktif dan sekaligus padat atau langsung pada intinya. Adapun beberapa cara yang dilakukan dalam panen ini di antaranya model: talk show, live report/laporan reporter secara langsung di lapangan, puisi, lagu/bernyanyi, pantun, teatrikal, drama, gambar poster, pantomim, diorama, presentase/pemaparan, komedian.

Semua model panen tersebut dipraktikkan, sehingga dengan melihat jenis-jenis tersebut setiap peserta bisa memilah satu atau dua cara yang menarik yang bisa dipraktikkan di wilayah adatnya masing-masing. Juga jika memungkinkan semua model tersebut pun akan dimainkan bahkan lebih. Tergantung kreativitas si fasilitator yang akan memfasilitasi pertemuan tentang membicarakan masalah di wilayah adat masing-masing. Dengan demikian, siapa saja yang tergabung dalam pembicaraan tersebut diharapkan bisa menangkap dengan lebih mudah, ringan, tidak membosankan apalagi membuat ngantuk. Sebab masyarakat adat/pemuda adat yang akan difasilitasi di wilayah/komunitas tentu tidak semua orang kekotaan atau sekolahan yang terbiasa disuapi dengan metode pembelajaran yang selalu bergantung pada catatan kaku minus atraksi.

Dengan kata lain, metode panen ini sebenarnya lebih menekankan pada kebutuhan masyarakat yang lebih terbiasa menangkap pesan dengan: mendengar dan melihat. Masyarakat yang lebih condong visual atau audio akan sangat mudah didekati dibandingkan dengan memaksakan mereka mengikuti pendekatan tertulis. Masyarakat Indonesia yang sebagian besar menganut tradisi lisan jelas lebih mudah menangkap pesan yang disampaikan lewat audio visual, yang sifatnya lebih menghibur—dengan catatan isi atau esensi yang hendak disampaikan tidak hilang atau bahkan tidak ada.

Menonton film

Metode lain yang terdapat dalam pelatihan ini adalah menonton film. Terdapat beberapa film yang diputar sesuai tema sesi yang bergulir. Mulai dari film tentang krisis di wilayah adat, misalnya film “di Balik Kertas”. Selain itu film mengenai pendidikan yang memenjarakan manusia di masa lalu bahkan membuat masyarakat adat jadi robot yang tidak tahu apa-apa dan ditarik ke kota untuk kepentingan sekolah. Sementara tanah adat beserta potensi sumber daya yang ada di dalamnya dihisap sampai habis. Pendidikan Barat yang ditunjukkan menyatakan bahwa masyarakat di kampung itu primitif, karena itu harus diajarkan pendidikan modern yang merupakan milik Barat dan jelas tujuannya untuk mengeksploitasi.

Film lain yang menginspirasi juga ditayangkan. Beberapa film yang ada diputar menurut alur sejarah, bagaimana terjadi datangnya krisis, hilangnya tanah, lalu kini perampasan tanah malah tambah marak di mana-mana. Namun di ujung sesi menonton film, disajikan pula film yang menginspirasi di mana harapan-harapan atau upaya untuk terus menjaga semangat perjuangan ditunjukkan dengan melihat perkembangan perjuangan di belahan benua lain. Film yang menantang di mana diceritakan bahwa masyarakat adat harus punya impian di masa depan yang disebut Rencana Kehidupan atau dalam bahasa Spanyol disebut Plan de Vida.

Selain metode yang akan menjadi bekal calon fasilitator, diskusi seputar krisis yang muncul di lapangan adalah satu hal pokok yang dilakukan dalam pelatihan ini. Membuka ruang untuk memahami bersama kondisi masyarakat adat dan wilayah adat berserta isinya juga keadaan atau perkembangan terkini yang mana orang-orang dari wilayah adat sendiri abai bahkan apatis akan apa yang terjadi di wilayah adatnya, merupakan hal esensial. Di sini pulalah dibahas hal itu sedemikian rupa sehingga peserta bisa memahami arah kejadian yang sudah lama menimpa masyarakat adat di wilayah adatnya dan perubahan tak kunjung ada. Dengan diskusi yang membicarakan itu pula, peserta memetik pelajaran betapa pembodohanlah selama ini yang telah menjadi badai besar melanda kampung.

Dalam hal ini pembahasan yang dibuka adalah melalui pendidikan. Terdapat pendidikan konvensional yang mana arahnya selalu meringankan langkah si pemuda adat untuk meninggalkan kampung. Untuk ini, Noer Fauzi Rachman atau biasa disapa bang Oji menyebut fenomena ini dengan “Ilmu Pergi”. Akhirnya pemuda adat kerap kali memunggungi wilayah adat, tanah kelahiran atau kampung halaman sendiri dan bersusah payah bergerak cepat ke kota. Itulah pendidikan konvensional yang dipraktikkan terus-menerus sejak masa dini, SD, SMP, SLTA hingga Perguruan Tinggi. Tidak ada pendidikan yang membuat masyarakat untuk kritis berpikir. Inilah pendidikan yang merupakan kepanjangan dari sistem pendidikan Barat di masa kolonial atau jauh sebelumnya. Sistem pendidikan ini oleh Paulo Freire, seorang pakar pendidikan asal Recipe-Brazil, disebut dengan sistem pendidikan gaya bank. Menabung terus-menerus.

Terkait itu, pendidikan populer atau pendidikan yang membebaskan merupakan berita lain dari sisi pendidikan konvensional yang dibahas. Pendidikan yang membebaskan ini dibahas dengan menyertakan materi bacaan yang wajib dibaca dan dibahas per kelompok. Kemudian dipanen dengan menarik satu kata atau kalimat terkait apa yang dipahami dari bacaan tersebut. Selanjutnya disambung dengan menjembatinya melalui lagu “Semua Orang Itu Guru”. Lagu ini merupakan cerminan dari pendidikan yang membebaskan terutama dari gagasan Paulo Freire. Lagu tersebut pun dibedah dengan menarik inti-inti dari setiap baris lagu.

Terbitan, Poster, Lagu

Hal lain yaitu membuat terbitan sendiri sebagai alat perjuangan yang bisa disebarkan secara luas. Terbitan ini merepresentasikan dokumentasi tertulis yang bisa digarap sederhana, murah, cepat dan menjadi corong perlawanan yang muncul langsung dari masyarakat adat itu sendiri. Pengerjaannya pun asyik dan dilakukan bergotong royong.

Isi terbitan misalnya disepakati cukup: puisi, komik dan tulisan bebas. Lalu untuk memulainya maka dipilih topik yang sesuai dengan persoalan yang tengah dialami atau dihadapi. Setelah selesai proses penulisan atau pembuatan gambar/komik, maka dilanjut ke proses lay out atau tata letak. Untuk mengakhiri, maka tulisan atau komik diurut dan ditempel membentuk buku.

