Gowa, Sulawesi Selatan — Di tengah gempuran arus modernisasi yang mengikis nilai-nilai tradisional, hadir sosok Pemuda Adat bernama Basri dari komunitas Masyarakat Adat Suka. Ia membuktikan bahwa warisan leluhur bukan hanya layak dijaga, tetapi juga dapat menjadi jalan untuk menyelamatkan bumi.
Dengan tangan terampil dan semangat menjaga kearifan lokal, Basri menciptakan Tumbler bambu ramah lingkungan. Produk ini bukan sekadar kerajinan tangan, tetapi manifestasi dari filosofi hidup selaras dengan alam. Menggunakan bahan-bahan alami seperti bambu kering, rotan, dan serat alam lainnya, Basri merangkai karya yang indah sekaligus sarat makna. Setiap simpul dan ukiran bukan hanya estetis, tetapi juga bentuk penghormatan pada alam yang telah memberi kehidupan.
“Bambu yang saya pakai adalah bambu kering atau bambu yang sudah mati, karena lebih tahan lama dan tidak disukai rayap. Dari situ kita mulai—dari memotong, menghaluskan, mengukir, hingga menghias dengan rotan. Semua dilakukan manual, tanpa mesin,” ujar Basri saat ditemui.
Dalam proses pembuatannya, Basri sangat memperhatikan dampak lingkungan. Ia menolak penggunaan bahan sintetis dan meminimalkan jejak karbon dengan teknik pengerjaan manual. Produk Tumbler bambu buatannya tak hanya ramah lingkungan, tapi juga unik dan berkualitas, sehingga cocok bagi siapa saja yang peduli pada bumi.
Ketua BPAN Gowa, Azfar Zulhidjah AR menyampaikan apresiasinya atas apa yang dilakukan Basri. “Di tangan para Pemuda Adat seperti Basri, alam tidak hanya diwarisi, tapi dijaga, dirawat, dan dihidupkan kembali. Setiap kerajinan yang ia hasilkan adalah bentuk nyata bahwa menjaga tradisi dan melestarikan lingkungan bisa berjalan berdampingan,” ujarnya.
Menurut Azfar, karya seperti ini harus menjadi inspirasi bagi generasi muda. “Pemuda Adat adalah pelopor gaya hidup berkelanjutan. Mereka tidak hanya merawat identitas budaya, tetapi juga mengajarkan kita semua pentingnya hidup selaras dengan alam.”
Melalui kerajinan tangan bambu ini, Basri dan Pemuda Adat lainnya menunjukkan bahwa tradisi tidak harus tinggal di masa lalu. Justru, dengan kreativitas dan semangat pelestarian, tradisi bisa menjadi solusi masa depan bagi bumi yang lebih lestari.
Penulis adalah Pemuda Adat Gowa, sekaligus ketua PD BPAN Gowa
Sorong, 4 Juli 2025. Masyarakat Hukum Adat Moi di Distrik Moi Segen, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat Daya mengadakan musyawarah yang difasilitasi oleh Dewan Adat Suku Moi di Distrik Moi Sigin. Musyawarah adat yang dihadiri oleh perwalikan masyarakat adat tersebut bertujuan untuk menyikapi rencana Proyek Strategis Nasional (PSN) berbasis Perkebunan kelapa sawit yang akan beroperasi di wilayah adat mereka.
Turut hadir dalam musyawarah tersebut, Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Malamoi, Silas Kalami Bersama anggotanya. Masyarakat meolak PSN tersebut karena dinilai akan memberikan dampak buruk bagi mereka. Saat ini saja PT Inti Kebun Sejahtera (IKSJ) yang sudah beroperasi diwailayah distrik Moi Segen tidak memberikan dampak positif bagi kami masyarkat adat, ucap Raymon Klagilit perwakilan tokoh pemuda yang lantang meneriakan dan memperjuangankan hak-hak masyarkat adat Moi Sigin.
Raymon mengatakan kehadiran PSN akan memperburuk situasi masyarkat adat yang saat ini sedang memperjuangkan hak mereka atas tanah dan hutan adat. Sejak 2007 PT Inti Kebun Sejahtera beroperasi kami masyarkat adat Moi tidak ada yang Sejahtera malah mereka memiliki utang dengan jumlah ratusan hingga miliaran ripiah, hal tersebut diakibatkan karena pengelolaan Plasma yang buruk dan tidak transparan.
Yakub Klagilit, pemuda lainnya yang mengatakan kini hutan mereka di wilayah Moi telah dibabat habis oleh PT Inti Kebun Sejahtera. Dusun Sagu yang menjadi sumber penghidupan kami digusur tanpa consent atau persetujuan dari kami masyarakat adat. Saya adalah korban dari penggusuran dusun sagu tersebut ucap Yakub, dilakukan oleh perusahaan pada bulan Desember 2023 saat kami sedang merayakan natal, dan hingga kini tidak ada upaya pemulihan dusun sagu kami dari pihak Perusahaan.
Sadrak Klawen, selaku Sekretaris Dewan Adat distrik Moi Segen mengatakan perusahaan yang sedang beroperaasi harusnya menghormati hak-hak masyararakat hukum adat Moi segabaimana diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Sorong Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan perlindungan Masyararakat Hukum Adat Moi di Kabupaten Sorong. Klawen juga berharap agar perusahaan yang saat ini sedang beroperasi bisa terbuka dan transparan terhadap pengelolaan plasma (20%) yang menjadi hak mereka.
Musyawarah tersebut diakhiri dengan pembacaan tuntutan dan pernyataan penolakan
Demonstrasi penolakan tambang nikel di Raja Ampat oleh ALJARA di kantor DPRK Raja Ampat
Hari ini (26/5/2025), ratusan masyarakat adat, aktivis lingkungan, dan pelaku pariwisata yang tergabung dalam Aliansi Jaga Alam Raja Ampat (ALJARA) melakukan aksi protes terhadap aktivitas dan izin pertambangan nikel Raja Ampat di Kantor DPRD Kabupaten Raja Ampat. Sebelumnya ALJARA telah bertemu perwakilan DPRD dan pemerintah daerah pada Maret 2025.
