Saatnya Pemuda Adat Rebut Ruang Politik

Pemuda Adat – Sejarah Indonesia itu sejarah angkatan muda. Angkatan tua itu jadi beban. Demikian kutipan pernyataan Pramoedya Ananta Toer yang menggugah semangat. Lihat saja tetralogi Pulau Buru yang mengisahkan tentang Minke, seorang murid sekolah menengah yang kemudian sadar akan posisi bangsanya lalu merintis pembangunan organisasi kebangsaan di Indonesia.

Kepemudaan dalam sejarah politik bangsa selalu terkait dengan semangat penuh vitalitas dan revolusioner. Bahkan ada yang menempatkannya sebagai aktor sejarah yang berperan sentral karena posisinya dalam berbagai peristiwa selalu dramatis dan lebih seru daripada dunia politik dewasa ini.

Adalah sejarawan Ben Anderson yang menggunakan kata ‘pemuda’ dalam studinya tentang revolusi di Jawa 1944-1946. Menurutnya, orang muda yang disebut sebagai golongan pemuda merupakan motor dari revolusi yang tengah bergulir. Bahkan, peranan mereka sekaligus mengalahkan kaum intelegensia dan kelompok lainnya dalam kancah perpolitikan saat itu. Alhasil, dia menyebut gejolak yang terjadi pada periode itu sebagai “Revoloesi Pemoeda”.

Tanpa adanya golongan pemuda, barangkali takkan ada Proklamasi 17 Agustus 1945 karena tak ada yang menculik Sukarno dan Hatta ke Rengasdengklok. Tindakan itu telah membentuk identitas politik kaum muda karena sifatnya yang revolusioner.

Lalu bagaimana perkembangan gerakan pemuda dewasa ini? Gerakan mainstream dengan jalan konfrontasi kerap dinilai anarkis dan ternyata tak kunjung menghasilkan perubahan. Atau kini pemuda terjebak dalam komidifikasi gaya hidup yang membuat meningkatnya tingkat apatisme pemuda.

Bagi pemuda adat, khususnya, ulasan ini merupakan refleksi atas gerakan yang dilakukan dengan melihat potensi-potensi besar pada pemuda. Alih-alih menjaga kedaulatan leluhur, pemuda adat harus berada di barisan depan untuk melindungi wilayah adatnya. Ada banyak cara untuk berada di barisan paling depan. Misalnya terlibat dalam proses politik adalah salah satu cara dalam gelombang kebangkitan adat di Indonesia.

Posisi dan Sikap Pemuda Adat dalam Politik

Perkenankan tulisan ini memulai dengan paparan data demografi di Indonesia yang menyebutkan bahwa jumlah pemuda di Indonesia dengan rentang usia 16-30 tahun sebanyak 61,8 juta orang atau 24,5 persen dari total jumlah penduduk. Bahkan, jumlah pemuda diperkirakan akan meningkat tajam pada 2020-2035, bersamaan dengan datangnya era bonus demografi di Indonesia.

Tentunya, sebagian dari populasi itu adalah pemuda adat yang tersebar pada tiap wilayah adat di Indonesia. Tak pelak dengan pemikiran segar, motivasi tinggi untuk perubahan, keluwesan dalam bergaul, dan berani melakukan terobosan-terobosan serta inovasi pada jiwa pemuda dapat dimanfaatkan untuk membangkitkan gerakan adat di masing-masing wilayah adat. Gerakan adat yang dimaksud pada tulisan ini mencakup gerakan sosial dan politik yang dimanifestasikan dalam upaya melindungi martabat leluhur.

Potensi penting dalam jumlah pemuda yang kian meningkat itu dapat termanifestasi dalam upaya pembaharu pada wajah perpolitikan bangsa yang semakin miris. Sebab, alih-alih menghadirkan angin segar jika negara masih melanggengkan keberadaan golongan lama yang kontraproduktif terhadap perubahan bangsa.

Pertanyaan tentang posisi dan sikap pemuda dalam politik kerap muncul dalam gerakan Masyarakat Adat selama beberapa dekade ini. Sebab, beberapa pihak dalam kalangan pemuda adat khususnya masih memandang berpolitik itu negatif. Hal itu pula yang membuat gerakan adat menjadi kontraproduktif dan terkesan konservatif dalam beberapa kondisi.

Wajar saja, selama beberapa lama ini, kalangan gerakan pemuda hanya fokus pada strategi konfrontasi untuk menyuarakan hak-hak Masyarakat Adat sebagai satu-satunya cara. Namun, kita masih melihat sepanjang 2016 konflik agraria yang bersentuhan dengan Masyarakat Adat mencapai 450 peristiwa. Mayoritas konflik muncul dari sektor perkebunan (163), properti (117), infrastruktur (100), kehutanan (25), tambang (21), migas (7), pesisir-kelautan (10), dan pertanian (7).

Konflik itu melulu terjadi dalam Masyarakat Adat. Mereka harus menghadapi keterasingan, pemiskinan, kehilangan kedaulatan, bahkan kekerasan dari aparat-aparat pemerintah. Tak kunjung ada titik terang. Persoalannya menjadi lebih pelik manakala berbicara mengenai kebijakan pemerintah. Dengan ragam suku dan etnis di Indonesia, seringkali kebijakan pemerintah tidak mengakomodir seluruh pihak, utamanya ketika kebijakan tersebut berhubungan erat dengan suku atau etnis tertentu. Kesalahan yang sering terjadi pada pemangku kebijakan adalah ketidakpahaman atas nilai-nilai yang berkembang dalam Masyarakat Adat.

Berangkat dari persoalan yang mendasari betapa pentingnya pemuda adat untuk terlibat pada tiap agenda politik, sebab jika terus mengambil jalan konfrontasi sebagai satu-satunya cara, maka prahara keterasingan dan perampasan akan melulu menjadi status quo dalam Masyarakat Adat.

Pemuda adat perlu membangun standing position melalui doktrin-doktrin politik dan berbagai program edukasi guna meningkatkan kesadaran serta gerakan dalam berbagai struktur adat maupun proses-proses politik yang akan dihadapi oleh Masyarakat Adat. Penyediaan program politik karena absennya platform politik inilah yang kemudian diisi oleh pemuda adat sebagai tameng perubahan. Melalui aktivitas konsolidasi dan pendidikan yang dapat dilakukan oleh pemuda adat, sedikit banyak memberikan amunisi politik kepada Masyarakat Adat untuk mendorong agenda-agenda politik, seperti perda pengakuan hak Masyarakat Adat, hak-hak warga perihal kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan dan pembangunan infrastruktur yang melibatkan Masyarakat Adat.

Standing position yang dimaksud adalah menggunakan politik sebagai alat untuk menguatkan dan berjuang melunasi janji-janji kemerdekaan Republik Indonesia dan kedaulatan leluhur. Politik juga merupakan alat paling efektif untuk membuat sebuah perubahan dan kemajuan bagi gelombang gerakan adat di Indonesia. Sebab dengan standing position yang kokoh dalam politik, salah satu cara pemuda untuk melawan arus pragmatisme yang selama ini menjalar dalam dinamika politik bangsa Indonesia.

Data BPS menyebutkan, tidak kurang dari 15-20% pemilih pada Pemilu 2014 adalah pemilih pemula dengan rentang usia produktif 26%. Besarnya angka usia pemuda yang dimiliki Indonesia saat ini bisa menjadi penentu masa depan Indonesia yang lebih baik. Keterlibatan pemuda dalam politik menjadi modal sosial dalam penguatan demokrasi dan ekonomi masyarakat. Konsolidasi ini yang semestinya dibangun antarpemuda melalui organisasi-organisasi sebagai alat perjuangan mereka.

Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Sikap apatis pemuda terhadap politik menjadikannya apolitis terhadap perjalanan perpolitikan Indonesia. Di beberapa daerah di Indonesia bahkan, akibat apatisme itu kerapkali pemuda terlibat dalam agenda-agenda politik pragmatisme. Tak jarang pula kita menemukan pemuda yang menjadi alat mobilisator kepentingan pragmatis oknum elite. Sikap apatisme ini jika terus dibiarkan akan menjadi kontraproduktif terhadap perubahan, suatu kondisi yang membahayakan bagi kemajuan Indonesia. Demografi pemuda yang melunjak justru akan mengalami “kemandulan” akibat tidak termanfaatkan dengan baik.

Pertanyaan mendasar dalam tulisan ini kemudian muncul, apa yang seharusnya dilakukan oleh pemuda untuk ambil bagian dalam proses politik? Reformasi membuat sistem politik menjadi semakin terbuka, namun kenapa hal ini tak kunjung dimanfaatkan oleh pemuda? Justru sikap apatisme politik meningkat ditengah peluang politik yang semakin terbuka lebar.

