Masyarakat Adat Punan Dulau: Hutan yang Bagai Air Susu Ibu (Bg 2)

oleh Angriawan dan Yosi Narti

 

Sejarah Asal Usul

Punan Dulau di Kecamatan Sekatak, Kabupaten Bulungan, Provinsi Kalimantan Utara adalah sebuah komunitas adat yang menjadi bagian dari Suku Dayak. Luas wilayah adatnya mencapai 22,234 hektar. Ia berbatasan di sebelah utara dengan Desa Mendupo dan Seputuk KTT, sebelah selatan dengan Desa Ujang, timur dengan Desa Bambang, dan barat dengan Desa Mangkuasar di Kabupaten Malinau. Penduduknya berjumlah 70 kepala keluarga. Total keseluruhan sekitar 270 jiwa yang terdiri dari 148 laki-laki dan 122 perempuan.

tari_Dayak

Menurut cerita dari Kepala Provinsi Suku Dayak Punan Dulau, konon Suku Dayak Punan Dulau identik dinamakan Kelompok/Kampung/Tukung Punan. Dulau adalah nama sungai yang bermuara di Limbu. Limbu inilah yang dinamakan Lidung  Dulau, artinya tegilau yaitu air tidak tenang yang selalu berombak kecil. Dulu, Limbu menjadi tempat kelompok Punan yang tinggal di sungai dan berkebun/berladang di gunung-gunung dan perbukitan. Selain mengonsumsi orok nyifung sebagai makanan pokok yang tumbuh di hutan, mereka sehari-hari juga memiliki sumber karbohidrat lain, seperti padai ladang, singkong, pisang, ubi rambat, dan tumbuhan lainnya yang ditanam di sekitar pegunungan.

Sejarah tentang terjadinya Desa Punan Dulau didapatkan dari cerita yang disampaikan oleh Bapak Bungei sebagai Kepala Provinsi Suku Dayak Punan Dulau.

Menurut catatan pada tahun 1870, Masyarakat Adat Punan Dulau terdata memiliki penduduk berjumlah 15 kepala keluarga atau 50 jiwa yang tinggal di permukiman yang dipenuhi dengan lamin-lamin (rumah panjang) di sepanjang alur Sungai Magong atau Meko di Gunung Jolok. Disebut jolok karena di sanalah terdapat kayu jolok yang dipakai menjadi tiang bagi rumah adat Suku Punan.

batas_desa

Pada saat itu, kepemimpinan Punan terbagi ke dalam dua pemimpin di dua wilayah, yaitu alur Sungai Magong atau Meko Kiri dipimpin oleh Aki Tawang dan alur Sungai Magong Kanan dipimpin oleh Aki Ukong tahun 1880-1926. Pergantian kepemimpinan pun lantas berganti seiring dengan berjalannya waktu. Para pemimpin Punan kemudian tidak lagi terpecah menjadi dua, tetapi hanya seorang untuk keseluruhan Punan. Secara berurutan, pemimpin-pemimpin yang pernah menjabat, antara lain Aki Ulok (1927-1850), Aki Lalang (1951-1959), Pembakal Ipah (1960-1969), Pembakal Ibas (1975), Pembakal Pigun (1976-1978), Kepala Desa Unjan (1979-1989), Kepala Desa Bungei (1990-2007), Kepala Desa Kaharuddin (2008-2013), dan Kepala Desa Johan Belun (2013-sekarang). Penamaan pada sebutan pemimpin-pemimpin juga mengalami perubahan, dari sebutan “aki,” berubah menjadi “pembakal,” dan sekarang menjadi “kepala desa.”

Pada tahun 1972, Masyarakat Adat Punan Dulau dipindahkan oleh Pemerintah Kabupaten Bulungan dari tempat asal mereka di hulu Sungai Magong ke sebuah kawasan permukiman di Desa Sekatak Buji. Hingga kini, Desa Punan Dulau masih berada di lokasi Desa Sekatak Buji. Pemindahan tersebut dilakukan dengan pertimbangan untuk kelancaran administrasi serta jangkauan atau akses terhadap pelayanan oleh pemerintah penghubung (kecamatan) di Tanjung Palas. Kini, warga Desa Punan Dulau terbagi ke dalam dua RT (RT 01 dan RT 02). Itulah mengapa jika sebelumnya – pada masa penjajahan Belanda dahulu – Desa Punan Dulau dipimpin oleh kapiten atau pembakal kepala suku, kini pemimpin desa menjadi lebih dikenal dengan sebutan kepala kampung atau kepala desa.

 

Masyarakat Adat Punan Dulau: Menemukan Keluarga Baru (Bg 1)

oleh Angriawan dan Yosi Narti

 

Kami teringat suatu perenungan ketika dalam perjalanan menuju Kalimantan Utara (Kaltara). Bahwa belajar itu tidak tergantung pada bangku sekolah, namun juga kita bisa belajar banyak hal di luar sekolah. Layaknya semua orang itu bisa jadi guru, maka setiap orang bisa jadi adalah sumber pengetahuan. Meski pula tidak selamanya guru selalu benar.

Perjalanan kami ke Kaltara kali ini, adalah mendatangi rumah Suku Dayak Punan Dulau. Tempat yang belum pernah kami kunjungi dan ketahui. Di tengah berbagai kekhawatiran, muncul juga suatu kebanggaan bahwa pada akhirnya kami akan dapat pengalaman untuk bisa belajar banyak hal secara langsung dari kehidupan Masyarakat Adat Punan Dulau yang berada di Desa Punan Dulau, Kecamatan Sekatak, Kabupaten Bulungan, Provinsi Kaltara.

Kami menaiki taksi dari bandara menuju Pelabuhan Beringin yang membutuhkan waktu sekitar 10 menit. Setelah sampai di pelabuhan, kami melanjutkan perjalanan dengan kapal cepat dari Tarakan ke Sekatak. Mereka biasa menyebutnya dengan speed yang berkecepatan kira-kira 80 km/jam. Mungkin maksudnya adalah speed boat. Melalui speed, perjalanan ke Tarakan kami tempuh selama dua jam.

Tiba di Tarakan, ternyata kami sudah ditunggu oleh keluarga besar Pak Tahing dan warga Punan Dulau. Dengan perasaan senang karena sudah sampai di tempat tujuan, kami pun menaiki levu’ aru (rumah adat Punan yang juga sering disebut dan diartikan sebagai rumah panjang). Kami sebut naik, karena untuk masuk ke dalamnya, kami harus menapaki anak tangga. Kami cukup tertegun karena untuk pertama kalinya kami melihat dan merasakan berada di dalam rumah panjang. Kami di sambut secara adat dengan sajian sirih. Kami perlahan mulai mengambil sehelai daun sirih, kemudian mereka mengajarkan cara menyiapkan sirih yang dioleskan kapur dan bahan-bahan lainnya sebelum siap dilahap.

sirih

Sensasi memakan sirih menjadi pengalaman yang luar biasa bagi kami soal rasa yang tercipta di lidah ketika kami melahap dan mengunyahnya sampai halus. Ada rasa pedas, pahit, dan segala macam yang campur aduk dan sulit kami deskripsikan. Usai menyirih, baru kami berbicara tentang tujuan kedatangan ke Desa Punan Dulau.

Jika ada dari kita yang berpendapat bahwa masyarakat adat itu bodoh, primitif, dan miskin, ternyata itu adalah kesalahan besar. Ketika saya berinteraksi dengan mereka, justru kesan kebalikannya yang saya rasakan tentang mereka. Bahwa sesungguhnya masyarakat adat itu begitu baik, cerdas, dan bijaksana dalam berbudaya dan mengelola wilayah adat, baik dalam hal berladang maupun mengelola hutan adat.  Mereka tidak sembarang dalam berladang dan tidak asal menebang pohon di hutan. Ada serangkaian proses ritual adat yang panjang ketika mereka hendak berladang dan menebang pohon. Masyarakat adat masih memiliki kepercayaan dan memberikan hormat yang tinggi terhadap leluhur dan alam.

Ketika berbincang dengan mereka, saya diberitahu bahwa pesan yang disampaikan melalui ritual kepada leluhur dan alam, akan dapat mempengaruhi kesuksesan maupun kegagalan dalam segala aktivitas. Ada pemahaman tentang simbol-simbol yang terdapat di alam, seperti pada pohon dan kicau burung. Misalnya saja jika terdengar suara yang indah pada burung dari sebelah kanan, artinya adalah pertanda kebaikan. Sebaliknya, jika terdengar kicau burung yang terdengar sumbang dari sebelah kiri, itu menjadi pertanda buruk.

Masyarakat Adat Punan Dulau mempunyai prinsip hidup yang mereka sebut “hutan adalah air susu ibu.” Hutan telah menyediakan tumbuhan obat-obatan, bahan pakaian, lauk-pauk, dan segala kebutuhan hidup mereka. Masyarakat adat pun menggantungkan sumber penghidupan dari hasil hutan dan kekayaan alam sekitar. Tanpa hutan, maka Orang Punan tidak akan bisa bertahan hidup.