Kehadiran Aktivitas pertambangan nikel PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) di wilayah pulau Batang Pele dan Manyaifun akan berdampak terhadap kerusakan ekologi di pesisir pulau, nelayan lokal menjadi kesulitan untuk menemukan ikan saat melaut. Kesulitan terjadi, karena limbah dari aktivitas tambang nikel akan berakhir di pesisir atau laut dan memicu kerusakan terumbu karang yang menjadi habitat ikan dan biota laut, yang disampaikan dalam Surat Pernyataan Sikap Aljara.
Aljara menuntut dan mendesak pemerintah mencabut dan menghentikan izin PT Mulia Raymond Perkasa. Aljara menolak ekspansi dan eksplitasi perusahaan pertambangan nikel PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) di Pulau Manyaifun dan Batang Pele dan meminta pemerintah mengevaluasi semua izin pertambangan nikel di Kabupaten Raja Ampat.
Bupati Raja Ampat saat menemui massa aksi yang tergabung dalam ALJARA, dalam penyampaiannya dinilai tidak punya sikap tegas untuk melindungi Alam Raja Ampat dari ancaman perusahaan pertambangan nikel yang hendak beroperasi. Sebut saja PT Mulia Raymond Perkasa (MRP)bupati menyampaikan bahwa sejauh ini pemerintah daerah belum bertemu dengan pihak perusahaan, ini pernyataan yang menunjukkan kelemahan pemerintah daerah yang tidak mampu mengendalikan semua aktivitas di daerah yang dia pimpin.
Bupati juga menyampaikan bahwa kewenangan mengenai perizinan pertambangan ada di provinsi dan pusat. Namun faktanya IUP milik PT MRP yang saat ini dijadikan dasar untuk kegiatan eksplorasi di pulau Batan Pele dan kampung Manyaifun, distrik Waigeo Barat Kepulauan diterbitkan oleh mantan bupati sebelumnya pada tahun 2013. Meskipun setelah adanya UU Nomor 03 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara semua yang berkaitan dengan izin pertambangan menjadi kewenangan pusat namun ada pengecualian mengenai IUP terutama untuk Eksplorasi masih tetap menjadi kewenangan pemerintah daerah dalam hal ini bupati Raja Ampat yang menerbitkan IUP eksplorasi untuk PT MRP.
Sehingga alasan bupati R4 yang menyatakan kewenangan ada pada pemerintah Provinsi dan Pusat adalah pernyataan yang tidak bisa dibenarkan.
pemerintah daerah juga dinilai kurang aktif untuk menengahi persoalan konflik horizontal antara masyarakat yang menolak dan menerima kehadiran perusahaan.
Hari ini, Solidaritas Masyarakat Sipil untuk Sorbatua Siallagan bersama Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan kembali mendatangi Mahkamah Agung RI di Jakarta Pusat. Aksi ini merupakan kelanjutan dari aksi sebelumnya pada 26 Februari 2025 untuk menuntut keadilan atas kasus hukum yang menimpa Sorbatua Siallagan, Ketua Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan di Dolok Parmonangan, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Perkara ini saat ini sedang berproses di tingkat kasasi Mahkamah Agung.
Judianto Simanjuntak, Kuasa Hukum Sorbatua Siallagan dari Tim Advokasi Masyarakat Adat Nusantara (TAMAN), menyatakan bahwa perkara ini membawa angin segar bagi penegakan hukum. Hal ini tercermin dalam putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 1820/Pid.Sus-LH/2024/PT MDN, tanggal 17 Oktober 2024, yang menyatakan:
Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No. 155/Pid.Sus/LH/2024/PN.Sim, tanggal 14 Agustus 2024, menyatakan perbuatan terdakwa Sorbatua Siallagan terbukti ada, tetapi bukan merupakan tindak pidana melainkan perbuatan perdata, serta melepaskan Sorbatua dari segala tuntutan hukum.
Menurut Judianto, yang juga pengacara publik dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), putusan tersebut telah mempertimbangkan keberadaan masyarakat adat dan hak-hak tradisional mereka, sebagaimana diatur dalam UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012, dan berbagai instrumen hukum lainnya.
Namun, karena Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi pada 7 November 2024, maka putusan tersebut belum berkekuatan hukum tetap. Hingga kini, status hukum Sorbatua masih sebagai terdakwa dengan perkara yang terdaftar di Mahkamah Agung pada register No. 4398 K/Pid.Sus-LH/2025.
Friska Simanjuntak dari Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan menyampaikan kekecewaan atas kriminalisasi terhadap Sorbatua, yang dimulai dari penculikan, penetapan sebagai tersangka oleh Polda Sumatera Utara atas laporan PT Toba Pulp Lestari (TPL), hingga dihukum dua tahun penjara dan denda Rp1 miliar oleh Pengadilan Negeri Simalungun. Padahal, menurutnya, komunitas adat mereka sudah secara turun-temurun mengelola wilayah adat tersebut sejak tahun 1700-an.
“Generasi kami yang saat ini mendiami Huta Dolok Parmonangan adalah generasi ke-11 dari keturunan Raja Ompu Umbak Siallagan,” ujar Friska. Ia juga menegaskan bahwa kedatangan mereka ke Jakarta adalah untuk menuntut keadilan dan mendesak Mahkamah Agung agar membebaskan Sorbatua.
Sinung Karto dari Divisi Penanganan Kasus PB Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyebut bahwa kasus Sorbatua adalah satu dari banyak contoh kriminalisasi terhadap masyarakat adat. Minimnya pengakuan hukum terhadap hak-hak masyarakat adat membuat wilayah mereka rentan terhadap perampasan, kekerasan, dan intimidasi. Dalam Catatan Akhir Tahun 2024, AMAN mencatat 121 kasus perampasan wilayah adat seluas 2.824.118,36 hektare yang menimpa 140 komunitas adat.
“Kedatangan komunitas adat ke Jakarta ini harus menjadi refleksi bagi negara dan aparat penegak hukum agar menghentikan segala bentuk kriminalisasi terhadap masyarakat adat,” tegas Sinung. Ia berharap Majelis Hakim Mahkamah Agung dapat memutus perkara ini secara objektif dan adil, bukan hanya bagi Sorbatua dan komunitasnya, tetapi juga bagi seluruh masyarakat adat di Nusantara.
Potret Masa Aksi di Mahkamah Agung
Samuel dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) menegaskan bahwa kriminalisasi terhadap Sorbatua Siallagan merupakan bentuk nyata penyalahgunaan hukum untuk merampas hak masyarakat adat atas wilayahnya sendiri.
