BPAN Persatukan Pemuda Adat Moi Maya

Dewan pemuda adat region papua gelar kegiatan konsolidasi pembentukan kordinator pemuda-pemudi adat Moi Maya tingkat distrik Salawati utara, Salawati 26 Desember tahun lalu. Dalam pembentukan tersebut banyak pemangku adat ikut terlibat dalam diskusi bersama para generasi muda adat Moi Maya.

Semangat konsolidasi pembentukan ini dilandasi dengan melihat situasi sosial, ekonomi, dan politik masyarakat dan pemuda adat. Bertalian erat dengan itu, konsolidasi ini juga beralaskan visi BPAN yakni Pemuda Adat Bangkit Bersatu Bergerak Mengurus Wilayah Adat.

Dewan pemuda adat nusantara region Papua—penulis sendiri—mengatakan bahwa Barisan Pemuda Adat Nusatara (BPAN) adalah organisasi yang mewadahi perjuangan bagi gerakan pemuda adat se-nusantara. Saat ini BPAN tersebar di tujuh region: Papua, Kepulauan Maluku, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, Kalimantan, Jawa, dan Sumatera; serta telah berkibar di 17 wilayah: Tano Batak, Sumatera Utara, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Kalimantan Utara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Baralosa NTB, Tana Luwu, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku, dan Maluku Utara.

Secara umum, kegiatan ini bertujuan untuk membangkitkan ketertarikan pemuda-pemudi adat Moi Maya tingkat distrik Salawati utara untuk  kembali ke kampung mengurus wilayah adat, dalam rangka mempersiapkan pemimpin-pemimpin masyarakat adat  pada masa mendatang.

Tujuan lain: meningkatkan pemahaman pemuda-pemudi adat Moi Maya tentang situasi dan gerakan masyarakat adat, membangkitkan ketertarikan pemuda-pemudi adat untuk mengurus wilayah adatnya, membangun kepengurusan organisasi pemuda adat di tingkat kampung, daerah, dan wilayah;  membangkitkan rasa senasib sepenanggungan atau solidaritas di antara pemuda-pemudi adat di daerah kepulauwan Salawati kecil (Moi Maya).

Laurens Dumur, ketua adat kampung Samate, sangat responsif pada kegiatan pembentukan kordinator muda distrik Salawati utara. “Kami selaku orang tua mengharapkan kepada kalian sebagai generasi penerus perjuangan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusatara agar lambat atau cepat harus membuat kepengurusan di tangkat distrik dan kampung suku besar  Moi Maya Kepulauan Raja Ampat,” katanya di hadapan para pemuda adat.

Dengan penuh keyakinan Laurens Dumur mengungkapkan bahwa dirinya berterima kasih  karena kepada anak-anak muda yang sudah menceritatakan dengan jelas bahwa AMAN adalah organisasi kultur yang kemudian hadir di tengah-tengah masyarakat adat nusantara secara umum dan lebih khusus bagi suku besar Moi Maya Kepulauan Raja Ampat.

Beliau pun menceritakan kembali sejarah perjalanan mereka: ada beberapa marga-marga yang dulu sudah ada di kepulauan Salawati ini, tapi sekarang satu marga sudah punah, yaitu marga Buklis. Sedangkan yang masih ada adalah marga Mobalen Malayabuk, Moicu, Demur, Klagilik, Parajau Klasin Moi Filik dan marga  Klapai. Marga-marga ini di bagi juga berdasarkan suku besar Parajau.

Dalam kenyataannya perkembangan di pulau Salawati ini sudah banyak perubahan yang terjadi. Perubahan datang dari ‘luar’ masuk lewat jalur pemeritah, misalnya pembangunan secara fisik. Tampak saat ini seperti transmigarasi dan ilegal logging oleh PT. Hanurata. “Proyek-proyek ini turun kemudian menghacurkan ruang-ruang hidup kami  suku Maya yang tinggal di Kepulauan Salawati,” kenang Laurens.

Beliau menuturkan bahwa perusahaan dan pemerintah datang membodohi pemilik hak ulayat mereka hanya memperkaya dirinya. Sementara masyarakat adat hidup dalam tangisan. Harapan kami selaku orang tua, katanya lebih lanjut, kepada anak-anak  muda Moi agar terlibat dalam kepengurusan AMAN. Selain itu pemuda adat tolong juga membantu orang tua untuk sama-sama memperjuangkan dan terus melindungi pulau Salawati dari rencana tata ruang pemerintah yang turun dan menghancurkan ruang hidup kita, lanjutnya.

img_20161223_223458

img_20161223_223439

img_20161223_184744

** Melianus “Achel” Ulimpa

 

Jambore Wilayah II BPAN Kalimantan Barat

Pontianak (21/12)—Jambore Wilayah II BPAN Kalimantan Barat mengantarkan Paulus Ade Sukma Yadi sebagai ketua terpilih untuk periode 2017-2020, Senin 19/12/2016. Paulus dipilih secara musyawarah mufakat oleh pengurus BPAN se-Kalbar dengan catatan waktu kurang dari lima menit. Benar-benar musyawarah mufakat diterapkan oleh pemuda-pemuda adat.

“Saya mau BPAN Kalbar ini melangkah lebih maju. Teman-teman yang menyaksikan dan sudah menyepakati saya sebagai ketua yang baru, saya harapkan kita bersatu padu untuk menggerakkan organisasi ini,” kata Paulus Ade Sukma Yadi atau yang biasa disapa Ade itu sebagai sambutannya setelah dikukuhkan menjadi ketua.

