Abdon Nababan Laureate of Magsaysay Award

Jakarta, Thursday, July 27, 2017 – The Board of Trustees of the Ramon Magsaysay Award Foundation has on Thursday (27/7) in Manila, the Philippines, made an announcement that Abdon Nababan has been selected as the laureate of the Ramon Magsaysay Award 2017 for the category of Asian Community Leadership.

The Indigenous Peoples Alliance of Nusantara (AMAN) has warmly welcomed that Ramon Magsaysay Award 2017 is awarded to Abdon Nababan. The so-called Asian Nobel Prize was officially announced on Thursday, July 27, 2017.

The Ramon Magsaysay Award made a statement that Nababan is a leader who can bring about changes. His courage and advocacy have become the voice and face for the Indigenous Peoples Alliance in Indonesia.

Nababan is the leader of the Indigenous Peoples’ struggle in Indonesia, even before the reform era. The five-yearly congress of the Indigenous Peoples Alliance of Nusantara appointed Nababan as a Secretary General to AMAN, in two consecutive periods, namely 2007-2012 and 2012-2017. Nababan now serves on the National Council of AMAN 2017-2022, representing the Sumatra regions.

“I am happy and proud as I represent tens of thousands of people who have been struggling with me over the last 24 years for the indigenous movement in Indonesia,” Nababan said. He claimed that he had no knowledge at all of who proposed his name and how the selection process of this Ramon Magsaysay Award was made.

During his leadership period, AMAN’s works could give positive contributions to the struggles for the Indigenous Peoples rights in this country. They are among others decision by the Constitutional Court No.35 / PUU-X / 2012 concerning Indigenous Forests, the inclusion of indigenous territories on the map as a thematic map by the Geospatial Information Agency, and the National Inquiries by the National Commission on Human Rights on violations against the Indigenous Peoples’ rights in the forest areas. AMAN has also actively encouraged and facilitated the Draft Law on Indigenous Peoples (RUU MA). The bill is now at the hand of the House of Representatives’ National Legislation Program for 2017.

Still, in his leadership period, AMAN ensured the inclusion of six points related to Indigenous Peoples in the Vision and Mission of President Joko Widodo (known as NAWACITA). The most obvious result is the handout of Decree on Recognition of Indigenous Forest to 9 Indigenous People by President Joko Widodo at the State Palace by the end of December 2016.

Rukka Sombolinggi, Secretary General to AMAN for the period of 2017-2022, said Nababan rightly deserves to be the laureate of this award. “Leading organization as big as AMAN through the transition period for changes from confrontational to engagement strategy could only be made possible by a visionary leader with a strong strategy for making a change, and Nababan has proven the quality of his leadership,” Rukka said on Thursday (27/07).

The Ramon Magsaysay Award is an annual award given to the inspiring leadership which can bring about change. Some of the laureates of the award were the 14th Dalai Lama in 1959, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) in 1993, and Syafi’i Ma’arif (Muhammadiyah Central Board) in 2008.

This annual award is awarded by the Philippines-based Ramon Magsaysay Foundation. This year’s award presentation ceremony is scheduled for August 31 in Manila.

Infokom AMAN

Abdon Nababan Mendapat Ramon Magsaysay Award 2017

Pemuda Adat, Jakarta (27/7)—Ramon Magsaysay Award Foundation hari ini di Manila, Filipina mengumumkan Abdon Nababan terpilih sebagai penerima Ramon Magsaysay Award 2017 untuk kategori Community Leadership dari seluruh Asia.

 

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyambut hangat penghargaan Ramon Magsaysay Award 2017 yang diberikan kepada Abdon Nababan.

Cari tahu lebih lanjut tentang Abdon Nababan di sini.

 

“Abdon merupakan seorang pemimpin yang membawa perubahan. Keberanian dan advokasinya menjadi suara dan wajah bagi Masyarakat Adat di Indonesia,” tulis rmaward.asia.

 

Abdon merupakan pemimpin perjuangan Masyarakat Adat di Nusantara, bahkan sebelum era reformasi. Acara lima-tahunan Kongres Masyarakat Adat Nusantara menunjuknya sebagai Sekretaris Jenderal AMAN di dua periode berurut, yaitu 2007-2012 dan 2012-2017. Kini Abdon duduk di Dewan AMAN Nasional 2017-2022 mewakili Region Sumatera.

 

“Saya senang dan bangga karena saya mewakili puluhan ribu orang yang selama 24 tahun terakhir berjuang bersama saya dalam gerakan masyarakat adat di Indonesia,” kata Abdon.

 

Dalam periode kepemimpinannya, kerja AMAN telah berkontribusi positif terhadap perjuangan hak-hak Masyarakat Adat di negara ini. Beberapa di antaranya adalah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 tentang Hutan Adat, pencantuman peta wilayah adat sebagai peta tematik oleh Badan Informasi Geospasial, dan Inkuiri Nasional oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia tentang pelanggaran hak-hak Masyarakat Adat di kawasan hutan. AMAN pun secara aktif mendorong dan memfasilitasi Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat (RUU MA). RUU ini kini ada di Program Legislasi Nasional DPR RI untuk 2017.

 

Masih di periode kepemimpinannya, AMAN memastikan pencantuman enam poin terkait Masyarakat Adat di dalam Visi dan Misi Presiden Joko Widodo (dikenal sebagai NAWACITA). Hasil paling nyata adalah penyerahan Surat Keputusan Pengakuan Hutan Adat kepada 9 Masyarakat Adat oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara pada akhir Desember 2016.

 

Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal AMAN periode 2017-2022, menilai Abdon memang sangat pantas mendapatkan penghargaan ini. “Memimpin organisasi sebesar AMAN melewati masa transisi untuk berubah dari strategi konfrontasi ke engagement hanya bisa dilakukan seorang pemimpin yang visioner dan memiliki strategi yang kuat dalam melakukan perubahan, dan Abdon telah membuktikan kualitas kepemimpinannya,” kata Rukka, Kamis (27/07).