Poster adalah cara lain yang turut dipelajari dalam pelatihan ini. Poster atau seni gambar merupakan jenis perlawanan lainnya yang diekspresikan lewat seni. Untuk mencipta karya ini, langkah awal tetap sama yaitu menentukan tema yang akan menjadi acuan seluruh gambar yang akan dilukis.

Lagu juga menjadi satu alat yang bisa dijadikan alat perlawanan. Banyak lagu yang dicipta sebagai bentuk protes terhadap ketidakadilan sosial. Terkhusus dalam pelatihan ini, seluruh peserta dilibatkan untuk mencipta lagu. Proses ini dilakukan dengan menemukan lirik lagu secara gotong royong. Langkah berikutnya, Tole dan Sandrayati berkolaborasi untuk menemukan nadanya. Begitulah lagu diciptakan bersama dan dinyanyikan juga secara bersama sebagai wujud perlawanan masyarakat adat.

Di atas semuanya itu satu hal yang tidak boleh dilupakan dalam setiap aksi adalah dokumentasi. Dokumentasi sangat penting untuk menunjukkan kepada audiens atau target sasaran. “Suatu kali kami mengadakan aksi menolak pabrik PLTU Batang. Setelah membuat poster, replika ikan, mengorganisir massa, dan lain-lain, hal terakhir adalah dokumentasi. Selain foto, kami buatkan juga videonya. Video ini kami sebarkan seluas-luasnya agar pesan masyarakat Batang sampai ke target,” kisah M. Yusuf atau biasa disapa Mas Ucup.

Meditasi

Keterpanggilan pemuda untuk mengurus wilayah adat tidaklah cukup hanya melalui pembicaraan teoritis. Setelah melewati beragam metode yang dipraktikkan langsung dalam pelatihan ini, pemuda adat juga diajak untuk mengenal tanah secara emosional dari jarak sangat dekat. Teknik ini merupakan penghayatan penuh terhadap alam.

Proses ini dilakukan dengan bermeditasi di hutan selama satu malam penuh. Jadi setiap peserta dengan masing-masing satu pondok kecil akan menjalani meditasi. Selama satu malam penuh tersebut benar-benar menjadi penghayatan mendalam terhadap alam dengan segala isinya. Dengan caranya masing-masing setiap peserta mendapat pengalaman unik.

Namun, pada dasarnya meditasi ini diperuntukkan demi mengenal alam lebih intim. Sekaligus juga untuk merefleksikan kondisi bumi yang semakin hancur dirusak oleh perusahaan ganas atau manusia serakah yang hanya mementingkan isi perut sendiri dan kelompoknya. Dengan kata lain, metode ini merupakan penajaman kepekaan terhadap penting dan sangat berharganya alam terkhusus tanah di wilayah adat. ᴥᴥᴥ

[Jakob Siringoringo]

Heli Pemadam Ladang

Resah, kecewa dan marah. Perasaan ini yang terpaksa harus dialami sejumlah warga ketika berkenalan dengan Si Heli yang dengan angkuhnya datang menumpahkan air kala mereka melakukan cara bakar membersihkan ladangnya.

Arina Enda dan Lina, dua di antara warga pemilik ladang yang turut menjadi korban kegagahan Si Heli pemadam ladang itu berkisah kepada penulis tentang peristiwa menyedihkan kala itu.

Arina Enda

Arina Enda

Enda, warga dusun Bawas di kabupaten Kubu Raya mengaku sangat hati-hati. Terlebih dulu dirinya memberi kabar kepada pengurus desa dan bahkan juga mengabarkan rencana membersihkan ladang dengan cara bakar pada pihak perusahaan perkebunan yang berada di sekitarnya.

Hari itu, Rabu 7 September 2016. Enda bersama keluarga berangkat dari rumah pukul 15.30 wib menuju ladang. Sejumlah warga dan keluarga diajak untuk turut serta membakar ladang agar lebih terkendali. Ia juga membawa peralatan untuk membantu kelancaran proses pembersihan ladangnya.

Ketika tiba waktunya membakar, ia lebih dulu menyiram sekeliling ladang yang telah dibuat sekat bakar yang dalam istilah setempat disebut nataki’. Setelah itu, api di ladang pun dinyalakan.

Baru sekitar 15 menit api menyala, Si Heli sang pemadam datang tak diundang. Juru mudi Heli pun tak sempat berkenalan, apalagi menyapa Enda yang empunya ladang. Dengan gagahnya, air ditumpahkan dan api yang saat itu menyala lantas padam. Byuuuur.

Menyaksikan atraksi Si Heli yang langka itu, sejumlah warga yang melintasi jalan Trans Kalimantan berkerumun. Si Heli seakan jadi tontonan penghibur. Ada yang melambaikan tangan dan ada pula yang mengabadikan gambar atraksi Si Heli. Padahal di balik peristiwa bom air yang dijatuhkan, Enda si pemilik ladang tertegun sedih. Diam tak bisa berbuat apa-apa. Ia pasrah sambil menahan rasa perih di dada.

Heli pemadam ladang itu berkali-kali menyiramkan air di ladang milik Enda. Hingga usai melakukan misinya, sang juru mudi Heli tak juga menyapa Enda untuk sekedar menyampaikan permisi dan terima kasih. Apalagi kata maaf.

Dalam rasa sedih dan kecewa, ibu empat anak itu pasrah menerima kenyataan yang baru dialami. Semenjak berladang, baru kali ini menerima kenyataan pahit. Ia hanya menyimpan rasa sedih, tidak tahu harus marah kepada siapa.

Heli BPBD

Helikopter BPBD

Seperti Enda, Lina juga merasakan hal yang sama ketika ladangnya disiram si Heli saat dibersihkan dengan cara bakar. Warga kampung Lingga Dalam di Kubu Raya itu pun turut merasa kecewa atas kejadian yang dialami. Ladang yang dibakar dengan sangat hati-hati yang melibatkan sejumlah warga lainnya malah disiram. Ia pun tak tahu harus berbuat apa selain merasakan kecewa dan pasrah.

Si Heli ternyata bukan hanya mahir menyiram ladang yang sedang dibersihkan dengan cara bakar. Namun juga pandai menjatuhkan bom air pada kegiatan warga yang sedang membakar kopra kelapa. Oki adalah satu dari warga yang memgalami kasus tersebut. Warga yang juga berasal dari kabupaten yang sama dengan Enda dan Lina itu, mengaku kecewa.

“Saya punya masalah pemadaman api kemarin. Saya kecewa sekali karena saya membakar kopra kelapa juga disiram pake helikopter,” jelasnya melalui pesan singkat.