Ia mengajak seluruh pemuda yang hadir, kebanyakan mahasiswa, untuk bisa terlibat dan menjadi bagian dari BPAN Kalbar. Di sisi lain peserta yang hadir, mayoritas belum anggota BPAN, juga sangat sepakat untuk bergabung dengan BPAN. “Karena perjuangan kita sebenarnya sama,” Ade meyakinkan.

Jambore ini digelar sebagaimana biasa untuk melanjutkan regenerasi kepengurusan di BPAN Wilayah. Khusus di Kalimantan Barat, Jambore dipercepat dari biasanya. 

Salah satu rancangan aktivitas yang akan diadakan pengurus baru BPAN Kallbar adalah Kemah Pemuda Adat. Rencana kemah ini sesuai dengan permintaan calon anggota BPAN yang hadir untuk mengakomodir kebutuhan akan pemahaman BPAN lebih mendalam. Ide ini juga mendapat dukungan dari Pengurus Nasional sendiri.

Jambore ini dihadiri oleh pengurus wilayah, sejumlah pemuda adat sekaligus calon anggota. Selain itu, hadir pula mantan Ketua Umum BPAN Simon Pabaras yang juga berasal dari Kalimantan Barat.

whatsapp-image-2016-12-20-at-9-13-51-pm

whatsapp-image-2016-12-20-at-9-13-49-pm

whatsapp-image-2016-12-20-at-9-13-51-pm-1

[Jakob Siringoringo]

Sekolah Adat Percontohan

Sepuluh Sekolah Adat yang terafiliasi dengan AMAN akan menjadi model percontohan untuk program Pendidikan Layanan Khusus Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Kesepuluh Sekolah Adat tersebut adalah Ruma Belajar Sianjur Mulamula, Ruma Parguruan, Sekolah Pasawahan, Sekolah Adat Samabue, Sekolah Adat Punan Sumeriot, Sekolah Adat Koha, Sekolah Adat Bowonglangi, Ruma Belajar Tobasa, Sokola Rimba, Sekolah Adat Bayan. Hal ini menjadi salah satu keputusan dalam Diskusi Terpumpun tentang Pendidikan Masyarakat Adat di Direktorat Kepercayaan terhadap TYME dan Tradisi, Rabu (7/12).

Dirjen Kebudayaan, Hilmar Farid menyatakan dengan adanya sepuluh sekolah adat ini, pekerjaan bisa langsung diimplementasikan di lapangan. Dengan berjalannya program ini nantinya di sepuluh sekolah adat tersebut, akan lebih mudah membuat sebuah pedoman standar bagi penyelenggaraan Pendidikan Layanan Khusus, lebih khusus lagi bagi sekolah adat.

Menurut Ketua Umum BPAN Jhontoni Tarihoran, hal ini merupakan komitmen dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atas tindak lanjut dari pembicaraan tentang pentingnya pendidikan adat saat perayaan HIMAS, 9 Agustus di Museum Nasional Indonesia. Saat itu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menyambut baik dan berkomitmen untuk mendukung pendidikan adat.

“Intinya Dirjen Kebudayaan sepakat dengan pendidikan adat dan mendukungnya sesuai kewenangannya. Terlebih lagi ada aksi menetapkan pendidikan adat yang sudah berjalan dijadikan model dari implementasi Permendikbud 72/2013 dengan membentuk tim persiapan yang melibatkan berbagai pihak termasuk pelaku pendidikan adat itu sendiri,” tuturnya.

“Dan ini wajib kita dukung dalam pelaksanaannya karena ini merupakan tanggung jawab masyarakat dan pemerintah secara bersama-sama,” tambah Jhontoni.

 

img_5684

img_5685

img_5664

 

[Jakob Siringoringo]

Diskusi Terpumpun Sekolah Adat

Direktorat Jenderal Kepercayaan terhadap TYME dan Tradisi, Kemendikbud menggelar Forum Diskusi Terpumpun tentang Pelayanan Pendidikan Masyarakat Adat, Rabu (7/12) di Jakarta. Diskusi ini bertujuan untuk menuangkan gagasan sekolah adat yang sudah ada ke dalam administrasi kependidikan. Pengadministrasian ini untuk mewujudnyatakan implementasi Permendikbud 72/2013 tentang penyelenggaraan Pendidikan Layanan Khusus (PLK).

Di awal pembahasan, Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid mengajak peserta diskusi untuk menyepakati pemahaman bersama soal landasan pelaksanaan pendidikan adat bagi pemerintah dan masyarakat adat. Landasan dimaksud, yang selanjutnya disepakati forum diskusi tetap relevan alias belum perlu direvisi, adalah Permendikbud  RI No. 72 Tahun 2013. Dengan adanya peraturan yang menjadi payung hukum ini, maka penyesuaian antara inisiatif pendidikan adat yang sudah dimulai masyarakat adat harus dilakukan. Dengan demikian, tidak akan menyalahi aturan yang ada dan semangat diterapkannya pendidikan adat 2017 nanti. “Jadi, sepakat Permendikbud ini menjadi landasan diskusi kita ya,” ujarnya.

Pendidikan—merujuk kepada kearifan lokal atau pengetahuan tradisional—Masyarakat Adat di Indonesia sesungguhnya sangat heterogen. Dengan demikian diperlukan sebuah abstraksi untuk memastikan sebuah standar untuk mengakomodir semua pendidikan adat yang ada. Hal ini seperti disampaikan Sekjen AMAN Abdon Nababan, “Seperti apa unit pendidikan yang pas untuk Masyarakat Adat yang menghadapi krimininalisasi berlapis-lapis? Itu yang perlu kita cari tahu.”