 

Ramon Magsaysay Award adalah penghargaan untuk kepemimpinan yang menginspirasi dan membawa perubahan. Beberapa nama yang pernah mendapat penghargaan ini adalah Dalai Lama ke-14 pada 1959, Abdurrahman Wahid (Gusdur) pada 1993, dan Syafi’i Ma’arif (PP Muhammadiyah) pada 2008.

 

Penghargaan tahunan ini diberikan Ramon Magsaysay Foundation, yang berbasis di Filipina. Acara penyerahan tahun ini dijadwalkan pada 31 Agustus di Manila.

 

Infokom AMAN

SAS Sebarkan Virus Pendidikan Adat

Modesta Wisa, Dewan BPAN Nasional Region Kalimantan ini tak berhenti berkreasi. Rabu lalu dia tiba di Jakarta memenuhi undangan Jambore Perempuan Pejuang Tanah Air yang berlangsung selama tiga hari, 13 – 16 Juli di Garut. Ia mendapat undangan dari Sajogyo Institute dan The Samdhana Institute untuk berbagi cerita tentang sekolah adat.

“Aku mewakili Sekolah Adat,” akunya.

Dalam kesempatan ini, media propaganda Pemuda Adat berkesempatan kembali mengobrol dengannya. Ternyata sudah banyak perkembangan cerita Sekolah Adat Samabue (SAS). Perempuan yang juga anggota BPAN Kalbar ini membagikan cerita-cerita baru tersebut.

Ia menceritakan bahwa isu Sekolah Adat saat ini tengah booming di Kalimantan Barat. Dengan kata lain SAS berhasil menularkan virus-virus pendidikan adat yang selama ini bahkan tidak dianggap. Hal ini dibuktikan dengan kehadiran Dinas Pendidikan Provinsi Kalbar dalam ulang tahun SAS yang pertama, Februari lalu.

“Kita sudah diketahui Dinas Pendidikan Provinsi (Kalbar—red). Bahkan mereka menyumbang laptop agar bisa membantu menyimpan data-data Sekolah Adat,” ujarnya.

Sambutan positif pun berdatangan dari beragam stake holder. Saat ini dukungan dari berbagai pihak menguat seperti support materi, moril dan semangat. Faktanya beberapa kabupaten tertarik mengikuti jejak SAS untuk mendirikan sekolah adat, misalnya di Kecamatan Jagoi Babak, Kabupaten Bengkayang berbatasan dengan Malaysia. Selain itu, SAS juga membantu menginisiasi Sekolah Adat Radakng Pamane (Sarapa) di Desa Lingga, Kecamatan Ambawang, Kabupaten Kubu Raya.

“Rencananya SAS dan Sarapa akan bersama-sama menginisiasi Sekolah Adat di Kecamatan Delta Kapuas, Kabupaten Kubu Raya.”

Kini jumlah peserta didik Sekolah Adat sudah ada 120 orang yang tersebar di empat komunitas: Binua manyalitn, Binua Kaca Tangah, Binua Lumut Ilir dan Binua Lumut Tangah.

Penambahan kelas

Perkembangan terbaru khusus di SAS terdapat dua kelas yang tambah: kelas makanan tradisional dan kelas Silat Dayak.  Silat warisan leluhur serupa, misalnya dapat dilihat pada Silat Kuntao dari Paser, Kalimantan Timur. Untuk tenaga pengajar kelas silat terdiri dari murid Sekolah Adat yang sudah belajar silat sejak kecil. Kelas silat yang dimaksud adalah Silat Dayak peninggalan leluhur.

Dalam kelas singara juga, selain tetua adat yang bercerita, belakangan sudah dilakukan para pemuda. Para pemuda ini sudah mempelajari dan tahu tentang kisah-kisah lokal (cerita-cerita rakyat) sesuai istilahnya singara: mendongeng. Para pemuda yang mempelajari dan meneruskan pengetahuan singara dan mengisi dalam kelas singara SAS di antaranya Nopianus Yance, Alexander Alex, Janur dan Kuswanto.

Selama libur Lebaran 2017, aktivitas di SAS berlangsung mulai pagi hari. Para peserta didik SAS langsung bermain dan belajar ke alam; di sana diadakan kelas tentang pengetahuan tanaman tradisional. Bagaimana bentuk-bentuk tanaman tradisional, apa manfaatnya, bagaimana menjaganya, mengapa tumbuhnya membutuhkan tanah yang steril dari limbah pabrik misalnya, dan sejumlah pertanyaan yang menjadi panduan pelajaran bagi mereka.

Meskipun demikian, anak-anak justru sudah banyak yang mengenal dan memahami kegunaan sejumlah tanaman tradisonal tersebut. “Mereka (peserta didik—red) justru lebih tahu tentang manfaat tanaman-tanaman yang ada di hutan. Kita hanya memberi tugas, menuliskan seputar tanaman sekitar hutan dalam Bahasa Dayak, dan juga membuat cerita rakyat dalam Bahasa Dayak,” kata perempuan yang ikut dalam COP 22 tahun lalu di Maroko ini.

Wisa melanjutkan, untuk proses tersebut mereka langsung melibatkan orangtua, utamanya terkait bahasa dan tulisan-tulisannya. Mereka bertanya langsung kepada para orangtuanya di rumah. Selain itu juga para penggagas SAS turut serta menambah wawasannya dengan berdiskusi kepada para tetua adat.

Wisa mengaku saat ini dia dan tim SAS tengah menulis tentang etnografi kampung. Proses penulisan etnografi kampung yang berhubungan dengan wilayah adat. Semuanya dia lakukan dengan mendatangi para tetua adat untuk bertanya.