Negara, melalui aparat penegak hukum, telah gagal memenuhi kewajiban konstitusionalnya dalam melindungi hak-hak asasi masyarakat adat dan justru menjadi alat kekerasan struktural yang melegitimasi kepentingan korporasi. “Ini bukan sekadar persoalan hukum, ini adalah pelanggaran hak asasi manusia. Sorbatua dikriminalisasi karena membela tanah adatnya. Mahkamah Agung harus melihat perkara ini dengan perspektif keadilan sosial dan hak asasi manusia, bukan semata-mata prosedur hukum formal,”.
Marvella Fiorenza Barfiandana, mahasiswa dari BEM Fakultas Hukum Universitas Indonesia, mengatakan aksi damai ini adalah bentuk suara masyarakat sipil kepada Mahkamah Agung. Mereka berharap agar Majelis Hakim memutus perkara ini dengan jujur, adil, dan tanpa campur tangan pihak lain.
Dalam aksi ini, mereka menyerahkan surat dukungan dari Solidaritas Masyarakat Sipil untuk Sorbatua Siallagan yang berisi 324 tanda tangan serta petisi dari Change.org “Bebaskan Sorbatua Siallagan” yang telah didukung oleh 10.017 orang.
Penyerahan Surat Dukungan untuk Sorbatua Siallagan ke Mahkamah Agung
Judianto Simanjuntak menambahkan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Negeri Simalungun keliru dalam menjatuhkan hukuman. “Dalam hukum pidana, hanya tindakan yang merupakan kesalahan dan melawan hukum yang dapat dijatuhi pidana. Sorbatua tidak melakukan kesalahan maupun tindakan yang melanggar hukum,” ujarnya. Karena itu, pihaknya berharap Mahkamah Agung menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Medan dan membebaskan Sorbatua dari seluruh dakwaan.
Jakarta, 09 Mei 2025
Hormat Kami
SOLIDARITAS MASYARAKAT SIPIL UNTUK SORBATUA SIALLAGAN;Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN);Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Tano Batak;Perhimpunan Bantuan Hukum;dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (BAKUMSU);Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak;Siallagandi Dolok Parmonangan, Kab. Simalungun, Sumatera Utara;Lembaga Adat Keturunan;Ompu Mamontang Laut Ambarita (Lamtoras), Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara;Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN);Aliansi Gerak Tutup TPL;Forest Watch Indonesia (FWI);Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI);Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN);Bidang Keadilan dan Perdamaian Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (BKP-PGI) Sayogo Institute;Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Krisnayana;Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (BEM FH UI);Yayasan Forum Adil Sejahtera (YFAS);Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen (JKLPK) Indonesia;Public Interest Lawyer Network (PIL-NET) Indonesia;Yayasan Diakonia Pelangi Kasih (YDPK);Perkumpulan HuMa Indonesia;WeSpeakUp.org,Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA);Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat;Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM);Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Sumatera Utara (Kontras Sumut);Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan;Wahana Lingkungan Hidup Sumatera Utara (WALHI SUMUT);Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Komisariat UNIKA SEJAJARAN (GMNI UNIKA SEJAJARAN);Gerakan Mahasiswa;Nasional Indonesia Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (GMNI FH-USU);Aksi Kamisan Medan;Perempuan AMAN Sumatera Utara;Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Sumatera Utara (AMAN SUMUT);Yayasan Srikandi Lestari.
BENGKULU – Anton dan Kayun, masyarakat adat Serawai Semidang Sakti mengajukan upaya banding atas putusan hakim Pengadilan Negeri Tais yang memvonis bersalah keduanya atas tuduhan mencuri buah sawit milik PT Perkebunan Nusantara IV Regional 7 unit Talo-Pino yang tumbuh di atas wilayah adat suku Serawai di Desa Pering Baru, Kecamatan Talo Kecil Kabupaten Seluma.
“Hari ini, kami daftarkan upaya bandingnya atas permintaan Anton dan Kayun serta keluarga,” kata ketua tim kuasa hukum dari Kantor Hukum Masyarakat Adat Bengkulu, Fitriansyah,S.H. Kamis, 24 April 2025.
Menurut Fitriansyah, putusan PN Tais pada Kamis, 17 April 2025 yang menjatuhkan vonis tindak pidana ringan dengan hukuman pidana penjara satu (1) bulan dan tak perlu dijalani oleh Anton dan Kayun. Dalam perspektif keadilan bagi masyarakat adat akan menjadi preseden buruk atas perjuangan mereka yang telah berlangsung hampir 40 tahun.
Sebab, dalam praktiknya. Secara sepihak, PTPN IV Regional 7 yang dahulunya bernama PTPN VII telah menduduki paksa seluruh tanah milik komunitas adat Serawai yang hidup dan beraktivitas di Desa Pering Baru secara turun temurun.
Atas itu, Fitriansyah menilai, bahwa putusan itu tidak mempertimbangkan penghormatan terhadap keberadaan masyarakat adat di Seluma yang telah diakui dan dilindungi hak-haknya melalui Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2022 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Kabupaten Seluma.
“Jadi, apa yang dialami Anton dan Kayun, sesungguhnya bukan perbuatan pidana karena tanahnya ini milik masyarakat adat yang dikuasai, dikelola dan dirawat mereka sejak puluhan tahun,” kata Fitriansyah.
Selain itu, tambah Fitriansyah, jika pun klaim perusahaan wilayah itu milik Hak Guna Usaha (HGU), nyatanya lahan-lahan itu dikelola dan dirawat oleh masyarakat adat secara rutin dan berlangsung lama. Ini ditandai dengan masih adanya sisa tanam tumbuh berupa tanaman kopi dan lainnya yang sudah berusia tua.
“Prinsipnya keberatan, meskipun hanya sedetik divonis bersalah melakukan pencurian. Ini soal keadilan dan hak masyarakat adat yang sudah direbut. Praktik diskriminasi dan intimidasi pada masyarakat adat harus dihentikan,” kata Fitriansyah didampingi Rendi saputra dan Efyon junaidi.
Tim Kuasa Hukum dari Kantor Hukum Masyarakat Adat Bengkulu berada di PTSP PN Tais
Masyarakat adat Serawai Semidang sakti yang bermukim di Desa Pering Baru, Seluma. Sudah sejak tahun 1800 bermukim di daerah itu. Mereka bercocok tanam padi sawah dan darat serta berladang kopi, durian dan lainnya.