Selama bersama Orang Punan, saya merasa menjadi bagian dari keluarga. Asas kekeluargaan begitu kuat terlihat sebagai bagian dari tradisi yang dimiliki leluhur, salah satunya adalah pada saat penyelenggaraan upacara adat kematian. Tidak hanya Punan Dulau, tradisi tersebut juga dimiliki oleh hampir di seluruh Kabupaten Bulungan. Upacara adat tersebut ditandai dengan tarian dan pesta. Tradisi itulah yang menyatukan mereka dalam hubungan sosial dengan masyarakat lain. Meski meminum minuman beralkohol lokal, namun jangan dibayangkan akan ada orang-orang yang berbuat onar atau keributan. Justru suasana yang emosional semakin terbangun lebih dekat antar-desa. Mereka tertawa, bercerita, dan kita pun ikut minum bersama untuk menunjukan suatu tanda penghormatan. Minuman lokal yang mereka minum terbuat dari bahan alami yang mengandung alkohol, seperti umumnya disebut toak atau ciu. Mereka menyebutnya pengasih – terbuat dari fermentasi ubi kayu yang dicampur dengan lengkuas, daun papaya, dan daun pohon langsat yang dimasukkan ke dalam tempayan atau guci selama periode waktu tertentu. Selain upacara kematian, ada banyak lagi upacara adat yang dilakukan Masyarakat Adat Dayak Punan Dulau dengan kearifan yang diturunkan dari generasi ke generasi.

Selama 20 hari bersama Orang Punan, saya bersama kawan-kawan merasakan betul perhatian tulus yang mereka berikan. Bukan sekadar sebagai tamu, tetapi saya merasa di rumah dalam suasana kekaluargaan. Sungguh pengalaman yang tidak dapat saya lupakan. Begitu pun dengan mereka yang saya harap juga tak hendak melupakan saya dan kawan-kawan yang pernah tinggal sementara bersama mereka.

Sebelum saya dan kawan saya yang bernama Yosi tiba di Desa Punan Dulau, mereka telah dibertahu perihal kedatangan kami melalui komunikasi dengan handphone. Kami berkontak dengan Sri dan Denny yang tak lain adalah bagian dari BPAN dan AMAN di Kaltara. Mereka pun aktif membangun gerakan masyarakat adat di Desa Punan Dulau. Awalnya, itulah yang membuat saya merasa tenang dan dengan mudah menikmati keindahan alam selama perjalanan di sekitar wilayah adat Orang Punan.

Saya ingat kala itu. Setibanya di sana, kami disambut oleh masyarakat Desa Punan Dulau dengan acara adat di mana warga berkumpul di rumah panjang (limit). Kami tiba saat hari telah sore dan kondisi begitu lelah. Dengan penuh pengertian, dipersilakannya kami untuk beristirahat.

Esoknya, kami mulai melakukan observasi dan diskusi. Kami bertemu dan berkenalan dengan Pak Bungei, Kepala Masyararat Adat Suku Dayak Punan Dulau. Pengetahuan Pak Bungei yang begitu dalam tentang masyarakat adat di sana, membuat kami semakin penasaran dengan Desa Punan Dulau. Ternyata kami baru tahu kalau mereka tak lagi tinggal di wilayah adat leluhur mereka, melainkan wilayah Kecamatan Sekatak Buji.

Tempat yang kami tinggali kala itu bukanlah tempat awal Orang Punan Dulau. Mereka awalnya tinggal di dalam hutan, sebelum kemudian dipindahkan/dibuatkan permukiman baru. Tempat tinggal mereka sekarang pun memang tampak damai dan asri. Tapi ternyata damai itu cuma terlihat dari luar. Banyak warga tidak mempunyai pekerjaan. Tidak ada ladang tersedia karena pemerintah hanya memberi tanah di atas rumah yang didirikan. Ada pemikiran warga yang mengganggu jiwa: antara tetap tinggal di desa atau kembali lagi ke hutan dengan bermacam risiko. Jika mereka kembali ke hutan, anak-anak mereka mungkin tidak dapat melanjutkan sekolah (pendidikan formal). Tetapi jika mereka tetap di desa, tidak pula ada lahan yang menunjang keahlian mereka dalam berladang. Sedangkan setiap bahan untuk pangan sehari-hari kini harus menggunakan uang. Mereka pergi dari hutan pada tahun 1972, dan mereka masih tinggal jauh dari tanah adatnya sampai sekarang.

Pada saat itulah kami pikir permasalahan mungkin itu bisa jadi persoalan buat kami menjalani proses dan meraih tujuan kami. Selain sulit menggali pola hidup mereka yang sebenarnya (berdasarkan seni, agama/kepercayaan, dan budaya asli leluhur), kami tidak bisa melakukan pendokumentasian yang memperkuat cerita masyarakat adat melalui situs-situs sejarah peninggalan Masyarakat Adat Punan Dulau.

Kami pun melakukan musyawarah. Saya dan kawan-kawan memohon agar bisa diantar dan tinggal beberapa hari di wilayah mereka di hulu aliran Sungai Magong. Kami bersepakat untuk berada di sana selama empat hari saja.

Perjalanan tentu tidak mudah. Saya dan kawan-kawan harus menempuh jarak yang menghabiskan waktu sekitar lima jam. Kami menaiki apa yang sebut dengan ketinting didampingi oleh Aki Iwang, Pak Martin, Pak Sodianto, Ibu Sodianto, anak dari Sodianto, dan Sri. Medan dipenuhi dengan bebatuan besar dan tajam di sepanjang aliran sungai. Saya ekstra hati-hati. Tetapi jangan bayangkan saya berada dalam ketegangan yang mengerikan. Meski memerlukan kewaspadaan, tetapi letih seperti sirnah karena perjalanan yang diiringi dengan kicauan burung dan hembusan angin. Pepohonan rindang yang selalu menemani, membuat suasana tak terasa bosan sama sekali. Semuanya terbayar tuntas dengan keindahan panorama ibu pertiwi. Di sanalah kami berkesempatan melihat kuburan para leluhur.

Selama di hulu Sungai Magong, kami mendokumentasikan tempat permukiman lama, makam leluhur, tempat berburu binatang masyarakat adat di Sungai Keong, lokasi perladangan, dan mengenal obat-obat serta makanan masyarakat Punan Dulau.

Tentang makanan sehari-hari dan bagaimana cara mereka mendapatkannya, kami lihat sendiri ketika keesokan hari kami melihat Pak Sodianto yang bersama kami tiba-tiba bergegas pergi dengan parang yang menggantung di pinggang. Kami bertanya hendak ke manakah ia. Ia bilang kalau ia mau melihat pukat (jaring) dan pancing yang dipasang pada malam sebelumnya. Salah satu dari kami pun ikut dengan Pak Sodianto dengan semangat. Perkiraan kami, ikan yang ingin dijaring adalah ikan-ikan kecil yang mungkin seukuran lebar dua jari orang dewasa. Tetapi kami salah besar! Ikan yang dijaring dan dipancing ternyata sebesar lima jari orang dewasa. Dan pagi itu cukup banyak ikan didapatkan. Senyum sumringah terpancar dari raut wajah kami. Sungguh menyenangkan buat kami dapat melihat ikan-ikan besar dan segar yang mudah sekali didapat di sungai itu.

Hasil pancingan dan jaringan tersebut kami jadikan lauk sarapan. Setelah makan, kami pun pergi dengan ketinting lagi untuk menjelajahi tempat tinggal Orang Punan yang dulunya terpisah. Bukti wilayah adat mereka adalah pemakaman yang terdapat di beberapa tempat yang berjauhan. Di sanalah kami menyaksikan betul seperti apa hutan yang sesungguhnya begitu kaya: pepohonan besar dan rotan ada di mana-mana. Bukan hanya ikan yang didapat dengan gampang, tetapi juga ubi, buah, dan tanaman obat yang semuanya tersedia di hutan.

Temuan-temuan kami memperkuat pernyataan bahwa sebelum negara ini ada, sebelumnya telah sejak dulu masyarakat adat berkehidupan dengan aturan adat mereka sekaligus mengelola wilayah adat dengan lestari. Dengan pepohonan yang asri dan potensi sumber daya alam lainnya yang besar di wilayah adat, telah membangun kepercayaan diri Masyarakat Adat Punan Dulau untuk perlahan-lahan pindah kembali ke permukiman awal mereka di hulu sungai.

Dengan keramahtamahan warga Punan Dulau kepada kami, tentu terbersit rasa bersalah dengan pemikiran yang sempat terlintas sejak awal. Tentang stigma yang tidak benar tentang Orang Punan yang kerap dipandang sebagai orang-orang ganas. Kami sempat melihat pada sebuah tulisan pada halaman website menjelaskan bahwa Orang Punan itu memakan orang. Berita kosong itu sempat juga membuat nyali kami menciut pada awalnya. Namun, ternyata semuanya berbanding terbalik. Mereka sungguh termata ramah, baik, dan peduli pada sesama.

Keadaan yang mendorong kami untuk mengikuti pola-pola kehidupan masyarakat adat, sungguh tak terbayangkan, menjadi pengalaman yang tidak akan pernah terlupakan. Saya belajar ada banyak perbedaan yang patut dihargai dan dihormati, seperti seni dan budaya. Saya merasakan persaudaraan yang kuat. Merekalah keluarga kami selama berada di Kaltara.

Sungguh menjadi tidak penting tentang apa yang terlihat, sebelum benar-benar dirasa. Mereka terlihat damai dengan bagunan yang kokoh, tapi hati teriris. Mereka butuh hutan rimbun sebagai tempat tiggal di mana hutan itu tetap terjaga secara adat yang terangkai secara dahsyat. Mereka pintar dengan hutan dan isinya. Mereka mampu bertahan hidup tanpa harus merusak sesuatu yang indah apa adanya. Betapa sesungguhnya masyarakat adat itu sudah hebat, kalau pun tanpa harus ada tangan pemerintah yang seolah menjadi super hero.