Lebih lanjut, menurutnya, pendidikan yang ada di Masyarakat Adat adalah pendidikan dari, tentang dan terinspirasi dari wilayah adatnya. Prinsipnya semua orang adalah guru. Dan, guru yang dibutuhkan adalah yang memiliki mentalitas sebagai fasilitator, bukan yang mengajarkan ilmu pergi. Karena itu pendidikan khusus bukan hanya perihal terisolasi, tertinggal dan beragam bentuk fisik geografis lainnya.

“Kita sadar penuh bahwa sekolah khusus bukan hanya soal accessable (dapat dijangkau), melainkan juga kesesuaian,” tegas Hilmar Farid yang biasa disapa bang Fai itu.

Diskusi terpumpun ini menghasilkan kerja-kerja konkret. Setelah membentuk tim; dan tim tersebut akan bertemu dalam Desember ini, tahun depan akan diadakan lokakarya tentang Pendidikan Layanan Khusus. Lokakarya ini difasilitasi kembali oleh Direktorat Kepercayaan terhadap TYME dan Tradisi. Rencananya lokakarya ini akan diperluas dengan mengundang sepuluh sekolah adat yang sudah berafiliasi saat ini dengan AMAN. Lebih lanjut, pemerintah daerah kabupaten tempat kesepuluh sekolah adat ini berada akan diundang dan dilibatkan. Sepuluh sekolah adat ini disepakati menjadi pilot project (model percontohan) yang akan dimulai tahun depan.

Dalam diskusi terpumpun ini hadir perwakilan organisasi antara lain: AMAN, BPAN, Sokola Institute, LIPI, Kemendikbud.

 

img_5661

img_5669

img_5672

img_5675

 

[Jakob Siringoringo]

Rencana Kehidupan Talang Mamak

Talang Sungai Limau (Sabtu 26/11) – BPAN Daerah Inhu mempelajari tujuh program prioritas: pendidikan, ekonomi, hutan, budaya, hukum adat, kesehatan dan komunikasi. Ketujuh program tersebut kemudian diperinci lagi sesuai topiknya masing-masing. Dari setiap topik yang telah dipersempit itu dirancang kegiatan-kegiatan konkret yang akan dikerjakan pemuda-pemudi bersama para tetua adat. Kegiatan-kegiatan konkret tersebut diletakkan dalam tiga tahapan: jangka pendek, menengah dan panjang.

Demikian salah satu rumusan kerja hasil pertemuan BPAN Inhu bersama dengan tetua adat serta dengan LifeMosaic dan dua narasumber yang ahli di bidangnya: Jeremias dan Liliana. Kedua narasumber merupakan tokoh masyarakat adat Misak di Kolombia, Amerika Latin. Mereka datang ke Indonesia untuk berbagi pengalaman yang telah mereka rencanakan, kerjakan dan tunjukkan atau buktikan bahwa rencana kehidupan mereka berhasil, tidak seperti rencana pembangunan ala pemerintah negerinya (juga di Indonesia).

Selain komunitas adat Talang Mamak di Indragiri Hulu, Riau, mereka juga akan mengunjungi komunitas adat Dayak Iban di Sungai Utik, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. November-Desember ini merupakan kunjungan kedua mereka ke Indonesia. Mereka tengah mem-viral-kan pengalaman baru terhadap masyarakat adat di Indonesia yaitu Plan de Vida atau Rencana Kehidupan.

Dari hasil yang telah dibahas dirincikan setiap topik-topik pembahasan dari masa lalu, masa kini, dan juga masa depan (impian). Setelah semua jawaban didapat, selanjutnya dicari prinsip-prinsip dasar atau pondasi yang melandasi semuanya supaya dapat menjalankan rencana kehidupan di Talang Mamak.

Untuk mencari dan menemukan prinsip-prinsip dasar tersebut maka sangat diperlukan dukungan dan keterlibatan penuh dari Batin dan tetua adat. Karena itu, dalam pertemuan yang tak biasa ini, Batin dan tetua adat Talang Mamak terlibat sepenuhnya. Batin dan tetua adatlah yang menjadi sumber pengalaman atau pencarian akan akar, pondasi maupun batang untuk dijadikan prinsip dalam rencana kehidupan mereka.

Terdapat filosofi dalam kerangka kerja mencari dan menemukan prinsip dasar tadi. Inilah buktinya: akar dari pohon kehidupan adalah ingatan. Pondasi adalah sejarah; dan batang adalah wilayah adat, lembaga adat, badulat, masyarakat adat, jati diri, penentuan nasib sendiri.

Setelah menemukan prinsip dasar yang sarat filosofi itulah mereka kemudian secara musyawarah mulai bergegas menyusun rencana kehidupan masyarakat adat Talang Mamak. Bermulalah dari sini rencana kehidupan Talang Mamak yang menjadi tonggak perubahan penting dalam upaya mendesak agar masyarakat adat ini tetap ada dan berkelanjutan. Momentum ini akan sangat berharga ke depan, bukan saja dalam melawan ancaman kepunahan, melainkan juga menjadi inspirasi bagi komunitas adat lainnya di Indonesia.