Melihat keadaan pemilu di Indonesia yang semakin miris, tentunya diperlukan suatu perubahan. Tak dapat dipungkiri, data di atas menunjukan dukungan pemuda dalam setiap pemilu merupakan proses kunci. Memang pada awalnya peran para pemuda hanya berkontribusi sebagai masyarakat yang menggunakan hak pilihnya saja. Tetapi sebenarnya para pemuda di Indonesia memiliki potensi yang lebih dari sekedar pemilih aktif. Pemuda dapat berkontribusi langsung secara aktif dalam dunia perpolitikan di Indonesia.

Memanfaatkan Pemilu sebagai proses merebut kendali kebijakan perlu dilakukan oleh pemuda, sebab hal itu adalah salah satu cara untuk merubah kondisi bangsa. Dengan terlibat dalam pemilu, pemuda adat khususnya dapat melindungi wilayah adat mereka melalui sistem politik. Tak hanya dengan jalan konfrontasi semata menuntut persamaan hak yang diberikan oleh pemerintah namun tak kunjung menemukan titik terang.

Kejenuhan konfrontasi seharusnya menjadi evaluasi bersama untuk menggugah semangat barisan pemuda untuk berpolitik. Proses politik tak hanya melalui pemilu saja, pemuda harus mulai melakukan negoisasi kebijakan dengan pemerintah, mendorong gagasan dan ide-ide perubahan ke dalam sistem politik dan mengawal proses penyelenggaraan negara oleh pemerintah.

Dengan ambil bagian di dalam proses politik, pemuda adat khususnya dapat berada pada barisan paling depan perjuangan adat untuk menyuarakan hak-hak adat dan kedaulatan wilayah adat. Sebab, perubahan tak kunjung muncul jika hanya mengandalkan golongan tua untuk bersuara. Hal itu yang membuat ambil bagian dalam proses politik juga menjadi kunci menciptakan perubahan.

Dapat kita ambil kesimpulan bahwa pemuda sebagai pilar sekaligus fondasi bangsa memiliki peranan penting untuk mengubah status quo pada wajah perpolitikan bangsa. Tentu pilihannya ada pada masing-masing individu, apakah ingin menjadi pemuda  yang penuh vitalitas dan semangat revolusioner atau cukup menjadi remaja, sekadar berpuas diri dengan komodifikasi gaya hidup.

[Yayan Hidayat]

Asap yang Mengepul dari Lebak

Pemuda Adat – Jakarta. Kasukri mendekam di penjara tanpa tahu apa salahnya. Ia ditangkap Polisi Kehutanan dan dibawa ke kantor polisi, diadili dan ditahan. Kejadian tersebut menyebabkan Masyarakat Adat Kasepuhan Karang ketakutan.

“Penangkapan tersebut bagi saya merupakan sebuah penjajahan. Hati saya sakit dan terluka,” ujar Jaro Wahid lirih, Sabtu (18/11/2017) lalu.

Perhutani melarang warga beraktivitas di kawasan hutan adat yang diklaim negara sebagai hutan negara (Perhutani) dan belakangan dijadikan Taman Nasional. Masyarakat Adat Kasepuhan Karang pemilik wilayah adat tersebut justru diposisikan sebagai pihak asing di tanahnya sendiri. Perlakuan tersebut meninggalkan trauma bagi warga.

“Dia hanya membawa sebatang dahan untuk dijadikan kayu bakar di rumahnya. Seketika, langkahnya dihentikan di jalan itu,” telunjuknya mengarah ke jalan lintas beraspal tak jauh dari tempat kami duduk.

Asap di dapur Kasukri tak jadi mengepul, petaka malah menghampiri.

*

Saya dan teman-teman pemuda adat senusantara duduk bersila dan melingkar di atas tanah adat yang sudah mereka rebut dari Taman Nasional. Sepenuhnya kami berguru di tanah merdeka kepada sang teladan Jaro Wahid.

Kami, pemuda adat senusantara, tengah melaksanakan RPN IV BPAN pada  17 – 18 November 2017 di Kasepuhan Karang, Desa Jagaraksa, Kec. Muncang, Kab. Lebak, Banten. RPN ini adalah yang terakhir untuk periode 2015 – 2018 di bawah kepemimpinan Jhontoni Tarihoran. RPN kali ini membahas persiapan-persiapan Jambore Nasional III BPAN pada Februari 2018. Selain itu, kami juga sekaligus belajar pendidikan politik dari Masyarakat Adat Lebak.

Baca juga RPN IV BPAN: Persiapan Jambore Nasional III

Sebab Masyarakat Adat Lebak merupakan kelompok yang secara nyata kesadaran politiknya tinggi. Hal ini dipastikan antara lain dengan duduknya utusan-utusan mereka di posisi-posisi strategis. H. Ade Sumardi duduk sebagai Wakil Bupati Lebak, Junaedi Ibnu Jarta, Ketua DPRD Lebak dan Jaro Wahid jadi Kepala Desa Jagaraksa.

Di lain sisi sebagai generasi penerus Masyarakat Adat yang bertujuan untuk mendapatkan pengakuan dari negara, saya mendapatkan pelajaran baru untuk siap berpolitik. Politik di sini saya mudahkan pemahamannya sesuai konteks perjuangan Masyarakat Adat yaitu merebut ruang untuk memastikan kebijakan negara benar-benar berpihak kepada Masyarakat Adat.

Dengan kata lain, menghadirkan negara di tengah-tengah Masyarakat Adat.

*

Ketua PD AMAN Banten Kidul itu berhasil membawa Kasepuhan Karang mendapatkan pengakuan hutan adat seluas 486 hektar langsung dari Istana Negara dan diserahkankan Presiden RI Joko Widodo pada 30 Desember 2016 lalu.

Perjuangan Panjang yang berhasil ini dimenangkan setelah melewati tantangan berliku. Penjajahan mulai dari Perum Perhutani sampai Taman Nasional sangat membekas dalam batinnya. Pada 1987 Perhutani memulai penggusuran dan pada 2007, Perhutani berganti menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS).

Sebagai area konservasi, Masyarakat Adat dilarang beraktivitas di sana. Pengaturan pemerintah semakin ketat. Masyarakat Adat semakin dihimpit di wilayah adatnya sendiri, meskipun untuk urusan mengisi perut sejengkal.

Pengalaman pahit tersebut menempa dirinya untuk berani bermimpi dan berjuang merebut hak-hak mereka dan membebaskan dia, keluarga dan Masyarakat Adat Kasepuhan Karang dari “penjajahan”.

“Mimpi saya waktu itu mengeluarkan tanah adat dari cengkeraman Taman Nasional,” ujarnya.

Untuk mengimplementasikan mimpinya, Jaro—demikian dia akrab disapa—mengatur strategi perjuangan. Strategi yang dilakukannya adalah dengan mencalonkan diri sebagai kepala desa.

“Kunci perubahan ada di kepala desa,” katanya.

Ia pun berjuang mengikuti pemilihan kepala desa. Hasilnya, ia kalah dengan selisih 25 suara dari pesaingnya. Meskipun kalah, ia tidak patah arang. Kukuh pada tekad, ia akhirnya mendapat “bisikan” dari kakeknya.

“Kamu tidak akan bisa menjadi kepala desa, kalau kamu tidak membuat desa sendiri,” bisik sang kakek.

Pendek cerita, dia berhasil memekarkan kampungnya dari Desa Cikarang menjadi satu desa: Jagaraksa. Ia pun maju sebagai kandidat kepala desa satu-satunya. Satu periode ia memimpin Desa Jagaraksa, Kecamatan Muncang, Kabupaten Lebak, Banten.

Selama menjadi kepala desa, ia berjuang terus untuk mendapatkan pengakuan hak-hak Masyarakat Adat Kasepuhan Karang. Pada 2015, Pemkab Lebak menerbitkan Perda Masyarakat Adat Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan.

Kini dia masih menjabat sebagai kepala desa untuk periode kedua.

Pengakuan hak-hak mereka belum sepenuhnya terasa meskipun Perda Masyarakat Adat sudah terbit. Karena itu, Jaro yang bermimpi melepaskan hutan adatnya dari cengkeraman TNGHS, sempat diolok-olok warganya.

“Sudahlah, mimpi itu tidak akan terwujud,” ujar saudaranya pesimis.

Walaupun berjuang sendirian, khususnya dalam menyangkut urusan administrasi dan desakan-desakan ke lembaga, ia melangkah konsisten, kukuh pada pendiriannya. Pada akhir 2016, ia membuktikan mimpinya.

Sebelumnya, pada 5 Oktober 2015, pria berperawakan santai itu mendaftarkan hutan adat mereka ke KLHK  sesuai dengan Peraturan Menteri Nomor 32 tahun 2015 dan melewati dua tahap verifikasi dan validasi. Persyaratan tersebut mencakup surat pernyataan permohonan hutan adat, Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat serta wilayah adat.