Namun pada tahun 1986, wilayah mereka kemudian dinyatakan sebagai tanah negara dan diperuntukkan untuk usaha perkebunan sawit. Mereka yang berladang dan tinggal di daerah itu pun diusir paksa. Beberapa diiming-imingi bahwa tanah mereka hanya dipinjam.
Sejak itu, konflik pun bermunculan. Masyarakat adat yang merasa tak pernah mendapatkan persetujuan atas perkebunan sawit di wilayah adat mereka terus memprotes dan berjuang. Sejumlah orang dipenjara bahkan ada yang tertembak. Karena itu, selain terus berladang dan merawat tanahnya, mereka juga mengajukan perlawanan ke kementerian, Badan Pertanahan Nasional dan lainnya.
Sampai dengan tahun 2012, berdasar hasil pengukuran ulang oleh BPN memang ditemukan ada kelebihan luas HGU milik PTPN IV Regional 7 di Desa Pering Baru. Namun demikian, hasil itu tak menjadi perhatian oleh pemerintah setempat.
Konflik antara masyarakat adat Serawai dan perkebunan pun menjadi api dalam sekam. Hingga puncaknya pada 9 Februari 2025. Anton dan Kayun, yang merupakan kakak beradik, tiba-tiba ditangkap paksa saat sedang memanen buah sawit di ladang mereka.
Anton sempat mendapatkan penganiayaan oleh dua orang anggota TNI. Keduanya pun digelandang paksa ke kepolisian dan kemudian disidangkan. Hakim pun memvonis mereka dengan tuduhan meyakinkan dan bersalah atas pencurian.
[Jakarta, Rabu 17 April 2025] – Dalam semangat memperjuangkan keadilan konstitusional dan perlindungan menyeluruh bagi masyarakat adat di Indonesia, Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat menyelenggarakan Diskusi Publik Hak-Hak Tradisional Masyarakat Adat dan Urgensinya terhadap Upaya Mendorong Pengesahan RUU Masyarakat Adat. Kegiatan ini menjadi ruang reflektif sekaligus strategis untuk menggali kembali makna “hak-hak tradisional” dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, serta menegaskan pentingnya kehadiran payung hukum nasional yang melindungi eksistensi masyarakat adat.
Diskusi ini lahir dari keprihatinan atas ketidakjelasan definisi hukum terkait “hak-hak tradisional”, yang hingga kini belum sepenuhnya terjabarkan dalam peraturan perundang-undangan. Frasa ini, yang menggantikan istilah “hak asal-usul” pasca amandemen UUD 1945, menyimpan konsekuensi hukum dan sosial yang mendalam bagi pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan masyarakat adat.
“RUU Masyarakat Adat adalah wujud konkret dari amanat konstitusi. Tanpa undang-undang ini, pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat masih bersifat sektoral, lambat, diskriminatif, dan rawan menimbulkan konflik,” tegas Rina Mardiana, akademisi dari IPB University. Rina juga menyatakan bahwa masyarakat adat adalah masyarakat otohton yaitu masyarakat yang memiliki hubungan historis dan budaya yang kuat dengan wilayah tertentu, serta memiliki sistem hukum, sosial, dan ekonomi sendiri yang berbeda dari masyarakat di sekitarnya. Mereka memiliki hak atas tanah dan sumber daya alam secara tradisional, serta hak untuk mengatur diri sendiri. Mereka bukan dari pecahan dari negara atau pecahan kerajaan (eks-swapraja), pungkasnya.
Erwin dari Perkumpulan HuMa yang juga merupakan dari Koalisi menambahkan, “Istilah hak-hak tradisional tak hanya menyangkut tanah dan sumber daya, tapi juga hak untuk menentukan nasib sendiri. Ini mencakup hak politik, budaya, hingga spiritualitas komunitas adat.”.
Dia juga berpendapat bahwa dalam risalah sidang perubahan UUD, tidak dibahas hak-hak apa saja yang merupakan hak tradisional. Berdasarkan risalah sidang perubahan UUD 1945, dapat disimpulkan bahwa istilah “hak tradisional” memang dimaksudkan untuk membuat pengertian hak tersebut menjadi fleksibel, karena sampai akhir pengesahan Pasal 18B ayat (2) tidak disepakati secara rinci ruang lingkup hak tradisional.
Namun, ketidakhadiran kerangka hukum yang komprehensif membuat masyarakat adat tetap rentan. Di sisi lain, interpretasi terhadap konstitusi tidak dapat hanya mengandalkan pendekatan originalisme. Perlu pendekatan kontekstual agar norma konstitusi hidup dan relevan dengan dinamika zaman. “Namun, justru karena itu, negara punya kewajiban untuk memastikan dan memperjelas hak-hak apa saja yang secara inheren melekat pada Masyarakat Adat. Hak-hak ini adalah bagian dari Hak Asasi Manusia. Maka negara berkewajiban untuk menghormati, memenuhi, dan melindunginya”, tegas Erwin.
Realitas di lapangan semakin memperkuat urgensi ini. Di Sumba Timur, masyarakat adat menghadapi tantangan hilangnya akses terhadap sumber daya agraria akibat tidak adanya payung hukum tersebut. Dibutuhkan dukungan dari DPR RI untuk menciptakan payung hukum yang mengatur khusus terkait masyarakat adat. Triawan Umbu Uli Mekahati dari Koppesda Sumba menambahkan, “Sudah berbagai upaya kami tempuh, agar kedudukan Masyarakat Adat mendapatkan perlindungan dan pengakuan yang utuh, tapi tanpa dukungan regulasi nasional, kami hanya disikapi sebagai gangguan pembangunan”, tutup Triawan yang disapa Umbu Tri.
Potret Aktivitas Masyarakat Adat Meratus – Donny
Sementara itu, bagi Masyarakat Adat Pegunungan Meratus, wilayah adat yang ada saat ini sudah dapat menjamin kebutuhan hidup seperti untuk sandang, pangan, papan, obat-obatan, air minum dan lainnya. Masyarakat Adat menilai bahwa wilayah adat mereka di Pegunungan Meratus seluas kurang lebih 600 hektar merupakan ruang hidup yang tidak bisa dipisahkan dengan jiwa raga mereka.