 

whatsapp-image-2016-11-26-at-7-40-40-pm

whatsapp-image-2016-11-26-at-7-41-13-pm

whatsapp-image-2016-11-26-at-7-42-16-pm

 

whatsapp-image-2016-11-26-at-7-42-48-pm

 

[Ratnawati]

BPAN Suarakan Perjuangan Masyarakat Adat di COP22

Marakesh (15/11) – Masalah yang dialami oleh Masyarakat Adat di seluruh dunia pada dasarnya sama. Sejak dulu berjuang, Masyarakat Adat tidak hanya mementingkan hak-haknya, melainkan juga demi masa depan planet ini. Artinya untuk masa depan bumi–yang secara spesifik biasa disebut oleh masyarakat adat “untuk masa depan generasi penerus.” Karena itu semua orang sejatinya setuju kalau diajak melawan perusahaan/lembaga negara yang telah merampas tanah/hutan masyarakat adat.

Demikian pernyataan pembuka dari Barisan Pemuda Adat Nusantara oleh Jakob Siringoringo saat menjadi salah satu panelis dalam panel bertajuk “Launching of the Global Campaign for Land Rights of Indigenous Peoples” di Konferensi Tingkat Tinggi PBB tentang perubahan iklim (COP22) di Marakesh, Maroko, 9 November lalu.

Selain itu terdapat lima isu penting yang disampaikan dalam panel ini sebagai pernyataan resmi AMAN. Kelima isu tersebut adalah sebagai berikut ini.

  1. Kontribusi dan solusi Masyarakat Adat bagi perubahan iklim adalah nyata.
  2. Menegaskan kembali bahwa perubahan iklim merupakan isu Hak Asasi Manusia. Karena itu, setiap solusi untuk perubahan iklim harus menghargai dan melindungi HAM dan hak-hak Masyarakat Adat.
  3. Masyarakat Adat dapat berkontribusi dalam penyusunan aturan mengenai Nationally Determined Contribution (NDC) atau tanggung jawab pemerintah. Masyarakat Adat bisa terlibat melalui pengetahuan tradisional maupun aksi-aksi kecil/lokal. Masyarakat Adat harus dan akan terlibat dalam monitoring dan pelaporan implementasi NDC. Pemerintah, juga, sejatinya mengidentifikasi dan mendokumentasikan kontribusi Masyarakat Adat di tingkat lokal.
  4. Hentikan kriminalisasi, kekerasan dan pembunuhan terhadap pimpinan Masyarakat Adat yang melindungi tanah dan hutan. Segala usaha untuk melawan perubahan iklim tidak harus dengan mengedepankan kekerasan atas hak-hak Masyarakat Adat.
  5. Pendana bagi Masyarakat Adat. Pendana yang diperlukan adalah yang mampu memberikan kontribusi secara efektif terhadap mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dan mendukung upaya-upaya Masyarakat Adat. Lebih spesifik lagi jendela pendanaan yang ditujukan kepada Masyarakat Adat akan membantu memberikan kontribusi dan pengembangan aksi-aksi lokal yang lebih banyak lagi.

Panel ini menjadi saat pembukaan simbol panggilan terhadap masyarakat dunia melalui tambor/drum sebagai bentuk dukungan bagi Masyarakat Adat dalam melawan perubahan iklim. Panggilan Drum Global ini menjadi wadah untuk mendapatkan dukungan dari banyak orang di dunia untuk mendesak negara-negara di dunia khususnya yang masih menomorduakan Masyarakat Adat, padahal punya andil sangat besar dalam penyelematan lingkungan.

Panelis yang juga hadir dalam panel ini adalah Masyarakat Adat dan lokal dari Amerika Latin, khususnya yang tergabung dalam Alianza Mesoamericana de Pueblos y Bosques (AMPB).

Di akhir panel, the Global Drums Call Action pun ditabuh sebagai penanda dilaunchingnya bentuk dukungan terhadap Masyarakat Adat. Drum yang menjadi simbol tersebut kemudian ditandatangani oleh para pemimpin Masyarakat Adat seluruh dunia.

 

launching-the-global-drums-call-action
Launching the Global Drums Call Action

 

aksi
Modesta Wisa, DePAN Region Kalimantan turut dalam aksi the Global Drums Call Action

 

tanda-tangan-drum
Menandatangani drum

 

[Media BPAN]

Tradisi Nasi Bambu Sempat Tertunda

Jakarta (02/11/2016) – Masyarakat Adat di Indonesia belum sepenuhnya dihormati dan diakui sebagai warga negara yang punya hak dan kewajiban. Sebagai contoh apa yang dialami oleh Masyarakat Adat Bakalewang ketika hendak mengadakan acara tradisi nasi bambu di wilayah adatnya di Jati Timung, Dusun Kayu Madu, Desa Labuhan Badas, Kecamatan Labuhan Badas, Kabupaten Sumbawa Besar, 6 Agustus silam.

negosiasi-dengan-tni
TNI mendengarkan pernyataan Masyarakat Adat Bakalewang

Ketika itu aparat TNI melarang semua warga untuk melanjutkan tradisi nasi bambu. Juru bicara aparat gabungan dan Kodim 1607 Sumbawa berpesan kepada warga agar upacara membakar bambu tersebut segera dihentikan. ”Acara ini tidak boleh dilanjutkan, karena nanti hutan  bisa terbakar. Sebaiknya semua bahan-bahan ini dimasak di rumah masing-masing atau di kampungnya saja,” kata salah seorang aparat TNI.

Kemudian aparat gabungan itu mengangkut semua bahan dan peralatan upacara nasi bambu dengan  mobil patroli, lalu dibawa pulang ke kampung Masyarakat Adat Bakalewang. Kemudian aparat TNI meminta tanda tangan warga yang mengikuti acara tersebut.