Si Heli ternyata memang hebat. Karena ia bukan hanya telah menjatuhkan air serampangan pada sejumlah lokasi yang sebetulnya tidak perlu. Namun yang lebih hebat adalah sejumlah orang/pihak di balik Heli pemadam kebakaran. Kehebatannya, mereka tega untuk melakukan langkah serampangan itu dengan sangat sadar.

Bagi Enda, Lina, Oki dan masyarakat peladang lainnya, saya salut dengan kesabaran kalian. Sabar karena tindakan pemadaman tak diundang ketika Anda sedang bersihkan ladang atau juga sedang membakar kopra itu, tidak membuat amarah memuncak menjadi sebuah tindakan pembelaan diri.

Tetapi saya percaya. Bila Si Heli terus-menerus melakukan aksinya, rasa kecewa dan sedih yang Anda semua alami akan sampai pada puncaknya. Pada situasi ini, sepertinya Si Heli dan orang/pihak di belakangnya baru akan sadar bahwa tindakan pemadaman yang dilakukan menyalahi etika yang dianut komunitas. Pada situasi ini mungkin mereka baru akan sadar bahwa tindakan pemadaman serampangan telah melukai hati dan perasaan rakyatnya sendiri.

 

[Hendrikus Adam]

Bangun dari Tidur Panjang

Masyarakat adat di Murung Raya Kalimantan Tengah sebelum bergabung dalam satu wadah yang terorganisir, yaitu Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), telah membentuk Aliansi Masyarakat Adat (AMA) yang dipimpin oleh Bapak Melody bersama dengan Yayasan Bina Sumber Daya (YBSD) jaringan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalteng  yang dikepalai oleh Bapak Andreas N.J Udang, M.Sc pada 1999.

Beberapa waktu setelah itu atau 17 Maret 1999 terbentuklah AMAN di Jakarta. Kemudian pada 2006 dilaksanakan Musyawarah Wilayah I Kalimantan Tengah di Palangka Raya. Hanya saja sejak 2006 sampai dengan 2010 tidak ada kejelasan dalam kepengurusan. Baru pada 2011 Bapak Thomas dan Bapak Odor menyuarakan hak-hak tenurial masyarakat adat Kalimatan khususnya Suku Dayak Punan di Kalimantan Tengah ke Kementerian Kehutanan dan Komnas HAM yang didampingi oleh PB AMAN di mana kala itu keduanya mengalami kriminalisasi  yang dilakukan oleh Bupati Murung Raya serta Polres Murung Raya.

Setelah melewati berbagai permasalahan, kedua aktivis  ini membentuk formateur tunggal dalam mempersiapkan Pengurus Daerah AMAN Murung Raya pada 2012. Akan tetapi pengurus hasil Musyawarah Daerah AMANDA Murung Raya itu pun  mengalami berbagai permasalahan internal sehingga kembali terjadi kevakuman organisasi sampai dengan Juli 2016. Kevakuman ini menyebabkan tidak adanya pendampingan serta pembelaan secara terorganisir untuk berbagai permasalahan di komunitas adat yang ada di daerah Murung Raya, baik itu intimidasi maupun kriminalisasi serta menurunnya pemahaman untuk mempertahankan adat istiadat, budaya dan wilayah adat yang seharusnya selalu dijaga dan dilestarikan untuk generasi yang akan datang dan juga merupakan warisan leluhur yang sangat berharga bagi masyarakat adat di daerah Murung Raya.

Adapun permasalahan yang dihadapi masyarakat adat di setiap komunitas yaitu banyaknya perusahaan tambang dan perusahaan kayu yang tidak ada sama sekali keberpihakannya terhadap masyarakat adat bahkan tidak jarang adanya intimidasi maupun kriminalisasi yang mereka alami. Bahkan masyarakat adat banyak sebagai penonton di wilayah adatnya sendiri ketika kekayaan alamnya dinikmati oleh pihak perusahaan. Sebaliknya masyarakat adat hanya menerima penderitaan semata seperti sungai tercemar, tidak dihargainya adat istiadat, konflik sesama masyarakat sendiri maupun terhadap pihak perusahaan dan aparat  keamanan.

Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Murung Raya dan Pengurus Daerah Barisan Pemuda Adat Nusantara Murung Raya  mencatat kasus sebagai berikut:

1) Seperti yang dialami oleh komunitas Kuhung Kecamatan Laung Tuhup Kabupaten Murung Raya, masyarakat adatnya tidak bisa menikmati air bersih karena limbah batu bara PT. Asmin Koalindo Tuhup (AKT) dan juga hancurnya hutan yang asri.

(Sumber : Masyarakat Adat Dayak Murung, Walhi Kalteng)

2) Beberapa Komunitas di Kecamatan Tanah Siang Selatan Kabupaten Murung Raya, masyarakat adatnya banyak menerima limbah merkuri, sianida, tercemarnya sungai, berubahnya bentuk hutan yang asri menjadi kolong tambang emas (merubah sedikit bentuk bumi), berkurangnya tatanan adat istiadat, konflik besar-besaran sesama masyarakat adat maupun terhadap perusahaan dan aparat keamanan. Kejadian  ini terjadi sejak 1985: PT. Indo Muro Kencana (PT. IMK) mulai melakukan  perampasan  tanah-tanah masyarakat adat. IMK adalah perusahaan tambang emas dan perak yang mulai produksi di penghujung 1994. Semula saham IMK dimiliki oleh PT. Gunung Muro Perkasa (Nasional), Duval Corporation of Indonesia (Amerika), Pelsart Muro Pty, Ltd (Australia), dan Jason Mining (Australia). Kepemilikan saham itu terlihat dalam kontrak karya mereka dengan pemerintah Republik Indonesia dengan nomor: B-07/Pres/1/1985 tertanggal 21 Januari 1985.

Tahun 1993 saham IMK dimiliki oleh Aurora Gold (Australia) sebanyak 90% dan PT. Gunung Perkasa (Nasional) sebanyak 10%. Tahun 1997 Aurora Gold telah memiliki 100% saham IMK. Lokasi tambang IMK berada di Kecamatan Permata Intan,  Murung dan Tanah Siang, Kabupaten Barito Utara, Provinsi Kalimantan Tengah. Kontrak karya IMK berlaku selama 30 tahun sejak Februari 1985 s/d 2014.

Luas wilayah kontrak karya IMK adalah 47.962 Ha. Lokasi itu berada di sekitar pemukiman masyarakat Dayak Siang, Murung dan Bakumpai, termasuk di dalamnya beberapa daerah aliran sungai serta anak-anak sungai.