*

Wah kalau cerita perjuangan ini, saya tidak pernah serius, katanya. Menurutnya istilah memperjuangkan dalam cerita dia, kurang tepat. Istilah memperjuangkan itu, katanya, ada pada masa Soekarno. Kala itu perjuangan yang dimaksud adalah perjuangan kemerdekaan.

Sekarang ini, kita hanya mempertahankan. Kita sudah di dalam Indonesia, tugas selanjutnya yaitu mempertahankan hak-hak kita dari rampasan penjajah seperti Perhutani/Taman Nasional, katanya.

Ia mengenang masa kecilnya yang terasa di bawah kesewenang-wenangan Perhutani. Saat itu mulai timbul perlawanan dalam batinnya. Lalu ia memilih pergi dari kampung untuk bersekeloh. Ia menempuh pendidikan hingga tingkat SLTP di perantauannya.

“Saya satu-satunya waktu itu yang sekolah dari kampung ini,” kata Jaro. Pada 1993, ia lulus dari SLTP.

Ketika itu, ia kembali mengenang kampung dan memutuskan kembali ke kampung. Situasi tetap sama. Kembali bapaknya kesakitan, saat ia tidak bebas bekerja di tanahnya sendiri. Perum Perhutani semakin mengancam dan menambah kesengsaraan di kampungnya.

Sadar tidak berdaya, jabatan tidak punya, ekonomi lemah, dan hukum tidak berpihak membuat Jaro kembali merantau. Kali ini ia melanjutkan jenjang pendidikannya sendiri dari SLTA hingga Perguruan Tinggi. Harunya, kedua orang tuanya mengetahui anaknya merantau cari pekerjaan, bukan bersekolah.

“Saya tidak kasih tahu mereka bahwa saya sekolah. Sama saja artinya saya mencekik leher mereka,” ujarnya. Biaya pendidikan yang tinggi menyurutkan Jaro memberitahu kedua orang tuanya. Dia membiayai sendiri pendidikannya.

Sampai suatu ketika, Jaro kembali ke kampung. Ia mengajak kedua orang tua dan kerabat dekatnya jalan-jalan ke Jakarta. Curiga dengan ajakan anak, orang tua Jaro lantas bertanya. Jaro menyatakan siap mendanai keberangkatan, asal kedua orang tua dan kerabat mau diajak mengenal dunia luar, terlebih ibukota metropolitan Jakarta.

Akhirnya mereka tiba di Jakarta dalam rombongan tiga bus. Alamat perjalanan pun tertuju ke sebuah kampus swasta di Jakarta Timur. Bukannya melihat pemandangan atau arena hiburan, kedua orang tua Jaro malah bingung setelah mereka tiba di kampus tersebut.

Undangan jalan-jalan tak seperti dibayangkan, mereka justru mengikuti prosesi wisuda. Kedua orang tua Jaro bersimpuh, kehilangan kata-kata. Mata keduanya berkaca-kaca, tidak percaya.

“Bapak saya menangis, bersimpuh, menangis kala itu,” kenang Jaro. Kedua orang tuanya bangga bukan main. Anaknya menjadi orang pertama yang menempuh pendidikan tinggi di kampungnya. Mereka benar-benar tidak mengira saya selama ini kuliah, bukan hanya kerja, tambahnya.

Sejak itu, dia kembali ke kampung untuk meneruskan perjuangan atau sesuai istilah beliau mempertahankan hak-hak Masyarakat Adat Kasepuhan. Setiap perjuangan akan bertemu dan bertalian dengan teman yang senasib sepenanggungan. Seiring waktu, Jaro pun bertemu dengan RMI, AMAN, Epistema Institue, dan Sajogyo Institute.

*

Di antara kisah yang saya dengar dari Jaro, pergerakan pemuda adatnya juga layak diteladani. Engkos Kosasih, penggerak pemuda adatnya bertutur singkat perihal aktivitas mereka.

Engkos bercerita bagaimana mereka melakukan banyak hal setelah hutan adat dikembalikan. Mulai dari menanam pohon yang mereka sebut dengan istilah “adopsi pohon”. Hingga saat ini mereka sudah menanam sebanyak 2700 pohon buah. Rencana mereka akan menanam sebanyak 29000 pohon buah.

Menurut Jaro, mempertahankan hak-hak Masyarakat Adat harus diwariskan kepada generasi muda. Karena itu dia mengajak para pemuda adat Kasepuhan Karang untuk bersama-sama menjaga dan mempertahankan wilayah adat yang sudah diakui negara tersebut.

“Saya ajak mereka bermain, bukan bekerja. Permainan itu mengasyikkan, bekerja menjenuhkan. Saya mengajak, bukan menyuruh. Jadi saya mengajak anak muda bermain-main di wilayah adat, padahal itu adalah perjuangan. Mereka pun ‘terjebak’,” tutupnya.

[Jakob Siringoringo]

Kasepuhan Karang Inspirasi Baru Usia 26 Tahunku

Pemuda Adat – Embun pagi menyelimuti perjalanan panjangku saat itu, tepat hari kamis 16 November  2017 dan seiring perjalanan itu terhentak ternyata hari ini usiaku bertambah satu tahun dan masa hidupku semakin berkurang. Perjalanan panjang dimulai dari langkah kakiku ketika turun dari rumah pada pukul 05.00 dengan perjalanan menuju bandara Supadio. Sepuluh menit sebelum keberangkatan dimulai, namaku sudah dipanggil petugas bandara untuk segera memasuki pesawat dan alhasil aku harus lari dengan kecepatan maksimal yang kumiliki.

Setiba di Jakarta aku harus kembali melanjutkan perjalanan dari bandara Soekarno Hatta menuju stasiun Tanah Abang dan bergeser dari stasiun Tanah Abang menuju stasiun Rangkasbitung dengan waktu tempuh kurang lebih dua jam, dan akhirnya pukul16.00 aku tiba di stasiun Rangkasbitung itu. Beberapa jam istirahat sembari menunggu beberapa temanku yang masih di kereta belakang.

Dengan perasaan gembira dan penuh semangat jam terus berputar saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 20.00. Aku dipertemukan dengan teman-teman Nusantara-ku, dan aku bersama teman-teman Nusantara-ku melanjutkkan perjalanan ke Komunitas Adat Kasepuhan Karang dengan menggunakan  bis mini, tepat pada pukul 22.00 aku dan teman-teman tiba. Suhu udara sangat dingin beda dengan suhu udara di Kalimantan.

Agenda hari pertama aku dan teman-teman adalah untuk melakukan Rapat Pengurus Nasional Barisan Pemuda Adat Nusantara (RPN BPAN) di mana BPAN merupakan organisasi sayap AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) yang fokus dengan isu-isu pemuda adat yang ada di Indonesia. BPAN sendiri tersebar di 18 Pengurus Wilayah dan 34 Pengurus Daerah yang beranggotakan 874 anggota di seluruh Indoesia.

Kegiatan RPN dimulai pada pukul 10.00 di ruang Rapat Kantor Desa Jagaraksa, Kecamatan Muncang Kabupaten Lebak Banten. Rapat Pengurus Nasional hari ini merupakan RPN terakhir untuk menuju Jambore Nasional BPAN 2018. RPN terakhir ini berbeda dengan RPN sebelumnya, di mana kali ini dalam rapat aku dan teman-temanku fokus melakukan refleksi organisasi dan persiapan menuju jambore nasional 2018.

Dengan Wajah penuh keseriusan saat itu, rapat kami mulai, RPN ini dihadiri Ketua Umum BPAN Jhontoni Tarihoran, Koordinator Dewan Pemuda Adat Nusantara Kristina Sisilia Boka DePAN Region Sulawesi, Dewan Pemuda Adat Nusantara Region Kalimantan (Modesta Wisa), Dewan Pemuda Adat Nusantara Region Papua (Melianus Ulimpa), Dewan Pemuda Adat Region Jawa (Moh Jumri), Dewan Pemuda Adat Nusantara Region Sumatera (Anton Suprianto) dan Dewan Pemuda Adat Region Bali-Nusra (Muhamad Kusumayadi), Derlin salu (Bendahara BPAN), Jakob Siringoringo (Staf Komisi 1 Pengorganisasian) dan Andi Gustaf Lekto (Staf Komisi 2 Media Propaganda, advokasi dan Partisipasi Politik).

Setelah melakukan proses refleksi  RPN menghasilkan usulan-usulan yang akan masuk didraf untuk menuju Jamnas 2018. Hasil Rapat Pengurus Nasional juga membentuk panitia nasional dengan dibagi menjadi Panitia Pengarah dan Panitia Pelaksana. Waktu terus berputar jam menunjukkan 19.00, dengan tampak muka lusuh serta bercampur aduk perasaan karena kami berpikir semakin banyak lagi PR yang akan dipersiapkan.