Selain TNI, hadir pula secara bersamaan pihak Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Habibi dari KPH mempertanyakan hutan adat milik Masyarakat Adat Bakalewang. ”Ini hutan negara dan bukan milik Masyarakat Adat. Mana buktinya kalau hutan ini milik masyarakat adat,” tanya Habibi dengan angkuh.

Ketua Adat Bakalewang Usaman menegaskan bahwa hutan tersebut merupakan hutan milik Masyarakat Adat Bakalewang. Hutan yang mereka warisi turun-temurun dari nenek moyang.Bapak gak lihat kalau di atas itu bekas ladang warga dan itu ladang mereka, ladang peninggalan orang tuanya semua. Apakah bapak sudah melihatnya sampai ke atas sana?”  tanyanya tegas menunjuk petugas KPH.

Aparat Kodim 1607 dan KPH tidak bisa menjawab bantahan Ketua Adat Bakalewang. Selanjutnya aparat TNI dan KPH mengembalikan semua perlengkapan acara Tradisi Nasi Bambu ke lokasi acara yang ditentukan semula.  Masyarakat Adat Bakalewang pun meneruskan acara tradisi warisan leluhur Bakalewang tersebut.

Tradisi nasi bambu ialah sebuah tradisi turun-temurun Masyarakat Adat Bakalewang. Tradisi yang diadakan sekali setahun ini merupakan sebentuk ucapan syukur kepada TYME atas hasil panen yang mereka peroleh. Dalam tradisi yang dirayakan bersama ini, Masyarakat Adat Bakalewang melalui tokoh-tokoh adatnya mengadakan ritual untuk meminta restu dari Tuhan dan leluhur.

Awaluddin

RUU Masyarakat Adat Tak Berbelit

RUU Masyarakat Adat merupakan Rancangan Undang-Undang yang memang disiapkan oleh masyarakat adat untuk menjadi satu payung hukum tersendiri sebagai satu cara untuk mempercepat kesejahteraan sebagaimana diamanatkan Pembukaan UUD 1945. RUU ini dari sisi substansi akan menjadi UU yang paling ringkas, tidak berbelit-belit seperti yang lain.

Hal itu disampaikan Direktur Advokasi Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PB AMAN) Erasmus Cahyadi ketika AMAN melakukan audiensi ke Fraksi Partai Demokrat, Rabu (26/10) di Senayan, Jakarta. RUU ini hanya terdiri dari 14 bab dan 48 pasal. Kemudian terdapat dua bab kunci yaitu mengenai Tata Cara Pendaftaran Masyarakat Adat dan terkait Resolusi Konflik.

Dalam audiensi yang diterima langsung oleh Edhie Baskoro Yudhoyono, M. Sc. alias Ibas itu, Eras menyampaikan beberapa poin penting terkait perlunya RUU ini disahkan secepatnya. Salah satu poin penting yang disampaikan yakni bahwa UU Masyarakat Adat ini nantinya perlu memerintahkan UU sektoral lain agar menyesuaikan diri terhadap UU ini.

“Pengalaman di lapangan, kami sudah mendorong proses Perda Masyarakat Adat di lima provinsi dan 55 kabupaten, namun kerap menemui kesulitan. Hal ini dikarenakan kebijakan nasional yang berbelit-belit,” ujarnya.

Sebenarnya di negara hukum ini, ada banyak UU atau peraturan yang sifatnya multisektor, namun tak satu pun yang secara khusus dan tegas melindungi dan mengakui hak-hak masyarakat adat.

Sementara itu, dalam kesempatan yang sama Yance Arizona dari Epistema Institute menyebutkan bahwa hingga saat ini belum ada partai politik yang serius memperjuangkan hak-hak masyarakat adat. Senada dengan Yance, Deputi II PB AMAN Rukka Sombolinggi mengatakan bahwa proses politik di DPR RI belum memastikan RUU Masyarakat Adat sebagai bahasan yang urgen.

Sejak 2014, AMAN telah mengajukan draft Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat, baik kepada DPR maupun Presiden RI. Namun masih gagal masuk daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Setahun berselang (2015), AMAN lanjut mendorong RUU Masyarakat Adat untuk kemudian ditetapkan menjadi UU Masyarakat Adat. Kali ini, DPR dan pemerintah tetap setia untuk mengulur-ulur waktu. Tak berhenti sampai di situ, organisasi masyarakat adat itu kembali mendesak DPR RI agar memasukkan RUU Masyarakat Adat masuk dalam Prolegnas Prioritas 2016. Miris, DPR masih seperti biasa tuli mendengar aspirasi rakyat. Di sisi lain, AMAN mencoba masuk melalui jalur eksekutif. Hasilnya: nihil.

Perjuangan meski panjang, tapi sifatnya tetap sama: pantang mundur apalagi padam. Masyarakat adat melalui AMAN terus mendesak DPR dan Pemerintah RI untuk segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat. Salah satunya lewat pendekatan persuasif kepada fraksi-fraksi di DPR RI.

Di akhir audiensi, Ibas mengutarakan akan tetap konsisten mendukung RUU Masyarakat Adat agar segera disahkan.

[Jakob Siringoringo]

Konsolidasi Masyarakat Adat Moi Salkma dan Rencana Kemah Pemuda Adat

Masyarakat adat Moi Salkma Kampung Wilti, Distrik Wemak, menyambut baik kegiatan pemutaran film yang digelar AMAN Sorong Raya. Film yang ditonton yakni terkait taktik perusahaan terhadap masyarakat adat. Ketika film ditayangkan banyak masyarakat mulai menceritakan pengalaman yang mereka rasakan.