(Sumber: Walhi dan Pejuang Masyarakat Adat Dayak Siang, Murung dan Bakumpai)

3) Masyarakat adat Komunitas Topus, Komunitas Tujang, Komunitas Tumbang Olong, Komunitas Kalasin Kecamatan Uut Murung, masyarakat adatnya merasakan pencemaran sungai, merusak tatanan lingkungan dan sosial budaya maupun pelecehan terhadap hukum adat Dayak.

(Sumber: Perkumpulan Punan Arung Buana)

Dan ditambah lagi dengan permasalahan baru yaitu bencana asap pada 2015 yang membuat dunia internasional mengecam negara Indonesia khususnya pulau Kalimantan. Bencana asap tersebut mengintimidasi masyarakat adat yang dianggap sebagai pelaku di balik bencana tahunan itu. Padahal bencana tersebut merupakan kesalahan yang dilakukan oleh oknum perusahaan sawit dan oknum masyarakat yang sengaja membakar lahan dan bukan untuk ladang menanam padi melainkan kepentingan lainnya.

Karena tragedi bencana asap pada 2015 lalu, muncullah Instruksi Presiden Republik Indonesia Joko Widodo untuk melarang membakar lahan dan pekarangan sesuai dengan UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999 dengan ancaman hukuman pidana dan denda milyaran rupiah. Instruksi tersebut tanpa memberi pengecualian bagi masyarakat adat peladang dengan metode membakar yang sebenarnya merupakan warisan leluhur maupun penyambung hidup bagi masyarakat adat yang dilakukan secara turun-temurun dengan kehidupan sosial maupun budaya di dalamnya.

Sementara itu berladang sebenarnya dilindungi Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) No. 32/2009 pasal 69 Ayat 2. Namun, dengan keluarnya Instruksi Prsesiden, Pemerintah Daerah Murung Raya juga melaksanakannya dengan gencar melalui Maklumat bersama Polres Murung Raya. Pelaksanaannya di lapangan begitu menggebu, dilakukan oleh pihak kepolisian dan TNI dengan melaksanakan sosialisasi di berbagai kampung dan ditandai dengan pemasangan spanduk pelarangan membakar lahan pekarangan sehingga membuat masyarakat adat takut untuk membakar ladang.

Untuk menyikapi semua permasalahan mendesak tersebut, maka beberapa tetua kampung, komunitas adat, para pejuang masyarakat adat terdahulu, pemuda adat, demisioner AMANDA Murung Raya dan perempuan adat yang difasilitasi oleh PD BPAN Murung Raya bermusyawarah agar kembali berjuang bersama dalam membela hak-hak masyarakat adat dengan membentuk panitia Musawarah Daerah Luar Biasa pada 03 Agustus 2016 yang bertempat di sekretariat sementara Barisan Pemuda Adat Nusantara Murung Raya, Kota Puruk Cahu.

img_5555

Penyerahan bendera kepemimpinan

Dan kegiatan Musyawarah Daerah Luar Biasa AMANDA Murung Raya yang dilaksanakan pada 08 Agustus 2016 di Puruk Cahu berjalan sesuai dengan AD/ART AMAN serta melalui musyawarah untuk mufakat menetapkan Dewan AMANDA Murung Raya. Ketua AMANDA Murung Raya pun terpilih secara aklamasi yaitu Bapak Yansyah Udang untuk menjalankan mandat organisasi dengan masa bakti 2016 – 2021.

Pada 09 Agustus 2016 yang juga bertepatan dengan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS), PD AMAN Murung Raya dilantik oleh Pengurus Wilayah AMAN Kalimantan Tengah sekaligus mendeklarasikan AMAN Murung Raya di hadapan masyarakat adat dari beberapa komunitas Daerah Murung Raya, pemerintah daerah Murung Raya, TNI/ POLRI, Demang Kepala Adat, Ormas, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Pemuda di aula Bappeda Kabupaten Murung Raya, serta menetapkan Sekretariat Bersama yang sederhana serta apa adanya, namun penuh dengan suasana gelora perjuangan yang beralamatkan di Jln. A. Yani (Dirung Bajo) No. 29. RT. I/ RW. III Puruk Cahu.

Kegiatan pelantikan dan deklarasi ini dilaksanakan setelah kegiatan sosialisasi pemetaan partisipatif wilayah adat di Kabupaten Murung Raya yang dilaksanakan oleh PD BPAN Murung Raya bersama dengan PW AMAN Kalimantan Tengah.

Semoga dari bangun tidur panjang dan keterpurukan ini menjadikan perjuangan tanpa lelah, pantang mundur, berani dalam  membela hak masyarakat adat serta direstui oleh Tuhan Yang Maha Kuasa dan leluhur alam semesta.

 

Salam Adat

(Penulis Hantingan Y Udang)

Sekolah Adat Samabue

Indonesia memiliki keanekaragaman yang di dalamnya terdapat berbagai adat istiadat, suku, bangsa, bahasa dan budaya yang terangkum dalam identitas.

Masyarakat adat sudah mendapatkan pendidikan yang bersifat formal mulai dari TK sampai Perguruan Tinggi. Dalam pendidikan formal itu masyarakat adat dituntut untuk bisa membaca, menulis, mengetahui sejarah Indonesia—yang didominasi oleh sejarah kerajaan/kesultanan. Pendidikan formal dalam prosesnya mendidik mempergunakan bahasa pengantar yang diseragamkan di seluruh Indonesia: bahasa Indonesia. Selain itu, bahasa pergaulan internasional juga dikedepankan, meskipun hasilnya tidak membuat peserta didik bisa menguasai bahasa Inggris setidaknya pasif setelah menyelesaikan masa studinya.

Pendidikan formal membuat masyarakat adat bercita-cita untuk meninggalkan kampung halamannya. Anak-anak hingga dewasa berduyun-duyun pergi ke kota untuk alasan mengenyam pendidikan. Semakin mengenal kota, mereka malah ingin menetap di sana selamanya.

Dalam pendidikan formal tidak diajarkan tentang sejarah identitas asli para pelajar. Tidak pula diajarkan atau dianjurkan untuk berbahasa daerah. Dampaknya perlahan adalah adanya tanda perubahan dalam diri si perantau mulai muncul. Salah satunya yaitu mereka malu untuk berbahasa daerah. Kenyataan hari ini, bahasa daerah yang merupakan identitas masyarakat adat yang sangat melekat itu hampir jarang digunakan karena merasa malu untuk menggunakannya.

whatsapp-image-2016-09-13-at-14-55-18

Seiring berjalannya arus modernisasi yang membuat generasi muda mengesampingkan hal ini, pendidikan adat yang di dalamnya terdapat sekolah adat harus hadir di tengah-tengah masyarakat adat.