Aku dan teman-teman bersepakat untuk mengakhiri RPN, dan kami kembali ke rumah rumah warga di mana tempat kami menginap. Kurang lebih 10 menit menggunakan motor menuju rumah warga, aku dan teman-temanku menikmati angin malam yang begitu segar dengan ditambah bunyi kincir angin yang terus melaju berputar, membuat proses perjuangan untuk terus berlanjut dan tak boleh dihentikan.

Hari kedua kami disuguhi dengan tawaran untuk pergi ke ‘Leuweng Adat’di mana Leuweng adat adalah Hutan Adat yang diperjuangkan oleh masyarakat Kasepuhan Karang dari status taman Nasional Halimun Salak yang kemudian dikembalikan oleh Presiden Jokowi melalui SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tepat pada Desember 2016 yang lalu, dengan luas 486 Ha hutan adat yang dikembalikan saat itu. cerita proses perjuangan masyarakat Kasepuhan Karang ini, diwakili oleh Pak Jaro Wahid yang merupakan Kepala Desa Jagaraksa dan merupakan penggerak dari proses perjuangan masyarakat di Kasepuhan Karang.

Pendidikan Politik Generasi Penerus Masyarakat Adat dengan Tema’ Yang Muda Yang Berpolitik’ segera dimulai, dengan dibuka melalui  permainan yang saya fasilitasi dan kemudian menyanyikan Mars BPAN, lagu “Tanah Ini Milik Kita” yang difasilitasi Melianus Ulimpa serta Kristina Sisilia atau biasa saya panggil kak Sisi. Lingkaran pun kami bentuk, di mana kami pun berdiri di tanah yang sengaja dibangun dengan konsep melingkar.

Mengapa melingkar? Bukan kotak-kotak atau segitiga atau seperti baris berbaris. Melingkar kami maknakan merupakan dari kesetaraan bahwa yang berkumpul di sini adalah sama, tidak ada yang tinggi dan tidak ada yang rendah. Dengan metode lingkaran kita bisa melihat satu sama lainnya, dengan lingkaran pula tidak akan ada penyusup yang bisa masuk. Dengan diberikan anak tangga yang melambangkan bahwa yang ada di bawah bisa menjadi penopang untuk bergerak, dalam proses perjuangan. Diskusi pun dimulai dengan dihadiri para pemuda adat dari Kasepuhan Karang kurang lebih 20 orang kami yang berkumpul pada saat itu.

Dengan saling bersapa bertatap muka, dan bercerita bersama, Engkos pemuda adat Kasepuhan Karang yang menggerakkan teman-temannya untuk mulai memikirkan wilayah adat mereka. Engkos bercerita bagaimana mereka melakukan banyak hal setelah hutan adat mereka dikembalikan. Mulai dari kembali menanam pohon yang mereka sebut adopsi pohon yang hingga saat ini yang sudah tertanam sebanyak kurang lebih 2700 pohon.

Mendengar cerita engkos kami semua terdiam, dan merasa terkagum-kagum dengan perjuangan masyarakat Kasepuhan Karang. Tutur Engkos awalnya tanah ini adalah milik semua masyarakat, dengan mudah untuk menanam buah-buahan dan hasil alam lainnya. Tapi pada 1987 Perhutani masuk dengan mulai menanam pohon-pohon meranti, dengan konsep tanam tebang. Alhasil masyarakat kasepuhan yang bertani pula harus membagi hasil tani mereka dengan Perhutani.

Strategi perjuangan ini mulai dipikirkan Pak Jaro Wahid yang merupakan putra Kasepuhan Karang. Awalnya ia berpikir strategi yang dilakukannya adalah dengan mencalonkan diri sebagai kepala desa, karena proses kebijakan terendah ada di desa, tuturnya. Maka ia pertama mencalon jadi kepala desa, ia kalah dengan selisih 25 suara pada waktu itu. Akhirnya Pak Jaro wahid mendapat bisikan dari kakeknya, kamu tidak akan bisa menjadi kepala desa, kalau kamu tidak membuat desa sendiri. Pak Jaro Wahid dengan perjalanan panjang melengkapi banyak persyarakat adaministrasi. Ia pun berhasil mendirikan desa yang sekarang dinamakan Desa Jagaraksa, Pak Jarowahid kemudian terpilih menjadi kepala desa. Tahun 2007 Perhutani berubah menjadi Taman Nasional Halimun Salak.

Dengan menjadi Taman Nasional semakin membuat masyarakat sengsara, ada petani yang mengambil buah di kebunnya harus dikejar-kejar oleh petugas Polisi Kehutanan, ada pula yang ditangkap aparat kepolisian. Banyak lagi masyarakat yang diintimidasi. Melihat situasi itu Pak Jaro wahid berfikir, Taman Nasional ini harus dilawan, dengan mengembalikan tanah ini menjadi tanah adat.

Salah satu syarat harus memiliki Perda Pengakuan Masyarakat Adat, akhirnya kepala desa ini berinisiatif pergi ke rumah rumah warga untuk meminta dukungan bagaiamana jika Taman Nasional ini harus kita kembalikan mejadi hutan adat. Masyarakat pun bersepakat, dan akhirnya Pak Jaro Wahid menemui pejabat di Kabupaten Banten Kidul untuk membicarakan Perda Masyarakat Adat. Tidak hanya itu perjuangan Pak Jaro harus menginap di pendopo bupati Banten Kidul selama berhari-hari hanya untuk meminta tanda tangan pengesahan Perda tersebut.  Terbitlah Perda Adat nomor 8 tahun 2015.

Kemudian dengan semangat yang menyala-nyala Pak Jaro wahid mendaftarkan Hutan Adat mereka pada tanggal 5 Oktober 2015 di KLHK  sesuai dengan Peraturan Menteri nomor 32 tahun 2015. Persyaratan tersebut mencakup Surat Pernyataan permohonan hutan adat, Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat serta wilayah adat. Hasilnya pada 30 Desember 2016 Presiden Jokowi resmi memberikan pengakuan hutan adat kepada masyarakat di Kasepuan Karang Lebak Banten, seluas 486 ha. Begitu tuturan Pak Jaro wahid selama diskusi di tempat yang sejuk itu.

Mengapa Pendidikan Politik itu memilih tema “yang muda yang berpolitik”, Jhontoni Tarihoran menuturkan ruang-ruang pemuda adat untuk memenangkan pertarungan itu saat penting, dengan politik yang dilakukan generasi muda bisa merebut ruang yang ada, seperti halnya yang Pak Jaro wahid lakukan di kampungnya, untuk menjaga wilayah adatnya, ia kemudian bertarung untuk menjadi kepala desa. Bagaimana strategi generasi muda dalam menjaga wilayah adat, karena generasi muda merupakan garda perjuangan terdepan untuk gerakan Masyarakat Adat.

Waktu terus berputar tak terasa sudah pukul 15.00, kami pun siap-siap meninggalkan Leuweng Adat dan kembali melanjutkan perjalanan ke Jakarta, dengan berat hati rasanya, karena harus meninggalkan tempat yang indah ini, tempat di mana kita harus pergi ke sini lagi, dengan mimpi yang dibawa setelah pulang dari sini.

[Modesta Wisa]

 

RPN IV BPAN: Persiapan Jambore Nasional III

 

Pemuda Adat – Pengurus Nasional Barisan Pemuda Adat Nusantara (PN BPAN) pada Jumat – Sabtu (17-18/11/2017) menyelenggarakan Rapat Pengurus Nasional (RPN) IV di Kasepuhan Karang.

Persiapan Jambore Nasional (JamNas) menjadi agenda utama, selain membicarakan evaluasi penyelenggaraan organisasi. Jambore Nasional III direncanakan pada akhir Februari 2018. Sampai sejauh ini, persiapan serius mulai dari kesiapan tuan rumah, panitia, kepesertaan hingga pendanaan belum konkret.

Anton Suprianto, DePAN Region Sumatera, dalam rapat menyampaikan agar pembahasan fokus ke persiapan Jamnas. Meskipun mengiyakan pendapat Anton, Modesta Wisa, DePAN Region Kalimantan menambahkan perlunya refleksi kepengurusan selama tiga tahun terakhir.

Banyak perkembangan yang berhasil diraih PN periode 2015 – 2018, namun masih tak terhitung juga program yang belum terlaksana. Refleksi ini mengerucut pada arah komunikasi internal organisasi yang kurang maksimal melalui garis struktur organisasi.

Dari sini kemudian muncul usul untuk membawa diskusi perihal mencermati kembali struktur yang sekarang. Mengadopsi struktur model komunikasi langsung dari wilayah pengorganisasian ke PN sempat menjadi pembahasan alot. Pembahasan ini akan dibawa dan ditawarkan dalam siding-sidang JamNas III.

Mengingat persiapan JamNas masih belum “tancap gas”, RPN IV ini kemudian menyepakati struktur kepanitiaan sementara, khususnya dari Pengurus Nasional. Struktur ini masih akan dikonsultasikan ke AMAN sebagai organisasi induk.

