Pengesahan RUU Masyarakat Adat pada 2025:Menanti Tindakan Nyata DPR dan Pemerintah kepada Masyarakat Adat

Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat

Jakarta, 18 Desember 2024 – Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat mendesak DPR dan Pemerintah Republik Indonesia untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat (RUU MA) pada tahun 2025, agar hak-hak Masyarakat Adat dapat diakui dan dilindungi secara lebih efektif. Saat ini, RUU Masyarakat Adat telah masuk kembali dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2025 dan masuk dalam Prolegnas lima tahunan usulan DPR RI.

Namun dalam daftar Prolegnas RUU ini masih menggunakan frasa RUU Masyarakat Hukum Adat. Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat mendorong penggunaan frasa Masyarakat Adat untuk mengakomodir nomenklatur Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Tradisional dalam konstitusi. Serta mendorong adanya kemajuan pasti dalam upaya pengesahannya.

Veni Siregar, Senior Kampanye Kaoem Telapak menegaskan bahwa pembahasan dan pengesahan RUU Masyarakat Adat menjadi momentum penting bagi DPR RI dan Pemerintah Prabowo Subianto untuk menunjukkan keberpihakannya kepada Masyarakat Adat. “Pengakuan dan perlindungan terhadap Masyarakat Adat adalah bentuk tanggung jawab negara dalam memastikan keberlanjutan hidup dan kepastian hukum  bagi  mereka. DPR RI, khususnya Badan Legislasi dan delapan Fraksi Partai Politik, harus mengambil langkah strategis untuk terus membangun dialog konstruktif dengan Masyarakat Adat, agar Rancangan Undang-Undang yang dihasilkan mampu menjawab persoalan yang dihadapi. Perlindungan dan pemenuhan hak-hak Masyarakat Adat di tengah kekerasan dan kriminalisasi harus menjadi prioritas. Kontribusi Masyarakat Adat dalam menjaga kelestarian lingkungan juga patut diapresiasi.”

Veni menambahkan bahwa Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat akan terus melakukan mengawal secara intensif untuk memastikan RUU Masyarakat Adat disahkan pada tahun 2025.

Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum, dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Muhammad Arman mengatakan pengesahan RUU Masyarakat Adat merupakan jalan utama sekaligus tindakan nyata untuk mewujudkan cita-cita pembentukan negara Indonesia yakni melindungi segenap tumpah darah, dan memajukan kesejahteraan umum termasuk bagi Masyarakat Adat yang selama ini termarjinalkan.

“Pengesahan RUU Masyarakat Adat akan memberikan kepastian hukum  sekaligus menciptakan investasi yang berkeadilan bagi semua pihak. Undang-Undang Masyarakat Adat adalah ‘jalan pulang’ untuk meneguhkan kebangsaan dan Ke-Indonesiaan yang beragam,” ucapnya.

Lebih lanjut, Arman memaparkan data yang dihimpun AMAN selama 10 tahun terakhir, dimana telah terjadi 687 konflik agraria di wilayah adat, mencakup lahan seluas 11,07 juta hektar. Konflik tersebut tidak hanya merampas tanah ulayat, tetapi juga mengakibatkan 925 Masyarakat Adat menjadi korban kriminalisasi. Dari jumlah tersebut, 60 orang mengalami kekerasan yang dilakukan oleh aparat negara, dan bahkan satu orang meninggal dunia.

Menurut Arman, perampasan tanah ulayat sering kali dilakukan melalui proyek-proyek besar yang dijalankan tanpa konsultasi atau persetujuan yang memadai, serta mengabaikan prinsip Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan (Padiatapa/FPIC).

Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, yang terdiri dari 35 organisasi masyarakat sipil, menegaskan bahwa RUU ini merupakan peluang besar untuk memperbaiki ketidakadilan yang terus dialami oleh Masyarakat Adat. Selain itu, RUU ini juga diharapkan mampu memberikan perlindungan hukum yang komprehensif, termasuk pengakuan dan perlindungan terhadap wilayah adat dan hutan adat yang menjadi sumber kehidupan dan identitas Masyarakat Adat.

Juandi Gultom, dari Bidang Keadilan dan Perdamaian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), menegaskan dukungan PGI terhadap pengesahan RUU Masyarakat Adat. Juandi menyatakan bahwa Masyarakat Adat adalah pemilik awal sekaligus pemilik sah dari negeri ini, Namun ironisnya justru mengalami pengucilan oleh negara. “Masyarakat Adat adalah pemilik awal dan pemilik sah dari negara ini. Namun, mereka dikucilkan oleh kebijakan negara saat ini,” ujarnya.

Lebih lanjut, Juandi menambahkan bahwa PGI aktif melakukan advokasi untuk mendukung perjuangan Masyarakat Adat. Kantor PGI bahkan menjadi rumah bersama bagi berbagai pengaduan dan permohonan bantuan yang diajukan oleh Masyarakat Adat dalam memperjuangkan hak-hak mereka.

Ermelina Singereta, Manajer Bidang Advokasi Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) menyatakan bahwa sikap pengabaian negara terhadap perlindungan hukum bagi Masyarakat Adat, khususnya perempuan, anak, dan kelompok rentan dalam mempertahankan ruang hidup mereka, merupakan bentuk nyata pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

“Banyak Perempuan Adat harus berhadapan dengan hukum yang tidak adil. Mereka ditangkap, diadili, bahkan dihukum karena mempertahankan hak dan identitas mereka sebagai Perempuan Adat. Bagi Perempuan Adat, hukum ibarat fatamorgana: terlihat jelas tetapi sulit untuk dijangkau,” ucap Ermelina.

Ermelina menekankan bahwa perlindungan hak Masyarakat Adat tidak hanya penting dari aspek keadilan, tetapi juga memiliki peran kunci dalam melestarikan keanekaragaman hayati global. Wilayah adat merupakan benteng terakhir bagi keanekaragaman hayati dunia, di mana diperkirakan 80% keanekaragaman hayati global tersimpan di dalamnya. Dengan pengetahuan tradisional yang diwariskan selama ribuan tahun, Masyarakat Adat telah menjadi penjaga alam dan ekosistem hayati yang tak tergantikan.

Lebih lanjut, Ermelina menjelaskan bahwa keterlibatan Masyarakat Adat dalam pengelolaan wilayah adat berkontribusi besar terhadap upaya global untuk melestarikan lingkungan, mitigasi perubahan iklim, dan perlindungan ekosistem. Di tengah tantangan lingkungan yang semakin kompleks, peran Pemuda Adat menjadi sangat krusial sebagai generasi penerus dalam menjaga warisan leluhur. Pemuda Adat, menurutnya, adalah garda terdepan dalam upaya mempertahankan wilayah adat dalam menghadapi berbagai tantangan yang semakin kompleks.

Hero Aprila, Ketua Umum Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), menekankan bahwa keberadaan Undang-Undang Masyarakat Adat memiliki peran penting dalam menjawab berbagai persoalan yang dihadapi Pemuda Adat di berbagai sektor, mulai dari politik dan hukum, sosial dan budaya, hingga kemandirian ekonomi serta pendidikan adat.