Dengan penuh rasa syukur, Ketua Adat Moi Klabra Selfianus asal kampung Wilti mengatakan  sangat berterima kasih kepada AMAN Sorong Raya dan pemuda adat Moi telah datang dan melakukan pemutaran film tentang taktik perusahaan. “Film tersebut membuka gambaran kepada kami orang-orang tua yang ada di distrik Klawak ini, agar kami tetap menjaga hutan demi anak cucu kami,” ujar Selfianus di Sorong (24/10).

tonton-film-bersama-warga-kampung-kamlin

Menonton film bersama warga Kampung Kamlin

Di sisi lain, Ketua AMAN Sorong Raya Kostantinus Magablo di awal kegiatan pemutaran film juga mengatakan rasa terima kasihnya kepada masyarakat adat Moi Salkma dan Moi Klabra, asal kampung Kamlin Distrik Wemak karena telah menyambut baik kegiatan ini.

“Bapak-mama, kalian harus memberikan pemahaman kepada adik-adik kita yang mulai besar ini; kepada Victor, Metus dan adik-adik lain terkait dengan batas-batas  wilayah  adat agar setiap marga-marga mulai tahu tentang wilayah adatnya,” katanya.

Kostan Magablo berharap jangan sampai kebersamaan di kampung Kamlin hilang. Kalau sampai hilang, maka perusahaan akan leluasa mengadu domba masyarakat dan akhirnya tanah adat akan habis terjual.

“Kalau sampai hilang maka perusahaan akan memakai orang-orang kampung ini, yang memang bapak kalian sudah tidak suka dia. Dia akan mengatasnamakan masyarakat di sini untuk menandatangani surat pelepasan lahan. Cara kedua (membenturkan peta dari pemerintah sebagai bukti—red) kalau kita lihat di peta tadi, pemerintah sudah membuat titik yang menunjukkan bahwa di daerah ini sudah tidak ada manusia. Hanya ada hutan dan hutan itu siap dijadikan apa saja menurut pemerintah,” tambahnya.

Peta menjadi salah satu senjata untuk melawan klaim pemerintah atas tanah adat. Dengan adanya peta, masyarakat adat memiliki kelengkapan bukti kepemilikan. Wilayah adat yang sudah diwariskan oleh leluhur sejak dahulu kala tidak boleh dikasih (baca: dijual atau diserahkan) kepada siapa pun. Apalagi dirampas.

“Kita bisa melawan apabila kita punya peta wilayah adat. Jika pemerintah datang dengan programnya,  kita bisa kasih tunjuk kepada pemerintah  bahwa kita juga punya peta wilayah adat dan wilayah kita ini tidak bisa kasih kepada siapa pun. Dalam arti bukan hanya pemerintah yang punya peta, tetapi kita masyarakat adat juga punya peta wilayah adat,” kata Ketua AMAN Sorong yang biasa disapa “Kostan” itu lebih lanjut.

Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 35 tahun 2012  (MK 35) merupakan salah satu landasan hukum yang menyatakan bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara. Salah satu tindak lanjut keputusan itu yaitu masyarakat adat harus memiliki peta wilayah adat, sehingga  masyarakat adat kuat dan  bisa mempertahankan wilayah adatnya. 

Terbaru, sesuai dengan Putusan MK 35 itu, AMAN Sorong Raya memasukkan lagi Rancangan peraturan daerah (Ranperda) ke DPRD Kabupaten Sorong. Ranperda ini diharapkan bisa disahkan dalam tahun ini atau di tahun depan. Kalau Perda itu sudah disahkan maka setiap penjualan tanah atau pelepasan lahan harus diputuskan dalam sidang adat.

diskusi-bersama-pemuda-adat-moi-klabra-kampung-wilti

Diskusi bersama pemuda adat Moi Klabra Kampung Wilti

Dewan adat

Menurut Kostan Magablo yang sudah jalan mengelilingi daerah Moi, dia belum melihat konsep dewan adat yang baik seperti dewan adat Moi Klabra asal distrik Klawat. Mereka memiliki kekompakan yang sangat luar biasa. Pembangunan yang diarahkan oleh pemerintah saja, misalnya mereka berkomitmen untuk tidak menebang sebatang pohon pun hanya demi “pembangunan”. Malah mereka beli kayu dari kota dan Klamono.

“Kalau mau dilihat secara jelas dari hasil diskusi kami dengan bapak ketua dewan adat asal  distrik Klawak, mereka punya sistem perencanaan dewan adat yang lebih baik,” lanjut Kostan.  

Dia berharap kalau dewan adat kampung Kamlin ini terbentuk, maka tidak salah dilakukan diskusi dengan dewan adat di tingkat Distrik Klawak dan LMA Malamoi untuk mencari sebuah konsep baku.

Kemah pemuda adat

Sementara itu, di saat yang sama, Ketua Umum Barisan Pemuda Adat Nusantara  Jhontoni Tarihoran juga menyampaikan beberapa hal terkait dengan persiapan kemah pemuda-pemudi  adat Moi di wilayah Sorong Raya. “Jadi seperti yang sudah disampaikan Melianus Ulimpa (DePAN Region Papua) film pergerakan pemuda adat ini sebenarnya mau menyampaikan agar perjuangan ini terus berlanjut. Bapak-mama ke depan ini kan sudah meningalkan kami. Untuk itulah perlu kami tahu tentang sejarah tentang wilayah adat sehingga bisa terus diwariskan sampai ke generasi-generasi selanjutnya,” ungkapnya.