“Karena masih dikonsultasikan dulu, sekarang kita hanya menetapkan ketua aja sama bendahara dulu,” kata Kristina Sisilia, DePAN Region Sulawesi sekaligus Koordinator DePAN.

 

RPN yang bertempat di Desa Jagaraksa, Kec. Muncang, Kab. Lebak, Banten ini juga membicarakan refleksi, khususnya menyangkut tantangan-tantangan yang dihadapi. Dalam RPN ini dibahas persoalan-persoalan yang dihadapi PN khususnya pelaksana harian yakni Ketua Umum Jhontoni Tarihoran.

Terungkap dalam rapat ini bahwa kendala kebanyakan terjadi di tingkat wilayah dan daerah. Kepengurusan di tingkat wilayah mayoritas jalan di tempat. Sosialisasi atau pun daya jelajahnya belum begitu signifikan.

“Tantangan saat ini: iuran tidak berjalan, sosialisasi belum maksimal, kepengurusan belum berjalan juga. Data anggota pun sulit diperbaharui,” ujar Jhontoni.

RPN yang dilakukan dua kali setahun ini merupakan RPN terakhir di periode 2015 – 2018.

[Media BPAN]

Peringati Sumpah Pemuda, Pemuda Adat Sinjai Deklarasikan BPAN

Janji BPAN
 
Dengan bersaksi kepada Tuhan dan alam semesta
Dan dengan restu para leluhur Masyarakat Adat
 
Saya berjanji
Selalu teguh menjaga dan memelihara titipan leluhur saya
nilai-nilai dan sikap hidup yang luhur
perilaku yang arif
identitas budaya yang kokoh
hukum dan kelembagaan adat yang kuat
wilayah adat dan segala isinya yang lestari
  
Saya berjanji
Merasa senasib-sepenanggungan
dengan sesama Masyarakat Adat di mana pun
Setia membela hak-hak Masyarakat Adat
Menghormati Hak Azasi Manusia
Menjaga bumi
  
Saya berjanji
Mematuhi Statuta Barisan Pemuda Adat Nusantara
dan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga AMAN
setia dengan kepemimpinan organisasi
mengabdi kepada cita-cita luhur
Gerakan Masyarakat Adat Nusantara
untuk mewujudkan Masyarakat Adat dan Bangsa Indonesia
yang berdaulat, mandiri, dan bermartabat  
Semoga Tuhan dan para leluhur Masyarakat Adat menolong saya

 

Sinjai (28-29/10/2017) – Siapa yang tidak pernah mendengar Janji Pemuda Adat? Janji Pemuda Adat adalah janji kita sebagai pemuda adat untuk setia bangkit, bersatu, bergerak mengurus wilayah adat. Janji ini sangat mengikat kita sebagai generasi penerus Masyarakat Adat. Di sana jugalah sikap kita sebagai pemuda adat tertera dalam membela Tanah Air kita, Tanah Air Nusantara.

Di seluruh Nusantara bergema Janji Pemuda Adat, seperti yang terbaru di Sinjai, Sulawesi Selatan. Janji Pemuda Adat di Sinjai kali ini dirangkaikan dengan peringatan Sumpah Pemuda 28 Oktober. Pemuda Adat yang juga pemuda Indonesia, khususnya Sinjai memperingati Hari Sumpah Pemuda se-Indonesia itu dengan mendeklarasikan Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Daerah Sinjai.

“Dengan membacakan Janji Pemuda Adat secara serentak, disaksikan pemangku adat dalam hal ini Kepala Desa Tompobulu Mahmuddin, deklarasi ini resmi dilakukan,” kata Wahyullah Ketua PD AMAN Sinjai.

Deklarasi pun berlangsung dengan pembentukan struktur Pengurus Daerah (PD) BPAN Sinjai. Indra Lesmana pemuda adat dari komunitas Karampuang mendapat mandat sebagai ketua, Muhammad Agus pemuda adat dari komunitas Turungan sebagai Sekretaris dan Arman pemuda adat dari komunitas Barambang sebagai Bendahara.

Deklarasi yang mengangkat tema “Pemuda Adat Bangkit, Bersatu, Bergerak Mengurus Wilayah Adat” ini mendapat apresiasi penuh dari Mahmuddin. Ia bangga kepada para pemuda adat Sinjai yang memilih tindakan tepat sebagai refleksi nyata dari Sumpah Pemuda.

“Saya sangat apresiasi kegiatan ini. Dan saya harap dari tiga komunitas pemuda adat ini mampu bekerja sama dengan baik mengembangkan potensi yang ada. Apalagi ada aggaran desa yang bisa digunakan untuk pembinaan pemuda,” pungkasnya.

Deklrasi bersejarah ini diikuti para pemuda adat dari tiga komunitas adat di Sinjai: pemuda adat Turungan, Kec. Sinjai Barat, pemuda adat Karampuang, Kec. Bulupoddo dan pemuda adat Barambang, Kec. Sinjai Borong. Peserta yang berjumlah 50-an orang tersebut menjadi bukti betapa pemuda adat benar-benar garda terdepan dalam mengurus wilayah adat.

Marjuli, pengurus pemuda adat Karampuang menambahkan bahwa rencana tindak lanjut akan mengadakan kemah pemuda adat. Kemah ini, menurutnya, akan menjadi agenda terdekat untuk mengonsolidasi BPAN Daerah Sinjai.

“Ke depannya akan kita adakan lagi kemah pemuda adat. Selain belajar bersama, juga sekaligus pengukuhan pengurus. Apalagi teman-teman BPAN Pusat rencananya akan hadir nanti,” katanya.

 

[Burhanuddin]

Siaran Pers Peringatan Hari Tani Nasional 2017 Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA)

“Indonesia Darurat Agraria:
Luruskan Reforma Agraria dan Selesaikan Konflik-konflik Agraria”

Memasuki 57 tahun paska diundangkannya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 pada tanggal 24 September 1960 atau yang biasa diperingati sebagai Hari Tani Nasional, situasi agraria di tanah air belum sepenuhnya lepas dari corak feodalisme, kolonialisme dan kapitalisme. Situasi di atas tentu menjadi anomali, sebab UUPA 1960 merupakan mandat konstitusi Negara dalam rangka pengelolaan kekayaan agraria nasional yang berlandaskan keadilan sosial sebagai amanat pasal 33 UUD 1945.

Dewasa ini, ketimpangan struktur penguasaan dan konflik agraria masih ramai terjadi. Monopoli kekayaan agraria terjadi di hampir semua sektor kehidupan rakyat. Dari seluruh wilayah daratan di Indonesia, 71 % dikuasai korporasi kehutanan, 16 % oleh korporasi perkebunan skala besar, 7 % dikuasai oleh para konglomerat. Sementara rakyat kecil, hanya menguasai sisanya saja. Dampaknya satu persen orang terkaya di Indonesia menguasai 50,3 % kekayaan nasional, dan 10 % orang terkaya menguasai 7 % kekayaan nasional.

Politik kebijakan agraria nasional semakin tidak bersahabat dengan petani, sebab tanah dan kekayaan agraria lainnya telah dirubah fungsinya menjadi objek investasi dan bisnis oleh pemerintah yang berkuasa. Tercatat, rata-rata pemilikan tanah petani di pedesaan kurang dari 0,5 dan tidak bertanah. Per-Maret 2017, sebanyak 17,10 juta penduduk miskin hidup di pedesaan dan ditandai dengan terus naiknya indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan. (BPS, 2017). Situasi ini telah berkontribusi besar meningkatkan angka pengangguran dan buruh murah di perkotaan akibat arus urbanisasi yang terus membesar.

Meskipun beberapa kali menjadi program kerja para penguasa, faktanya reforma agraria yang sejati sesuai amanat UUPA 1960 tidak pernah benar-benar dilaksanakan. Seperti halnya dengan pemerintahan sebelumnya, Jokowi-JK juga telah memasukkan reforma agraria sebagai salah satu prioritas kerja nasional yang terdapat pada butir ke-5 program Nawacita. Bahkan pada tahun 2016, Jokowi telah mengeluarkan Perpres No. 45/2016 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2017 yang menempatkan reforma agraria sebagai salah satu prioritas nasional dalam pembangunan Indonesia.

Namun begitu, memasuki tiga tahun pemerintahannya, Jokowi-JK belum benar-benar melaksanakan reforma agraria sejati. Dari sisi kebijakan, walaupun sudah ada kemauan politik (political will), akan tetapi belumlah kuat. Indikasinya, Perpres Reforma Agraria sejauh ini masih belum ditandatangani. Sementara tuntutan untuk membentuk badan/lembaga otoritatif pelaksana reforma agraria malah dikerdilkan menjadi tim pelaksana reforma agraria yang berada di bawah Kementrian Kordinator Perekonomian (Kemenko Perekonomian) dan dibagi ke dalam tiga Pokja yang diketuai oleh Kementrian LHK, Kementiran ATR//BPN, dan Kementrian Desa PDTT. Artinya reforma agraria hanya dimaknai sebagai persoalan ekonomi semata tanpa memperhatikan aspek keadilan sosial.