Ketika tiba waktunya kami kami harus berpamitan pulang, mereka pun mengadakan acara perpisahan dengan warga yang dilakukan satu hari satu malam secara adat. Kami memakai pakaian adat, menari, dan – tidak ketinggalan – meminum pengasih yang disusul dengan makan bersama. Betapa kami merasa orang yang sangat di hargai..

Terima kasih Bapak Tahing dan keluarga serta Masyarakat Adat Punan Dulau yang telah membuat kami melihat dan belajar tentang apa yang terjadi serta apa yang berarti. Kalian adalah orang-orang hebat. Kalian menjaga adat dengan sangat baik. Dan itu adalah hal yang paling berharga. Tetaplah berjuang demi leluhur dan kemakmuran. Kalian adalah guru yang sempurna. Semoga dilain waktu kita dapat berjumpa lagi.

 

Masyarakat Adat Nua Nea: Sistem Kelola Wilayah Adat (V)

Sumber kehidupan Masyarakat Maluku pada umumnya bergantung pada hasil hutan dan kebun. Dengan begitu mereka mengolah tanah dan mendapatkan hasil untuk kebutuhan konsumsi harian. Selain memainkan peran ekologis, hutan adat juga menyimpan potensi ekonomi dan sosial-budaya. Melalui hutan, masyarakat adat di Negeri Nua Nea melakukan interaksi-interaksi sosial dan ritual adat.

gotong royong_bangun rumah

Hutan memang terkesan lebih sering diakses oleh kaum lelaki mengingat aktivitas berburu (yahoku) hanya dilakukan oleh lelaki. Setiap marga mempunyai pantangan memakan dan memburu hewan-hewan tertentu. Tetapi bukan berarti hutan tertutup bagi perempuan. Di dalam Komunitas Nuaulu, perempuan memainkan peran strategis dalam tata kelola ladang/kebun. Selain itu, ada pula tradisi aumua, yaitu kegiatan mencari/menangkap ikan di sungai yang dikhususkan bagi kaum perempuan. Tata cara pengambilan ikan disebut saloi.

Istri Bapa Raja Marga Mattoke mengatakan, “Katong Hidop dari Hasil Kebong. Katong pu kebong luas, seng tau lae luas brapa.” (Kami hidup di sini bersumber dari hasil kebun. Kami punya kebun luas sekali, tidak tahu luasnya berapa.)

Beberapa tanaman yang bisa kita jumpai di kebun, antara lain pohon aren, kasbi (singkong), pisang, keladi, patatas (ubi jalar), kelapa, cokelat, pala, nangka, cempedak, langsat, durian, rambutan, pepaya, mangga, sayur-sayuran, dan kacang-kacangan (kacang panjang, buncis, kacang hijau). Tanaman tersebut sangat berfungsi dalam keseharian warga karena hasil kebunlah yang menyuplai kehidupan warga sebagai sumber bahan pangan pokok (bukan nasi), seperti sagu (papeda), ubi, keladi, dan pisang. Meski tak selalu pasti menjadi makanan pokok, nasi kadang juga dikonsumsi masyarakat. Hanya marga Matoke yang tidak makan nasi. Sementara marga Nahatue tidak bisa makan kacang hijau. Ada pantangan sendiri di masing-masing marga mengenai pantangan-pantangan, termasuk larangan mengonsumsi makanan tertentu.

Dalam hal pengetahuan terkait tata kelola kebun, ada sebutan lokal bernama eunoinisie yang merujuk pada makna berkebun atau mengelola kebun secara tradisional dengan serangkaian tahapan seperti di bawah ini.

  1. Pertama yang dilakukan adalah ahunata, yaitu membersihkan atau membuka lahan dengan cara menebang pohon (rana’ai).
  2. Lalu membersihkan rumput-rumput liar atau disebut auneninisi dengan cara mencabut rumput dan menyapih akar-akar kecil menggunakan jari-jari, namun beberapa warga ada yang menggunakan teknik semprot monota yang artinya semprot rumput.
  3. Setelah membersihkan rumput dan memotong dahan-dahan pohon, dilanjutkan dengan mencangkul dengan teknik memutar.
  4. Kemudian dua sampai tiga hari, kembali ke kebun untuk menanam bibit tanaman kebun. Biasanya yang ditanam di kebun untuk tanaman umur pendek, meliputi jagung (yakong), tomat (tamate), dan lainnya.
  5. Proses panen disebut

 

Beberapa inae (sebutan untuk ibu) atau perempuan adat di negeri Nua Nea menyinggung soal peristiwa kebakaran hutan dan lahan beberapa bulan kemarin di wilayah adat mereka. Kebakaran lahan dalam bahasa Nuaulu disebut usa reinuna aikuna. 

 

Seng tau lae!” Yang artinya “Entahlah tidak tahu,“ ujar inae-inae di kebun ketika ditanya apakah kebakaran kemarin disebabkan oleh kemarau panjang semata atau sengaja dibakar orang/pihak yang tidak bertanggung jawab. Kebakaran menyebabkan sebagian ladang/kebun gagal panen. Tanaman kebun ada pula yang ikut terbakar, sehingga tidak dapat dikonsumsi.

Masyarakat Adat Nuaulu melihat hutan tidak hanya sebagai sumber kehidupan. Hutan adalah warisan leluhur untuk dititipkan kepada anak-cucu mendatang. Bukan hanya hutan dengan fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial-budayanya saja, tetapi di dalam hutan ikut tersimpan situs-situs dan ritual adat yang keberlangsungannya bergantung pada pelestarian hutan.

Syahadatul Khair

Masyarakat Adat Nua Nea: Wilayah Adat (IV)

Letak geografis negeri Nua Nea terletak di bagian utara Kota Masohi, ibukota dari Kabupaten Maluku Tengah. Negeri ini berada di dataran tinggi sekaligus pesisir. Nua Nea dapat ditempuh dari Masohi sekitar 45 menit dengan kendaraan bermotor sejauh kira-kira 17 kilometer. Permukiman penduduknya seluas 2 km. Batas-batas wilayah adat atau petuanan-nya, antara lain:

  1. Sebelah Utara berbatasan dengan Negeri Horale dan Sawai.
  2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Negeri Ruta, Amahi, Haruru, dan Makariki.
  3. Sebelah Timur berbatasan dengan Negeri Haya.
  4. Sebelah Barat berbatasan dengan Negeri Waraka.

Saat ini jumlah luasan wilayah adat Negeri Nua Nea masih belum diketahui, namun Masyarakat Adat Nuaulu telah memiliki batas-batas alam (penanda) yang sangat jelas di setiap penjuru mata angin, seperti sungai, pohon, hutan, dan danau (suanaru).

Keseharian masyarakat di Nua Nea menggantungkan sumber penghidupannya dari hasil hutan, kebun/ladang, dan laut. Sebagian besar dari mereka bermata pencaharian sebagai petani, peladang, pekebun, pemburu, nelayan, peramu, dan sebagian adalah wiraswasta dan pedagang. Berburu masih menjadi tradisi yang dikhususkan bagi kaum laki-laki. Beberapa hasil buruan, yaitu kus-kus, elang, babi hutan, ayam, rusa, kelelawar, ular, dan binatang hutan lainnya. Meski wilayah hutan adat belum diketahui berapa luasannya, namun masyarakat Nuaulu mengetahui dengan jelas batas-batas yang telah dibuat leluhur mereka. Hasil hutan yang mereka peroleh, yaitu cengkeh, kayu hutan, getah damar, durian, biji kenari, bambu, dan berbagai pohon kayu dan buah lainnya.

Masyarakat Negeri Nua Nea masih terus berjuang hingga kini. Tidak ada hak dan kebebasan untuk memilih karena mereka dianggap tidak punya agama atau kepercayaan yang diakui oleh negara. Bahkan, pemerintah pun belum mengakui keberadaan wilayah adat mereka.

“Tidak ada kebebasan untuk mencantumkan agama kami. Agama luar saja bisa diakui. Kita yang agama Indonesia asli tidak diakui,” ujar seorang warga Nua Nea dengan nada tegas.

Konflik adalah pengalaman yang pernah terjadi dan telah berlalu. Dulu terjadi suatu kerusuhan di negeri Nua Nea yang menyebabkan banyak murid sekolah yang pindah ke negeri Sepa. Melewati gunung dengan jarak tempuh sekitar lima jam. Dampaknya kemudian banyak murid yang putus sekolah akibat kerusuhan tersebut.

“Sebelum kerusuhan, kami sekolah di Nuaulu. Namun setelah kerusuhan, kami langsung pindah ke Sepa. Setelah kerusuhan, (kami) jalan kaki lewat gunung dari sini ke Sepa berjalan 4 sampai 5 jam. Tidak istirahat sama sekali melewati gunung. Ada sekitar 20 km-an dari kampung Nuanea. Kalau dari kampung yang lain, langsung putus sekolah. Setelah kuliah pakai celana panjang. Setelah lulus, saya pakai kain sarung. Yang sudah menikah dibedakan dengan kain sarung. Ini biasa di kampung, jadi sekarang kita ke Masohi ada kegiatan, mereka sudah pakai kain sarung. Kenapa harus dibilang, kemarin-kemarin kan sudah tahu ada Orang Nuaulu di sekitar kita. Tradisi di sini yang sudah menikah menggunakan kain sarung. Kita tidak ikut sarung. Tidak dipaksa karena mengikuti agama Hindu. Kalau kita pakai celana panjang biar kita berteriak ‘Aku Orang Nuaulu!’ orang-orang tidak akan melihat kita. Jika orang melihat kita pakai sarung, mereka bisa tahu kalau ada orang lain di sini dengan identitas Nuaulu,” cerita seorang perempuan yang menjadi saksi kerusuhan sekaligus mengungkapkan bagaimana identitas Masyarakat Adat saat ini di sana.