“Saya terlibat dengan tim Perempuan AMAN tentang penulisan asal usul kampung. Pada permulaan ini, saya menulis tentang kampungku (Manyalitn—red) sendiri. Isinya tentang perubahan-perubahan yang terjadi di kampung, contohnya soal lingkungan, sejarah dll,” katanya.

Hasilnya nanti, tambahnya, akan diajarkan kepada anak-anak.

Terakhir di internal penggagas SAS, saat ini mereka memasuki fase penyusunan kepengurusan baru. SAS tengah merencanakan pembagian divisi masing-masing, sehingga setiap anggota tim fokus mengurusi bidang tersendiri.

 

Jakob Siringoringo

BPAN Inhu Teruskan Menelusuri Jejak Leluhur

Batang Cenaku – Baru-baru ini (29 Mei), AMAN dan BPAN melakukan kegiatan mengunjungi jejak Leluhur. Kegiatan tersebut bertujuan agar para pemuda adat bisa mengetahui sejarah masing-masing kampung serta mendorong para pemuda adat terlibat dalam penjagaan hutan tetap lestari.

Ketua BPAN Inhu Supriadi mengatakan pemuda-pemudi adat mulai meninggalkan dan melupakan budaya dan tradisi terutama sejarah di masing-masing kampung. Sementara akar pondasi berdirinya sebuah kampung perlu dilandasi sejarah. “Ini memprihatinkan,” ujarnya.

Supriadi menambahkan, BPAN Inhu membuat strategi penyadaran terhadap pemuda pemudi adat dengan berkunjung ke tempat bersejarah. Kunjungan bermanfaat untuk menggali sejarah dengan cara bertanya kepada para batin adat, tetua adat lalu didokumentasikan dan dijadikan buku.

“Nanti kami jilid lalu jadilah buku sebagai bacaan masa depan,” ujarnya.

Ketua AMAN Inhu, Gilung melalui seksi dokumentasi Arwan membenarkan pihaknya tengah solid mengepak sayap organisasinya itu. Menurutnya, kegiatan bersama BPAN dilakukan setiap tanggal 25 dalam tiap bulan.  Di setiap acara tersebut juga selalu hadir para batin adat, para tua tahu, dan pemuda adat di setiap kampung atau komunitas Talang Mamak.

Dalam acara juga disisipkan berbagai kegiatan ekstra, seperti halnya bercerita sejarah leluhur. Para pemuda adat juga dibudayakan menanam pohon di sekitar makam bersejarah dan hutan lindung. “Penanaman pohon itu untuk menjaga tempat tersebut, pokoknya maju terus.”

Di sisi lain, Gilung bangga melihat pemuda adat yang pantang mundur mengurus wilayah adat. Mereka terus bekerja tak kenal lelah untuk menelusuri jejak leluhur. Para pemuda adat Talang Mamak terus bangkit bersatu bergerak mengurus wilayah adat.

“Saya benar benar kagum dengan semangat mereka, ternyata para pemuda adat sudi menjaga dan melindungi tempat-tempat bersejarah yang ada di Talang Mamak,” akunya.

Gilung juga berharap kepada pemuda pemudi adat lainnya agar ikut peduli terhadap tempat bersejarah dan lingkungan sekitarnya, kepedulian terhadap budaya suku Talang Mamak. Tak luput, Gilung tetap menyetarakan rasa perduli wajib dimiliki oleh siapa saja terkait kelestarian alam. “Baik itu Talang Mamak maupun pihak lainnya,” ujarnya mengakhiri.

Arwan Oscar

AMAN Inhu Bahas Perluasan Pemetaan Partisipatif

Rengat – Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Daerah Indragiri Hulu (Inhu) gelar pertemuan bersama para batin adat, Senin (3/7/2017) di kediaman Seko di Talang Jerinjing. Pertemuan tersebut membicarakan pemetaan wilayah adat. Pasalnya terdapat beberapa kebatinan adat yang belum dipetakan, yakni Kebatinan Talang Jerinjing, Talang Sungai Jirak dan Kebatinan Muke-Muke di kelurahan Pangkalan Kasai.

Menurut Ketua AMAN Inhu Gilung, sebelumnya AMAN telah memetakan wilayah adat di 15 kebatinan adat yang dulu dinamakan pemetaan partisipatif skala luas. Sejatinya tiga kebatinan tersebut telah tergabung di dalam AMAN, akan tetapi terkait wilayah keadatannya belum terpeta secara gamblang. “Jadi, kemaren ada permohonan pengajuan pemetaan kembali untuk ketiga wilayah adat tersebut, ” katanya.

Gilung menyampaikan bahwa maksud dan tujuan pemetaan wilayah adat tersebut sesuai dengan Putusan MK 35/PUU-X/2012. Ia juga menjelaskan tentang apa saja yang telah dilakukan AMAN selama ini bersama masyarakat adat Talang Mamak di Inhu.

Joni Iskandar, pengurus AMAN di biro Unit Kerja Pelayanan Pemetaan Partisipatif (UKP3) yang juga anggota BPAN Inhu menerakan proses pemetaan, yaitu mulai dari pembuatan sketsa, pengambilan titik, digitasi peta di komputer serta banyak hal lagi yang terkait dengan pemetaan.

Joni mempertanyakan masyarakat sekadar memompa semangat masyarakat, apakah mereka akan serius melakukan pemetaan, karena menurutnya akan banyak menelan pengorbanan. Pengorbanan dimaksud yaitu berkorban secara pikiran, tenaga, biaya dan banyak lagi lainnya.

Pemetaan yang dimaksud, yang wajib melakukannya adalah  masyarakat itu sendiri secara bersama-sama untuk memperoleh imej positif dan baik ke depan. Paling penting lagi, mereka akan lebih tahu secara pasti batas-batas antara wilayahnya masing masing. “Petakanlah wilayah adatmu sebelum dipetakan orang lain,” ujarnya.