“Sebagai generasi penerus, kami, Pemuda Adat, memiliki tanggung jawab besar dalam memastikan keberlanjutan pengelolaan wilayah adat yang lestari dan bebas dari diskriminasi serta intimidasi. Ketiadaan UU Masyarakat Adat hanya akan memperpanjang rantai ketidakadilan yang telah berlangsung lama. Bagi kami, UU Masyarakat Adat adalah solusi nyata untuk menjawab tantangan yang kami hadapi,” tutur Hero.

Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat terdiri dari YLBHI, HuMa, Seknas WALHI, KPA, KEMITRAAN, ICEL, Debt Watch, PEREMPUAN AMAN, Yayasan PUSAKA, Kaoem Telapak, Yayasan Madani Berkelanjutan, BRWA, JKPP, merDesa Institute, RMI, EPISTEMA, Greenpeace Indonesia, Lakpesdam NU, KIARA, LOKATARU, Forest Watch Indonesia (FWI), Sawit Watch, PPMAN, Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), Yayasan Jurnal Perempuan (YPJ), Forum Masyarakat Adat Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Format-P), Kalyanamitra, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), SATUNAMA, Protection International Indonesia, KKC Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Working Group ICCAs Indonesia, AMAN, Samdhana, EcoAdat.

Kontak Media:
A.P. Prayoga, Tim Kampanye Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, HP. 0857 2034 6154

Veni Siregar, Senior Kampanye Kaoem Telapak, HP. 0838-9344-5587

RUU Masyarakat Adat: Kunci Keberhasilan Konservasi Pasca COP16

Jakarta, 5 Desember 2024 – Pasca Konferensi Dunia Keanekaragaman Hayati (COP16) yang berlangsung pada 1 November 2024 di Cali, Kolombia, urgensi pengesahan RUU Masyarakat Adat di Indonesia semakin mendesak. Pengakuan dan perlindungan hak-hak Masyarakat Adat menjadi kunci untuk memastikan keterlibatan mereka dalam implementasi Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (KM-GBF). Tanpa RUU Masyarakat Adat, kontribusi Masyarakat Adat dalam konservasi berkelanjutan dan inklusif akan terus terhambat.

Hal ini disampaikan oleh Cindy Julianty, Program Manager Working Group Indigenous Peoples’ and Community Conserved Areas and Territories Indonesia (WGII) dalam diskusi publik bertajuk “Urgensi Pengesahan RUU Masyarakat Adat dalam Merespon Kebijakan Konservasi Pasca COP16” yang diselenggarakan di Rumah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Jakarta, Rabu (4/12). Selain Cindy Julianty, turut hadir juga Bimantara Adjie (Perkumpulan HuMa), Teo Reffelsen (WALHI Eksekutif Nasional), Rukmini Paata Toheke (Dinamisator Regional Sulawesi JPH AKKM), Mufti Fathul Barri (FWI), Tommy Indyan (AMAN) sebagai narasumber dan Salma Zakiyah (MADANI Berkelanjutan) sebagai moderator.

Cindy Julianty juga menekankan pentingnya keterlibatan Masyarakat Adat dalam mencapai target perlindungan keanekaragaman hayati global. “Konservasi tidak bisa hanya sekadar membicarakan pelestarian lingkungan. Konservasi juga berarti pengakuan hak tenurial di wilayah Masyarakat Adat,” ujar Cindy. Ia menyebutkan bahwa database wilayah adat mencatat 22,5 juta hektare wilayah adat yang berpotensi untuk dikonservasi. “Praktik-praktik konservasi dari bawah ini dapat mendorong kontribusi Indonesia untuk mencapai target keanekaragaman hayati global,” tambahnya.

Bimantara Adjie Wardhana, Divisi Advokasi Hukum Rakyat Perkumpulan HuMa menambahkan, meskipun Masyarakat Adat memiliki posisi strategis dalam Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) tepatnya pada Target 16 dan Target 17 implementasi kebijakan seringkali gagal melibatkan mereka secara aktif dan inklusif. “Partisipasi aktif dan bermakna Masyarakat Adat seringkali diabaikan dalam implementasi kebijakan biodiversitas di Indonesia, misalnya dalam proses penyusunan IBSAP. Padahal, IBSAP adalah kunci dari pengarusutamaan biodiversitas di Indonesia,” ujarnya.

Sementara itu, Teo Reffelsen, Manajer Hukum dan Pembelaan WALHI Eksekutif Nasional mengkritik proses pembentukan UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE) yang dinilai mengabaikan partisipasi bermakna. “Banyak fakta lapangan yang diajukan oleh koalisi diabaikan tanpa alasan jelas dari DPR,” kata Teo. Ia juga mengingatkan bahwa Mahkamah Konstitusi sejak 2012 telah mengamanatkan pemerintah untuk membentuk peraturan terkait Masyarakat Adat, namun hingga kini belum terealisasi. “Sayangnya dalam gugatan AMAN, Pengadilan Tata Usaha Negara gagal menilai prinsip-prinsip judicial order yang ada di beberapa putusan MK terkait urgensi UU Masyarakat Adat, sehingga dari segi legislasi dan kebijakan, masyarakat adat di nomor duakan. Tidak heran kita lihat situasi Masyarakat Adat yang berada dalam dan dekat dengan kawasan hutan semakin buruk dan memprihatinkan,” tutupnya.

Rukmini Paata Toheke, Dinamisator Regional Sulawesi Jaringan Pemangku Hak Areal Konservasi Kelola Masyarakat (JPH AKKM), menjelaskan bahwa Masyarakat Adat Ngata Toro telah lama mempraktikkan konservasi berbasis kearifan lokal. Upaya ini dilakukan diantaranya dengan mendokumentasikan hukum adat, mengelola tempat-tempat yang dapat dikelola dan sekolah adat. “Kami memiliki filosofi tiga tungku kehidupan, Taluhi Takuhua, dimana masyarakat menjaga hubungan baik dengan pencipta bumi yang telah memberikan isinya dengan sesama manusia serta alam. Ketika kita merusak alam, maka kita merusak kehidupan. Ini menjadi landasan kami untuk menjaga kearifan leluhur. Ini menjadi kebanggaan kami sebagai Masyarakat Adat. Namun, negara kurang menghargai upaya kami,” tegasnya.

Senada dengan itu, Mufti Fathul Barri, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia (FWI), menyebut bahwa 80% keanekaragaman hayati dunia berada di wilayah Masyarakat Adat. Namun, UU KSDAHE di Indonesia justru mengecilkan peran mereka. “Paradigma konservasi kita belum bergeser, padahal Masyarakat Adat terbukti menjadi aktor utama dalam menjaga biodiversitas,” ungkapnya.

Tommy Indyan dari Direktorat Advokasi kebijakan Hukum dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), menegaskan bahwa pengesahan RUU Masyarakat Adat adalah langkah penting untuk melindungi hak-hak Masyarakat Adat. Ia menekankan perlunya definisi yang jelas, mekanisme pendaftaran yang sederhana, dan pengakuan hak-hak perempuan, pemuda, serta anak-anak adat dalam RUU Masyarakat Adat. “RUU yang ideal harus berbasis pada prinsip HAM dan mencakup mekanisme pemulihan hak, penyelesaian konflik, serta penguatan hak atas identitas budaya dan wilayah adat,” tuturnya.