Peran pemuda dalam kerja-kerja perjuangan ataupun pengakuan ha-hak kita sebagai masyarakat adat untuk memperjuangkan wilayah adat memang sangat penting. Misalnya dalam rencana pemetaan. Yang mendukung pemetaan ini juga pemuda harus berperan.

“Oleh karena itu, bapak-mama silakan dorong yang muda-muda juga untuk boleh bersama-sama mempertahankan hak-hak kita. Kami akan belajar bersama bapak-mama tentang sejarah, demi nilai-nilai hidup di wilayah adat kita ini. Kami punya rencana untuk mempertemukan pemuda-pemudi yang berumur dari 17-35 tahun sehingga pertemuan itu bisa sama-sama memikirkan apa yang sedang terjadi. Apa tantangan ke depan yang mungkin dihadapi dan kemudian apa yang harus dilakukan untuk menghadapinya,” jelas Jhontoni.

Dalam waktu yang tidak lama lagi, BPAN akan mengadakan Kemah Pemuda Adat di di Kampung Kamlin. Kemah ini akan menjadi ajang untuk belajar tentang sejarah komunitas, krisis yang terjadi di wilayah adat dan mengenai mimpi masa depan pemuda adat akan wilayah adatnya. Jadi selain berkemah menikmati kekayaan alam, pemuda adat juga nantinya akan saling belajar dan merencanakan masa depan demi kelestarian wilayah adat serta keterjagaannya sampai masa yang jauh ke depan.

“Jadi bapak-mama yang punya anak pemuda, baik laki-laki maupun perempuan yang sudah menikah maupun yang belum menikah bisa bersama kami mengikuti kemah pemuda adat di sini (kampung Kamlin) mulai 1-5 November 2016 mendatang. Kami juga mengharapkan dukungan dari bapak-mama dan semua warga di sini, sehingga teman-teman pemuda ini mulai membangun mimpinya tentang wilayah adatnya yang baik, yang bisa  memberikan kita hidup sehingga wilayah ini bisa kita wariskan untuk generasi mendatang. Akhir kata Generasi Muda Adat Moi Bangkit Bersatu Bergerak Mengurus Wilayah Adat,” tegas Ketua Umum II BPAN tersebut menutup.

pengisian-formulir-bpan-oleh-pemuda-adat-moi-salkma

Pengisian formulir BPAN oleh pemuda adat Moi Salkma

 

[Melianus “Achel” Ulimpa]

 

Ini Pidato Aleta Baun yang Getarkan Forum Kebudayaan Dunia

 

DenpasarWorld Culture Forum 2016 di Nusa Dua Bali Convention Center dibuat bergetar oleh pidato Aleta Baun. Berikut pidato lengkapnya:

Saya Aleta Baun. Ibu dari tiga anak. Perempuan adat Mollo di Kabupaten Timor Tengah Selatan, propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Mollo merupakan salah satu kawasan paling kering di Indonesia. Makanan pokok kami Jagung. Sebagian besar kami bertani. Menanam jagung, ubi, sorgum, padi, sayuran, beternak– kuda, babi, sapi dan ayam.

Nenek moyang kami mengajarkan hidup bersama alam, karena tubuh alam bagaikan tubuh manusia.

Fatu, nasi, noel, afu amsan a’fatif neu monit mansian. Artinya; batu, hutan, air dan tanah bagai tubuh manusia.

Tapi sejak lama, alam kami—lahan, hutan, sumber air, batu—mendapatkan ancaman sehingga mempengaruhi kehidupan kami.

Kebun dan hutan adat kami banyak diubah menjadi hutan milik negara. Akibatnya banyak mata air yang dangkal dan hilang. Banyak ternak tak bisa lagi merumput dan minum.  Pohon-pohon hutan ditebas. Ditanami mahoni, jati, akasia dan gemilina. Lebih seragam.

Lahan kami tak hanya menyempit. Kayu bakar juga susah dicari, pun kayu untuk pagar kebun dan bertani. Status hutan adat dibuat menjadi kabur. Lantas diklaim menjadi hutan negara.

Pada beberapa kasus, masyarakat didorong menebang hutan adatnya. Kemudian ditanami tanaman yang seragam, atau jenis baru, lantas diubah statusnya menjadi kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI).

Pada 1990-an, tanpa bertanya kepada kami, pemerintah juga mengeluarkan izin-izin pertambangan yang mengijinkan perusahaan  membongkar gunung-gunung batu.

Mereka adalah PT So’e Indah Marmer dan PT Karya Asta Alam yang mendapat izin menambang Fatu Naususu–Anjaf di Fatukoto.

Sementara PT Setia Pramesti mendapat konsesi untuk batu Nua Mollo di Ajobaki.

PT Semesta Alam Marmer mendapatkan gunung batu Naetapan di Desa Tunua.

PT Sagared Mining diberikan konsesi tambang untuk batu Fatumnut, dan PT Teja Sekawan mendapat izin untuk menambang Fatulik dan Fatuob di Fatumnasi–Kuanoel.

Kerusakan alam telah berdampak terhadap tubuh manusia, perempuan, laki-laki dan anak-anak, termasuk budaya kami.

Kami saling bermusuhan antar saudara, bapak dan anak, lahan-lahan pertanian  longsor, perempuan dan anak-anak sakit.

Hal itu membuat kami tak bisa tinggal diam. Tambang-tambang itu membongkar gunung batu keramat: Naususu, ibu dari gunung-gunung batu–yang mana nama-nama marga kami berasal.

Saya anak seorang amaf. Tapi saya perempuan. Menurut adat, saya tidak punya hak untuk bersuara atau menjadi pemimpin. Tapi saya tak bisa tinggal diam. Saya memimpin perjuangan menolak tambang.