Batin Adat, Jamin, menyampaikan terima kasih kepada AMAN atas kedatangannya ke Talang Jerinjing. Ia juga mengajukan permohonan pemetaan wilayah adat dan meminta AMAN memfasilitasinya. Jamin berharap, permohonannya akan dilaksanakan bersama beberapa kebatinan yang mengajukan pemetaan.

“Apa pun persayaratan untuk mengajukan pemetaan akan segera kami lengkapi dan akan direkomendasikan kepada AMAN,” tambah Jamin.

Selain Gilung, terlihat hadir dalam pertemuan tersebut semua penggurus AMAN Inhu, Batin Adat Muke-Muke M. Risal, Batin Adat Talang Jerinjing Jamin, tokoh adat berserta masyarakat adat di desa Talang Jerinjing.

Arwan Oscar

PT MHP Kembali Ingin Menggusur Kebun Masyarakat

Semangus Baru, 6/7/2017—Kesewenang-wenangan perusahaan terhadap masyarakat kembali terjadi. PT Musi Hutan Persada (MHP), perusahaan marubeni Jepang kembali ingin menggusur kebun masyarakat Desa Semangus Baru, Kecamatan Muara Lakitan, Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan.

Instruksi ini dikeluarkan PT MHP sebagaimana disampaikan Sirin dari pihak perusahaan. Perusahaan meminta agar masyarakat segera mengosongkan seluruh kebun di areal PT.

“Seluruh kebun masyarakat yang ada di Sungai Hitam, Semangus Baru akan digusur PT MHP. Kami meminta kepada pemilik kebun agar segera mengosongkan kebun dalam jangka waktu 3 hari terhitung dari 3 Juli sampai sekarang,” katanya.

Masyarakat Semangus Baru menolak adanya penggusuran. Mereka tetap berjuang mempertahankan tanahnya. Tanah yang sudah mereka kelola sejak lama dan bahkan sesungguhnya berada di luar izin kelola perusahaan.

“Tanah tersebut adalah tanah yang kami kelola sendiri sejak lama dan berada di luar izin kelola PT MHP,” ujar Ilham Junaidi salah satu pemilik kebun rakyat. Isinya karet dan sawit, tambahnya.

Ia berharap agar permasalahan ini selesai dan ada tindakan dari pemerintah dan kembali dapat bertani di kebun tersebut.

Sementara itu, tokoh masyarakat Eduar M. Dina mengutuk keras tindakan dan perilaku PT MHP. “Jika kami benar maka tunjukkanlah kebenaran bagi kami dan jika kami salah maka lumpuhkanlah,” ujarnya.

 

Agung Prabowo

Pernyataan Masyarakat Adat dan Para Pemimpin Agama tentang Perlindungan Bumi

Medan, 24 Juni 2017 – Abdon Nababan menjadi salah satu pembicara dalam forum the Interfaith Rainforest Initiative yang berlangsung pada 19-21 Juni di Oslo, Norwegia. Forum ini merupakan pertemuan para pemimpin agama dan masyarakat adat dari 21 negara di dunia. Delegasi Indonesia, selain Abdon Nababan yang mewakili AMAN, terdapat Din Syamsudin mewakili MUI dan Muhammadiyah, Zainal Abidin Bagir (UGM) dan Azis Asman (Naladwipa Research Institute/NU).

Berikut adalah pernyataan bersama para pimpinan agama dan masyarakat adat pascapertemuan tersebut. Untuk sementara ini, statemennya masih dalam bahasa Inggris.

 

Religious and indigenous leaders in Oslo pledge to put their full force behind protection of the Earth’s rainforests.

The Earth’s rainforests are an irreplaceable gift. 

They support boundless biodiversity, a balanced climate, and the cultures and communities of Indigenous Peoples who live in them.  They generate cooling air and rains that water the Earth.  They are spectacular, and vital to all life.

And they are at grave risk.

We, people of many faiths and spiritualities, gathered in Oslo to hear the cry of Earth’s rainforests, their flora and fauna, and the people who live in them.  We are Indigenous, Christian, Muslim, Jewish, Hindu, Buddhist, and Daoist, joined by scientists who share with us, and open for us, a deeper appreciation of the miracle of the forests.  We are from 21 countries—from Amazonia, the forests of Indonesia, the Congo Basin, Meso-America and South and Southeast Asia and the Pacific Islands, and from the US, Canada, Europe, the Middle East, South Africa, and China.  While from many places, we recognize that we are one human family, that we share one Earth.

These glorious forests make our lives possible.  They provide clean air and abundant water.  They store carbon and stabilize the climate, literally around the globe.  They provide homes, food, medicines, and livelihoods for hundreds of millions of people.  They are dependent on the health and well-being of their indigenous and forest-dwelling peoples, just as these peoples, and all the rest of us, depend on the forests.  We are in this together—humanity and forests, people and planet.  If forests thrive, we will thrive.  Without forests, we all perish.

During our time together, we spoke frankly.  We recognized that unrestrained consumption, lifestyles of the Global North, and irresponsible financial systems, devastate the rainforests’ biosphere and ethno-sphere.  We listened to accounts of the persecution and murder of Indigenous Peoples and others who protect the forests.  We learned about governments unwilling to pass or enforce laws needed to ensure rainforests’ future and the rights and traditions of those who continue to be their guardians.

These realities are haunting.  This destruction is wrong.  As we formed a community, becoming one out of many, a resolve emerged among us.

We will not allow this to happen.

Together, we affirm the gift of life, our reverence for our common home and for the miraculous manifestation that rainforests embody.  We affirm that we are all caretakers of Earth’s rainforests, just as the forests care for us.  We embrace the responsibility for ongoing action which that entails.

We commit to form an international, multi-faith rainforest alliance, devoted to the care of these forests and the people who protect and live in them.

We pledge to rally our spiritual and religious communities to act.