Di sisi lain, terdapat beberapa kebijkan yang berpotensi membiaskan makna dari reforma agraria sejati. Misal, kebijakan Perhutanan Sosial (PS) yang diatur melalui Permen LHK No. 83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial yang kemudian diperbaharui melalui Permen LHK No. 93/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2017 tentang Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani. Masalahnya, perhutanan sosial hendak dipaksakan masuk ke dalam skema reforma
agraria. Perlu ditekankan, bawah reforma agraria dan perhutanan sosial mempunyai skema hukum yang berbeda dalam pelaksanaannya. Jika dalam reforma agraria salah satunya menguatkan secara legal formal hak atas tanah masyarakat, sebaliknya PS bisa menjadi kemunduran jikalau diterapkan pada wilayah yang sudah menjadi pemukiman, tanah pertanian dan fasilitas umum desa-desa. Mengapa demikian, mengingat adanya penegasan bahwa hutan adat bukanlah hutan negara pada utusan MK 35, seharusnya masyarakat menegaskan hal tersebut bukan malah dipaksakan mengambil PS dengan kata lain mengakui status hutan negara di dalam wilayah adatnya. Melihat buruknya pengelolaan kawasan hutan selama ini oleh pemerintah, situasi ini berpotensi meneruskan konflik dan tumpang tindih klaim antara rakyat dengan pemerintah maupun korporasi swasta di wilayah kawasan hutan.

Situasi ini ditambah dengan keengganan KLHK untuk menerapkan skema reforma agraria di Jawa, Bali dan Lampung dengan alasan bahwa di tiga wilayah tersebut sudah kurang dari batas minimum 30 % kawasan hutan. Kebijakan ini dinilai sebagai standar ganda yang sedang ingin didorong pemerintah mengingat banyaknya izin-izin tambang, konsesi-konsesi perkebunan besar dan tanah-tanah terlantar Perhutani yang seharusnya ditertibkan malah dipertahankan.

Dari sisi pelaksanaan, tercatat redistribusi tanah yang berasal dari HGU habis, tanah terlantar, dan tanah Negara lainnya sejak tahun 2015 hanya seluas 182.750 hektar. Redistribusi melalui transmigrasi sejak 2015 tercatat hanya 32.146 hektar. Sementara redistribusi melalu pelepasan kawasan hutan masing urung terlaksanan sejauh ini. Justru legalisasi asset melalui proses sertifikasi yang menunjukkan kemajuan siginifikan yakni seluas 609.349 hektar hingga tahun 2015 tanpa melihat sisi penguasaan tanah terlebih dahulu. Artinya kebijakan ini justru melegitimasi ketimpangan penguasaan tanah.

Di tengah mandeknya dan biasnya pelaksanaaan reforma agraria tersebut. Perampasan dan kriminalisasi petani justru semakin marak terjadi. Dari tahun 2015 hingga 2016, telah terjadi sedikitnya 702 konflik agraria di atas lahan seluas 1.665.457 juta hektar dan mengorbankan 195.459 KK petani (KPA, 2015 dan 2016). Artinya, dalam satu hari telah terjadi satu konflik agraria di tanah air. Sementara, dalam rentang waktu tersebut sedikitnya 455 petani dikriminalisasi/ditahan, 229 petani mengalami kekerasan/ditembak, dan 18 orang tewas. Angka ini jauh berbanding terbalik jika dibandingkan dengan pelaksanaan reforma agrarian di era pemerintahan saat ini.

Perempuan menjadi salah satu pihak yang paling dirugikan dari fenomena-fenomena perampasan lahan dan konflik agraria di atas. Laporan Solidaritas Perempuan tahun 2017 menunjukkan jumlah rumah tangga miskin dengan kepala keluarga perempuan mengalami kenaikan sebesar 16,12 % dari 14,9 % pada tahun 2014. Hilangnya tanah sebagai sumber kehidupan untuk pemenuhan kebutuhan dasar rumah tangga maupun ekonomi keluarga berdampak kepada meningkatnya beban perempuan dalam memastikan tersedianya pangan keluarga.

Tidak hanya perempuan, situasi ini juga telah berdampak buruk kepada masyarakat yang tinggal di pesisir dan pulau-pulau kecil. Bukannya ditempatkan sebagai subjek pembangunan yang lebih berkeadilan, mereka malah menjadi korban dari kebijakan maritime Jokowi-JK. Reklamasi, pertambangan, konservasi, dan pariwisata pesisir telah berubah menjadi mimpi buruk bagi masyarakat yang tinggal di pesisir dan pulau-pulau kecil. Pusat Data dan Informasi KIARA tahun 2016 mencatat lebih dari 107.000 KK nelayan telah merasakan dampak buruk 16 proyek reklamasi yang tersebar di berbagai daerah. Masih di tahun yang sama, pertambangan di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang tersebar di 20 wilayah di tanah air telah berkontribusi menghilangkan penghidupan masyarakat pesisir dan menghancurkan ekologi pesisir.

Dari jabaran-jabaran di atas, kami dari aliansi Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) untuk Hari Tani Nasional 2017 (HTN 2017) menilai bahwa Indonesia sedang berada dalam kondisi darurat agraria.
Oleh sebab itu, dalam rangka memperingati Hari Tani Nasional tahun ini dan 57 tahun UUPA 1960, KNPA akan melakukan berbagai rangkaian kegiatan aksi di nasional dan daerah dalam rangka menuntut pemerintah untuk segera menyelesaikan beragam persoalan agraria tersebut.

Selain melakukan konferensi pers yang dilaksanakan pada hari ini, Minggu, (24/9). Senin tanggal 25 September 2015, kami akan mendatangi MPR RI untuk menuntut agar legislatif turut melaksanakan TAP MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan UUPA No. 5/1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria sebagaimana mandat konsitusi Negara, pasal 33 UUD 1945.

Selasa, tanggal 26 September 2017 dilanjutkan dengan mendatangi MK dan KPK untuk menuntut dua lembaga Negara tersebut agar segera melakukan penertiban terhadap UU yang dinilai bertentangan dengan hak konstitusional khususnya para petani serta menindak beragam tindak pidana korupsi yang terjadi di sektor agraria, baik berupa penyalahgunaan wewenang, gratifikasi dan pemberian izin-izin diluar prosedur yang dilakukan pemerintah beserta perusahaan.

Di berbagai daerah turut pula merayakan HTN 2017 dengan tema bersama Indonesi Darurat Agraria, menuntut adanya penyelesaian konflik agraria di daerah masing-masing. Sedangkan puncak rangkaian aksi HTN 2017 ini adalah aksi turun ke jalan dengan estimasi 7000 massa aksi yang terdiri dari organisasi gerakan rakyat (petani, nelayan, perempuan, masyarakat adat, buruh, mahasiswa) dan organisasi masyarakat sipil lainnya menuju Istana Negara menuntut pemerintah Jokowi-JK melaksanakan reforma agraria yang sejati, yakni reforma agraria yang berlandaskan TAP MPR No. IX/2001, UUPA 1960, dan UUD 1945 sebagai pondasi dasar pengelolaan kekayaan agraria nasional yang berkeadilan dan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Demiikian Siaran Pers ini, agar menjadi perhatian semua pihak

Jakarta, 24 September 2017

Hormat Kami,

 

A.n. Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA)/Aliansi HTN 2017:

KPA – SPP – STI – SPM – IHCS – KIARA – SP – API – YLBHI – KNTI – SW – FPRS – Bina Desa – WALHI – KPBI – SPDD – SPI – KPOP – AMAN – BPAN – SPR Indonesia – SMI – PSHK – JKPP – ELSAM – AMANAT – LBH Jakarta – RMI – Yayasan Pusaka – SNI – KPRI – P3I – KSN – SPKS – SAINS – KontraS – LBH Bandung – TuK Indonesia – KRuHA – Perkumpulan Inisiatif – WALHI Jabar – SPRI – Gerbang Tani – HuMa – SP Jabotabek – P2B – Jakatani – STTB – JATAM – KPR – FIELD – KNPK – HMI Jabar – PPC – FPPB – STIP – PMII Kota Bandung – HITAMBARA – FPPMG – FARMACI – FPMR – YP2I – SPMN – PMII Jabar – AGRA