Harnilis sebagai Tokoh Adat Meratus menyebutkan untuk mengelola sumber daya alam di Pegunungan Meratus di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Kalimantan Selatan, Masyarakat Adat kompak kerjasama antara laki-laki dan perempuan, serta tua dan muda melestarikan budaya-budaya yang sudah diwariskan secara turun temurun.
“Tidak ada yang lebih kuat antara laki-laki dan perempuan, semuanya kuat dan penting. Tidak akan berhasil kita berkebun, berladang, mengadakan acara tanpa keduanya”, ungkap Harnilis.
Harnilis juga menjelaskan rencana penetapan wilayah adat mereka menjadi Taman Nasional atau kawasan konservasi oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Harnilis menegaskan bahwa Masyarakat Adat Dayak Meratus merupakan masyarakat yang cinta damai. Mereka siap membela dan mempertahankan wilayah adat mereka agar tidak menjadi kawasan konservasi milik negara.
Rencana penetapan wilayah adat menjadi Taman Nasional dinilai dapat mencederai Hak-Hak Tradisional Masyarakat Adat. “Hutan bukan hanya tempat hidup kami, tapi bagian dari kehidupan itu sendiri. Jika diambil, kami kehilangan segalanya,” tutup Harnilis, Tokoh Adat Meratus.
Hak-Hak Tradisional sebagaimana amanat UUD 1945 merupakan mandat konstitusi yang penting untuk mendorong pengesahan RUU Masyarakat Adat. Keadilan sosial harus ditegakkan bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa terkecuali bagi Masyarakat Adat. Tanpa payung hukum yang menjamin pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan Masyarakat Adat, Indonesia akan terus mengabaikan amanat konstitusi tersebut. Pemenuhan terhadap Hak-Hak Tradisional harus diwujudkan dalam bentuk pengesahan Undang-Undang Masyarakat Adat.
Narahubung: Anggi Prayoga (Ketua Tim Kampanye Koalisi Kawal RUU MA)
Massa Aksi IWD 2025 (Sumber Gambar : ICCAS INDONESIA)
Jakarta, 8 Maret 2025 – Peringatan International Women’s Day (IWD) 2025 menjadi momentum penting bagi perjuangan hak Perempuan Adat di Indonesia. Dalam perayaan ini, seruan untuk segera mengesahkan Undang-Undang Masyarakat Adat kembali mengemuka sebagai langkah krusial dalam memastikan perlindungan dan pengakuan hak-hak Perempuan Adat.
Perempuan Adat memiliki peran vital dalam menjaga keberlanjutan lingkungan dan kedaulatan pangan. Mereka tidak hanya memanfaatkan hutan dan tanah, tetapi juga berperan sebagai penjaga budaya dan pengetahuan tradisional yang diwariskan secara turun-temurun. Namun, minimnya perlindungan hukum membuat ruang hidup mereka semakin terancam.
Massa Aksi IWD 2025 (Sumber Gambar : ICCAS INDONESIA)
Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil Kawal RUU Masyarakat Adat, Veni Siregar, menegaskan bahwa RUU Masyarakat Adat yang telah diperjuangkan selama lebih dari dua dekade seharusnya segera disahkan sebagai bentuk pengakuan negara terhadap hak-hak Masyarakat Adat. “Tanpa payung hukum yang kuat, Masyarakat Adat, terutama Perempuan Adat, terus menghadapi ancaman kekerasan, diskriminasi, dan kriminalisasi saat memperjuangkan hak mereka,” ujar Veni.
Menurutnya, pengesahan UU Masyarakat Adat akan memberikan kepastian hukum atas wilayah adat serta mekanisme perlindungan dari perampasan tanah. Selain itu, UU ini juga akan memperkuat posisi Perempuan Adat dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan sumber daya alam.
Massa Aksi IWD 2025 (Sumber Gambar : ICCAS INDONESIA)
Salah satu contoh keberhasilan peran Perempuan Adat dalam pengelolaan sumber daya alam dapat ditemukan di Komunitas Adat Toro, yang merupakan bagian dari Suku Kulawi di Sulawesi Tengah. Komunitas ini memiliki sistem adat yang kuat, di mana Perempuan Adat memegang otoritas penting dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Perempuan Adat Toro berwenang dalam perencanaan pertanian, penyelesaian konflik, serta pengaturan jadwal panen. Selain itu, dalam struktur sosial Toro, terdapat posisi tina ngata atau ibu kampung, yang memiliki peran dominan dalam pengambilan keputusan adat. “Setiap musyawarah kampung harus dihadiri oleh tina ngata, jika tidak, keputusan yang diambil dianggap tidak sah secara kultural,” jelas Rukmini Paata Toheke, salah satu Perempuan Adat Toro.
Menurut Rukmini, pengakuan terhadap peran Perempuan Adat dalam pengelolaan sumber daya alam harus diperkuat, terutama dalam kebijakan nasional. “Perempuan Adat harus mendapatkan ruang yang lebih besar dalam setiap diskusi mengenai sumber daya alam. Kesetaraan bagi Perempuan Adat harus diwujudkan dalam semua lini,” tegasnya.
Massa Aksi IWD 2025 (Sumber Gambar : Jala PRT)
Pada peringatan IWD 2025 ini, Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat menegaskan tiga tuntutan utama:
Segera mengesahkan UU Masyarakat Adat sebagai bentuk perlindungan hak Masyarakat Adat, khususnya Perempuan Adat.
Menghentikan kekerasan dan kriminalisasi terhadap Perempuan Adat yang kerap terjadi saat mereka memperjuangkan hak-haknya.
Memastikan ruang penghidupan yang aman dan berkeadilan bagi Perempuan Adat, agar mereka dapat terus menjalankan peran mereka dalam menjaga alam dan budaya.
Massa Aksi IWD 2025 (Sumber Gambar : Jala PRT)
Tim Kampanye Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, Yael Stefany, menegaskan bahwa Perempuan Adat di berbagai daerah telah membuktikan ketangguhan mereka dalam melindungi tanah dan hutan. “Sejumlah komunitas adat telah berhasil mengelola hutan adat secara berkelanjutan, menjaga biodiversitas, serta membangun ekonomi berbasis kearifan lokal,” ujar Yael.