Kalimantan Barat yang memiliki banyak komunitas adat di dalamnya juga memiliki permasalahan serupa. Oleh karena itu, kami—Modesta Wisa, Dwiana Sari, Reni Raja Gukguk, Yosita, dan Katarina Ria, generasi muda adat Kalimantan Barat—berinisiatif mendirikan sebuah sekolah adat. Sekolah adat bernama “SAMABUE” ini merupakan wujud kepedulian terhadap identitas peninggalan leluhur kami. Samabue merupakan nama sebuah bukit yang dianggap sakral atau keramat oleh masyarakat adat yang berada di komunitas Binua Manyalitn. Banyak ritual adat yang dilakukan di bukit Samabue ini.  Hal ini membuat  kami, perintis sekolah adat, untuk menyepakati pemberian nama sekolah adat itu.

whatsapp-image-2016-09-13-at-14-55-26

Sekolah ini bertujuan untuk menciptakan generasi muda adat yang kreatif berbudaya, menggali kembali sejarah komunitas serta suku Dayak Kanayatn, dan mempertahankan kearifan lokal di tengah arus modernisasi.

Sekolah Adat Samabue ini berdiri pada 24 Februari 2016. Dengan struktur pengurus meliputi ketua, sekretaris, bendahara, divisi donasi dan divisi rekrutmen serta tenaga pengajar.

Saat ini sekolah adat Samabue ini sudah berjalan di tiga komunitas adat yaitu Binua Manyalitn, Binua Lumut Tangah dan  Binua Kaca dengan jumlah murid sekitar 60 orang. Sekolah Adat Samabue ini merekrut anak didik mulai dari usia 4 sampai 15 tahun.

whatsapp-image-2016-09-13-at-14-55-22

Sekolah Adat Samabue ini memiliki kelas tari tradisional, kelas sejarah yang sesuai dengan komunitas, kelas singara (bercerita) dan kelas musik tradisional. Sekolah Adat Samabue ini juga memiliki kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan di komunitas serta dengan konsep ‘’Semua Orang Itu Guru, Alam Raya Sekolahku’’.

Adapun lokasi sekolah adat ini tepat di komunitas Binua Manyalitn, Kecamatan Menjalin, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat.

~Modesta Wisa

Gotong Royong Pemikiran

Jakarta, September 2016—Gotong royong pemikiran menjadi salah satu ciri pelatihan yang sehat dan menerobos laju permasalahan. Istilah gotong royong yang biasa masyarakat kenal dalam aktivitas fisik atau bergerak ternyata sangat tepat pula kemudian diadopsi dalam diskusi.

“Gotong royong pemikiran, gotong royong pemikiran,” demikian selalu Serge Marti sampaikan dalam berbagai sesi di pelatihan yang dihelat secara gotong royong oleh BPAN, AMAN, LifeMosaic dan The Samdhana Institute.

Pembelajaran dalam pelatihan ini adalah mengenai bagaimana generasi muda masyarakat adat dapat berperan aktif dalam perjuangan untuk mempertahankan dan mengurus wilayah adat. Peserta belajar tentang rencana kehidupan, lingkaran tak terputus dari wilayah adat di masa lalu, masa kini, dan masa depan.

Selama pelatihan, seluruh peserta selalu terlibat aktif. Dengan beragam metode yang disajikan fasilitator tentu sangat memperkaya bekal peserta untuk menjadi fasilitator di komunitasnya masing-masing. Metode partisipatif dan berbentuk lingkaran selalu menjadi ruang yang diciptakan untuk memulai dan melanjutkan setiap kegiatan. Efektifitas lingkaran tentu sangat terasa sekali bagi seluruh peserta dalam mengikuti pelatihan yang dinikmati dengan serius, santai, dan selesai itu.

Menurut Ibu Viktoria Mael, jenis pelatihan ini berbeda sekali dengan yang pernah ia dapatkan sebelumnya. Pelatihan ini mengantarkan peserta pada tingkat partisipasi yang maksimal sehingga setiap sesi yang memunculkan pembahasan atau masalah yang harus dihadapi selalu dipecahkan secara bersama-sama. Dalam duduk melingkar diibaratkan bahwa semua orang setara, sehingga tidak ada yang mendominasi atau malah menguasai kegiatan.

“Jadi, menurut saya ini adalah pelatihan yang sangat bagus. Sebelumnya saya bekerja di birokrasi dan mendapat pelatihan namun bentuknya hanya searah. Bahkan kita tidak punya waktu untuk menyatakan pendapat. Kita selalu hanya jadi pendengar,” tuturnya.

Berbeda dengan Ibu Viktoria atau yang bisa disapa Ibu Viki itu, Jafri pemuda adat dari Talang Mamak menyampaikan bahwa pelatihan dengan bercermin pada metode-metode yang digunakan sudah pernah ia ketahui. Hal itu ia dapat dengan turut mempraktikkan beberapa metode dalam pelatihan ini secara langsung di Talang Mamak bersama dengan Eny dan Simon dari LifeMosaic.

Sungai Utik kembali menjadi tempat penyelenggaraan pelatihan yang sudah dimulai sejak 2014. Tiga kali berturut-turut. Pelatihan ini diadakan di Sungai Utik karena sebagai salah satu komunitas anggota AMAN, komunitas ini sangat representatif untuk memancing keterpanggilan pemuda.

Komunitas Sungai Utik terletak di Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Luas wilayah adat Sungai Utik adalah ± 9.453, 40 Ha, yang 80% merupakan kawasan hutan. Hampir semua penduduk Sungai Utik tinggal di Rumah Panjang (Rumah Betang) yang panjangnya ± 220 M dan dipimpin oleh seorang Tuai Rumah.

Sungai Utik merupakan salah satu komunitas adat di Kalimantan Barat yang hingga saat ini berhasil mempertahankan wilayah adatnya dari berbagai ancaman luar. Tercatat tahun 1980-an, wilayah adatnya menjadi incaran pembalakan liar dan Hak Penguasahaan Hutan (HPH). Dengan perlawanan yang kompak serta kesadaran akan pentingnya wilayah adat bagi generasi selanjutnya, mereka berhasil mengatasi ancaman tersebut dan sekarang dapat mengurus sendiri wilayah adatnya dengan lestari. Oleh karena praktek-praktek kearifan dalam mengelola wilayah adatnya, tahun 2008 Sungai Utik menerima sertifikat ekolabel atas pengelolaan hutan adat secara lestari yang diserahkan langsung oleh Menteri Kehutanan RI.

Pelatihan ini diadakan selama tiga minggu (16 Agustus – 06 September 2016). Peserta sebanyak 24, yakni para pemuda/i adat datang dari 12 provinsi yang sudah representatif dari barat sampai timur Indonesia.