We will train our leaders and educate our followers about the urgent need to protect rainforests, sharing the insights of traditional knowledge and science in the service of truth, knowing that without protecting, restoring, and sustainably managing forests, we cannot save Earth from the ravages of climate change.

We will advocate for the restoration of rainforests and the rights of Indigenous Peoples, sharing with leaders in government and business that protecting forests is a moral duty and that failing to do so is an offense against life itself.  We will support indigenous and forest peoples to assert and secure their rights, including their free, prior, and informed consent to development on their territories. We will advocate for increased access to finance for the ongoing protection of rainforests.  We will work for an end to the criminalization of forest protectors and for their safety.

We will change our own lifestyles, including our diets and consumption patterns, learning to live in harmony with the rainforests.

Finally, we pledge to continue to work together, to strengthen our resolve, and to act boldly in the months and years to come.  We invite other people of faith and of diverse spiritualities to join us.

A spirit of compassion and truth has been with us as we have met.  This spirit awakens hope.  It calls to us.

We have listened together and learned together.  In this statement we are speaking together.  Now, we will act together.  For the sake of the rainforests and the peoples who live in them, and for the future of the planet, we commit to respond.

This statement is addressed to Leaders in Government and Business, to Leaders and Followers of our Spiritual and Religious Traditions, and to the wider Human Family.

 

Signed by individuals who participated in the Interfaith Rainforest Initiative.

 

(1)
(2)
(1) (2) (3) Delegasi Indonesia sedang membangun konsensus untuk kolaborasi lintas iman dan Masyarakat Adat menyelamatkan hutan tropis di sela-sela pertemuan forum Interfaith Rainforest Initiative di Oslo, Norwegia.
Sambutan hangat dan bersahabat dari Menteri Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim Norway Vidar Helgesen atas kehadiran Abdon Nababan di Oslo. Foto: Asman Azis
Kiriman: Abdon Nababan

PT. IKSJ Korbankan Masyarakat Adat Moi Segen

Sorong (23/6/2017) – Masyarakat adat Moi Segen terdiri dari Marga Klagilik, Marga Sawat, Marga Mansinau dan beberapa marga lainya. Mereka ditipu perusahaan sawit: PT. IKSJ dengan menjanjikan akan adanya kesejahteraan. Perusahaan ini mulai beroperasi 2007.

“Sebagai pemilik tanah, kami sangat kesal karena sudah kena tipu perusahaan perkebunan sawit. Saya sangat sedih melihat keluarga mereka yang kadung melepaskan lahan/hutan adatnya ke PT. IKSJ,” kata Obet Klagilik, Ketua GSBI.

Mereka mulai masuk dan beroperasi tahun 2007,” ujar Maklon Klagilik.

Proses awal perusahaan memberikan uang sebesar Rp. 7.000.000,- sebagai ganti rugi untuk melepaskan lahan seluas 170 hektar. Di mana luas tersebut dibagi menjadi dua bagian: 130 hektar plasma bagi pemilik tanah dan 40 hektar dimiliki perusahaan. Perusahaan pun menjanjikan jika sudah perusahaan sudah beroperasi dan sawit sudah panen, mereka akan membangun rumah rakyat, memberikan mobil dan biaya anak sekolah.

Realiatnya hasil dari penjualan plasma dan kebun itu diambil semua oleh pihak perusahaan. Masyarakat tidak menikmati sebagaimana dijanjikan perusahaan. Dan perusahaan pun mengambil hasil plasma itu untuk membayar gaji karyawan, padahal kalau mau dilihat secara baik sudah ada perjanjian dari perusahaan bahwa kebun plasma dikembalikan kepada pemilik tanah. Selebihnya, perusahan hanya mengelola kebun inti.

Kami beberapa marga sudah sepakat jika tidak ada kejujuran dari pihak perusahaan kepada kami maka kami sebagai pemilik akan melakukan “pemalangan” besar-besaran. Kami pun siap turun langsung ke kantor dan desak DPRD Kabupaten Sorong menyuarakan agar segera disahkan pengakuan dan pelindungan masyarakat adat Moi di Kota dan kabupaten Sorong. Selama ini hak-hak kami tidak dipenuhi dengan baik.

“Seandainya saya punya wilayah adat yang kelola perusahaan, maka saya dan anak-anak akan mengggugatnya,” kata Yosepus Klagilik.

Sebagai informasi, Pemilik PT. IKSJ terdiri dari Mister Gofi, Mister Tang, Mister Meikel. Sedangkan yang menjabat sebagai direktur yaitu Maikel. Mister Gofi pemilik pabrik dan Mister Tang pemilik plasma. Mereka tiga ini berasal dari india. Sementara itu orang Indoneisa yang tergabung adalah Patopo dan Haji Ramble.

Melinaus “Achel” Ulimpa

Profil ABDON NABABAN

Abdon Nababan, lahir (2 April 1964) dan dibesarkan di Humbang, Tano Batak, Sumatera Utara.

Memulai pendidikan dasar di SDN Paniaran, Kec. Siborongborong, berlanjut ke SMP RK St. Yosef berasrama di Lintong ni Huta, kemudian melanjutkan pendidikan di SMA RK Budi Mulia di Pematang Siantar, kelas 3 pindah ke SMAN II Jakarta dan lulus 1982.

Pada 1987 menamatkan pendidikan jenjang strata satu dari Institut Pertanian Bogor [IPB]. Sejak mahasiswa telah aktif berorganisasi, di dalam kampus, di luar kampus (PMKRI), kepencinta-alaman (Lawalata IPB) dan menggeluti pendidikan lingkungan hidup bersama Yayasan Indonesia Hijau (YIH).

Setelah menyelesaikan jenjang pendidikan S1-nya, di samping terus mengembangkan gerakan lingkungan hidup di Indonesia dengan bergabung di WALHI sejak 1989, lalu ikut mendirikan dan memimpin Yayasan Sejati, Yayasan dan Perkumpulan Telapak dan Forest Watch Indonesia (FWI). Abdon Nababan juga secara tekun mendalami dan menggeluti bidang pengembangan dan pengelolaan strategis organisasi serta pengorganisasian masyarakat adat.