__________

Daftar Aliansi Hari Tani Nasional 2017
1. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
2. Serikat Petani Pasundan (SPP)
3. Serikat Tani Indramayu (STI)
4. Serikat Petani Majalengka (SPM)
5. Indonesian Human Rights Comittee for Social Justice (IHCS)
6. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
7. Solidaritas Perempuan (SP)
8. Aliansi Petani Indonesia (API)
9. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
10. Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI)
11. Sawit Watch (SW)
12. Front Perjuangan Rakyat Sukamulya (FPRS)
13. Bina Desa
14. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
15. Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI)
16. Solidaritas Pemuda Desa untuk Demokrasi (SPDD)
17. Serikat Petani Indonesia (SPI)
18. Kesatuan Perjuangan Organisasi Pemuda (KPOP)
19. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
20. Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN)
21. Sarekat Pengorganisasian Rakyat (SPR)
22. Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI)
23. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
24. Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)
25. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
26. Aliansi Masyarakat Nanggung Transformatif (AMANAT)
27. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
28. Rimbawa Muda Indonesia (RMI)
29. Yayasan Pusaka
30. Serikat Nelayan Indonesia (SNI)
31. Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI)
32. Persatuan Pergerakan Petani Indonesia (P3I)
33. Konfederasi Serikat Nasional (KSN)
34. Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS)
35. Sajogyo Institute (SAINS)
36. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
37. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung
38. Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia
39. Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA)
40. Perkumpulan Inisiatif
41. Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jabar
42. Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI)
43. Gerbang Tani
44. Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa)
45. Solidaritas Perempuan (SP) Jabotabek
46. Persatuan Petani Banten (P2B)
47. Jaringan Kerja Tani (Jakatani)
48. Serikat Tani Telukjambe Bersatu (STTB), Karawang
49. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)
50. Komite Perjuangan Rakyat (KPR)
51. Farmer Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy (FIELD)
52. Komite Nasional Pertanian Keluarga (KNPK)
53. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Jabar
54. Paguyuban Petani Cianjur (PPC)
55. Forum Perjuangan Petani Batang (FPPB)
56. Serikat Tani Independen Pemalang (STIP)
57. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota Bandung
58. Himpunan Tani Masyarakat Banjarnegara (HITAMBARA)
59. Forum Pemuda Pelajar Mahasiswa Garut (FPPMG)
60. Forum Aspirasi Rakyat dan Mahasiswa Ciamis (FARMACI)
61. Forum Pemuda dan Mahasiswa untuk Rakyat Tasikmalaya (FPMR)
62. Yayasan Petani Pasundan Indonesia (YP2I)
63. Serikat Pemuda Mahasiswa Nusantara (SPMN)
64. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Jabar
65. Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA)

Jamwillub BPAN Sumut

Pemuda Adat. Jambore Wilayah Luar Biasa (Jamwillub) BPAN Sumut secara musyawarah menyepakati Amin Nasution sebagai Ketua BPAN Sumut periode 2017-2020. Di saat bersamaan, Jamwillub secara mufakat juga menyepakati Harun Nuh (Ketua BPH AMAN Sumut), Alfi Syahrin (Sekjen BPRPI), dan Tengku Aminullah (Dosen Politeknik Teknologi Kimia Industri/PTKI) sebagai penasihat.

Jambore yang berlangsung pada 5-6 Agustus 2017 itu diadakan di Balai Adat Batang Kilat, Medan Labuhan, Medan. Para pemuda yang hadir berasal dari Kampung Sampali, Tumpatan Nibung, Bandar Setia, Kampung Terjun dan Batang Kilat.

Ketua Umum BPAN Jhontoni Tarihoran mengatakan bahwa perjuangan para pemuda adat sangat besar tanggung jawabnya untuk menjaga dan melestarikan warisan leluhur; dan yang paling vital adalah tanah. “Tanah itu bukan secara tiba-tiba bisa kita tanami, di tanah ini juga bukan secara tiba-tiba kita bisa mendirikan rumah. Itu buah dari perjuangan leluhur kita,” tegasnya.

Ia menekankan kepada para pemuda adat untuk lebih memaknai perjuangan mengurus wilayah adat. Menurutnya, orang mati saja perlu tanah, apalagi kita orang hidup. Karena itu perjuangan pemuda adat bukan hal sepele.

“Maknailah perjuangan ini kawan!” pesannya.

Sebelum pelantikan ketua wilayah dilakukan, seluruh peserta diajak melakukan serangkaian kegiatan, dimulai dari diskusi terbuka, membahas dan menetapkan agenda kerja Jamwil, mendengar sejarah perjuangan dari tetua adat setempat dan merumuskan program kerja organisasi serta pikiran rekomendasi terkait perjuangan Masyarakat Adat.

 

Fernando Manurung

PERINGATAN SATU DEKADE DEKLARASI PBB TENTANG HAK-HAK MASYARAKAT ADAT SEDUNIA

Setiap 9 Agustus masyarakat adat di seluruh dunia merayakan International Day of the World’s Indigenous Peoples atau Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia dan telah ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Resolusi 49/214 pada 23 Desember 1994. Tanggal 9 Agustus dipilih karena alasan historis, dimana tanggal tersebut merupakan hari pertemuan pertama Kelompok Kerja PBB untuk Masyarakat Adat Sub-Komisi untuk Promosi dan Perlindungan HAM pada 1982.
Tahun ini, perayaan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia lebih istimewa karena bertepatan dengan Peringatan Satu Dekade (10 tahun) Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat yang telah dideklarasikan pada 13 September 2007; 10 tahun yang lalu. Indonesia, telah berpartisipasi aktif dan merupakan salah satu negara yang ikut menandatangani Deklarasi tersebut.
Posisi Indonesia sebagai salah satu negara penandatangan Deklarasi tidak saja merupakan pernyataan bahwa Indonesia setuju terhadap Deklarasi tersebut tetapi juga berkonsekuensi pada adanya kewajiban hukum dan moral bagi negara untuk menindaklanjuti Deklarasi tersebut ke dalam hukum dan kebijakan nasional.
Setelah 10 tahun Deklarasi tersebut ditandatangani, kita perlu secara jujur menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia masih jauh dari harapan dalam mengimplementasikan Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat.
Dengan tidak mengurangi penghargaan atas upaya dan capaian Pemerintah dalam 10 tahun terakhir, kita harus secara terbuka mengakui bahwa Pengakuan dan perlindungan hukum bagi masyarakat adat masih jalan di tempat. Putusan MK 35/2012 masih belum secara serius dijadikan sebagai acuan dari pembentukan hukum dan kebijakan dan program pemerintah. Sampai saat ini, Pemerintah baru mengembalikan 13.000 hektar hutan adat kepada masyarakat adat.
Di sisi pembentukan hukum, RUU Masyarakat Adat juga sampai saat ini belum dibahas. Begitu pula pembentukan hukum di daerah yang lamban. Sementara itu, kriminalisasi terhadap masyarakat adat jalan terus; 14 orang warga masyarakat adat Seko telah dihukum karena memprotes pembangunan PLTA di wilayah adatnya. Begitu pula Trisno, seorang masyarakat adat di Tana Bumbu Kalimantan Selatan dihukum dengan alasan ladangnya merupakan bagian dari kawasan hutan.

Satgas Masyarakat Adat sebagai lembaga trouble shooter terhadap mandegnya agenda-agenda pengakuan dan perlindungan masyarakat adat saat ini masih belum ditetapkan.
Indonesia di bawah Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden jusuf Kalla pada dasarnya memiliki prasyarat untuk menjadi pemimpin global pada isu pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Pemerintah hanya perlu menjalankan secara konsisten 6 (enam) agenda Nawacita yang berkaitan dengan masyarakat adat, antara lain:
1. Mempercepat pengesahan RUU Masyarakat Adat menjadi Undang-Undang,
2. Meninjau ulang peraturan perundang-undangan terkait masyarakat adat khususnya tentang hak atas sumber agraria,
3. Memastikan proses-proses legislasi terkait pengelolaan tanah dan sumberdaya alam pada umumnya, seperti RUU Pertanahan, dan lain-lain, berjalan sesuai dengan norma-norma pengakuan hak-hak masyarakat adat sebagaimana yang telah diamanatkan dalam MK 35/201,
4. Menyusun (rancangan) Undang-undang terkait dengan penyelesaian konflik-konflik agraria yang muncul sebagai akibat dari pengingkaran berbagai peraturan perundangundangan sektoral atas hak-hak masyarakat adat selama ini,
5. Membentuk Komisi Independen yang diberi mandat khusus oleh Presiden untuk bekeria secara intens untuk mempersiaphan berbagai kebijakan dan kelembagaan yang akan mengurus hal-hal yang berkaitan dengan urusan pengakuan, penghormatan, perlindungan, dan pemajuan hak-hak masyarakat adat ke depan, dan
6. Memastikan penerapan UU Desa 6/2014 dapat berialan, khususnya dalam hal mempersiapkan Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam mengoperasionalisasi pengakuan hak-hak masyarakat adat untuk dapat ditetapkan menjadi desa adat.

Indonesia akan menjadi pemimpin global dalam urusan Masyarakat Adat jika Pemerintah mulai bekerja secara konsisten untuk mencapai enam komitmen Nawacita tersebut di atas.