[Media BPAN]

 

Jambore II BPAN Palangka Raya

Walau pun terkesan klasik, namun  Ketidakadilan yang terjadi pada masyarakat adat telah berdampak buruk bagi kaum mudanya. Banyak pemuda adat yang kemudian menjadi buruh di tanahnya sendiri karena sumber daya alamnya telah dieksploitasi secara massif oleh beragam perusahaan tambang maupun perkebunan skala besar.  Pada titik inilah, BPAN sebagai organisasi menjadi wadah kaderisasi dan perjuangan masyarakat adat di lini pemuda khususnya di Kota Palangka Raya.

Meneruskan mandat pengembangan BPAN di setiap daerah, maka Pengurus Daerah Barisan Pemuda Adat Nusantara Kota Palangka Raya melakukan Jambore Daerah II dengan konsep “Kemah Pemuda Adat” selama tiga hari yaitu dari tanggal 22 s/d 24 Juli 2016 di Bumi Perkemahan Kambariat Tuah Pahoe, Kereng Bangkirai Palangka Raya yang dihadiri oleh perwakilan-perwakilan pemuda adat yang ada di Kota Palangka Raya berjumlah 12 orang. Kegiatan Jambore Daerah ini merupakan mekanisme tertinggi dalam organisasi sebagai metode pengambilan keputusan terkait pergantian pengurus organisasi. Ajang ini  digunakan sebagai momen pemilihan pengurus organisasi di mana terpilih secara aklamasi untuk kali keduanya Murniasih sebagai Ketua BPAN Kota Palangkara periode 2016-2019.

Sebelum pelantikan ketua daerah dilakukan, selama 3 hari peserta diajak melakukan serangkaian kegiatan, mulai dari seremoni, diskusi terbuka, mengenal budaya, menelusuri wilayah adat, dan merumuskan program kerja organisasi.

Jamda II Palangka Raya b

Foto bersama

Bangunan program kerja BPAN Kota Palangka Raya yang berhasil dirumuskan tersebut dialaskan dari persoalan-persoalan nyata yang dirasakan oleh para pemuda adat, seperti rapuhnya rasa persaudaraan di tingkat pemuda adat Kota Palangka Raya, sikap acuh tak acuh yang marak terjadi di kalangan pemuda adat Kota Palangka Raya dan  malu menggunakan bahasa lokal dalam percakapan sehari-hari, dan lain-lain. Berdasarkan persoalan ini maka pemuda adat perlu membangun rasa kolektivitas dan kepercayaan diri untuk berpijak pada kebudayaannya dan sikap pergaulan yang merujuk pada integritas masyarakat adat secara umum.  Selain itu, peningkatan kapasitas dalam hal pengkaderan keanggotaan dan penguatan kelembagaan/ organisasi juga penting untuk dilakukan  oleh BPAN Kota Palangka Raya

Pertemuan ini juga berhasil merumuskan Program Kerja BPAN Kota Palangka Raya. “Selain merumuskan program kerja, lewat pertemuan ini kita harus memberikan sebuah pikiran rekomendasi terkait perjuangan masyarakat adat,” kata Ketua PW BPAN Kalteng Kesyadi Antang.

Menurut Kesyadi saat ini dan seterusnya mendesak Pemerintah Propinsi Kalimantan Tengah untuk mengesahkan Ranperda Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak  Masyarakat Adat, membentuk instansi/badan untuk pemberdayaan masyarakat adat. Selain itu juga mendesak Pemerintah Kota Palangka Raya membuat regulasi dalam bentuk Perda (peraturan daerah) untuk memperkuat dan menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi No.35/PUU-X/2012 supaya hak-hak masyarakat adat semakin jelas dan bertambah kuat dalam pengelolaan sumber daya alam di wilayah adatnya masing-masing.

[BPAN]

Butir-butir Cerita dari Kemah Pemuda Adat Sulawesi Utara

bpan.aman.or.id – Wilayah adat adalah ruang hidup yang di dalamnya terdapat sejarah, budaya, adat-istiadat, tradisi lisan dan tulisan, kesenian, sumber-sumber kehidupan dan kehidupan itu sendiri di mana tanah dan kehidupan di atasnya adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Semua ini harus dijaga, dipertahankan, diperjuangkan, dilestarikan dan diurus.

Namun saat ini masyarakat adat justru mengahadapi berbagai persoalan di wilayah-wilayah adatnya. Terjadi perampasan wilayah adat, kekerasan, dan tindakan kriminal. Negara yang seharusnya melindungi setiap warga negara justru tutup mata. Tak ada pengakuan yang tegas dan perlindungan yang nyata oleh negara bahwa wilayah adat adalah milik masyarakat adat sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 18B dan juga telah diperkuat dengan Putusan MK 35/PUU-X/2012.

Masyarakat adat menjadi korban dan ini adalah ancaman serius bagi masyarakat adat hari ini dan di waktu mendatang.

Lalu bagaimana kita menghadapi ini? Apa yang harus dilakukan oleh pemuda adat sebagai generasi penerus masyarakat adat? Bagaimana pemuda adat dapat terpanggil dan tertarik untuk mengurus wilayah adatnya? Bagaimana agar pemuda adat tetap konsisten pada komitmennya?

WhatsApp-Image-20160728(3)

Diskusi melingkar

BPAN merupakan bagian penting dari masyarakat adat sebab BPAN adalah wadah untuk mempertemukan pemuda adat di Nusantara dalam semangat yang sama, membangun kekuatan bersama sehingga tidak merasa seorang diri dalam menjaga wilayah adatnya. Mereka adalah generasi penerus sebuah kehidupan. Itu sebabnya sebagai bagian dari masyarakat adat, pemuda adat harus menjaga, mempertahankan bahkan mengurus wilayah adatnya. Karena di sanalah sumber kehidupan. Berkaca dari pemuda adat di Amazon yang gigih memperjuangkan wilayah adat mereka, di era modern sekalipun mereka tetap mengurus wilayah adatnya, seperti bisa kita saksikan dalam film Pemuda Adat Amazon.

ǂ

Malam itu purnama kedua di Minahasa! Semilir angin berhembus. Pernak-pernik alam menyambut kedatangan kami di pantai Ranowangko. Pantai timur Minahasa benar-benar surga yang meringankan langkah untuk mensukseskan kemah pemuda adat yang telah dipersiapkan.