Ia menambahkan bahwa contoh seperti Komunitas Adat Toro menunjukkan bahwa Perempuan Adat bukan hanya penjaga lingkungan, tetapi juga pemimpin dalam pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. “Di momen Hari Perempuan Internasional 2025 ini, mari kita tegaskan komitmen nyata dengan segera mengesahkan UU Masyarakat Adat sebagai langkah krusial untuk melindungi, memberdayakan, dan mengakui peran penting Perempuan Adat dalam menjaga budaya, lingkungan, dan keberlanjutan komunitas mereka,” pungkas Veni Siregar.
Peringatan IWD 2025 menjadi ajang untuk memperkuat solidaritas dan mendesak pemerintah agar segera mengambil tindakan nyata dalam melindungi hak-hak Perempuan Adat. Dengan adanya perlindungan hukum yang jelas, Perempuan Adat dapat terus berperan dalam menjaga keberlanjutan lingkungan dan keberlanjutan hidup komunitas mereka.
Massa Aksi yang tergabung dalam aksi “Solidaritas Masyarakat Sipil Untuk Sorbatua Siallagan”
Hari ini, Rabu 26 Februari 2025 publik yang tergabung dalam SOLIDARITAS MASYARAKAT SIPIL UNTUK SORBATUA SIALLAGAN mendatangi Mahkamah Agung RI di kawasan Jakarta Pusat. Ini dalam rangka melakukan aksi damai untuk meminta keadilan dari Mahkamah Agung terkait dengan perkara Sorbatua Siallagan (Ketua Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan di Dolok Parmonangan, Kab. Simalungun, Sumatera Utara) yang saat ini sedang berproses di tingkat kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Judianto Simanjuntak, pengacara publik dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) menyatakan sebagaimana diketahui bersama pada tanggal 14 Agustus 2024, menjelang 3 (tiga) hari Kemerdekaan Indonesia ke 79, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Simalungun membacakan putusan yang melukai rasa keadilan masyarakat khususnya bagi Sorbatua Siallagan. Melalui putusannya Nomor: 155/pid.Sus/LH/2024/PN.Sim, Majelis Hakim menyatakan menghukum Sorbatua Siallagan bersalah melakukan tindak pidana mengerjakan dan menduduki kawasan hutan dengan hukuman penjara selama 2 (dua) tahun dan denda sebesar Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah), dengan ketentuan apabila tidak dibayar maka diganti dengan kurungan selama 6 (enam) bulan. Putusan tersebut keliru dan menyesatkan, sebab fakta sejarah menunjukkan komunitas masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan yang dipimpin Sorbatua Siallagan lebih dahulu mendiami dan mengelola wilayah adatnya yang merupakan warisan nenek moyangnya dari kehadiran PT. Toba Pulp Lestari (PT. TPL), yaitu sejak tahun 1700-an. Saat ini, generasi yang mendiami Huta Dolok Parmonangan sudah generasi ke-XI (sebelas) dari ketiga anak Raja Ompu Umbak Siallagan.
Tapi ada 1 (satu) orang hakim berbeda pendapat atau sering disebut Dissenting Opinion yaitu Hakim anggota Agung Cory Fondara Dodo Laia, S.H., M.H., yang menyatakan, “apabila belum dilakukan sosialisasi mengenai izin Kawasan Hutan Produksi yang dimiliki TPL kepada Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan Tetap, maka tindak pidana mengerjakan, menduduki, menguasai Kawasan kawasan hutan tidak bisa dikenakan kepada Terdakwa”. Pendapat hakim yang berbeda ini menunjukkan sebenarnya Sorbatua Siallagan tidak melakukan tindak pidana mengerjakan dan menduduki kawasan hutan, ujar Judianto Simanjuntak
Lebih lanjut Judianto menjelaskan bahwa Sorbatua Siallagan tidak menerima Putusan Pengadilan Negeri Simalungun tersebut karena faktanya Sorbatua Siallagan tidak melakukan tindak pidana sehingga mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi Medan. Upaya hukum banding tersebut akhirnya mendatangkan keadilan bagi Komunitas masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan dan Sorbatua Siallagan. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Medan memutuskan: 1. Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Medan. 2. Menyatakan perbuatan Sorbatua Siallagan BUKAN PERBUATAN PIDANA melainkan perbuatan perdata. 3. Melepaskan Sorbatua Siallagan dari segala tuntutan Jaksa Penuntut Umum. 4. Memerintahkan Jaksa Penuntut Umum agar MEMBEBASKAN BAPAK SORBATUA SIALLAGAN DARI RUMAH TAHANAN NEGARA. Putusan Pengadilan Tinggi Medan diucapkan pada tanggal 17 Oktober 2024 dengan Nomor : 1820/Pid.Sus-LH/2024/PT MDN.
Saat ini perkara Sorbatua Siallagan sedang berproses di tingkat kasasi Mahkamah Agung RI karena Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Simalungun mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung, kata Judianto Simanjuntak.
Sinung Karto (Divisi Penanganan Kasus Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara/PB AMAN) menyatakan putusan Pengadilan Negeri Simalungun sangat tidak adil bagi komunitas masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan khususnya bagi Sorbatua, sebab keberadaan masyarakat adat dilindungi dalam konstitusi yaitu Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945 dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945, UU No 39 Tahun 1999 Tentang Ham, dan instrumen hukum lainnya. Sebaliknya Putusan Pengadilan Tinggi Medan tersebut layak diapresiasi karena mencerminkan rasa keadilan bagi Sorbatua Siallagan dan komunitas masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan, sebab yang dilakukan Sorbatua Siallagan hanya mengelola wilayah adatnya, itu bukan tindak pidana, dan hal itu dilindungi konstitusi dan berbagai instrumen hukum lainnya.
Menurut Sinung Karto, kriminalisasi yang dialami Sorbatua Siallagan merupakan akibat ketiadaan Undang-Undang Tentang Masyarakat Adat. Itulah akar persoalan karena tidak ada payung hukum melindungi masyarakat adat di seluruh Nusantara. Akibat ketiadaan Undang-Undang Tentang Masyarakat Adat telah menimbulkan konflik masyarakat adat dengan korporasi yang mengakibatkan perampasan wilayah adat, dan kriminalisasi masyarakat adat di seluruh nusantara, termasuk kriminalisasi terhadap Sorbatua Siallagan.