Rakyat Sumatera Utara Membutuhkan Abdon Nababan

Pemuda Adat. Sumatera Utara tengah mengalami krisis kepemimpinan yang akut. Dua periode berturut-turut gubernurnya masuk penjara karena terjerat kasus korupsi. Provinsi besar ini sangat membutuhkan sosok pemimpin yang bersih, jujur ingin membangun daerah dan berbuat untuk rakyat. Abdon Nababan sosok yang pas untuk itu.

 

Demikian inti pemikiran yang disampaikan pemerhati otonomi daerah, jurnalis senior asal Sumatera Utara Nestor Rico Tambunan, dalam diskusi terbatas dengan kalangan media dan kader-kader Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Jakarta, Senin, 7 Agustus 2017.

Diskusi tersebut berkaitan dengan keputusan Pengurus Wilayah AMAN Tano Batak dan AMAN Sumut, serta Jaringan Organisasi Masyarakat Sipil Sumatera Utara yang belum lama ini mengutus dan mendeklarasikan Abdon Nababan maju dalam Pemilihan Gubernur Sumut 2018.

 

Nestor menjelaskan, Sumatera Utara provinsi besar dengan 33 kabupaten dan kota, yang karakteristik wilayah dan masyarakat yang sangat beragam. “Abdon Nababan orang yang mampu mengelola keberagaman. Dia sudah 20 tahun lebih melayani dan berbuat untuk masyarakat adat Nusantara, dari Sabang sampai Merauke,” ujar jurnalis senior yang belum lama ini memperoleh kehormatan sebagai Wartawan Utama dari Dewan Pers.

 

Menurut Nestor, Abdon Nababan sosok orang cerdas yang rendah hati dan punya jiwa pengabdian yang besar terhadap masyarakat. Terbukti dengan penghargaan Ramon Magsaysay Award yang ia peroleh tahun ini. Pemberian penghargaan yang dijuluki “Nobel Asia” itu karena Abdon dinilai berhasil mengangkat dan menyuarakan keberadaan dan hak-hak sipil masyarakat adat di Indonesia. “Itu bukan prestasi dan penghargaan yang sembarangan,” tegas jurnalis yang juga dikenal sebagai aktivis sosial dan dosen ini.

 

Bukti lain kemampuan dan kapasitas Abdon Nababan, jelas Nestor, sampai sekarang pria kelahiran Siborongborong itu masih memegang beberapa jabatan dan pimpinan di berbagai organisasi/lembaga nasional dan internasional, antara lain Anggota Dewan Directur Tenure Facility yang berbasis di Stockholm (2016-sekarang), Anggota Komite Pengarah Global Tropical Forest Alliance (TFA) 2020 yang berafiliasi dengan World Economic Forum (WEF) berbasis di Jenewa, Swiss (2015-sekarang). Dia juga pernah menjadi panel ahli di PBB (UNDP) dan KPK dan beberapa kementerian. “Tapi yang terutama, semangatnya untuk melakukan perbaikan kehidupan untuk masyarakat dan manusia,” ujar Nestor.

 

Sementara tantangan bagi Abdon Nababan, menurut Nestor, ia belum dikenal luas di masyarakat Sumatera Utara. “Saya kira, itu tugas AMAN dan jaringan organisasi masyarakat sipil yang mengutusnya. Tugas mereka memperkenalkan Abdon Nababan kepada rakyat di Sumatera Utara.”

 

Nestor menilai, keputusan mendorong Abdon Nababan maju dalam Pilgub Sumut 2018 melalui jalur independen, tidak melalui partai politik, memiliki nilai emas. “Dengan demikian Abdon tidak punya hutang politik kepada elit atau partai. Hutang politik yang membuat kepala-kepala daerah terjebak dalam korupsi, termasuk di Sumut. Hutangnya kepada rakyat yang memilihnya,” tegas Nestor. *

Abdi Akbar

Sumber: www.aman.or.id

UU Masyarakat Adat Selangkah Lagi, Sah!

Pemuda Adat, Jakarta (28/7)—Memasuki fase akhir pengajuan RUU Masyarakat Adat (RUU MA) sebagai salah satu bagian dari Prolegnas 2017, Fraksi Nasdem sebagai pengusul di DPR menggelar Uji Konsep (focus group discussion) terhadap RUU MA. Uji Konsep ini bertujuan untuk memfinalisasi masukan terhadap penyusunan RUU MA sebelum diserahkan ke Badan Legislasi untuk dibawa ke sidang paripurna.

Anggota DPR RI Fraksi Nasdem Luthfi Andi Mutty menyampaikan bahwa uji konsep ini untuk mematangkan substansi supaya sidang paripurna tidak “mem-pimpong” RUU MA. Dia juga menekankan agar perjuangan memenangkan “pertarungan” di DPR, kiranya intervensi pemerintah cepat dan tepat.

Luthfi Andi Mutty

“Kami meminta AMAN untuk melobi Presiden (Joko Widodo—red) atau KSP agar mengutus perwakilannya dari pemerintah untuk mengawal RUU ini, lalu bertanggung jawab untuk menyusun Daftar Inventaris Masalah (DIM),” ujar pria yang biasa juga disapa Opu Luthfi itu.

Secara spesifik ia meminta utusan pemerintah dari kementerian yang tepat. Penekanan ini menurutnya karena berkaca dari proses-proses selama ini di mana pemerintah mengirim Kementerian Kehutanan. Kementerian ini, lanjutnya, pada dasarnya sangat bersifat teknis.

“Kementerian Hukum dan HAM yang tepat mengawal ini dari pemerintah, bukan KLHK,” katanya.

Sandra Moniaga Komisioner Komnas HAM dalam paparannya menegaskan bahwa pada dasarnya Komnas HAM sangat mendukung RUU MA disahkan. Namun ia menggarisbawahi dukungan tersebut benar-benar powerful apabila isi RUU MA tetap sesuai mekanisme hukum yang berlaku di Indonesia, menjunjung tinggi HAM dan berdasarkan masyarakat adat itu sendiri.

“RUU ini (jika disahkan) hanya akan menambah masalah jika isinya tidak sesuai dengan masyarakat adat. Kami harus kritis di sini sebab itu sudah tugas,” katanya.

Poin penting yang ditekankan Sandra juga adalah menyangkut ketegasan RUU MA mengatur masyarakat adat sebagai subjek hukum. Masyarakat Adat yang diatur dalam RUU ini tidak termasuk wilayah eks Swapraja dan lembaga eks Kesultanan dan/atau Kerajaan.

Terkait hal itu, pasal penjelasan masyarakat adat dan syaratnya dituntaskan dalam Uji Konsep ini.

Dalam draft yang disusun Perancang Undang-Undang DPR RI menyebutkan bahwa untuk diakui sebagai Masyarakat Adat harus memenuhi 7 persyaratan yaitu: 1) memiliki komunitas tertentu yang hidup berkelompok dalam suatu bentuk paguyuban, memiliki keterikatan karena kesamaan keturunan dan/atau territorial; 2) mendiami suatu wilayah adat dengan batas tertentu secara turun-temurun; 3) mempunyai identitas budaya yang sama; 4) memiliki pranata atau perangkat hukum dan ditaati kelompoknya sebagai pedoman dalam kehidupan Masyarakat Adat; 5) mempunyai Lembaga Adat yang diakui dan berfungsi; 6) memiliki kearifan lokal dan pengetahuan tradisional; dan/atau; 7) memiliki harta kekayaan/benda adat.

Menurut Malik, peneliti hukum dari Epistema Institute, persyaratan yang diatur dalam draft tersebut seharusnya tidak mengatur mengenai syarat tetapi kriteria sebagai Masyarakat Adat sebagaimana dimaksudkan dalam konstitusi, dan ktiteria tersebut cukup meliputi 3 hal saja yaitu: sejarah asal usul, wilayah adat, dan kelembagaan adat.

Sebagai narasumber dalam Uji Konsep ini, Sandra juga menyampaikan agar di dalamnya isu tentang perempuan masyarakat adat turut dibunyikan.

Dari sisi perincian pasal per pasal, narasumber berikutnya Direktur Advokasi AMAN Erasmus Cahyadi menambahkan bahwa RUU ini bertujuan untuk menyelesaikan konflik secara holistik di masyarakat adat.

“Konflik di masyarakat adat adalah produk dari masa lalu yang secara sadar ingin mengeliminir hak-hak masyarakat adat. Itulah politik hukum di masa lalu. Dan RUU ini hanya perlu mengatur mekanisme-mekanisme pokok,” ujarnya.

Hadir dalam pertemuan ini Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi, Wakil Ketua DAMANAS yang baru kemarin meraih Ramon Magsaysay Award 2017 Abdon Nababan, utusan Walhi serta perwakilan lain yang konsen terhadap Masyarakat Adat.

Peserta Uji Konsep RUU Masyarakat Adat

 

Jakob Siringoringo

 

 

KONTAK KAMI

Sekretariat Jln. Sempur 58, Bogor
bpan@aman.or.id
en_USEnglish