Tiba di lokasi perkemahan, beberapa pemuda mulai mendirikan tenda dan yang lainnya ambil bagian memasak. Beberapa saat kemudian tenda sudah didirikan. Makanan pun telah terhidang. Di bawah purnama, kami makan sambil bercerita dan tertawa bersama. Ah, sungguh indah masa muda ini kawan. Kami bersyukur kepada-Nya atas kesempatan baik seperti lagu yang kami nyanyikan ini:

(…Opo Wanan’atas e Tembone se mengale-ngaley Tembone se mengale-ngaley Pakatuan pakalawiren Kuramo // kalaley u langit Tentumo kalaley un tana’ Kuramo, kalaley un tana’ Tentumo kalaley ta (in) tou Nikita tou // karia E nimapasusuat uman E nimpasusuat man // karia Wia si Opo wana natas Si opo wana natas Sia si mata u ampeleng Sia si mata u ampeleng Mahmuali wia mbawointana…)

Lagu Opo Wanan’atas adalah lagu memohon berkat umur panjang, perlindungan dan berharap kepada Yang Maha Kuasa. Kami menyanyikannya dalam ritual membuka kegiatan #Kemah Pemuda Adat #BPAN #Sulawesi Utara di pantai Ranowangko Tondano Minahasa yang dilaksanakan selama tiga hari, 20-23 Juli 2016.

WhatsApp-Image-20160728(2)

BPAN Sulut saat diskusi santai di atas pasir pantai Rano Wangko

~

Matahari terbit di atas laut, di pantai timur Minahasa. Namun sang mentari bersinar silau untuk beberapa saat saja, gugusan awan hitam tebal kemudian melenyapkannya. Pagi yang cerah berganti menjadi gelap. Bahkan seolah tak mempedulikan detak waktu, hujan mengguyur. Derasnya hujan tersebut membuat kami kedinginan. Pun begitu, kami tak habis akal dan tenggelam di bawah guyuran. Kami bernyanyi untuk menghangatkan ruang dan menyemangati diri masing-masing:

Ingatlah visi misi kita // Barisan Pemuda Adat Nusantara // bangkit bersatu, harus bersatu // tanah leluhur kita jaga pantang mundur // hei…// Pemuda Adat bangga berbudaya // jaga wilayah adat kita semua // berdiri kuat di tanah kita // para perampas kita lawan jangan ragu //

Reff: Ayolah kawan pemuda adat di seluruh nusantara // mengurus kampung beri waktumu tuk teruskan perjuangan // terus berjuang / terus berjuang // bangkit // bergerak // bangkit bergerak // bergerak // bergerak // kita berdaulat mandiri bermartabat // terus berjuang // terus berjuang // bangkit // bergerak // bangkit bangkit // bergerak bergerak // sampai menang kita masyarakat adat 2x

Mars BPAN berkumandang keras seolah ingin mengalahkan suara hujan saat itu. Suasana bertambah seru karena kami kedinginan, namun tetap tersenyum duduk dalam lingkaran. Kami memilih melingkar utuh agar semangat terhubung satu dengan lainnya sehingga menjadi kekuatan besar melawan cuaca. Waktu pun terus berjalan, hujan deras tak berhenti seperti ingin terus bersama dalam kemah pemuda adat ini.

Meskipun demikian, semangat kami tetap panas. Kami meneruskan aktivitas yang telah tersusun setahap demi setahap sembari mengopi. Ya, kopi memang paling setia. Berdiskusi tentang tanah dan gerakan sambil minum kopi dan makan singkong rebus di bawah tenda di pinggir pantai membuat suasana tambah asyik dan makin akrab. “Pemuda adat…bangkit, bersatu, bergerak mengurus wilayah adat,” sesekali pekik semangat ini menerobos kesewenangan derik hujan.

~

Pagi kedua, matahari dengan gagah naik perlahan di atas laut tanpa malu-malu. Matahari ini sebenarnya menunjukkan apa tujuan hidup kita. Karena cahayanya yang penuh semangat mengajak kita untuk selalu semangat dan terus bersemangat.

Hari baru yang indah. Satu per satu peserta mulai bangun sambil sesekali mengusap mata karena masih terasa ngantuk. Meski terasa berat untuk bangkit, namun kami berniat untuk menyambut pagi dan menyaksikan gelombang laut, gemericik air, burung-burung mengangkasa dan embun di pagi hari yang tak bertahan lama karena akan segera habis disedot sang fajar.

Tanpa menyianyiakan kesempatan, meskipun masih sangat pagi, para pemuda adat mulai membersihkan sampah di bibir pantai sebagai wujud cintanya terhadap lingkungan. Usai bersih-bersih, kami melanjutkan kegiatan dengan bermain benteng. Permainan sekaligus olahraga pagi.

Benteng adalah permainan tradisional di mana secara bergantian menjaga benteng sekaligus mencari lawan untuk menggantikan si penjaga awal. Benteng adalah perlindungan, jika sudah menyentuhnya si pencari tidak bisa apa-apa lagi, sambil menunggu lawan mainnya keluar dari bentengnya.

“Talalu jao ngoni pe benteng (terlalu jauh benteng kalian),” seru salah seorang dari kami. Pemuda adat bermain permainan tradisional benteng. Saat Pokemon Go merajalela, kami pemuda adat asyik bermain permainan warisan leluhur kami. Dan ini tidak memakan kuota internet. (hahahahaha).

WhatsApp-Image-20160728

Saat melepas penyu

Pagi pilihan itu juga menjadi satu kesempatan langka bagi kami. Sebuah pengalaman berharga dan beruntung. Betapa tidak, saat kami terlelap telur penyu menetas. Telur-telur tersebut menetas tidak pada waktunya. Sangat istimewa. Alam yang sangat seimbang dan berpelukan dengan jiwa kami. Sebanyak 17 ekor bayi Tukik (penyu) kami lepas ke laut sebagai tempat dia hidup. Kami pun berharap mereka tetap hidup lalu berkembang biak mengingat ini adalah hewan langka sama halnya dengan dinosaurus.

Matahari meninggi. Kami teruskan kegiatan kemah. Pagi yang berbahagia kami lanjutkan memasak. Terdapat tiga kelompok memasak yang dibagi sama rata. Kelompok dua, setelah dimufakatkan, mulai menyiapkan bahan makanan untuk dimasak. Kelompok masak ini dibuat agar kita dapat belajar tentang kepemimpinan kolektif.

Setelah masakan tersaji, kami pun makan. Makanan yang disajikan selalu makanan khas dari Sulawesi Utara seperti Ikan Roa, Cakalalang Fufu sampai Ragey.

Usai makan kami sibuk dengan aktivitas masing-masing. Ada yang tidur, mandi di pantai, bermain gitar dan bercerita. Sambil mengumpulkan tenaga untuk berjalan menyusuri mata air Ranowangko dan menanam pohon, kami berdiskusi dengan model warung kopi dunia. Apa makna wilayah adat bagimu? Lalu apa peran pemuda adat dalam menjaga wilayah adatnya.