Syahadatul Khair

Masyarakat Adat Talang Mamak Usir PT Runggu

Jakarta (20/02/2016)-Masyarakat Adat Talang Mamak menggelar aksi besar-besaran di Hulu Cenaku guna mempertahankan wilayah adatnya. PT Runggu, sebuah perusahaan sawit perusak hutan, kembali beroperasi di tanah adat mereka.

Ratusan anggota Masyarakat Adat Talang Mamak turun langsung mulai dari kebatinan, pemuda sampai perempuan. Mereka mengamankan dua buldozer milik perusahaan.

“Kita aksi untuk mendesak perusahaan agar meninggalkan wilayah adat kita,” kata Aan Pardinata, anggota BPAN Inhu saat dihubungi, Sabtu (20/2).

Perusahaan tak berizin itu melanggar perjanjian yang sebelumnya telah ditandatangani dengan Masyarakat Adat Talang Mamak. Sekitar lima bulan lalu, perusahaan dan masyarakat membuat perjanjian agar segala aktivitas dihentikan di lahan sampai kejelasan batas wilayah adat dengan konsesi, terang.

“Mereka melanggar surat perjanjian yang ditandatangani dengan materai lima bulan yang lalu,” terang Aan.

Abu Sanar, Ketua PD AMAN Inhu bersama para dubalang/batin Talang Mamak memimpin aksi sepanjang hari.

Selain mempertahankan wilayah adat secara umum, Masyarakat Adat Talang Mamak juga memperjuangkan sungai yang menjadi sumber air bagi 20 desa yang membutuhkan. Sungai yang berada di hutan adat Talang Mamak terancam kering jika perusahaan meneruskan aktivitas mereka menebangi pohon di hutan. Masyarakat Adat berpenduduk 20.000 jiwa itu bisa kehilangan air di tengah-tengah hutan.

“Perusahaan merusak hutan di hulu yang menyediakan air bagi kita, masyarakat berpenduduk 20.000 jiwa,” tambahnya.

Saat ini dua alat berat tengah diamankan sebagai barang bukti, dan aksi masih akan berlanjut besok.

[Jakob Siringoringo]

Masyarakat Adat Nua Nea: Kelembagaan dan Hukum Adat (III)

Masyarakat Adat Nuaulu yang berada di Pulau Seram di Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah ini menggunakan bahasa asli suku mereka dalam percakapan sehari-hari, yaitu bahasa Nuaulu. Adat istiadat maupun kearifan lokal (pengetahuan masyarakat adat) masih dipegang teguh sebagai warisan leluhur.

Komunitas Nuaulu adalah Masyarakat Adat Nuaulu yang berdomisili di tujuh kampung, antara lain Nuanea, Rohuwa Lama, Rohuwa Waimanesi, Bonara, Latan, Hahowalan, dan Simalou. Mereka hidup berdampingan satu sama lain. Ikatan persaudaraan sangat terasa dalam keseharian masyarakat adat.

Mereka pula terbagi ke dalam banyak marga. Sejumlah marga tersebut, yaitu Marga Matoke, Marga Sonawe, Marga Leipari, Marga Huri, Marga Somori, Marga Pia, Marga Rumalait, Marga Peirisa, Marga Kamama, Marga Nahatue, dan Marga Sopalanip. Setiap marga masih dapat terbagi-bagi dalam kelompok kecil. Contohnya adalah Marga Sonawe yang terbagi menjadi dua, yaitu Sonawe Ainakahata dan Sonawe Aipura.

Di dalam setiap marga, kelompok adat dipimpin oleh tetua adat yang diketuai oleh masing-masing kepala marga, seperti ada yang namanya Kepala Marga Sonawe, Kepala Marga Leipari, Kepala Marga Huri, Kepala Marga Somori, Kepala Marga Pia, Kepala Marga Rumalait, Kepala Marga Peirisa, Kepala Marga Kamama, Kepala Marga Nahatue, dan Kepala Marga Sopalanip. Dalam tatanan kelembagaan adat, Masyarakat Adat Nuaulu dipimpin oleh seorang Raja Nuaulu dari marga tertinggi Suku Nuaulu, yaitu Marga Matoke yang bernama Sahune Matoke dan seorang kepala suku yang bernama Aipinoa Matoke yang merupakan ayah dari Bapa Raja Nuaulu Sahune Matoke. Masing-masing marga juga mempunyai rumah adat tersendiri dengan tata ruang arsitektur kampung. Semakin ke atas letak rumah adat, maka semakin tinggi marga dan jabatannya dalam kelembagaan adat Nuaulu.

pemberian jabatan adat

Ada yang unik dari bagaimana Masyarakat Adat Nuaulu memperlakukan dan menghormati perempuan dengan kondisi/kebutuhan khususnya. Possune adalah sebutan bagi pondok-pondok di belakang rumah warga Nuaulu. Pondok tersebut hanya diperuntukkan bagi perempuan sebagai tempat peristirahatan dari pekerjaan/aktivitas yang telah dilakukan perempuan di dalam dan di luar rumah ketika perempuan memasuki proses menstruasi dan pasca-persalinan hingga akhir masa haid dan nifas. Maksud dan tujuan possune adalah mengistirahatkan jiwa dan raga perempuan untuk tidak mengurusi semua pekerjaan atau kesibukan lain di saat organ reproduksi sedang bekerja keras.

Ada pakem pada arsitektur possune yang khas di mana di dalamnya hanya terdiri dari satu ruangan. Atapnya terbuat dari daun aren yang dirajut satu per satu, kerangka atap dari bambu, dan pondasi yang diikat dengan rotan juga menggunakan teknik penyambungan lokal. Bahan atau material possune seluruhnya didapatkan dari hutan adat. Di dalamnya tidak terdapat barang atau perabot apa-apa karena bersifat sebagai persinggahan sementara. Namun kita dapat menemukan tempat tidur dan perkakas dapur bersama tungku yang dilengkapi tumpukan abu dengan satu sela penyangga di atasnya. Pinamou adalah panggilan bagi seorang perempuan yang sedang berada di possune di kala haid hari pertama, sedangkan Makasusue menjadi sebutan bagi perempuan yang akan dan telah melahirkan untuk diistirahatkan di possune. Peraturan adat yang memperhatikan kebutuhan khusus perempuan ini sudah diterapkan sejak nenek moyang Nuaulu. Di dalam sebuah possune bisa dihuni sampai 5 orang lebih perempuan tergantung pada luasan pondok.

“Katong kalo di Posune waktu melahirkan, dong, dibantu banyak orang lae, dong kalo di rumah katong sandiri sa,” kata Rena Mattoke, putri Bapa Raja Nuaulu. Banyak orang bawa makanan mentah yang kemudian dimasak di possune.

Aturan adat lain yang terkait perempuan adalah numaonate, yaitu prosesi ritual pemberian tanda kepada seorang perempuan yang memasuki kedewasaan di saat haid pertama. Ia diwajibkan memakai selembar kain sarung sebagai pakaian yang serupa kemben di Jawa. Memasuki hari ketiga, ia yang kemudian tinggal di possune memulai ritual. Perempuan tersebut akan dibaluri bubuk hitam yang ditumbuk – hasil kayu khusus yang dibakar – ke seluruh tubuhnya, kecuali bagian yang tertutupi kain dari lutut kaki hingga dada dan dibersihkan pada keesokan harinya. Seorang perempuan itu dibolehkan kembali pulang ke rumah orang tuanya setelah ia mandi bersih. Begitu pula dengan seorang perempuan yang melahirkan. Bagi ia yang baru melahirkan, ada prosesi adat lain lagi yang harus dilalui terlebih dahulu sebelum ia membawa bayinya masuk ke dalam rumah.

Nuaulu juga memiliki keunikan yang sangat berbeda dari prosesi perkawinan dibandingkan tempat lain di Pulau Seram, Maluku Tengah. Ausahaso adalah kata yang merujuk pada perkawinan dalam bahasa Nuaulu. Perkawinan hanya dilakukan sekali seumur hidup. Mereka percaya bahwa perkawinan bukan semata ikatan, melainkan untuk menjaga kehormatan peradaban hidup dalam satu keluarga dan kampung.

Ketika seseorang ingin menikah, keluarga calon pengantin laki-laki akan menunjuk manorisou (perantara) pihak laki-laki yang ditugaskan untuk mengurus penetapan harta atau mas kawin (mahar). Kemudian manorisou pihak perempuan bergegas pergi ke rumah keluarga calon pengantin perempuan untuk memberitahukan keinginan seorang lelaki yang telah meminta izin mengawini seorang perempuan. Pihak keluarga perempuan akan bertanya kepada calon mempelai lelaki. Jika calon mempelai perempuan setuju, maka akan ditetapkan hari untuk berkumpul di rumah adat marga calon pengantin perempuan. Calon mempelai istri-lah yang akan memberitahu calon suaminya tanggal musyawarah perkawinan dan mahar. Peran manorisou tidak lagi ikut ke baileu (rumah adat marga) pihak perempuan untuk menetapkan harta atau mas kawin. Hanya manorisou pihak lelaki saja yang akan hadir.