Pengesahan RUU Masyarakat Adat tidak hanya memberikan perlindungan hukum bagi Masyarakat Adat, tetapi juga memperkuat peran mereka dalam mencapai target KM-GBF secara inklusif. Langkah ini menjadi krusial untuk memastikan keberlanjutan konservasi dan keanekaragaman hayati di Indonesia.

Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat terdiri dari YLBHI, HuMa, Seknas WALHI, KPA, KEMITRAAN, ICEL, Debt Watch, PEREMPUAN AMAN, Yayasan PUSAKA, Kaoem Telapak, Yayasan Madani Berkelanjutan, BRWA, JKPP, merDesa Institute, RMI, EPISTEMA, Greenpeace Indonesia, Lakpesdam NU, KIARA, LOKATARU, Forest Watch Indonesia (FWI), Sawit Watch, PPMAN, Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), Yayasan Jurnal Perempuan (YPJ), Forum Masyarakat Adat Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Format-P), Kalyanamitra, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), SATUNAMA, Protection International Indonesia, KKC Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Working Group ICCAs Indonesia, AMAN, Samdhana, EcoAdat.

Kontak Media:
A.P. Prayoga, Tim Kampanye Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, HP. 0857 2034 6154

Bentrok di Hutan Adat Dolok Parmonangan Masyarakat Adat Korban Kekerasan oleh PT. TPL dan Aparat

Dolok Parmonangan, 2 Desember 2024 – Ketegangan memuncak di Hutan Adat Dolok Parmonangan (Huta Utte Anggir) ketika PT. Toba Pulp Lestari (TPL) bersama aparat kepolisian dan TNI memasuki wilayah tersebut sejak pukul 09.00 WIB. Keberadaan mereka yang mencurigakan membuat Masyarakat Adat setempat melakukan pemeriksaan ke lokasi.

Sesampainya di Hutan Utte Anggir, Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan menemukan jalan menuju kawasan hutan telah ditutup dan dipalang oleh pihak TPL. Ketegangan semakin meningkat ketika terdengar suara singso dari dalam hutan, yang memaksa Masyarakat Adat mencoba memasuki wilayah tersebut. Namun, mereka dihalangi oleh pihak TPL dan aparat keamanan.

Situasi pun berubah menjadi bentrok. Dalam insiden ini, salah satu warga Masyarakat Adat Dolok Parmonangan mengalami luka serius di bagian kepala akibat tindakan kekerasan yang diduga dilakukan oleh pihak TPL.

Hero Aprila, Ketua Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), mengutuk keras kejadian ini. Dalam pernyataannya, Hero menyampaikan, “Kami mengecam keras tindakan aparat dan pihak TPL yang mengakibatkan salah satu Masyarakat Adat Dolok Parmonangan mengalami luka bocor di bagian kepala. Tindakan ini harus segera dihentikan.”

Insiden ini kembali menyoroti konflik yang sering terjadi di wilayah-wilayah adat antara perusahaan besar dan masyarakat setempat. Tindakan intimidasi, kekerasan, dan penguasaan sepihak atas tanah adat menjadi isu yang belum terselesaikan.

Masyarakat Adat menyerukan penghentian kekerasan dan intimidasi terhadap mereka, serta menuntut agar hak-hak mereka atas wilayah adat diakui dan dihormati.

Nggak Butuh Apotek! Daun Betadine Atau Daun Dokter Penyembuh Luka Ala Lokal

Daun Betadine atau Daun Dokter (Jatropha multifida)

Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat adat di berbagai daerah di Nusantara, alam bukan hanya menjadi sumber kehidupan, tetapi juga penyembuh. Salah satunya adalah tanaman Jatropha multifida, yang dikenal di beberapa daerah dengan nama Daun Betadine di Riau dan Daun Dokter di Lombok. Meskipun teknologi modern telah menghadirkan banyak solusi medis, masyarakat adat telah lama memanfaatkan tanaman ini sebagai penyembuh luka dengan cara yang sangat alami.

Di Talang Mamak, Riau, masyarakat adat telah menggunakan daun ini selama bertahun-tahun untuk mengobati luka. Getah dari daun Jatropha multifida dioleskan langsung pada luka untuk mencegah infeksi. Karena memiliki sifat antiseptik alami yang mirip dengan Betadine, tak heran jika tanaman ini disebut Daun Betadine. Inilah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat mengandalkan tanaman lokal untuk menjaga kesehatan, jauh sebelum obat-obatan kimia ditemukan.

Sementara itu, di Lombok, Jatropha multifida dikenal dengan nama Daun Dokter karena kemampuannya dalam menyembuhkan luka dengan cepat. Masyarakat adat di sana percaya bahwa daun ini bisa menyembuhkan luka seefektif seorang dokter. Tanaman ini menjadi bukti nyata bahwa kearifan lokal dalam menggunakan tumbuhan sebagai obat bukan hanya sekadar tradisi, tetapi juga bagian dari pengetahuan medis yang sudah terbukti berfungsi.

Masyarakat adat memiliki hubungan yang sangat erat dengan alam. Mereka tidak hanya memanfaatkan alam untuk bertahan hidup, tetapi juga menjunjung tinggi nilai-nilai yang mengajarkan pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem. Penggunaan tanaman seperti Jatropha multifida adalah contoh bagaimana mereka telah mengembangkan sistem pengobatan tradisional yang berkelanjutan, tanpa merusak alam sekitar.

Sayangnya, dengan perkembangan zaman dan semakin tergantungnya masyarakat pada pengobatan modern, penggunaan Daun Betadine dan Daun Dokter mulai terlupakan. Padahal, tanaman ini bisa jadi alternatif yang lebih alami dan ramah lingkungan. Dalam era yang semakin canggih ini, mengingat dan melestarikan pengetahuan tradisional seperti ini menjadi penting, baik untuk menjaga kesehatan maupun untuk melestarikan budaya masyarakat adat yang sudah ada sejak lama.

Menggunakan Jatropha multifida adalah salah satu cara masyarakat adat mengajarkan kita tentang pentingnya kearifan lokal dalam pengobatan. Dalam dunia yang serba cepat dan cenderung melupakan akar budaya, kita perlu lebih menghargai dan melestarikan pengetahuan seperti ini. Daun Betadine dan Daun Dokter bukan hanya sekadar tanaman penyembuh luka, tetapi juga simbol dari kekuatan alam yang selalu siap membantu kita, seperti nenek moyang kita yang telah melakukannya bertahun-tahun yang lalu.

Pembungkaman Demokrasi Di Tengah Pilkada Sinjai

Tahun 2024 menjadi tahun kelam bagi demokrasi di Kabupaten Sinjai. Alih-alih menjadi pesta rakyat, pemilihan bupati berubah menjadi panggung pembungkaman suara-suara kritis, khususnya dari masyarakat adat yang selama ini berjuang mempertahankan hak mereka. Demokrasi, yang seharusnya menjadi ruang partisipasi publik, justru digunakan untuk menekan dan mengkriminalisasi mereka yang menuntut keadilan.