Selama menggeluti bidang tersebut, Abdon Nababan, telah menggalang sinergi antarsesama aktivis Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dan beragam elemen gerakan sosial untuk melakukan pembelaan hak-hak masyarakat adat.

Upaya itu antara lain diwujudkan dalam bentuk keterlibatannya sebagai Koordinator Komite Pengarah pada Jaringan Pembelaan Hak-Hak Masyarakat Adat (Indonesian NGOs Network for Indigenous Rights Advocacy, JAPHAMA) – suatu koalisi ORNOP yang secara bersama-sama melakukan pembelaan terhadap hak-hak masyarakat adat di tingkat nasional dan internasional.

Abdon Nababan terlibat juga dalam struktur kepanitiaan pada pelaksanaan Kongres Masyarakat Adat Nusantara atau KMAN, sejak pertama sekali (1999) sampai yang ke-5 di Medan pada Maret 2017 yang lalu. Dia tercatat sebagai Wakil Ketua Panitia Pelaksana KMAN I [1999], Ketua Panitia Pelaksana KMAN II [2003], Wakil Ketua Panitia Pengarah pada KMAN III [2007], Ketua Panitia Pengarah KMAN IV [2012] dan Penanggung-jawab KMAN V [2017].

Keterlibatannya pada berbagai proses pengorganisasian gerakan Masyarakat Adat tersebut membuat komunitas-komunitas adat anggota AMAN yang saat ini berjumlah 2.332 (dua ribu tiga ratus tiga puluh dua) komunitas adat dan populasinya sekitar 17.000.000 (tujuh belas juta) jiwa memilihnya sebagai Sekretaris Jenderal AMAN selama dua periode, yaitu 2007–2012 dan 2012-2017.

Sebagai pemimpin organisasi masyarakat adat nasional terbesar di dunia, Abdon juga mengambil peran dalan kepemimpinan kolektif gerakan masyarakat adat internasional dan terlibat dalam negosiasi tingkat tinggi dan menjadi juru bicara dalam forum-forum PBB mewakili “major grups” Indigenous Peoples.

Jabatan serupa sebelumnya pernah diemban oleh Abdon Nababan, sebagai Sekretaris Pelaksana AMAN pada periode 1999 – 2003.

Setelah mengabdi 14 tahun mendirikan, mengembangkan dan memimpin penyelenggaraan harian organisasi AMAN, sejak KMAN V yang lalu, Abdon Nababan dipilih menjadi anggota Dewan AMAN Nasional (DAMANNAS) mewakili Region Sumatera dan dipercaya menjadi Wakil Ketua untuk periode 2017-2022.

Di samping mengemban tugas sebagai Sekjen AMAN, Abdon Nababan, karena pengalaman dan keahliannya, juga dipercaya menjadi Panel Ahli UNDP bidang Keahlian Masyarakat Adat/Lokal dalam penyusunan Indeks Tata Kelola Hutan dan Gambut, Panel Ahli Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pelaksanaan Nota Kesepahaman Bersama (NKB) 12 Kementerian/Lembaga Non-Kementerian untuk percepatan pengukuhan kawasan hutan, Panitia Pengarah Tim Penanganan Pengaduan Kasus-Kasus Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kementerian LHK, anggota Forum Pakar Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT) Kementerian Sosial RI, anggota Kelompok Ahli Bidang Humaniora Badan Restorasi Gambut (BRG).

Juga tampil sebagai saksi ahli dalam persidangan-persidangan uji materi berbagai UU di Mahkamah Konstitusi (MK) dan terlibat kepanitiaan yang dibentuk oleh Pemerintah dalam pembuatan Naskah Akademik dan perumusan Rancangan UU nasional dan peraturan daerah di tingkat Kabupaten. Puluhan produk hukum dan kebijakan nasional telah berubah sejak Abdon memimpin gerakan masyarakat adat.

Salah satu di antara kasus yang fenomenal dan mendasar yang melibatkan peran penting Abdon Nababan adalah lahirnya  Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 yang menegaskan “Hutan Adat Bukan Hutan Negara” yang kemudian terlibat merancang berbagai produk hukum turunannya yang menghasilkan 4 jalur tempuh pengakuaan masyarakat adat untuk dilaksanakan di daerah.

Sejak 5 tahun terakhir Abdon juga memimpin perjuangan melalui DPR RI dan Kantor Presiden agar segera ada UU Masyarakat Adat di Indonesia.

Selain Sekjend AMAN dan berbagai jabatan di atas, Abdon Nababan saat ini memegang jabatan strategis pada beberapa ORNOP, diantaranya:

(-) Ketua Dewan Pembina Yayasan Setara/NTFP (non-aktif);

(-) Ketua Badan Pengurus Forest Watch Indonesia [FWI];

(-) Ketua Dewan Penyantun Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif [JKPP];

(-) Ketua Dewan Penyantun Badan Registrasi Wilayah Adat [BRWA];

(-) Ketua Dewan Pengawas Koperasi Produsen AMAN Mandiri (KPAM); da,

(-) Pengawas Credit Union (CU) RANDU.