Harta yang selalu ada sebagai mahar adalah hanainnasinae, yaitu piring adat yang ditentukan oleh pihak perempuan dan bisa dikalkulasikan dengan jumlah uang. Setelah jumlah permintaan harta ditentukan oleh pihak keluarga calon pengantin perempuan, selanjutnya ditetapkan hari kumpul bermusyawarah di baileu calon pengantin lelaki. Di sanalah terjadi kesepakatan timbal balik harta mas kawin yang diinginkan pihak laki-laki kepada perempuan maupun mas kawin yang diinginkan perempuan kepada pihak laki-laki. Hunonin adalah penetapan mahar dalam bahasa Nuaulu. Setelah hunonin selesai, dilanjutkan dengan ditetapkannya hari perkawinan yang tidak boleh lebih dari satu bulan. Jika penetapan hari perkawinan mengacu pada waktu lima hari ke depan, maka disebut hetemetene ononanima. Jika penetapan seminggu lebih, maka disebut minggu unuenesi. Selesainya penetapan hari pernikahan adat, kedua belah pihak pulang mempersiapkan segala prosesi ausahaso.

Selain perkawinan, ada pula yang berbeda dengan pemakaman dari Masyarakat Adat Nuaulu. Mereka menyebutnya dengan nimoa nianehahae. Nimoa berarti perkampungan, sementara nianehahae adalah dia (orang) yang telah meninggal dunia. Mereka percaya bahwa setiap yang bernyawa pasti akan meninggalkan dunia dan memasuki alam baru di kehidupan yang berbeda dari sebelumnya. Dia yang meninggal akan dibawa ke para-para. Para-para merupakan sebutan bagi tempat peristirahatan akhir berupa meja persegi panjang dengan pondasi tiang setinggi 1,5 sampai 2 meter. Para-para sendiri terbuat dari kayu yang diambil dari hutan sekitar dan dibuat di dalam area hutan masyarakat adat yang sekaligus menjadi situs pemakaman yang dilindungi. Tidak sembarang orang bisa masuk ke areal nimoa nianehahae. Hanya orang-orang yang sudah melaksanakan ritual Maku-maku yang diperbolehkan mengantar mayat ke nimoa nianehahae, bahkan tidak bagi sanak keluarga yang meninggal.

Ketika seseorang meninggal dunia, dia akan dipakaikan pakaian adat Suku Nuaulu, lalu dibalut menggunakan tikar dari kokaya (daun pandan) yang diikat. Dia dibawa dengan cara ditandu oleh dua orang (depan dan belakang) menggunakan dua batang bambu dan diikuti barisan pengantar mayat. Mayat ditandu dengan berjalan kaki dan diiringi masyarakat dalam satu barisan ke nimonia nehahae yang ditempuh kurang lebih lima sampai enam kilometer. Jika salah satu penandu merasa lelah, seseorang yang berada di barisan pertama di belakang penandu tersebut akan maju untuk menggantikan dan penandu sebelumnya masuk ke dalam barisan paling belakang. Sebelum Pemakaman dilakukan, keluarga akan menunggu keluarga yang lain hingga keesokan harinya selama tidak lebih dari dua hari satu malam. Pemakaman tidak boleh dilangsungkan pada sore hari, biasanya pada pagi atau menjelang siang. Sesampainya di dalam hutan di nimoa niahahae, seketika itu juga dibuatkan tiang para-para dan dikelilingi pagar dari bambu yang ditancapkan sekitar para-para untuk menghalangi binatang masuk. Ada ritual yang harus dilewati ketika menempatkan mayat pada para-para. Setelah selesai, barulah areal luar para-para disapu dan mengelilinginya sebanyak lima kali menggunakan ranting kayu. Kemudian sapu tersebut diletakkan pada tone (pagar para-para). Usai pemakaman, seseorang yang telah ditunjuk oleh kepala adat dari marga yang meninggal, akan menentukan batas alam antara seseorang yang meninggal dan yang masih hidup (arena matametene).

Selain tata cara dengan mengantar dia yang meninggal ke nimoa nianehahae, masih ada cara lain yang dilakukan khusus bagi perempuan yang meninggal saat hamil atau melahirkan. Itu disebut imata pouhue. Imata berarti meninggal dan pohue berarti dikuburkan. Perempuan yang meninggal tersebut akan dikubur dengan tetap mengenakan pakaian adat lengkap dengan kain tenunnya.

Setelah seluruh prosesi pemakaman selesai, semua rombongan pengantar jenazah kembali ke kampung dan tidak boleh menghadap ke belakang, termasuk menengok lagi ke pemakaman. Dia akan ditinggalkan untuk selama-lamanya. Kalau pun ada seseorang yang sedang berburu tidak sengaja menemukan arena matametene, maka ia harus balik arah kembali untuk tidak melewati batas arena matametene.

Syahadatul Khair

Masyarakat Adat Nua Nea: Negeri Penuh Cerita dan Kearifan (II)

Sejarah Asal Usul

Negeri Nua Nea merupakan sebuah negeri adat yang lahir berdasarkan asal usul leluhur secara turun-temurun, memiliki kedaulatan atas wilayah teritorial (petuanan/ulayat) dengan kekayaan alam yang berlimpah, serta kehidupan sosial yang diatur oleh norma-norma atau kaidah-kaidah adat yang tidak tertulis tetapi dihormati dan diakui oleh Masyarakat Adat Nua Nea sendiri.

Bila kita menelisik Negeri Nua Nea dari aspek historis, hal itu tidak terlepas dari kehidupan Komunitas Adat Suku Nuaulu di bagian selatan Pulau Seram yang salah satunya berada di Negeri Nua Nea sebagai pusat pemerintahan adat untuk orang-orang Nuaulu yang tersebar di beberapa kampung. Suku Nuaulu terdiri atas enam negeri yang secara administratif berada di lima kampung di bawah Negeri Sepa. Kelima kampung tersebut adalah Kampung Rohua, Bonara, Watane, Hahuwalan, dan Simalouw.

Negeri Nua Nea merupakan pusat pemerintahan adat untuk Suku Nuaulu. Untuk menelusuri sejarah, maka kita perlu menoleh ke belakang ketika awalnya semua bermula dari Nunusaku. Nunusaku adalah sebuah kerajaan pertama di Bumi Nusa Ina.

IMG_8654

Suku Nuaulu telah sejak lama mendiami Pulau Seram, khususnya Seram Tengah di bagian selatan Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Suku Naulu merupakan penduduk asli Nusa Ina Pulau Seram. Pada awalnya, negeri-negeri atau desa-desa adat yang berada pada Pulau Seram maupun Maluku pada umumnya, berada pada satu kekuasaan kerajaan, yakni Kerajaan Nunusaku yang merupakan kerajaan pertama di Nusa Ina. Berbicara Suku Nuaulu sudah barang tentu tidak terlepas dari kekuasaan Kerajaan Nunusaku. Nunusaku dahulu berlokasi di Pedaman, Kabupaten Seram Bagian Barat, yaitu di hulu Sungai/Wae Tala, Eti, dan Sapalewa. Suku ini merupakan Keturunan dari anak-cucu Raja Nunusaku yang bernama Upu Aman Latu Nunusaku.

Ceritanya kira-kira seperti ini:

Alkisah, Kerajaan Nunusaku adalah kerajaan pertama atau tempat pertama di Bumi Nusa Ina Pulau Seram yang terdapat di Pedaman, Kabupaten Seram Bagian Barat, tepatnya di hulu Wae Tala, Eti, dan Sapalewa. Kerajaan ini di pimpin oleh seorang raja yang bernama Upu Aman Latu Nunusaku. Ia mempunyai dua orang putra: Natu Manue dan Natu Sahunawe.

Nama kedua purta Raja Nunusaku itu masing-masing memiliki arti penuh makna. Natu Manue mempunyai arti kapten atau panglima perang yang dalam perang – saat diserang atau menyerang musuh – atau bepergian jauh, Natu Manue biasanya terbang-terbang. Sedangkan Natu Sahunawe mempunyai arti kapten atau panglima yang dalam berperang atau berpergian jauh, memiliki langkah yang panjang ke mana pun ia pergi. Entah apakah arti tersebut bermakna sebenarnya atau sekadar metafor. Kedua putra raja tersebut kemudian mempunyai jabatan masing-masing dalam kerajaan sebagai kapten atau panglima perang.

Awalnya kedua Putra Upu Aman Latu Nunusaku hidup rukun, aman, dan damai. Namun seiring berjalannya waktu, Raja Nunusaku memasuki usia senja dan kedua putra raja pun mulai berebut tahta kerajaan. Hal itu terlihat pada setiap permasalahan yang terjadi dalam Kerajaan Nunusaku yang memicu perselisihan dan kerap mengorbankan rakyat Nunusaku.

Melihat hubungan kedua putranya yang kurang harmonis, Raja Upu mengadakan musyawarah besar. Pada musyawarah, Sang Raja mengambil keputusan untuk mengeluarkan kedua putranya dari Kerajaan Nunusaku. Itu dilakukan agar rakyat Nunusaku tidak lagi menjadi korban dari setiap permasalahan yang timbul atas ulah kedua putranya. Mendengar keputusan ayahandanya, Natu Manue dan Natu Sahunawe mencari jalan untuk keluar dari Nunusaku. Namun keputusan raja justru menimbulkan huru-hara baru di antara kelompok pengikut kedua putra mahkota tersebut.

Tibalah hari perpisahan atas keluarnya kedua putra Raja Nunusaku dari kerajaan. Sebelum berangkat meninggalkan Nunusaku, kedua putra raja berdiri di bawah pohon beringin yang tumbuh melingkari pohon sagu di atas batu besar yang menjadi sumber mata air sungai (Wae Tala, Eti, dan Sapalewa).

Kedua putra raja berdiri sambil menyanyikan dua kapata atau lagu perpisahan yang berbunyi: “Hiti-hitio tui-tui tahei lete hei lete yahei lete Nunusakuo, Nunusakuo Nunusaku paratamao.” Usai menyanyikan lagu tersebut, keduanya berkata, “Nunusaku re sama ita mansiau mai Nusa Ina kaka wani.”