Karena itulah Sinung Karto mendesak Presiden RI dan DPR RI agar segera membahas dan mengesahkan RUU Masyarakat Adat. Presiden RI dan DPR RI harus melaksanakan kewajiban konstitusionalnya membentuk Undang-Undang Tentang Masyarakat Adat. Ini mandat dan perintah konstitusi sebagaimana diatur dalam pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Selain itu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan terhadap UUD 1945, Tanggal 16 Mei 2023 menyatakan urgensi pembentukan Undang-Undang Tentang Masyarakat Adat, yakni sebagai konsekuensi perintah UUD 1945 dan mencegah dampak negatif terhadap masyarakat adat
Mufti Fathul Barri,Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia (FWI) menilai proses hukum terhadap Sorbatua Siallagan sampai berproses saat ini di Mahkamah Agung di luar nalar hukum sebab sampai saat ini kawasan yang dimaksud baru sebatas penunjukan dan belum ada penetapan kawasan hutan tepatnya di konsesi PT. TPL Sektor Aek Nauli yang menjadi objek lahan yang disengketakan dengan Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan. Padahal menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 bahwa pengukuhan kawasan hutan melalui beberapa tahapan yaitu: penunjukan kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan dan penetapan kawasan. Sedangkan penunjukan kawasan hutan merupakan proses awal suatu wilayah tertentu menjadi Kawasan hutan dan peta tata batas.
Sisi lain konflik masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan dengan PT. TPL sedang dalam proses penyelesaian yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup RI melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor SK 352/MENLHK/SETJENKUM.1/6/2021 Tentang Langkah-Langkah Penyelesaian Permasalahan Hutan Adat dan Pencemaran Limbah Industri di Lingkungan Danau Toba, tanggal 21 Juni 2021, salah satunya penyelesaian konflik masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan dengan PT. TPL. Karena itulah konflik masyarakat adat ompu Umbak Siallagan dengan PT. TPL bukan ranah pidana, tetapi penyelesaiannya secara administrasi yang merupakan kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup RI dan Kementerian Kehutanan RI.
Oleh karena itu, Julius Ibrani Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), menilai bahwa proses hukum terhadap Sorbatua Siallagan merupakan bentuk pengingkaran dan pengabaian negara atas kewajibannya untuk melindungi, mengakui, dan menghormati keberadaan serta hak-hak masyarakat adat sebagaimana dijamin dalam konstitusi dan berbagai instrumen hukum nasional maupun internasional. Kasus ini menunjukkan dengan jelas bagaimana aparat penegak hukum berperan sebagai alat kriminalisasi terhadap masyarakat adat, alih-alih menjalankan tugasnya untuk melindungi dan menjamin akses mereka terhadap keadilan. Pola kriminalisasi yang berulang semacam ini semakin memperkuat impunitas terhadap pelanggaran hak-hak masyarakat adat dan menampilkan lemahnya komitmen negara dalam menegakkan prinsip-prinsip hak asasi manusia di Indonesia, terutama dalam memastikan hak atas tanah, sumber daya alam, dan kelangsungan hidup masyarakat adat yang terus terancam oleh kepentingan oligarki.
Elisabet Simanjutak selaku pimpinan aksi yang juga dari Sekretariat Nasional Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) menyatakan aksi di Mahkamah Agung ini merupakan kegelisahan dari publik atas terjadinya berbagai kriminalisasi kepada masyarakat adat di seluruh nusantara yang mendiami dan mengelola wilayah adatnya sebagai warisan nenek moyangnya, khususnya yang dialami Sorbatua Siallagan.
Dalam kesempatan ini kami SOLIDARITAS MASYARAKAT SIPIL UNTUK SORBATUA SIALLAGAN mengharapkan Mahkamah Agung RI sebagai kekuasaan kehakiman yang merdeka agar menjaga netralitas dan independensinya menegakkan hukum demi untuk mendatangkan keadilan bagi Sorbatua Siallagan. Kami mengharapkan Mahkamah Agung RI menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor: 1820/Pid.Sus-LH/2024/PT MDN, tanggal 17 Oktober 2024 yang melepaskan Sorbatua Siallagan dari segala tuntutan Jaksa Penuntut Umum, ungkap Elisabet Simanjutak.
Jakarta, 26 Februari 2025
Hormat Kami
SOLIDARITAS MASYARAKAT SIPIL UNTUK SORBATUA SIALLAGAN:
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Tano Batak
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (BAKUMSU)
Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagandi Dolok Parmonangan, Kab. Simalungun, Sumatera Utara
Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita (Lamtoras), Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara
Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN)
Aliansi Gerak Tutup TPL
Forest Watch Indonesia (FWI)
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI)
Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)
Bidang Keadilan dan Perdamaian Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (BKP-PGI)
Sayogo Institute
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Krisnayana
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (BEM FH-UI)
Yayasan Forum Adil Sejahtera (YFAS)
Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen (JKLPK) Indonesia
Public Interest Lawyer Network (PIL-NET) Indonesia
Yayasan Diakonia Pelangi Kasih (YDPK)
Perkumpulan HuMa Indonesia
WeSpeakUp.org
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat
Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM)
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Sumatera Utara (Kontras Sumut)
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan
Wahana Lingkungan Hidup Sumatera Utara (WALHI SUMUT)
Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Komisariat UNIKA SEJAJARAN (GMNI UNIKA SEJAJARAN)
Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (GMNI FH-USU)
Aksi Kamisan Medan
Perempuan AMAN Sumatera Utara
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Sumatera Utara (AMAN SUMUT)
Cindy Yohana dari Sekretariat Nasional Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) menyampaikan pandangannya dalam sesi Gelar Wicara bertajuk “Peran dan Aspirasi Pemuda Adat Menghadapi Tantangan Masa Depan” pada Seminar MBKM RIMBAHARI 2025
Pada Senin, 17 Februari 2025, Program Studi Sarjana Departemen Antropologi FISIP Universitas Indonesia bekerja sama dengan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) akan melaksanakan ProgramMerdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) program tersebut di beri judulRIMBAHARI– Research Initiatives on Management of Biocultural Heritage and Resilient Innovations. Dalam rangka program ini, akan diadakan SeminarMBKM RIMBAHARI 2025: Diversitas Biokultural dan Masyarakat Adat, yang berlangsung di Auditorium Mochtar Riady, Gedung C Lantai 2, Kampus UI Depok. Salah satu sesi utama dalam seminar ini adalah gelar wicara bertajuk “Peran dan Aspirasi Pemuda Adat Menghadapi Tantangan Masa Depan”, yang menghadirkan Cindy Yohana dari Sekretariat Nasional Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) serta bersama pemuda adat lainnya.