Jauh sebelumnya, pada tataran organisasi berbagai jabatan pernah disandangnya, antara lain:

(-) Koordinator Program Hutan WALHI [1990-1993];

(-) Pendiri dan Pengelola Program Yayasan Sejati [1993-1996];

(-) Direktur Eksekutif Yayasan Telapak Indonesia [1996-1998];

(-) Direktur Forest Watch Indonesia/FWI [1998 – 2000];

(-) Ketua Umum Perkumpulan Telapak [2004 – 2006];

(-) Anggota Komite Pelaksana Global Forest Watch/GFW [2000 – 2001];

(-) Direktur Utama PT. Poros Nusantara Utama/PNU [2006-2007];

(-) Anggota Majelis Perwalian Anggota Lembaga Ekolabel Indonesia/LEI [2007-2010];

(-) Anggota Dewan Direktur Tenure Facility yang berbasis di Stockholm (2016-sekarang);

(-) Anggota Komite Pengarah Global Tropical Forest Alliance (TFA) 2020 yang berafiliasi dengan World Economic Forum (WEF) berbasis di Jenewa, Swis (2015-sekarang). 

Selain itu, Abdon Nababan juga pernah bekerja pada beberapa lembaga internasional dan donor, di antaranya sebagai anggota Komite Pengarah Nasional dan Komite Penilai Proposal pada Global Environmental Facility – Small Grant Program (GEF-SGP), Komite Pengarah untuk Indonesia’s Multi-stakeholders  Forestry Programme – DFID-Departemen Kehutanan, Pimpinan Proyek untuk Peningkatan Kapasitas ORNOP Indonesia dalam Investigasi dan Kampanye Hutan, satu kerjasama program Greenpeace International – WALHI. 

Di bidang penelitian dan kajian, Abdon Nababan pernah menjadi Koordinator Pokja Riset dan Advokasi Kebijakan Kehutanan WALHI [1990-1993], Koordinator Program Riset dan Dukungan bagi Masyarakat Adat sekaligus pendiri Yayasan Sejati [1993-1996], Koordinator Pokja untuk Pengetahuan dan Pengelolaan Sumberdaya Alam Hayati Tradisional BIOFORUM [1996-1999].

Selama menggeluti isu-isu tersebut Abdon Nababan telah banyak menghasilkan sejumlah karya tulis dan memfasilitasi sejumlah pelatihan dan lokakarya, menjadi pengajar tamu, antara lain di Program Studi Lingkungan Paska Sarjana UI, Fakultas Hukum Universitas Jember dan Fakultas Ekologi Manusia IPB dan menjadi pembicara di berbagai konferensi nasional dan internasional.

Selain itu, dia juga terlibat sebagai Anggota Tim Teknis Penyusunan RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Anggota Tim Teknis Penyusunan Keputusan Menteri tentang Pedoman Umum Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Berbasis Masyarakat, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) RI.

Di antara sederet karya tulisnya, Abdon Nababan menjadi kontributor untuk beberapa buku yang antara lain berjudul:

(1) Lipstick Traces in the Rainforest: Palm oil, Crisis and Forest Loss in Indonesia – The Role of Germany;

(2) Kata Pengantar dalam “In Search of Recognition” dan

(3) Potret Keadaan Hutan Indonesia/State of the Forest Report dan menulis ratusan makalah yang disajikan dalam berbagai pertemuan di dalam negeri dan di luar negeri.

Walaupun Abdon Nababan ini terus bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain di seluruh pelosok Nusantara dan berkunjung ke berbagai tempat di seluruh benua, sejak kuliah di IPB tahun 1982, Kota Bogor yang sejuk adalah kampung ke dua baginya setelah kampung leluhurnya di Tano Batak.

Setelah kuliah, aktif di gerakan sosial dan memasuki usia yang sudah matang (35 tahun) Abdon menikah dengan pujaan hatinya, Devi Anggraini, seorang pegiat hak-hak perempuan yang juga pegiat masyarakat adat dari Riau.

Pasangan Abdon Nababan-Devi Anggraini hidup bahagia dengan kesederhanaan membesarkan tiga putri mereka yang sedang beranjak dewasa.

Putri pertama, Meilonia Marintan Nababan, baru saja lulus dari SMA, putri kedua, Mena Azzelia Nababan juga baru lulus dari SMP, sedang putri yang paling bungsu, Mayang Cerana Nababan baru saja menginjak kelas 2 SMP.

Selama 20 tahun ini Abdon juga memberikan perhatian yang khusus untuk Sumatera Utara.

Di Tano Batak, Abdon terlibat dalam beragam advokasi hak-hak masyarakat adat sejak kehadiran PT. Inti Indorayon Utama (IIU) sejak awal 1990-an, yang kemudian berganti wajah sebagai PT. Toba Pulp Lestari (TPL), sampai saat ini.

Memastikan tanah leluhurnya tetap lestari dan warganya tidak menderita akibat dampak pembangunan yang merusak alam dan budaya Batak.

Berbagai prakarsa dari banyak kawannya, dia sokong dan promosikan. Itulah alasannya Abdon sering pulang kampung.

Di Sumatera Timur, Abdon juga aktif mendukung perjuangan Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI), organisasi perjuangan hak adat tertua di Indonesia. Kesetiaannya berjuang dengan Rakyat

Penunggu selama 20 terakhir telah menempatkan Abdon Nababan sebagai bagian tidak terpisahkan dari BPRPI.

Bagi BPRPI, di samping sebagai Penasehat, Abdon juga dipercaya menyandang kedudukan sebagai Pemangku Setia Rakyat Penunggu.

Abdon tidak membedakan agama dan suku dalam perjuangan melawan ketidakadilan sosial.

Sumber: Abdon Nababan

 

 

[Jakob Siringoringo]

KPK Tanggapi Aksi GEMA Raja Ampat

Raja Ampat, 13/06/2017- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia menanggapi serius aksi demo yang dilakukan Generasi Muda Suku Maya (GEMA Maya) Kabupaten Raja Ampat di bawah koordinator Ketua GEMA Maya, Ludya Mentansan yang menuntut agar KPK segara mengusut tuntas kasus tindak pidana korupsi Jalan Lingkar Waigeo dan segera menyelesaikan ganti rugi yang menjadi tuntutan masyarakat adat marga AnsandanWeju yang mempunyai hak petuanan adat di mana Jalan Lingkar Waigeo dibangun.