Kekecewaan atas Janji Kosong Pemerintah

Salah satu peristiwa mencolok terjadi pada 11 Oktober 2024. Sejumlah masyarakat adat turun ke jalan untuk menyuarakan kekecewaan mereka atas pemerintah yang gagal menepati janji Rapat Dengar Pendapat (RDP). Janji yang dilontarkan sebulan sebelumnya ini menguap tanpa kepastian, meninggalkan masyarakat adat dalam ketidakpastian yang mendalam.

Demonstrasi tersebut bukan hanya sekadar luapan emosi, tetapi akumulasi dari frustrasi panjang. Selama sebulan penuh, tuntutan masyarakat adat diabaikan. Pemerintah bukannya menghadirkan solusi, tetapi justru memperparah konflik dengan tindakan-tindakan yang merugikan komunitas adat.

Kriminalisasi Pejuang Hak Adat

Kriminalisasi masyarakat adat di Sinjai menjadi salah satu bentuk nyata pembungkaman demokrasi. Muh. Ansar Zulkarnain, seorang petani dari komunitas adat Barambang Katute, ditangkap karena menolak pematokan batas kawasan hutan yang dilakukan sepihak oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah VII Makassar. Penetapan ini tidak hanya merampas tanah adat, tetapi juga melukai kedaulatan masyarakat adat atas wilayah mereka.

Ansar, yang jauh-jauh datang ke kota dengan harapan suaranya didengar, justru mendapati dirinya dipenjarakan oleh pemerintahnya sendiri. Penangkapan ini kemudian diikuti oleh penahanan Awaluddin Syam, Ketua Pengurus Daerah Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Sinjai, yang bersolidaritas terhadap perjuangan masyarakat adat.

Penangkapan ini menambah catatan hitam konflik tenurial di Kabupaten Sinjai, khususnya di komunitas adat Barambang Katute. Sepanjang 30 tahun terakhir, jumlah korban kriminalisasi meningkat menjadi 50 orang. Konflik ini tidak hanya mencerminkan marginalisasi masyarakat adat tetapi juga menunjukkan pola represif yang terus berulang.

Pembungkaman Suara Rakyat

Alih-alih membuka ruang dialog atau mencari solusi, pemerintah dan aparat keamanan memilih jalur represif. Penangkapan para demonstran hanya memperkuat kesan bahwa pemerintah memandang aspirasi rakyat sebagai ancaman, bukan sebagai bagian dari demokrasi.

Pembungkaman ini menjadi ironi di tengah momentum pemilihan bupati yang seharusnya menjadi ruang demokrasi. Di Sinjai, demokrasi seolah menjadi alat bagi segelintir elite untuk mempertahankan kekuasaan, sementara rakyat yang mencoba mempertahankan haknya justru dihukum.

Refleksi: Demokrasi Tanpa Keadilan Adalah Ilusi

Peristiwa ini menjadi cerminan buram demokrasi kita. Demokrasi tanpa keadilan sosial hanya akan menjadi sebuah ilusi—sebuah konsep kosong yang tidak memiliki makna. Ketika masyarakat adat, yang berada di garis depan mempertahankan hak atas tanah dan budaya, harus menghadapi kriminalisasi, maka jelas bahwa demokrasi kita sedang berada dalam ancaman.

Perjuangan masyarakat adat bukan hanya tentang hak atas tanah, tetapi juga tentang mempertahankan nilai-nilai demokrasi yang sejati. Mereka yang terusir dari tanahnya, yang suaranya dibungkam, sedang berjuang bukan hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi untuk seluruh rakyat Indonesia yang mendambakan keadilan dan kemerdekaan.

Sinjai 2024 menjadi pengingat bahwa janji tanpa realisasi hanyalah omong kosong. Dan pembungkaman demokrasi di tengah pemilihan bupati adalah peringatan bagi kita semua: bahwa perjuangan belum selesai, dan suara rakyat tidak boleh dibungkam.

Perlawanan Pemuda Adat Bersama Masyarakat Adat Sinjai Menuntut Hak dan Keadilan

Aksi Masyarakat Adat (MA) Sinjai pada 11 Oktober 2024 menjadi puncak kekecewaan dan amarah terhadap berbagai ketidakadilan yang mereka alami. Mengusung isu besar “10 Tahun Jokowi Abaikan Hak Masyarakat Adat, Tolak Penetapan Kawasan Hutan Negara di Wilayah Adat Kami, Tolak Geothermal di Kabupaten Sinjai”, aksi ini tidak hanya menyoroti pelanggaran hak adat, tetapi juga memperlihatkan bagaimana janji-janji pemerintah daerah tak kunjung ditepati.

Latar Belakang Aksi

Aksi ini dipicu oleh ketidakmampuan DPRD Kabupaten Sinjai, khususnya anggota Ardiansyah, untuk memenuhi janji yang diberikan kepada massa aksi sebelumnya pada 19 Agustus 2024. Saat itu, Ardiansyah berjanji akan mengadakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dalam waktu tiga hari. Namun, janji tersebut dilanggar tanpa alasan jelas. Pernyataan Ardiansyah yang mengatakan, “Kalau tidak ada hasil, silakan lakukan apa pun yang kalian ingin lakukan,” menambah kekecewaan massa.

Kronologi Aksi

Berikut adalah rangkaian peristiwa yang terjadi pada 11 Oktober 2024:

  • 10.00 WITA: Massa dari MA Pattiro Toa dan Kampala berkumpul di depan kantor DPRD Sinjai, menunggu kehadiran komunitas adat Barambang Katute, Desa Polewali, dan Desa Batu Belerang.
  • 10.45 WITA: Massa MA Pattiro Toa dan Kampala mulai berorasi di depan kantor DPRD.
  • 11.10 WITA: Massa memasuki ruang rapat paripurna DPRD Sinjai dengan tertib dan diterima oleh Muzawwir, anggota DPRD dari Fraksi Hanura.
  • 11.30 WITA: Massa Barambang Katute, Desa Polewali, dan Desa Batu Belerang bergabung untuk berdialog. Muzawwir menjanjikan kehadiran anggota dapil 1 dan 3 untuk dialog, namun dialog terhenti untuk salat Jumat.
  • 14.00 WITA: Muzawwir meminta maaf melalui WhatsApp, menyatakan tidak dapat menghadiri dialog. Hal ini memicu amarah massa yang merasa dikhianati. Massa merusak fasilitas ruang rapat paripurna secara spontan.
  • 14.45 WITA: Massa aksi kembali tenang, negosiasi dilakukan, dan kesepakatan RDP pada 17 Oktober 2024 dicapai.
  • 15.00 WITA: Massa melanjutkan aksi di kantor Bupati Sinjai.
  • 16.00 WITA: Massa membubarkan diri dengan tertib.