Ada hal yang sangat penting dalam perpisahan kedua putra Raja Nunusaku sebelum berpisah meninggalkan Nunusaku. Ketika itu Natu Manue dan Natu Sahunawe masih tetap berdiri di bawah beringin. Upu Aman Latu Nunusaku berkata, “Natu Manue, ano eu pusu Wae Sapalewa Poe. Natu Sahunawe, ano eu pusu Wae Tala Poe.” Artinya, “Natu Manue, kamu berjalan menelusuri Sungai Sapalewa. Natu Sahunawe, kamu berjalan menelusuri Sungai Tala.”

Namun, sebelum kedua putra raja meninggalkan Kerajaan Nunusaku, kelompok-kelompok pengikut tersebut memohon kepada Raja Nunusaku agar mereka ikut serta meninggalkan Nunusaku. Mendengar permohanan tersebut, Raja Nunusaku berkata “Munata nanie pusimo eumo ari honi Nunusaku, reimo pusimo omo poe nunue nohue remo!” (Jika kalian semua berkehendak meninggalkan Nunusaku, kalian semua berdiri di bawah pohon beringin itu!”)

Mendengar perkataan Raja Nunusaku, kelompok-kelompok masyarakat Nunusaku tersebut berkumpul bersama-sama dengan Natu Manue dan Natu Sahunawe. Pengikut masing-masing kubu pun berdiri di Wae Sapalewa (bagian utara) serta Natu Sahunawe di Wae Tala (bagian selatan). Sebagian kelompok yang tidak memihak kedua putra Raja Nunusaku berdiri di batu pada sumber mata air Wae Eti.

Melihat semua rakyat Nunusaku bersama kedua putranya sudah berada di bawah pohon beringin yang melingkari pohon sagu tersebut, Raja Nunusaku menunjuk di atas pohon tersebut dengan tombak yang dipegangnya sambil berkata, “Nunue mese-mese.” Seketika itu di bawah pohon beringin – yang tadinya rakyat Nunusaku banyak berdiri bersama kedua putranya – pun menghilang entah ke mana. Yang tersisa hanya kedua putra dan beberapa orang pengikut Natu Manue dan Natu Sahunawe. Kelompok Natu Manue tersisa empat orang ditambah Natu Manue sendiri, maka menjadi lima orang. Kelompok Natu Sahunawe tersisa delapan orang ditambah Natu Sahunawe sendiri, maka menjadi sembilang orang. Sementara kelompok rakyat Nunusaku lainnya yang tidak memihak kedua putra, hanya tersisa sembilan orang.

Melihat hal tersebut, Raja Upu Aman Latu Nunusaku berkata, “Natu Manue, ano runame mansiau hata ate remo runa amo ruam oyo omi nima eu resunoi oruemo tau motihue otoe isa omimo omi Hata Nima. Natu Sahunawe, ano runame mansiau hata wanu remo runa amo ruam oyo omi sia eu resunoi oruemo tau tihue otoe isa omi Hata Sia Putia. Runa omi sia remo euresunoi oruemo taumo tihue otoe isa omi Hata Sia Metena.” (Natu Manue, kamu dan keempat orang yang bersama denganmu dalam perjalanan mencari tempat tinggal yang baru kalian adalah kelompok Pata Lima. Natu Sahunawe, kamu dan kedelapan orang yang bersama denganmu dalam perjalanan mencari tempat tinggal yang baru sebagai tempat tinggal kalian yang baru kalian adalah kelompok Pata Siwa Putih. Dan kalian kelompok rakyat Nunusaku yang lain yang tidak memihak salah satu dari kedua putraku, karena kalian berjumlah sembilan, dalam perjalanan mencari tempat tinggal yang baru kalian kelompok Patasiwa Hitam.)

Selesai berucap, Raja Upu menghilang seketika. Melihat kejadian tersebut, Natu Manue dan Natu Sahunawe serta kelompok lain pun meninggalkan Nunusaku. Natu Manue dan pengikutnya (Pata Lima) berjalan menelusuri Wae Sapalewa dan Natu Sahunawe dan pengikutnya (Pata Siwa Putih) berjalan menelusuri Wae Tala. Kelompok lain yang berjumlah sembilan (Pata Siwa Hitam) berjalan menelusuri Wae Eti. Itulah yang menjadi cikal bakal runtuhnya Kerajaan Nunusaku sekaligus menjadi permulaan bagi Pata Siwa dan Pata Lima untuk merujuk pembagian kelompok-kelompok masyarakat adat di Nusa Ina Pulau Seram. Sampai saat ini, penamaan Pata Siwa dan Pata Lima dipakai sebagai lambang asal mula suatu negeri pecahan Nunusaku. Jika pada zaman sekarang ada suatu negeri di Bumi Nusa Ina yang tidak memiliki adat istiadat atau kebudayaan dan tradisi dari kedua kelompok, maka negeri tersebut bukanlah penduduk asli Nusa Ina.

Tetapi ada kisah lanjutan lain. Setelah perpisahan, Natu Manue dan pengikutnya yang berjalan menelusuri Wae Sapalewa menuju utara Bumi Nusa Ina, lantas berpisah. Natu Manue justru berjalan menuju timur Nusa Ina. Dalam perjalanan mencari tempat yang baru itulah, Natu Manue tiba di suatu tempat bernama Asinahu Sanawai. Asinahu Sanawai adalah dua sungai yang ada di bagian utara Nusa Ina dan memiliki nilai historis yang penting bagi Suku Nuaulu. Di sanalah mereka percaya peradaban awal Nuaulu bermula dan berkembang.

Syahadatul Khair

Masyarakat Adat Nua Nea: Perbincangan di Teluk Ambon (I)

Jumat, 27 November 2015. Hari itu, saya merenungkan sesuatu sambil melihat sayap pesawat yang membawa saya menuju langit Pattimura dari tanah lampau Batavia dengan terik matahari yang menyengat di Bandar Udara Soekarno-Hatta. Di atas ketinggian udara ini, terlintas di benak saya tentang alasan untuk apa kita terlahir? Tentang asal muasal dan juga hendak ke mana akan menuju. Saya berjalan ke mana arah angin membawa langkah. Memburu perbedaan yang menjadikan Indonesia bersatu dalam keberagaman. Ada satu kepuasan batin ketika melihat senyum anak-anak di pedalaman. Mungkin itu, entahlah mengapa Tuhan membawa saya ke negeri ini. Tak tahu bagaimana kebiasaan mereka, bagaimana cara mereka makan, di mana mereka mandi, bagaimana mereka menyembah sosok yang disebut Tuhan, dan lain-lain.

Beberapa hari yang lalu, 14 pemuda adat Nusantara belajar bersama dalam kegiatan pendokumentasian jejak sejarah leluhur dan menjejaki kawasan Gunung Gede Pangrango. Saya bersama pemuda adat dari Kalimantan Timur terpilih untuk live in di Komunitas Nuaulu di Pulau Seram, Kota Ambon, Maluku Tengah. Sebelum berangkat, tak terbersit sedikit pun untuk mencari tahu tentang komunitas yang tergabung sebagai anggota AMAN ini karena informasi terakhir yang saya dapatkan adalah kami harus sampai ke komunitas terlebih dulu untuk mendapatkan izin dari para tetua adat dan raja di Nuaulu. Bagi saya, ada makna yang menarik untuk mengunjungi tempat yang asing di mana saya tak perlu mencari tahu banyak hal dari internet sebelum pada akhirnya saya tiba dan memulai pencarian sendiri dari hal yang kosong.

Kami tetap meneguhkan hati untuk sampai ke Komunitas Adat Nuaulu.

Mencoba mengurangi insomnia perjalanan, saya memutuskan menonton film karya pemuda Suku Sasak tentang perjalanan seorang perempuan Sasak. Hal itu memberikan saya rindu akan tanah kelahiran sekaligus kisah para perempuan Sasak yang terbungkam.

Tedoq tangis gumi Sasak.
Bande jari tutur kate leq semeton jari.
Inaq Amaq semeton jari, tiang tunas maaf beleq beleq.

(Terbungkam tangis bumi Sasak Lombok.
Memikul beban tetapi menjadi sebuah tutur kata indah kepada sanak saudara.
Ibu dan bapak, saya mohon maaf sebesar-besarnya.)

Sebuah film dengan alur cerita tentang perempuan Sasak yang mencoba berbakti kepada orang tua, namun tak lepas juga membahagiakan orang lain di sekitarnya. Saya usap air mata dengan kerudung walau telah sekian kali menonton film ini. Filmnya pun terputus karena 15 menit lagi pesawat akan mendarat.

Saya tempel telapak tangan pada jendela pesawat. Saya gerakkan ke sana kemari telunjuk sambil melihat gumpalan awan. Sontak saya terkejut melihat awan yang seolah-olah memberi pesan. Percaya atau tidak, itu nyata. Jelas sekali awan itu terlihat seperti orang-orang yang sedang berkumpul. Laki-laki bersama seorang perempuan  saling berhadapan dan laki-laki dengan ikat kepala bersama banyak pasukan di belakangnya.

Puku 18.45 Wit, kami mendarat di Bandara Pattimura Ambon, lalu melanjutkan perjalanan menuju Kota Ambon dengan satu jam jarak tempuh mengitari Teluk Ambon yang dihiasi kilau lampu-lampu dari rumah masyarakat dengan tata ruang perumahan yang menumpuk hingga ke atas bukit.