“Saat aksi demo yang saya pimpin di depan halaman Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi, Jalan Setia Budi Jakarta Pusat saya menuntut agar KPK harus segera mengusut tuntas kasus tindak pidana korupsi pekerjaan Jalan Lingkar Waigeo yang menggunakan dana APBN sejak tahun 2013 hingga 2015 yang dikerjakan PT. Kalanafat Putra di Kabupaten Raja Ampat,” ujar Ludya Mentasan saat ditemui media ini dibilangan Km.10 masuk, jalan Sungai Maruni Kota Sorong, Provinsi Papua Barat.

Lanjut Ludya, selain itu juga masyarakat adat Suku Maya Raja Ampat menuntut tegakkan supremasi hukum di Indonesia tanpa pandang buluh; KPK segara tangkap Direktur PT. Kalanafat Putra dan pemilik saham yang adalah mantan Wakil Ketua I DPRD Kabupaten Raja Ampat, korupsi Jalan Lingkar Waigeo harus diselesaikan secara hukum, PT.Kalanafat Putera segera ganti rugi hak ulayat masyarakat adat suku Maya Raja Ampat.

Ditambahkan Ludya, KPK harus segera turun ke Raja Ampat untuk memeriksa indikasi korupsi yang diduga terjadi pada proyek Jalan Lingkar Waigeo yang dikerjakan oleh PT. Kalanafat Putra, PT. Kalanafat Putra segera mengembalikan uang negara yang telah dikorupsi bersama kroni-kroninya dalam mengerjakan Jalan Lingkar Waigeo, dan yang terakhir masyarakat menuntut apabila tuntutan kami ini tidak diindahkan maka kami akan memblokade setiap program pemerintah baik daerah maupun pusat yang masuk di daerah petuanan kami.

“Selain tuntutan yang kami sampaikan saat orasi, kami juga menyampaikan beberapa dokumen seperti, foto kondisi goa keramat milik masyarakat adat Suku Maya yang rusak akibat pembangunan Jalan Lingkar Waigeo, dan beberapa dokumen pendukung lainnya,”ujar Ludya dengan tegas.

Dikatakan Ludya, PT. Kalanafat  Putra  sejaktahun 2013  telah mengerjakan proyek tersebut dengan menggunakan dana yang bersumber dari APBN yang apabila dia akumulasikan seluruhnya berjumlah Rp. 122.521.963.000 dengan rincian surat penunjukan Nomor.  KU.03.01/SPPBJ/PJN.II-PPK.07/04 tertanggal 7 Januari 2013 oleh Satuan Unit Kerja Direktorat Jenderal Bina Marga Pelaksanaan Jalan Nasional Wilayah II Provinsi Papua Barat dengan anggaran APBN Tahun 2013 dengan Nomor Kontrak: 04/HK.02.03/LR4/PJN-II/PPK.07/2013 tertanggal 9 Januari 2013 dengan nilai kontrak Rp. 33,228,947,000  (Tiga Puluh Tiga Milyar Dua Ratus Dua Puluh Delapan Juta Sembilan Ratus Empat PuluhTujuh Ribu Rupiah).

Surat penunjukan Nomor.KU. 03. 01/SPPBJ/PJN. II-PPK 07/09  tertanggal  26 September 2013 oleh Satuan  Unit Kerja Direktorat Jenderal Bina Marga Pelaksanaan Jalan Nasional Wilayah II Provinsi Papua Barat dengan anggaran APBNP Tahun 2013 dengan Nomor Kontrak : 09/HK. 02. 03/LR4/APBNP/PJN-II/PPK. 07/2013 tertanggal 30 September 2013 dengan nilai kontrak Rp. 8. 548. 669. 000 (DelapanMilyar Lima Ratus Empat Puluh Delapan Juta Enam Ratus Enam Puluh Sembilan Ribu Rupiah).

Surat penunjukan Nomor. KU.03.01/SPPBJ/PJN.II-PPK.07/03 tertanggal 22 April 2014 oleh Satuan Unit Kerja Direktorat Jenderal Bina Marga Pelaksanaan Jalan Nasional Wilayah II Provinsi Papua Barat dengan anggaran APBN Tahun 2014 dengan Nomor Kontrak : 03/HK.02.03/PS.LR4.W-W/PJN.-II/PPK.07/2014 tertanggal 24 April 2014 dengan nilai kontrak Rp. 23,846,572,000 (Dua Puluh Tiga Milyar Delapan Ratus Empat Puluh Enam Juta Lima Ratus Tujuh Puluh Dua Ribu Rupiah).

Surat penunjukan Nomor. KU.03.01/SPPBJ/PJN.II-PPK.07/03 tertanggal 14 April 2015 oleh Satuan Unit Kerja Direktorat Jendral Bina Marga Pelaksanaan Jalan Nasional Wilayah II Provinsi Papua Barat dengan anggaran APBN Tahun 2015 dengan Nomor Kontrak :04/HK.02.03/PEMB.JLRA/PJN-II/PPK.07/2015 tertanggal 17 April 2015 dengan nilai kontrak Rp. 56,897,775,000 (Lima Puluh Enam Milyar Delapan Ratus Sembilan Puluh Tujuh Juta Tujuh Ratus Tujuh Puluh Lima Ribu Rupiah).

Seusai demo kata Ludya, langsung saya dipanggil oleh komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi untuk masuk kedalam kantor untuk menyerah kantuntutan dari GEMA Maya Raja Ampat dan diterima langsung oleh komisioner KPK sendiri dan bernjanji akan segera mengusut tuntas dugaan tindak pidana korupsi jalan liingkar waigeo yang melibatkan salah satu mantanWakil Ketua I DPRD Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat.

Jalan Lingkar Waigeo
Achel Ulimpa

KONTAK KAMI

Sekretariat Jln. Sempur 58, Bogor
bpan@aman.or.id
en_USEnglish