Intimidasi dan Kriminalisasi

Pada 14 Oktober 2024, Sekretaris DPRD Sinjai, Lukman Fattah, melaporkan perusakan fasilitas kepada polisi. Dua orang ditetapkan sebagai tersangka:

  1. Awaluddin Syam (23 tahun), mahasiswa sekaligus Ketua Pengurus Harian Barisan Pemuda Adat Nusantara (PD BPAN).

  2. Muh. Ansar Zulkarnain (28 tahun), seorang petani, Sekaligus anggota BPAN Sinjai.

Penangkapan keduanya memunculkan dugaan intimidasi terhadap massa aksi. Kantor PD AMAN Sinjai, yang menjadi pendamping komunitas adat, tidak pernah dimintai keterangan oleh polisi meskipun lokasinya dekat. Langkah ini dianggap sebagai upaya membungkam suara masyarakat adat yang menolak kebijakan pemerintah terkait hutan dan geothermal.

Kesimpulan dan Tuntutan

Aksi ini memperlihatkan pola berulang di mana aspirasi masyarakat adat diabaikan, sementara janji-janji hanya menjadi alat pengalihan. Beberapa catatan penting dari aksi ini:

  1. Janji yang dilanggar: RDP yang dijanjikan pada Agustus tidak pernah terealisasi.
  2. Kriminalisasi sebagai intimidasi: Penangkapan massa aksi dianggap sebagai strategi untuk menakut-nakuti masyarakat adat.
  3. Dugaan kesengajaan pemerintah: Ada indikasi bahwa pemerintah sengaja menunda proses untuk melemahkan perlawanan masyarakat adat.

Masyarakat Adat Sinjai menegaskan bahwa perjuangan mereka adalah untuk mempertahankan hak atas tanah adat dan menolak eksploitasi sumber daya yang merusak lingkungan dan kehidupan mereka. Aksi ini adalah seruan kepada pemerintah untuk serius menghormati hak masyarakat adat, tidak hanya sebagai janji, tetapi sebagai kewajiban konstitusional. Sahkan UU Masyarakat Adat, hentikan kriminalisasi!

Selamat Hari Guru Nasional 2024: Guru sebagai Penjaga Ilmu dan Kearifan Lokal

Hari Guru Nasional menjadi momen penting untuk memberikan penghormatan kepada para guru yang telah berkontribusi besar dalam membangun generasi penerus bangsa. Tidak hanya guru formal di ruang kelas, tetapi juga mereka yang menjaga dan mewariskan nilai-nilai luhur, tradisi, dan kearifan lokal kepada generasi muda.

Bagi Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), guru adalah sosok yang tak terbatas pada pendidik akademik. Tetua adat, sebagai penjaga pengetahuan tradisional, memiliki peran luar biasa dalam melestarikan budaya dan identitas bangsa. Mereka adalah sumber ilmu yang membimbing Pemuda Adat memahami akar sejarah, bahasa, seni, hingga keutuhan ekosistem adat.

Hari Guru Nasional menjadi pengingat bahwa pendidikan adalah kunci untuk menjaga harmoni antara ilmu modern dan tradisi lokal. Dengan bimbingan para guru, baik di sekolah maupun di komunitas adat, generasi muda diharapkan mampu menjadi pelopor yang mencintai budaya sekaligus berkontribusi untuk kemajuan bangsa.

Mari kita terus menghormati dan mendukung perjuangan para guru yang telah mendedikasikan hidupnya untuk mencerdaskan anak bangsa dan menjaga identitas budaya Nusantara.

“Hormat Guru, Hidup Mulia. Jaga Budaya, Jaga Nusantara.”

KOLABORASI PEMUDA ADAT LINTAS BENUA : Pertukaran Pengalaman dan Kolaborasi Global

Kunjungan belajar antara Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) dan REPALEAC, sebuah organisasi masyarakat adat dari Afrika Tengah, telah membuka babak baru dalam gerakan pemuda adat lintas benua, memperkuat solidaritas di antara mereka yang terpisah oleh jarak namun dipersatukan oleh visi yang sama. Dalam beberapa hari yang penuh dengan semangat kolaborasi, kedua organisasi ini tidak hanya berbagi pengalaman dan strategi untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat adat, tetapi juga menjalin hubungan yang semakin erat, yang diharapkan dapat menjadi fondasi kuat bagi kolaborasi jangka panjang di masa depan. Pertemuan ini menegaskan pentingnya kerja sama global dalam menghadapi tantangan yang dihadapi oleh masyarakat adat, dari menjaga tradisi dan budaya hingga mempertahankan hak atas tanah dan sumber daya alam mereka. Dengan semangat yang menyala dan tekad yang kuat, BPAN dan REPALEAC berkomitmen untuk melanjutkan perjuangan ini, membuka jalan bagi generasi pemuda adat di seluruh dunia untuk terus bersatu dan bekerja sama dalam menciptakan perubahan nyata bagi komunitas mereka.

Kunjungan REPALEAC ke BPAN

Kunjungan REPALEAC ke Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) disambut dengan antusiasme tinggi oleh BPAN, menandai momen penting dalam upaya memperkuat hubungan antara pemuda adat dari dua benua yang berbeda. Sebagai jaringan masyarakat adat dari Afrika Tengah, REPALEAC hadir dengan tujuan untuk menjalin kolaborasi dan berbagi pengetahuan dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat adat. Selama beberapa hari, kedua organisasi ini memanfaatkan kesempatan berharga ini untuk bertukar pengalaman, berbagi strategi, dan membangun ikatan yang lebih kuat, yang semuanya berujung pada semangat baru untuk kolaborasi global dalam mempertahankan dan memperjuangkan hak-hak masyarakat adat di seluruh dunia.


Mengenal REPALEAC dan Tujuan Kunjungan

REPALEAC, sebuah organisasi yang memiliki fokus utama pada pelestarian ekosistem dan perlindungan hak-hak masyarakat adat di Afrika Tengah, melakukan kunjungan penting ke Indonesia dengan tujuan mendalami Gerakan Pemuda Adat di Nusantara yang dipelopori oleh Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN). Kunjungan ini menjadi sarana bagi REPALEAC untuk lebih memahami dinamika gerakan pemuda adat Indonesia yang telah lama dikenal atas keberaniannya dalam mempertahankan identitas budaya serta memperjuangkan hak-hak masyarakat adat di tengah arus modernisasi. Sambutan hangat yang diberikan oleh BPAN mencerminkan semangat solidaritas dan keterbukaan dalam menjalin hubungan yang lebih erat dengan komunitas adat dari belahan dunia lain. Selama kunjungan ini, REPALEAC tidak hanya diajak untuk menyaksikan langsung bagaimana pemuda adat Indonesia mengorganisir diri dan bergerak, tetapi juga untuk memahami berbagai tantangan dan strategi yang telah diterapkan oleh BPAN dalam menjaga warisan budaya dan kedaulatan adat mereka. Interaksi antara kedua organisasi ini membuka peluang untuk berbagi wawasan, memperkuat jaringan lintas benua, dan meneguhkan komitmen bersama dalam memperjuangkan masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan bagi seluruh masyarakat adat.


