Lembaga Adat PPU, Pertunjukan Mewarnai dan Menggambar Langkah Positif Pertahankan Identitas

Bpan.aman.or.id PENAJAM – Ketua Lembaga Adat Paser (LAP) Musa apresiasi acara pertunjukan mewarnai dan menggambar tingkat Kabupaten yang diikuti oleh Paud, SD dan SMP yang diselenggarakan oleh pengurus Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) 10 November 2018 mendatang. Ia menilai kegiatan tersebut nanti sebagai ajang promosi dalam melestarikan budaya daerah.

“Pada era globalisasi identitas budaya menjadi penting. Maka saya kira yang dilakukan BPAN PPU sangat baik, itu merupakan salah satu cara mengedepankan keragaman budaya Indonesia,” ungkap Musa usai menerima ketua BPAN PPU Asnan di Seketariat LAP, Kamis (18/10) sekira pukul 14.30 WIT.

Musa mengatakan bahwa dirinya merupakan salah satu yang memiliki minat dalam mengembangkan dan melestarikan budaya daerah. Menurut Musa kegiatan tersebut sebagai bentuk promosi dan memperkenalkan kebudayaan di Paser ada.

”Budaya sebagai kekuatan identitas agar kita tidak tergerus oleh budaya-budaya asing yang akan memecah belah bangsa. Dimana budaya bisa mempertahankan kebhinekaan,” jelasnya.

Di Tempat yang sama Ketua Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Penajam Paser Utara (PPU) Asnan mengatakan bahwa kegiatan penampilan menggambar ini akan bekerja sama dengan Dinas Pariwisata Kabupaten.

Menurut Asnan, penyelenggaraan penampilan menggambar ini juga Sebagai program kerja BPAN Paser mendafatkan dukungan dari Lembaga Adat Paser.

“Harapan saya dengan pertunjukan menggambar Budaya ini dapat memperkenalkan budaya daerah, khususnya budaya paser kepada Adik-adik di PAUD, SD dan SLTP,”terang Asnan.

Acara tersebut nantinya akan di laksanakan pada 10 November 2018 di Taman Pasar Induk Penajam. Kegiatan tersebut juga akan berbarengan dengan Nondoi yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah. Dalam acara tersebut juga akan menampilkan banyak kesenian dari daerah lain, diantaranya yaitu kesenian dari pulau Sumartra, Sulawesi dan Pulau Jawa.

“Tujuan kami untuk mendekatkan budaya Paser kepada masyarakat Penajam dan masyarakat luar, selain itu juga memperkenalkan kepada negara-negara luar tentang pelestarian budaya,”tungkas Asnan.

Penulis : Eko

AMAN Gerakan Organisasi Sayap Tangani Bencana di Sulteng

Bpan.aman.or.id PALU – Alianisi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), bersama organisasi sayap Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), Perempuan AMAN melakukan rapat. Tujuannya untuk melakukan langkah penenganan bencana di komunitas adat yang terkena dampak bencana Palu dan Donggala, Sulawesi (2/11) sekira pukul 10.WITA. Dalam agenda tersebut ada tujuh pengurus daerah yang hadir.

Ketua Badan Harian (BPH) Wilayah Aliansi Masyarakat Aadat Nusantara (AMAN) Sulawesi Tengah Asran sangat menyambut baik tentang dibentuknya tim tanggap darurat, menurutnya tim itu sangat membantu dalam melakukan evakuasi.

“Kita telah membuka posko selama satu bulan di Kantor PW AMAN, harapnya beberapa yang terkena dampak gempa, AMAN bisa membantu komunitasnya.”kata Asran.

Di tempat yang sama, Annas Rasidin Korrdinator Tanggap Bencana dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan kita akan membantu dan merespon akan tetapi harus melakukan pendataan anggota komunitas yang terekana dampak gempa di Sulawesi Tengah.

”Kita akan data dan pastikan komunitas mana yang terekana dampak, apa yang kita bisa bantu dan penanganan apa yang bisa kita lakukan, seperti contoh kebutuhan mendesak makanan, tempat tinggal sementara, sarana air bersih, tenda, selimut, terutama makanan untuk bayi, obat-obatan, pasokan air serta yang berkaitan dengan listrik.”ujar Annas.

Dikatakan Annas, AMAN juga akan menyesuaikan bantuan yang dikiranya mereka bisa lakukan sesuai dengan kemapuan, menurut Annas yang paling penting dalam tanggap darurat itu masyarakat adat di sini tidak kelaparan sehingga tidak sakit dan dipastikan ketersediaan logistik.

”Kalau nantinya kita mempunyai data tentu lebih mudah dalam melakukan penanganannya, karena kalau pun AMAN tidak bisa membantu nantinya akan berkordinasi dengan lembaga lain yang bersedia membantu.”terang Annas.