Setelah itu, kami mulai menyusuri mata air Ranowangko. Saat menuju ke mata air, kami mulai menanam Mahoni. Menanam pohon ini sebagai bentuk aksi kita terhadap hutan yang gundul. Menanam pohon adalah bagian dari menjaga bumi. Satu pohon sama dengan satu kehidupan. Mari menanam anak muda!

WhatsApp-Image-20160728(4)

Pemuda adat menyusuri mata air Ranowangko sambil menanam bibit pohon

Akhirnya malam tiba, api unggun menyala. Suasana di pantai semakin romantis dengan desiran angin dan suara debur ombak. Wow…! Janji pemuda adat diucapkan untuk semakin meneguhkan komitmen dengan diri sendiri sambil memohon restu para leluhur untuk menjaga wilayah adat. Dan beginilah cara kami anak muda menemukan ide bersama dan membangun komitmen. Kembali menyatu dengan alam. Alam terbuka tanpa sekat ruang yang membatasi ekspresi para pemuda.

Dalam kesempatan ini juga, kami sempat mengobrol dengan penatua kampung. Namanya Opa’ No. Beliau biasa disapa demikian. Sosoknya ramah dan sangat respek terhadap anak muda, terlebih yang mencintai budaya leluhur atau adat istiadat. Dia berpesan kepada pemuda adat bahwa jikalau mau mengurus dan menjaga kampung, harus memiliki kepekaan yang kuat atau kuat dari dalam diri. Selanjutnya penatua murah senyum ini menasehati kami dalam hal belajar, anak muda harus belajar kepada yang tua. Tapi tidak juga sembarang tua, harus pula yang tau.

Undangan dan ajakan dari #Ketua Umum BPAN Jhontoni Tarihoran menyempurnakan malam hari itu: Wilayah adat adalah sumber hidup dan kehidupan itu sendiri.

Jadi, wilayah adat harus dijaga karena itu jatidiri kita. Wilayah adat harus dipertahankan karena itu kehidupan kita. Wilayah adat harus diurus karena itu adalah kita.

ǂ

“Sulawesi Utara adalah tempat orang termahsyur,” demikian menurut budayawan Minahasa Mner Fredy Wowor. Katanya lagi, yang paling penting adalah keterikatan atau kesatuan. Dia mengharapkan adanya kesatuan para pemuda adat di Sulawesi Utara dalam menjaga wilayah adatnya.

WhatsApp-Image-20160728(1)

Diskusi selalu duduk melingkar bulat

Suku bangsa yang berbeda tidak seharusnya membuat kita terpisah-pisah. Karena terpisah itu lemah. Siapakah masyarakat adat? Bagaimanakah masyarakat adat? Apa AMAN? Berbicara tentang gerakan masyarakat adat tentu tidak lepas dari perjuangan akan hak-hak yang menimbulkan konflik. Tetapi ketika semangat masih ada, kebersamaan kuat, berpikir sebagai masyarakat adat maka kita pasti akan berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan bermartabat secara budaya.

“Apakah ngoni masih suka lia Minahasa 10 tahun mendatang? Kalo masih suka, maka jaga Minahasa dari sekarang,” kata Matulandi Supit saat berbagi pengalamannya.

[Nedine Helena Sulu]

BPAN Akan Melaksanakan Kemah Pemuda Adat Se-Region Kalimantan

oleh Bakti Yusuf Irwandi

 

Jakarta (30/6/2016) – Dalam rangka memperkuat gerakannya untuk berpartisipasi dalam pembangunan Kalimantan yang lebih baik dalam konteks mempertahankan budaya adat Dayak Kalimantan, Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Region Kalimantan akan menggelar sebuah kemah bersama. Kegiatan ini disebut Kemah Pemuda Adat Region Kalimantan.

Hal ini dikonsolidasi dan dimusyawarahkan para peserta konsolidasi yang terdiri dari BPAN Kalteng, BPAN Kaltim, BPAN Kaltara dan BPAN Kalbar di Sekretariat Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Tengah (Kalteng), Palangka Raya, Rabu, 29/06/2016.

20160629_162555

BPAN se-Kalimantan sedang bermusyawarah (1)

Modesta Wisa Dewan BPAN Region Kalimantan menyampaikan rencana kegiatan Kemah Pemuda Adat ini dalam rangka menindaklanjuti hasil Rapat kerja nasional (Rakernas) II BPAN pada 15-17 Maret lalu di Jakarta.

“Kemah untuk mempertahankan adat istiadat, menggali jejak leluhur/sejarah leluhur, pekan pemuda adat, seminar/dialog publik kebudayaan. Intinya memperkuat, memelihara dan mengembangkan budaya supaya masyarakat bermartabat secara budaya,” ujarnya.

Menurut Kesyadi Antang, kegiatan se-region ini akan menjadi yang pertama kali dilaksanakan di Nusantara. Kemah ini ditargetkan akan diikuti sebanyak 100-200 pemuda adat se-Kalimantan.

“Kemah Pemuda Adat bertujuan, salah satunya, untuk menjalin komunikasi terkait dengan isu-isu yang ada di daerah dan saling memberikan kontribusi pemikiran untuk kemajuan masing-masing BPAN di tiap daerah serta membahas isu-isu ketahanan budaya baik untuk Kalteng, Kalimantan maupun nasional,” ujar  Ketua BPAN Kalteng ini.

20160629_162944

BPAN se-Kalimantan bermusyawarah (2)

Dalam hal ini, bentuk keterlibatan konkret pemuda adat yaitu secara bersama berpartisipasi dalam pembangunan nasional terutama untuk memperjuangkan wilayah adat sesuai amanat Putusan Mahkamah Konstitusi No.35/PUU-X/2012 tentang #hutan adat bukan (lagi) hutan negara.

Untuk lokasi Kemah Pemuda Adat ini dijadwalkan berada di kawasan Air Terjun Tosah, Puruk Cahu Murung Raya, Kalimantan Tengah. Dengan demikian, kemah bersama ini untuk pertama kali akan digawangi oleh BPAN Murung Raya.

Ini bentuk untuk tetap memelihara kemartabatan budaya dan mengingat juga bahwa Murung Raya secara budaya dikenal sangat kuat seperti terlihat dalam Festival Isen Mulang Kalteng yang secara berturut mendapatkan juara satu selama delapan tahun terakhir ini termasuk di tahun 2016. Sehingga hal ini akan terus dikembangkan dan perlu dipromosikan sebagai kekuatan Masyarakat Adat menjunjung tinggi budayanya.

KONTAK KAMI

Sekretariat Jln. Sempur 58, Bogor
bpan@aman.or.id
en_USEnglish