Diskusi tentang Gerakan Pemuda Adat

Dalam diskusi mendalam yang diadakan antara Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) dan REPALEAC, perhatian besar diberikan pada cara pemuda adat Indonesia mengorganisir dan memobilisasi gerakan mereka untuk mempertahankan hak-hak tradisional dan budaya mereka di tengah tantangan global yang semakin kompleks. REPALEAC, yang datang dengan pengalaman dan perspektif mereka dari Afrika Tengah, sangat tertarik dengan pendekatan BPAN dalam menggalang solidaritas di antara pemuda adat serta bagaimana mereka membangun strategi untuk melawan marginalisasi dan perampasan tanah yang kerap terjadi. Diskusi ini menjadi wadah yang kaya akan pertukaran ide dan pengalaman, di mana BPAN secara terbuka berbagi kisah tentang berbagai tantangan yang mereka hadapi, mulai dari tekanan modernisasi hingga konflik lahan, serta langkah-langkah konkret yang mereka ambil untuk melindungi tradisi, hak-hak adat, dan tanah leluhur mereka. Melalui percakapan yang interaktif dan inspiratif ini, kedua organisasi tidak hanya memperkuat hubungan mereka, tetapi juga menemukan banyak kesamaan dalam perjuangan mereka, meneguhkan tekad bersama untuk terus memperjuangkan kedaulatan dan kesejahteraan masyarakat adat di seluruh dunia. Diskusi ini menandai awal dari kolaborasi strategis yang lebih besar, dengan harapan bahwa pengalaman dan pengetahuan yang dibagikan akan memperkuat gerakan pemuda adat lintas benua, menghadirkan solusi inovatif dalam menghadapi berbagai tantangan global yang mengancam eksistensi dan keberlanjutan masyarakat adat.

Hero: Solidaritas Antar Pemuda Adat

Hero, Pejabat Ketua Umum Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), menyampaikan pesan yang menggugah dan menekankan pentingnya solidaritas antar pemuda adat sebagai elemen kunci dalam memperkuat gerakan mereka di tingkat global. Dalam pidatonya, Hero menegaskan bahwa tantangan yang dihadapi oleh masyarakat adat, baik di Asia maupun Afrika, memiliki akar yang sama dan bahwa solusi untuk mengatasinya memerlukan kerja sama lintas benua. Ia menyampaikan bahwa masalah-masalah seperti perampasan tanah, erosi budaya, dan marginalisasi politik yang dialami oleh masyarakat adat di berbagai belahan dunia bukan hanya isu lokal, melainkan sebuah perjuangan bersama yang harus dihadapi dengan persatuan yang kuat. Hero percaya bahwa dengan menjalin solidaritas dan saling mendukung, pemuda adat dari berbagai latar belakang budaya dapat memperkuat posisi mereka dan menciptakan kekuatan kolektif yang mampu menghadapi tekanan eksternal yang seringkali merugikan hak-hak mereka. Pidato ini tidak hanya menyalakan semangat para pemuda adat yang hadir, tetapi juga mempertegas komitmen BPAN untuk terus berkolaborasi dengan organisasi seperti REPALEAC dalam membangun jaringan yang solid untuk memperjuangkan keadilan, kedaulatan, dan keberlanjutan bagi masyarakat adat di seluruh dunia. Pesan Hero ini menjadi seruan yang kuat untuk memperluas gerakan pemuda adat, memperkuat solidaritas antar benua, dan memastikan bahwa suara mereka didengar dan dihormati dalam kancah internasional.


Visi Bersama Basiru (Sekjen REPALEAC)

Basiru Isa Manjo, Sekretaris Jenderal REPALEAC, mengungkapkan visinya yang kuat dan inspiratif tentang pentingnya kolaborasi global antara pemuda adat di seluruh dunia, dalam upaya menghadapi tantangan yang semakin kompleks yang dihadapi oleh masyarakat adat. Dalam pandangannya, Basiru melihat potensi besar dalam penyatuan pemuda adat dari berbagai belahan dunia—sebuah sinergi yang dapat melahirkan solusi inovatif dan berkelanjutan untuk berbagai permasalahan yang melanda komunitas adat, seperti hilangnya tanah leluhur, degradasi lingkungan, dan penindasan budaya. Ia menyatakan keyakinannya bahwa dengan saling berbagi pengalaman, pengetahuan, dan strategi, pemuda adat dapat memperkuat suara kolektif mereka dan memperjuangkan hak-hak mereka dengan lebih efektif di tingkat global. Menurut Basiru, inisiatif ini bukan hanya tentang memperkuat jaringan lintas benua, tetapi juga tentang menciptakan gerakan global yang mampu membawa perubahan signifikan di masa depan. Pandangan ini mencerminkan harapan besar bahwa kolaborasi antara BPAN dan REPALEAC akan menjadi katalisator bagi perubahan yang lebih luas, yang mampu memberdayakan masyarakat adat untuk menghadapi tantangan zaman dengan lebih percaya diri dan penuh semangat. Kata-kata Basiru menginspirasi dan memberikan dorongan baru bagi semua yang terlibat untuk terus bergerak maju, bekerja sama, dan mengubah visi global ini menjadi kenyataan yang dapat dirasakan oleh generasi mendatang.


Harapan untuk Masa Depan dari Marlein

Marlein Flora Nguie, salah satu pemimpin berpengaruh dalam REPALEAC, mengemukakan harapannya yang mendalam mengenai perlunya kolaborasi yang lebih erat antara pemuda adat di Asia dan Afrika, dengan menekankan bahwa kerja sama ini tidak hanya penting bagi pemuda secara umum, tetapi juga memiliki implikasi yang signifikan bagi perempuan adat. Dalam pandangannya, perempuan adat sering kali berada di garis depan perjuangan untuk mempertahankan budaya, tanah, dan hak-hak mereka, namun kerap kali mereka terpinggirkan dalam proses pengambilan keputusan. Marlein melihat peluang besar dalam kemitraan antara BPAN dan REPALEAC untuk mengubah dinamika ini, dengan memperjuangkan pengakuan dan dukungan yang lebih besar bagi perempuan adat dalam setiap gerakan. Ia berharap kolaborasi lintas benua ini akan menjadi sarana untuk memperkuat peran perempuan adat, memastikan suara mereka didengar, dan kebutuhan mereka diakomodasi dalam setiap strategi dan aksi yang diambil. Harapan Marlein mencerminkan visi masa depan di mana perempuan adat tidak hanya berpartisipasi, tetapi juga memimpin dalam upaya kolektif untuk melindungi dan melestarikan warisan budaya mereka. Dengan semangat dan komitmennya, Marlein menginspirasi seluruh komunitas untuk melihat perempuan adat sebagai pilar penting dalam gerakan global ini, yang dapat membawa perubahan nyata dan berkelanjutan bagi masyarakat adat di seluruh dunia.