Dalam berbagai diskusi mengenai masyarakat adat, peran pemuda sering kali kurang mendapat sorotan. Namun, di tengah tantangan modernisasi dan eksploitasi sumber daya alam, pemuda adat justru menjadi garda terdepan dalam mempertahankan hak-hak komunitas mereka. Dalam seminar ini, para pemuda adat berbagi pengalaman dan strategi dalam menghadapi dilema identitas, tekanan ekonomi, serta tantangan sosial dan lingkungan. Cindy Yohana, mewakili BPAN, menekankan bahwa pemuda adat memiliki peran ganda dalam menjaga keberlanjutan komunitas mereka. “Kami bukan hanya pewaris tradisi, tetapi juga penggerak perubahan,” ujar Cindy. Pemuda adat harus terus mengawal hak-hak masyarakat adat, memperjuangkan pengakuan wilayah adat, dan memastikan bahwa keputusan politik dan hukum yang dibuat oleh pemerintah berpihak pada keberlangsungan budaya serta lingkungan mereka.
Pemuda adat menghadapi berbagai tantangan, mulai dari isu identitas yang terus berkembang akibat modernisasi, keterbatasan akses terhadap pendidikan dan sumber daya, hingga tekanan ekonomi yang sering kali menghambat keterlibatan mereka dalam komunitas. Dilema ini semakin kompleks ketika ekspektasi sosial dari masyarakat dan persepsi dari pihak luar terhadap mereka sebagai pemuda adat menimbulkan tekanan tersendiri. Sementara itu, dalam komunitas mereka sendiri, pemuda adat harus berjuang untuk mendapatkan peran dalam pengambilan keputusan serta menjaga keberlanjutan budaya dan bahasa mereka. Hambatan lainnya datang dari eksploitasi sumber daya alam dan perubahan iklim, yang mengancam kelestarian lingkungan serta hak atas tanah adat mereka.
Sebagai langkah maju, seminar ini menyoroti pentingnya kolaborasi antara pemuda adat, akademisi, dan aktivis dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat adat. Strategi yang dapat ditempuh mencakup peningkatan pendidikan dan kapasitas kepemimpinan pemuda adat, pembangunan jaringan advokasi yang lebih luas, serta pemanfaatan teknologi dan media sosial untuk menyuarakan perjuangan mereka. Pemuda adat harus aktif dalam pengambilan keputusan dan memperkuat peran mereka sebagai agen perubahan, bukan hanya menjadi objek dalam wacana pembangunan.
SeminarMBKM RIMBAHARI 2025: Diversitas Biokultural dan Masyarakat Adat menjadi momentum penting dalam memperkuat posisi pemuda adat dalam menjaga warisan biokultural mereka. BPAN menegaskan bahwa perjuangan ini tidak hanya untuk masa kini, tetapi juga untuk memastikan bahwa generasi mendatang dapat tetap hidup dalam harmoni dengan identitas dan tanah leluhur mereka. Dengan semangat kolaborasi dan ketahanan yang kuat, pemuda adat akan terus berjuang demi keberlanjutan komunitas dan hak-hak masyarakat adat di masa depan.
Bentrok Antara Masyarakat Adat Onan Harbangan Vs Pihak Keamanan PT. TPL
Onan Harbangan, Desa Pohan Jae, Kecamatan Siborong-borong, Tapanuli Utara (20/01/2025) – Masyarakat Adat Onan Harbangan kembali menjadi korban kekerasan dalam konflik lahan dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL). Insiden ini terjadi saat pihak perusahaan melakukan upaya penanaman paksa bibit eucalyptus di wilayah adat yang diklaim masyarakat setempat. Tindakan tersebut memicu bentrokan, di mana petugas keamanan PT TPL dilaporkan menggunakan kayu yang telah dipersiapkan sebelumnya untuk menyerang Masyarakat Adat.
Foto dan video yang beredar menunjukkan masyarakat dipukuli secara brutal oleh petugas keamanan. Peristiwa ini telah menambah daftar panjang pelanggaran hak asasi manusia terhadap Masyarakat Adat di Nusantara, yang berjuang mempertahankan wilayahnya dari ancaman perusahaan besar.
Kini, Masyarakat Adat Onan Harbangan yang terluka akibat kekerasan tersebut sedang dalam perjalanan menuju Polres Tapanuli Utara untuk membuat laporan resmi. Namun, muncul pertanyaan besar: apakah aparat penegak hukum akan serius menangani kasus ini dan menghukum pelaku kekerasan? Ataukah, seperti yang sering terjadi, justru masyarakat adat yang akan didiskriminasi dan dihadapkan pada proses hukum yang tidak adil?
Siklus kekerasan yang dialami Masyarakat Adat Onan Harbangan mencerminkan masalah yang lebih luas. RUU Masyarakat Adat, yang bertujuan melindungi hak-hak adat, hingga kini belum disahkan oleh DPR dan Presiden. Hal ini semakin memperburuk keadaan, terutama ketika negara terlihat lebih memihak pada kepentingan korporasi dengan dalih investasi, alih-alih melindungi rakyatnya sendiri.
Seruan untuk menutup operasional PT TPL semakin menggema, terutama dari Masyarakat Adat dan aktivis yang peduli terhadap keberlanjutan lingkungan dan perlindungan hak asasi manusia. Mereka mendesak agar pemerintah segera mengambil langkah tegas untuk melindungi Masyarakat Adat dan menuntaskan konflik yang telah berlangsung bertahun-tahun.
“Tutup PT TPL, si perampas wilayah adat milik masyarakat adat di Tanah Batak, dan segera sahkan RUU Masyarakat Adat! Pemerintah harus menjalankan amanat konstitusi untuk melindungi masyarakat adat dari kejahatan negara dan korporasi,” ujar salah satu tokoh adat dalam pernyataannya.
Situasi di Onan Harbangan masih terus berkembang, dengan harapan besar agar aparat hukum benar-benar menegakkan keadilan tanpa memihak. Masyarakat Adat dan pendukungnya kini menunggu respons nyata dari pihak berwenang atas kasus ini.