Di tengah perjalanan, saya berbincang-bincang dengan sopir taksi Avanza. Banyak pertanyaan yang saya layangkan kepadanya. Seperti tentang morea, – belut raksasa yang terkenal itu – destinasi wisata, hingga kuliner di Ambon. Sampai pada akhirnya ia mempertanyakan maksud dan tujuan kami datang ke Ambon. Kami bilang bahwa kami hanya singgah di Kota Ambon.

Begini Percakapan antara supir dan saya.

Supir    : Berapa hari Nona di Ambon?
Saya     : Kami hanya singgah di Ambon. Akan melanjutkan perjalanan ke Pulau Seram.
Sopir    : Memang rencana ke Seram mau ke mana, Nona?
Saya     : Ke Amahai di Nua Ulu.
Sopir    : (Bapak supir langsung diam.)
Saya     : Bapak ada tahu informasi tentang Nua Ulu ‘kah?
Sopir    : Kalian ada penelitian ya di sana?
Saya     : Kami ada pendokumentasian komunitas (adat).
Sopir    : Ini saya su merinding Nona ‘e.
Saya     : Kenapa ?
Sopir    : Di sana tampa bunu bunu orang, Kakak. Kapala manusia dipenggal deng taru depan de pu rumah.
Saya     : Lalu ?
Sopir    : Kakak berani sakali ‘e ke sana! Seng takut ‘kah itu kapala dipenggal, balum lae di sana orang-orang seng pu agama ‘e.

Saya bertanya cukup di dalam hati. Benarkah hal seperti itu masih ada di Indonesia. Dan saya pun tersenyum saja sambil memotret Teluk Ambon sambil meyakinkan diri bahwa tujuan kami datang adalah sebagai saudara, bukan untuk terbunuh oleh pikiran negatif  tentang mereka.

Setiap orang adalah guru.
Setiap tempat akan berkesan jika kau mengambil arti di dalamnya.
Setiap tempat akan berkesan jika kau memberi arti pada mereka.

Semua tempat adalah sekolah.
Semua tempat adalah belajar.
Semua pengalaman adalah ilmu.

Syahadatul Khair

Dirjen Kebudayaan: Masyarakat Adat Lebih Masuk Akal

Jakarta (13/2/2016)—Dalam skop sosial ekonomi politik luas, Masyarakat Adat sejak dulu telah memiliki kearifan khas. Hal ini terbukti dengan keberadaan Masyarakat Adat itu sendiri yang tegak berdiri di wilayah adatnya masing-masing. Dalam hal pangan, misalnya, beberapa komunitas adat di Banten memiliki cara untuk mengatasinya: Serentaun. Serentaun merupakan kegiatan rutin yang diadakan Masyarakat Adat Sunda sebagai sebentuk festival tahunan.

“Kalau terjadi kekeringan selama enam tahun berturut-turut, mereka akan selamat,” ungkap Abdon Nababan, Sekjen AMAN dalam audiensi ke kantor Direktorat Jenderal Kebudayaan RI.

Sementara itu, Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid, menyampaikan bahwa terdapat porsi Masyarakat Adat dalam programnya yang selama ini ruangnya masih terbatas. Adapun sinergi Dirjen dengan AMAN adalah suatu kolaborasi yang perlu dikedepankan. Masyarakat Adat seharusnya lebih ditonjolkan karena merekalah pemilik dan pemakai sehari-hari kebudayaan itu.

“Seharusnya kehadiran Masyarakat Adat di Indonesia dalam hal kebudayaan harus menonjol tidak hanya dalam urusan persoalan tanah ulayat atau agraria dan sebagainya. Karena kebudayaan adalah ruang yang paling masuk akal,” demikian pernyataan Hilmar Farid.

Dalam pertemuan itu, Hilmar menyampaikan akan ada beberapa kegiatan budaya yang sifatnya internasional. Dua di antaranya adalah World Culture Forum dan Europalia. Kesempatan dalam kegiatan tersebut diharapkan akan bisa menyampaikan pesan substantif dengan menekankan segala rupa proses dan pemaknaan kepada Masyarakat Adat selaku subjek, bukan objek. Kegiatan internasional ini diharapkan berlangsung tidak hanya tunduk pada satu bahasa: Inggris.

Inilah salah satu upaya mengenalkan budaya yang sesungguhnya dari Masyarakat Adat yang benar-benar beragam. Prinsip universal yang menyatukan budaya bukan pada pemahaman bahasa internasional, melainkan kepada makna dan pesan yang disampaikan lewat kebudayaan tersebut. Dengan kata lain, harus ada penguatan kedaulatan dan martabat Masyarakat Adat.

IMG_20160212_155702

Menggerakkan budaya dari pinggir

Kerja-kerja yang dilakukan AMAN selama ini dalam pertemuan disambut baik oleh Dirjen. Berbagai bentuk program yang dilakukan Masyarakat Adat dalam mengembalikan rasa percaya dirinya bahkan menyelamatkan komunitas dan budaya yang terancam punah. Umpamanya generasi muda adat yang bergerak bersama dalam Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) membangkitkan rasa percaya diri dan kebanggaannya sebagai Masyarakat Adat. Memulai menggagas sebuah pendidikan menurut adat dan budayanya tanpa intervensi orang lain dalam menentukan esensi pendidikan adatnya.

Para pemuda adat juga sudah memulai pendokumentasian budaya komunitas masing-masing melalui kegiatan pemuda adat pulang kampung, merekam penuturan tetua adat, bahkan membuat video. Terbaru mereka lakukan pada November hingga Desember 2015 dengan pola live in silang lintas tradisi: pemuda adat dari Sulawesi dan Kalimantan ke komunitas Orang Rimba Jambi, dari Sumatera ke Kalimantan, dari Kalimantan dan Sulawesi ke Maluku.

“Semua orang mengeluh anak-anak atau pemuda tidak memahami budayanya, tapi saat ditanya apa yang kamu lakukan untuk hal itu. Tidak seorang pun yang menjawab” kata Dirjen yang juga sejarawan dan aktivis ini.

Pernyataan tersebut menohok bagi siapa saja yang biasa mengeluh, namun minus solusi dan tanggung jawab. Menanggapi pernyataan tersebut pemuda adat dari BPAN tengah bergerak menjemput dan menjawab keluhan itu. “Kami sedang membangkitkan semangat pemuda di mana slogannya ‘Pemuda Adat bangga berbudaya’. Beberapa kegiatan kami di antaranya memulangkan pemuda ke kampung, memulai sebuah pendidikan tanpa intervensi dari siapa pun, mempersiapkan Pekan Pemuda Adat. Kegiatan ini kami lakukan dalam suatu rangkaian ‘Menelusuri Jejak Leluhur’. Kami juga melakukan suatu pendokumentasian saat live in yang akan kami pelajari kembali selaku generasi muda adat,” kata Ketua Umum BPAN, Jhontoni Tarihoran.

Senada dengan itu, Rizaldi Siagian mengatakan bahwa istilah membaca juga harus diterjemahkan lebih luas. Masyarakat Indonesia yang lekat dengan tradisi lisan harus pula didampingi dengan pendekatan lisan. Pendokumentasian cerita-cerita rakyat dilakukan dengan merekam dan dibuat menarik sehingga akrab di telinga tanpa mengurangi substansi nilainya.

“Mendulang Mitos: bagaimana kita menggali dan merekam penuturan cerita-cerita rakyat dengan sangat sederhana, lalu membuat cerita itu menarik. Jadi, mengangkat tradisi dan mengolahnya dengan menarik secara digital. Kita menerjemahkan pengertian membaca ke mendengar. Tidak bisa semua kita tulis jadi buku atau naskah,” tambah etnomusikolog ini.

Menjaga, merawat, dan menggerakkan budaya dari pinggir masih menjadi programnya Dirjen baru ini. Bagaimana menelusuri jejak leluhur sesuai program BPAN dilakukan  dengan pendekatan sekolah adat dan atau bentuk lain yang telah AMAN praktikkan sejauh itu bersamaan dengan jalur Dirjen Kebudayaan.

Sebab selama ini penampilan kebudayaan yang diproyeksikan pemerintah kerap kali dipengaruhi kepentingan proyek dan berjalannya program birokratisnya.

Hilmar juga menyatakan komitmennya untuk serius menggerakkan kebudayaan dari bawah.

[Jhontoni Tarihoran-Jakob Siringoringo]

Masyarakat Adat Rimba: Sistem Kelola Wilayah Adat (Part V)

Warisan pengetahuan leluhur Orang Rimba yang telah menjaga kelestarian alam sekitar memberikan pengaruh kuat bagi Orang Rimba saat ini dalam mengelola hutan sebagai rumah sekaligus kepercayaan terhadap perwujudan dewa yang bisa memberikan manfaat kebaikan ketika dipuja, namun pula mendatangkan petaka ketika titah dilanggar.

Dewa bagi Orang Rimba memiliki imaji dan pemaknaan yang mungkin berbeda dengan konsep dewa-dewi yang seringkali kita dengar dari kisah yang dikembangkan dari mitologi Yunani atau lainnya. Ada beberapa sosok dewa yang mereka percaya. Dewa Madu adalah penghuni pohon-pohon di mana lebah biasanya bersarang. Pohon-pohon yang diasosiasikan dengan Dewa Madu tidak boleh ditebang, bahkan tidak diizinkan membacok sedikit saja. Merusak pohon akan mengundang kemurkaan dewa, hingga Dewa Madu bisa meninggalkan pohon dan lebah-lebah tak lagi ingin bersarang di pohon itu. Pantangan lain adalah tidak diperbolehkan bagi perempuan datang bulan melintas di bawah pohon yang bermadu. Selain pohon bersarang lebah, pohon-pohon lain yang dipercaya didiami oleh dewa, yaitu pohon buah nuaran, situbung, dan singoris. Pohon singoris digunakan Orang Rimba untuk mengolesi ubun-ubun anak yang baru lahir. Tiga bagian dari kulit pohon diambil secara bertingkat, lalu ditumbuk sampai halus, kemudian dioleskan di ubun-ubun anak yang baru lahir. Setelah proses dilalu, barulah bayi mendapatkan nama.