Hasil dari Kunjungan

Kunjungan antara BPAN dan REPALEAC ini telah membuka berbagai wawasan baru dan menciptakan peluang kolaborasi yang signifikan untuk masa depan. Kedua organisasi menyadari betapa pentingnya kerja sama dalam memperkuat peran pemuda adat di negara masing-masing, terutama dalam menghadapi tantangan global yang kian kompleks. Pertemuan ini bukan hanya sekadar pertukaran ide, tetapi juga meneguhkan komitmen bersama untuk terus menjalin hubungan yang erat dan saling berbagi strategi efektif demi kesejahteraan masyarakat adat di seluruh dunia. Dalam suasana saling percaya dan solidaritas, BPAN dan REPALEAC sepakat bahwa kolaborasi lintas benua adalah kunci untuk memajukan agenda hak-hak adat dan menjaga keberlanjutan budaya mereka. Mereka melihat kunjungan ini sebagai langkah awal menuju hubungan jangka panjang yang produktif, di mana pengalaman dan pengetahuan yang dibagikan akan menjadi fondasi kuat untuk tindakan kolektif yang lebih terarah. Dengan semangat yang diperbarui dan visi yang sama, kedua organisasi berkomitmen untuk terus bekerja sama, memastikan bahwa suara pemuda adat tidak hanya didengar tetapi juga diimplementasikan dalam kebijakan dan aksi nyata yang menguntungkan masyarakat adat di seluruh dunia.


Awal dari Kolaborasi yang Lebih Besar

Kunjungan REPALEAC ke BPAN menandai awal dari suatu hubungan yang lebih erat dan kolaborasi yang lebih besar antara kedua organisasi ini, sebuah langkah penting yang dapat membawa dampak luas bagi gerakan pemuda adat di kedua benua. Momen ini bukan hanya sekadar pertemuan, tetapi merupakan fondasi dari upaya bersama yang akan memperkuat solidaritas dan memperluas jangkauan perjuangan hak-hak masyarakat adat. Dengan dukungan kuat dari kedua belah pihak, BPAN dan REPALEAC melihat potensi besar dalam memperkuat gerakan pemuda adat, tidak hanya di wilayah mereka masing-masing tetapi juga dalam konteks global. Kolaborasi ini diharapkan mampu mendorong perubahan signifikan yang akan menginspirasi generasi muda adat di seluruh dunia untuk terus berjuang mempertahankan identitas, budaya, dan hak-hak mereka. Optimisme mengalir dari setiap diskusi dan pertukaran ide yang terjadi selama kunjungan ini, menunjukkan bahwa dengan kerja sama lintas benua, pemuda adat dapat memainkan peran penting dalam menciptakan masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan bagi komunitas mereka. Kedua organisasi berkomitmen untuk terus menjalin hubungan yang lebih erat, menjadikan kunjungan ini sebagai pijakan untuk kolaborasi yang lebih besar dan lebih berdampak, dengan tujuan akhir menciptakan perubahan yang nyata dan positif di komunitas adat di seluruh dunia.


Kolaborasi untuk Perubahan

Dengan pengalaman berharga yang dibagikan selama kunjungan ini, baik Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) maupun REPALEAC semakin yakin bahwa kerja sama lintas benua adalah kunci utama untuk mencapai perubahan yang signifikan dalam perjuangan hak-hak masyarakat adat. Dalam suasana diskusi yang penuh semangat, Hero, Pejabat Ketua Umum BPAN, menegaskan pentingnya untuk tidak hanya menunggu momentum, tetapi juga menciptakan momentum sendiri dalam menghadapi berbagai tantangan yang dihadapi. Ucapan tersebut menggambarkan tekad kedua organisasi untuk bersama-sama merumuskan strategi yang inovatif dan efektif guna mengatasi isu-isu yang mengancam identitas dan hak-hak masyarakat adat di seluruh dunia. Kesadaran bahwa tantangan ini bersifat global mendorong mereka untuk bersatu dan saling mendukung dalam menciptakan perubahan yang nyata. Dengan semangat baru untuk masa depan, mereka berkomitmen untuk terus berkolaborasi, berbagi pengetahuan, dan menggalang dukungan dari komunitas masing-masing, sehingga upaya ini tidak hanya menghasilkan dampak positif bagi pemuda adat saat ini, tetapi juga menyiapkan generasi mendatang untuk terus memperjuangkan hak-hak mereka. Kolaborasi yang terjalin dalam kunjungan ini diharapkan menjadi pendorong bagi lebih banyak inisiatif serupa, yang mengintegrasikan kekuatan pemuda adat dari berbagai belahan dunia dalam satu gerakan yang solid dan berkelanjutan.


Menyongsong Masa Depan Bersama

Kunjungan antara Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) dan REPALEAC ini menandai awal dari banyak peluang kolaborasi yang akan datang, memberikan harapan baru bagi perlindungan dan perjuangan hak-hak masyarakat adat di seluruh dunia. Dengan semakin kuatnya sinergi antara kedua organisasi, mereka bersatu dalam komitmen untuk melindungi identitas, budaya, dan hak-hak dasar masyarakat adat, sekaligus memperkuat jaringan solidaritas di antara pemuda adat dari Asia dan Afrika. Semangat juang yang menyala-nyala ini bukan hanya akan membawa perubahan yang nyata bagi generasi saat ini, tetapi juga akan menginspirasi generasi mendatang untuk terus berjuang demi keadilan dan pengakuan hak-hak mereka. Dengan saling mendukung dan berbagi pengetahuan, BPAN dan REPALEAC bertekad untuk menciptakan dampak yang berkelanjutan, yang tidak hanya akan meningkatkan kesadaran akan isu-isu yang dihadapi oleh masyarakat adat, tetapi juga mendorong tindakan kolektif dalam menghadapi tantangan global. Di tengah dinamika yang terus berubah, semangat kolaborasi ini akan menjadi pendorong utama untuk memastikan bahwa suara pemuda adat terdengar dan diakui dalam setiap diskusi dan keputusan yang berkaitan dengan masa depan mereka.

Piknik Bebas Plastik: Masyarakat Adat dan Sampah Plastik

(Foto: saat Hero membawakan diskusi tentang Masyarakat Adat dan Plastik)

Oleh: Elisabeth Simanjuntak

Jakarta – BPAN turut terlibat di acara “PAWAI BEBAS PLASTIK 2024” yang dikemas dalam agenda PIKNIK BEBAS PLASTIK 2024, merupakan salah satu bentuk kampanye dan pawai yang diinisiasi oleh beberapa jaringan NGO diantaranya: Walhi, Econusa, Greenpeace, Indorelawan, Dietplastik Indonesia, Divers Clean Action (DCA), Pulau Plastik dan Pandu Laut Nusantara (28/07).

BPAN diundang sebagai Narasumber dengan membawakan tema diskusi  “Masyarakat Adat dan Plastik”, diskusi ini diisi oleh Hero Aprila selaku PJ. KETUM BPAN. Dia menuturkan bahwa Masyarakat Adat memiliki korelasi dengan sampah plastik. Sebelumnya Hero menjelaskan dan menegaskan tentang keberadaan Masyarakat Adat saat ini, “Masyarakat Adat sudah ada jauh sebelum Negara ini ada. Berdasarkan data yang dilansir dari Website resmi PBB terdapat 450 juta jiwa Masyarakat Adat yang tersebar di 90 Negara, namun faktanya bisa lebih dari itu. Berdasarkan data dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dari total 272 juta penduduk di Indonesia terdapat ± 20 hingga 70 juta jiwa Mayarakat Adat”, tuturnya.