Perempuan menghadapi banyak tantangan dan ancaman saat berjuang melawan perusakan alam oleh pemerintah dan perusahaan, termasuk saya.

Saya dianggap sebagai pelacur karena sering berada di luar rumah, siang maupun malam untuk melakukan pengorganisasian.

Saya mendapat teror dari aparat keamanan. Mereka mengancam saya akan ditangkap dan dipenjara karena dianggap menggangu program pembangunan dari pemerintah.

Bagi pemerintah, tambang marmer akan mendatangkan pendapatan daerah.

Saya dan perempuan lain juga dipukul oleh preman dari perusahaan tambang. Kekerasan itu dilakukan di rumah, juga di pengadilan saat kami ajukan gugatan menutup tambang.

Saya dibacok dengan parang, dipukul, dan diancam akan dibunuh, saat pulang ke rumah malam hari. Padahal saya pulang ke rumah untuk menyusui bayi saya yang berumur dua bulan.

Satu minggu setelah itu, ada ancaman lagi dari pekerja tambang, rumah saya dikepung, sehingga saya tidak bisa masuk rumah.

Saya harus lari ke hutan membawa bayi saya, dan berpisah dengan suami dan dua anak saya yang lain selama enam bulan.

Keluarga saya juga mendapat kekerasan. Anak kedua, laki-laki, mendapat lemparan batu di kepala sampai bocor. Anak-anak tidak nyaman bersekola belajar di kota, sehingga harus bersekolah di kampung.

Kami ditangkap dan dipenjara. Di tambang Faut Lik, laki-lak  ditangkap dan dipenjara 8 bulan.  Di tambang batu Naitapan, 20 orang perempuan dan laki-laki ditangkap dan dipenjara selama 20 hari.

Saya dan perempuan yang berjuang tidak bisa ke pasar karena dihadang preman dan mengancam memukuli perempuan.

Kami, laki-laki dan perempuan harus berjuang untuk menyelamatkan tubuh kami, tubuh alam, adat kami.

Adat istiadat merupakan senjata kami berjuang, sebab itu yang mengikat kami dengan nenek moyang, dengan alam.

Banyak langkah yang kami lakukan untuk mengusir tambang dari tanah kami. Dan itu butuh energi dan waktu yang panjang. Sekitar 13 tahun.

Banyak pelajaran yang kami dapat dari perjuangan tersebut. Pengorganisasian dilakukan untuk mencapai tujuan yang sama.

Dukungan keluarga sangat penting. Laki-laki dan perempuan harus bekerjasama. Saling menghargai dan menghormati. Kekuatan harus disatukan dalam berbagi peran melawan tambang.

Kami melakukan berbagai strategi. Termasuk menghidupkan ritual-ritual adat, berdoa di gereja, membuat tim intel kampung, konsolidasi, melakukan demonstrasi–dan segala cara agar tambang tidak beroperasi.

Termasuk bekerjasama dengan kelompok lain, LSM di lokal maupun nasional, gereja dan kelompok agama, kelompok mahasiswa, media lokal dan nasional.

Kami juga melakukan diskusi-diskusi tentang filosofi hubungan manusia dengan bumi, dimana bumi dilambangkan sebagai tubuh manusia. Dan kami menang, satu persatu tambang yang merusak itu kami tutup.

Tapi kemenangan itu tak cukup. Tantangan berikutnya adalah bagaimana memulihkan alam yang rusak, dan berpikir jauh ke depan untuk memilih ekonomi yang berkelanjutan.

Kami berpikir keras untuk menemukan caranya. Kami membuat diskusi dengan tokoh adat dengan anak muda, kami membuat ritual.

Kami memutuskan sikap untuk menolak ekonomi yang merusak alam, merusak adat kami. Kami harus menata produksi dan konsumsi kami.

Dalam sebuah pertemuan adat, kami mengikrarkan hanya akan menjual apa yang bisa kami buat–produksi. Kami tak akan menjual lahan, sungai, hutan gunung, air dan laut.

Tiap dua tahun kami berkumpul di bawah batu Naususu dan mengadakan Festival Ningkam Haumeni.

Pada festival itu kami merayakan perjuangan kami dan bertukar pengalaman dengan warga dari berbagai kampung di kabupetan TTS.

Kami membentuk kelompok perempuan penenun, dan kelompok pertanian organik serta kelompok ternak.

Kami melakukan penghijauan di sekitar sumber air dengan tanaman asli, dan membangun lumbung-lumbung pangan.

Perjuangan kami masih banyak, termasuk memperluas hutan perlindungan mata-mata air.

Dua tahun lalu, rakyat berhasil memperjuangkan saya duduk di DPRD, mewakili mereka di propinsi. Peran ini membuat tantangan yang kami hadapi lebih besar lagi.

Apalagi propinsi NTT dan wilayah lain di Indonesia, kini menghadapi dampak perubahan iklim yang membuat kami makin sulit memprediksi waktu tanam, dan mempengaruhi ketersediaan pangan kami.

Tapi apapun bentuknya tantangan itu, adat istiadat kami mengajarkan untuk memperlakukan alam seperti memperlakukan tubuh kami.

Oleh karenanya pilihan ekonomi: hanya menjual apa yang bisa kami produksi, tak bisa lagi ditawar-tawar. Dan sebagai perempuan adat Mollo, saya juga mendorong kita semua melakukan hal yang sama.

Aisyah Inara

KONTAK KAMI

Sekretariat Jln. Sempur 58, Bogor
bpan@aman.or.id
en_USEnglish