Dewa-dewa lain yang diceritakan oleh Orang Rimba, selain Dewa Madu, adalah Dewa Siamang, Dewa Harimau, Dewa Gajah, dan Dewa Laut. Orang Rimba tidak pernah membuang kotoran secara sembarangan di sungai karena mereka percaya bahwa sungai dihuni oleh dewa. Itulah sebabnya mengapa sungai-sungai di hutan tetap terjaga kebersihan dan kejernihannya sampai-sampai air dari sungai pun cukup layak untuk bisa diminum langsung tanpa perlu dimasak. Nilai positif dari kepercayaan terhadap dewa-dewa ini menjadikan masyarakat adat Anak Rimba lebih arif dalam mengelola hutan serta menjadikan hutan sebagai bagian dari hidup dan kehidupan. Ada banyak alasan bagi mereka untuk tetap bertahan dan berkehidupan di dalam hutan.

Masyarakat adat tidak mengenal sistem kepemilikan tanah secara individu. Orang Rimba hidup dengan pola nomaden (berpindah-pindah) di wilayah adat mereka. Mereka bebas mengelola tanah di mana saja dalam wilayah adat Bukit Duabelas. Dalam aturan adat, tanah dikuasai oleh para penghulu, namun Orang rimba bebas menanam tumbuhan yang bisa menghasilkan bahan kebutuhan hidup mereka, baik itu pohon buah atau tumbuhan umbi-umbian sesuai aturan adat. Karena tanah adalah milik para penghulu, maka tumbuhan yang ditanam tetap milik para penghulu, tetapi hasil dari tumbuhan itu, baik buah atau umbi-umbian menjadi hak penanam. Durian misalnya, di mana pun Orang Rimba boleh menanamnya dalam wilayah adat Bukit Duabelas. Jika kelak berbuah, maka buahnya dapat dinikmati oleh mereka yang menanam dan penghulu tidak bisa melarang untuk memanen buah. Sementara batang durian (pohon) tetap menjadi milik para penghulu sebagai perwakilan dari suatu komunitas. Penghulu juga bisa melakukan penuntutan terhadap kerusakan pohon. Aturan ini dalam Seluko adatnya dinamakan Tua Tanam Celako Tanam. Tua tanam artinya kita menanam dan kita pula yang mengambil hasilnya, sedangkan celaka tanam bermakna kita menanam di tanah orang.

Kehidupan Orang Rimba sejak dulu bergantung dengan apa yang disediakan oleh hutan. Namun perubahan adalah pula suatu kepastian ketika terjadi interaksi dengan orang-orang luar (hutan) yang hampir tidak bisa dihindari. Tak jarang ada kesalahpahaman sering terjadi.

Orang-orang luar kerap memiliki pandangan yang berbeda terkait pembakaran lahan sebagai bagian dari pola perladangan tradisional. Begitu pun dengan Orang Rimba yang kerap membakar untuk berladang. Tapi jangan kaitkan proses pembakaran yang dilakukan oleh masyarakat adat dengan persitiwa karhutla (kebakaran hutan dan lahan) dan kabut asap hebat yang kerap terjadi karena unsur kesengajaaan kepentingan ekonomi.

Tumenggung Betaring menjelaskan bagaimana pembakaran yang dilakukan Orang Rimba merupakan bagian dari aktivitas baik dalam tata kelola perladangan tradisional versi masyarakat adat. Ada serangkaian proses dengan ritual yang rumit dan panjang untuk memulainya. Ketika mereka membuka lahan, api tidak pernah merembes luas karena terlebih dulu mereka mengadakan ritual memanggil “angin kurung.”

Pada umumnya, di lahan yang telah dibuka, Orang Rimba selalu menanaminya dengan pohon karet. Namun sebelum tanaman karet tumbuh menjadi pohon yang besar, mereka menanam padi darat (padi ladang) dan tanaman lainnya, seperti singkong untuk pemenuhan kebutuhan pangan. Ini berbeda dengan Suku Anak Rimba terdalam yang memakan umbi-umbian sebagai makanan pokok. Tetapi di saat musim kemarau panjang, – ketika tanah menjadi kering, sehingga tanaman umbi-umbian sulit tumbuh dengan baik – tak sedikit dari mereka yang ikut beralih ke beras yang dibeli dari orang luar dengan cara menukar komoditi. Beras mereka tukar dengan hasil hutan, seperti damar, jerenang, dan rotan. Cara transaksi Suku Anak Rimba pada mulanya sangat unik dan hanya berlandaskan pada kejujuran dan kepercayaan. Mereka meletakkan begitu saja barang yang ingin ditukar di pinggir jalan. Orang luar yang melihat dan memahaminya akan tahu, lalu mengambilnya dengan meninggalkan barang-barang lain sebagai gantinya. Tetapi kebutuhan Orang Rimba kini tak sekadar beras saja dan pola itu tak selalu relevan untuk terus dilakukan. Maka, kini banyak dari mereka harus keluar hutan dan berbelanja sendiri kebutuhan di pasar yang mudah dijangkau. Untuk Suku Anak Rimba yang tinggal relatif di kawasan paling dalam hutan, distribusi atau transaksi dilakukan di Tanah Garo satu kali dalam sebulan.

Sebagai suatu gambaran terhadap potensi komoditi atau ekonomi di dalam Komunitas Adat Orang Rimba, misalnya adalah karet. Pohon karet baru bisa berproduksi dengan baik setelah berumur 10 tahun di mana 6 hektar pohon karet bisa berproduksi sebesar 2 ton per bulan dengan harga Rp 4.500-5.000 per kg. Sedangkan untuk rotan dan jerenang masing-masing dihargai Rp 5.000 per batang rotan dengan ukuran 4 meter dan 100.000 per kg untuk jerenang. Orang Rimba baru akan meninggalkan lahan jika ada anggota keluarga yang meninggal.

Kedatangan Presiden Jokowi pada 30 Oktober 2015, memunculkan harapan baru bagi Suku Anak Rimba untuk hidup lebih baik. Rencana pemerintahan untuk memberikan rumah bagi Suku Anak Rimba menghadapi suatu proses dialog yang berjalan baik. Paska kunjungan Jokowi, Suku Anak Rimba mengadakan rapat sebagai tindak lanjut dari rencana tersebut. Hasil dari beberapa pertemuan yang diadakan, adalah Suku Anak Rimba akan membentuk satu desa tersendiri dari integrasi tiga wilayah, yakni Air Hitam, Kedasung, dan Mengkekal.

Perihal tempat bangunan permukiman disepakati dan disesuaikan pada ketiga wilayah itu. Pada Januari 2016, rencananya seluruh perwakilan Suku Anak Rimba akan kembali mengadakan pertemuan.

Faktor pendorong mereka tetap kembali ke hutan walaupun telah mendapatkan bantuan pembangunan rumah permukiman selama ini disebabkan karena ketergantungan mereka terhadap hutan sebagai sumber penghidupan. Tetapi peristiwa karhutla dan bencana asap yang terjadi diakhir tahun lalu perlu pula mempertimbangkan keberlangsungan hidup Orang Rimba yang terancam. Sementara itu, aksi sosial yang dilancarkan selama ini belum sepenuhnya menyelesaikan hakikat dari persoalan hidup Suku Anak Rimba. Ini diperparah lagi oleh permainan segelintir oknum tidak bertanggung jawab yang hendak mencari keuntungan dengan mengatasnamakan Suku Anak Rimba. Anggaran yang ditujukan kepada mereka terpangkas, misalnya hanya 20 persen yang diterima dari 50 persen yang dijanjikan di awal. Membangun rumah tanpa dibarengi dengan sarana penjamin kehidupan, seperti lahan perladangan, tidak akan bisa mengubah keinginan untuk kembali ke hutan. Bagaimana mereka akan bisa hidup enak di rumah yang cakap jika tidak punya makanan untuk dimakan?

Kita tak selalu punya pemahaman definisi yang sama tentang “rumah.”

Persoalan lahan dan wilayah adat menghadapi masalah pelik terkait perusahaan perkebunan sawit. Dulunya lahan perkebunan sawit adalah hutan utuh milik Orang Rimba, namun kini penguasaan sebagian wilayah adat mereka, telah membawa masalah terkait permukiman dan tata kelola wilayah adat. Menurut Tumenggung Betaring, semua perusahaan (PT) yang masuk ke wilayah adat Suku Anak Rimba tidak meminta izin kepada masyarakat adat sebagai pemilik asli hutan di Bukit Duabelas. Meski berbagai PT itu mengaku mendapat izin dari pemerintah, bukankah seharusnya Orang Rimba juga harus dilibatkan dalam proses perizinan? Sebab sebelum negara terbentuk, mereka sudah lebih dulu menghuni Hutan Bukit Duabelas serta memelihara dan melestarikanya sebagai bagian dari hidup dan penghidupan mereka.

-Ali Syamsul-

KONTAK KAMI

Sekretariat Jln. Sempur 58, Bogor
bpan@aman.or.id
en_USEnglish