Hero menyampaikan, bahwa Peralatan maupun bahan-bahan yang kita pakai dalam kegiatan ini, seperti mangkok dari tempurung kelapa, sendok dari kayu, merupakan warisan dan praktek dari Masyarakat Adat. Tetapi, seiring dengan perkembangan zaman kita seakan  melupakan manfaat dan jarang menggunakan bahan-bahan alami  (nature) dalam kehidupan sehari-hari, padahal itu merupakan salah satu cara kita untuk menjaga bumi agar tetap lestari”, tambahnya.

Pasal 18B ayat (2) UUD 45 menjelaskan bahwa Masyarakat Adat hidup sesuai dengan perkembangan zaman. Namun dalam prakteknya, Masyarakat Adat hari ini terkontaminasi dengan modernisasi dan hal-hal yang serba praktis (instan) salah satunya seperti penggunaan plastik.

Jika kita melihat Masyarakat Adat yang berada di Komunitas Montong Baan, Nusa Tenggara Barat, disana ada salah satu Pengurus Kampung (PKAM) BPAN yang mampu memanfaatkan sampah plastik dengan cara memilah dan mengolah sehingga menghasilkan sebuah kerajinan tangan yang memiliki nilai. Disamping itu adalah pratek menjaga bumi, Masyarakat Adat juga mampu memanfaatkan dan mengelolanya”, ujarnya

(foto: Berakhirnya diskusi dengan sesi foto)

Pada sesi terakhir  (Closing Statement), Hero menyampaikan dan sekaligus mengajak masyarakat untuk bersama-sama menjaga lingkungan agar tetap lestari bersama Masyarakat Adat untuk menjaga Wilayah Adatnya agar terhindar dari sampah-sampah plastik dan sampah lainnya.

“Bahwa Mayarakat Adat bukan hanya penjaga hutan, tetapi juga penjaga bumi. Masyarakat Adat paham bagaimana proses pembukaan lahan yang baik, cara berladang, beternak, berburu, menenun, termasuk juga cara menjaga kelestarian lingkungan yang berkeadilan serta memiliki kearifan lokal.

 BPAN dikenal dengan adanya  Gerakan Pulang Kampung, melalui gerakan ini  Pemuda Adat dikampung dapat melakukan kegiatan-kegiatan posistif seperti: Pendidikan Adat, menjaga hutan, melakukan Pemetaan Partisipatif serta menelusuri Jejak Lelulur. Dalam prakteknya Pemuda Adat menjaga wilayah Adat dan lingkungan agar tetap lestari dengan pengetahuan tradisional dan kearifan lokalnya.

(Foto: Antusias peserta Piknik Bebas Plastik 2024)

***

BPAN KECAM KERAS PENCULIKAN TERHADAP LIMA ORANG MASYARAKAT ADAT SIHAPORAS

Belum selesai proses sidang yang dijalani Op. Umbak Siallagan Ketua Adat Dolok Parmonangan (Komunitas Sihaporas) di Pengadilan Negeri Simalungun yang dituduh merusak dan menduduki lahan PT TPL. Masyarakat Adat Komunitas Sihaporas kembali tersentak dengan adanya Penculikan 5 (lima) orang anggota komunitas. Terkonfirmasi, Hitman Ambarita Ketua Pengurus Kampung (PKam) Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Sihaporas yang turut menjadi korban kriminalisasi, pada tanggal 22 Juli 2024 pukul 03.00 Wib.


Saat itu, Masyarakat Adat sedang tertidur lelap di salah satu rumah warga di Buntu Pangaturan, Sihaporas, Kecamatan Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Seketika, dikerumuni oleh orang yang tidak dikenal berjumlah 50 (lima puluh orang) dengan mengendarai dua unit mobil Security PT. TPL dan Truck Coltdiesel. Mereka dipaksa berdiri (bangun) dan mulai melakukan tindakan represif, intimidasi dan kekerasan fisik seperti memukul, menendang yang mengakibatkan luka robek dikepala salah satu anggota Masyarakat Adat komunitas Sihaporas. Disisi lain, Masyarakat Adat Sihaporas tidak menunjukkan adanya perlawanan dan mereka tidak diberikan ruang untuk melakukan pembelaan.


Hero Aprila PJ Ketum Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), turut mengomentari dan mengecam kasus ini, “Tindakan Penculikan ini sangat keji dan merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM. Belum selesai kasus Ompu Sorbatua Siallagan yang saat ini sedang dalam proses Sidang di PN Simalungun, malah bertambah lagi kasus penculikan yang dilakukan oleh Oknum Kepolisian dan oknum PT TPL.” ujarnya.
Selain itu, PJ Ketum BPAN juga menyampaikan, “BPAN bersama Pemuda Adat diseluruh Nusantara agar dapat berperan aktif dan mengawal setiap proses persidangan serta mengawal kasus penculikan lima orang Masyarakat Adat Sihaporas”. tegasnya.


Hero juga menambahkan “segala bentuk ketimpangan, ketidakadilan dan palanggaran HAM terhadap Masyarakat Adat tidak boleh terulang lagi”. Dengan ini, Barisan Pemuda Adat Nusantara menyatakan sikap atas kejadian ini:

  1. Mengecam dan mengutuk keras tindakan penculikan disertai pelanggaran HAM dengan cara represif dan tidak berperikemanusiaan;
  2. Mengecam tindakan kepolisian yang cacat prosedural yang dilakukan oleh Aparat Kepolisian dan Oknum PT TPL yang melakukan penculikan pada waktu dinihari;
  3. Mendorong dan mendesak Polsek Simalungun untuk segera melepaskan para korban yang saat ini sedang ditahan;
  4. Meminta keadilan kepada Majelis Hakim yang mengadili perkara Op. Umbak Siallagan agar membebaskan dari segala tuntutan hukum agar tindakan kriminalisai dan intimidasi serta penculikan tidak terulang lagi;
  5. Mengusut tuntas kronologis penculikan, sebagai Negara Hukum yang memberikan perlindungan hak bagi yang benar dan memberikan hukuman dan sanksi yang tegas bagi yang melawan hukum.

Berdasarkan informasi terkini (26/07), satu orang Masyarakat adat Sihaporas korban penculikan sudah dilepaskan dari tahanan Polres Simalungun dan masih tersisa empat orang lainnya. Ketum BPAN juga mengajak seluruh Pemuda Adat di seluruh Nusantara untuk terus memantau dan mengawasi proses setiap ketidakadilan yang dialami oleh seluruh Masyarakat Adat, terutama pada kasus Penculikan lima orang Masyarakat Adat Sihaporas dan proses Sidang Op. Umbak Siallagan di PN Simalungun.

***


Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi kontak berikut:
Hero Aprila, S.H – PJ KETUM BPAN (0852-6336-5091)
Doni Munte, S.H – BPAN Tano Batak (0822-7625-9906)

KONTAK KAMI

Sekretariat BPAN, Alamat, Jln. Sempur 58, Bogor
bpan@aman.or.id
en_USEnglish