Ditambahkan Annas, penanganan bencana di sini sebenarnya bisa kita lakukan lewat sayap-sayap AMAN yang ada di sini, seperti BPAN dan Perempuan AMAN, menurut Annas minimal dari setiap daerah ada tiga atau empat orang yang bisa koordinasi dengan tim tanggap darurat.

”Pembuatan tim bencana ini, agar memudahkan AMAN juga dalam merespon kondisi yang terkena dampak gempa agar terkordinis,”ungkap Annas.

Sementara itu, Samsudin Ketua Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Wilayah Sulawesi Tengah mengatakan bahwa kita anak muda di sini, tetap terus bergerak beriringan dengan AMAN sebagai organisasi Induk, selama ini kita bergerak selalu berkordinasi dengan ketua PW dan PD.

”Kebetulan anak muda di sini banyak yang ikut terlibat dan memang poskonya kita gabungkan di AMAN Sulteng,”terang Samsudin.

Samsudin juga menyampaikan rasa terimakasih kepada kawan-kawan BPAN dari wilayah lain seperti BPAN Minahasa, BPAN Kalbar, Bengkulu dan yang lain-ain yang ikut melakukan solidaritas dalam melakukan penangganan bencana cepat selama ini.

”Saya apresiasi tanggap darurat ini dan menyampaikan rasa terima kasih kepada kawan-kawan BPAN, AMAN dan Perempuan AMAN.”tutup Samsudin.

Penulis : Sisi Boka Anggota BPAN

Lakukan Konsolidasi BPAN, Ini Pesan Dewan Pemuda Adat Nusantara

Bpan.aman.or.id LOMBOK – Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Wilayah Bali Nusa menggelar konsolidasi dan pendidikan pemuda bagi calon anggota yang akan bergabung, Rabu (31/10) di Pantai Tanjung Menangis, Komunitas Pringgabaya Lombok Timur. Acara tersebut dihadiri Dewan Pemuda Adat Nusantara (Depan) Region Bali Nusa, Badan Pengurus Harian AMAN Lombok Timur dan Puluhan Calon Anggota BPAN.

“Pemuda Adat merupakan harapan, karena kita yang menjaga dan mempertahankan tradisi, wilayah adat, tanah adat, budaya kita sendiri,”Kata Lalu Kusuma Jayadi saat memberikan materi pengkaderan, Rabu (31/10) di Lombok Timur.

Dewan Pemuda Adat Nusantara (Depan) Region Bali Nusa itu juga menyampaikan bahwa pemuda harus bisa mengurus wilayah adatnya agar bisa tercapai cita-citanya, ini bagian konsolidasi menjelang pra Jambore Daerah di Lombok Timur, “Tentu semua orang harus punya harapan agar cita-cita berdaulat madiri dan bermartabat,”tegas Lalu.

Pria yang disapa LKJ itu menambahkan bahwa BPAN merupakan organisasi pemuda yang menjaga negara ini dan BPAN harus menjadi garda paling depan, “Kita anggotanya itu, bermacam suku, agama, adat istiadat dan kita semua menerima perbedaan itu. Ini lah yang disebut Indonesia.”ungkap LKJ.

Ditempat yang bersamaan, Ketua Badan Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Lombok Timur, Sayadi menyampaikan bahwa konsolidasi dan kaderisasi ini sangat penting. Sehingga bisa mendukung dalam kerja-kerja organisasi induk yaitu AMAN ke depannya. “Saya apresiasi kegiatan konsolidasi ini, karena kegiatan ini bagian dari kerja organisasi yang akan mendukung perjuangan AMAN,”ucap Sayadi.

Dalam kegiatan konsolidasi juga, BPAN membahas tentang gerakan AMAN yang sedang mendorong Rancangan Undang Undang Masyarakat Adat agar anak muda ikut terlibat menyuarakan isu masyarakat adat.

Penulis : Nanang Noise

Posko Bencana Dijadikan Ajang Konsolidasi Dukung RUU Masyarakat Adat

Bpan.aman.or.id PALU – Puluhan anggota dari Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) yang membuka Posko untuk korban Gempa dan Tsunami di Sulawesi Tengah, Sabtu (3/11) melakukan aksi untuk mendukung Rancangan Undang-undang Masyarakat Adat (RUU MA). Mereka membentangkan keretas dengan bertulisan Sahkan RUU Masyarakat Adat.

Ketua Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Wilayah Sulawesi Tengah Samsudin mengatakan bawha anak muda di Sulteng sangat antusias mendukung tim evakuasi bencana yang dilakukan AMAN selama ini, mulai dari mendirikan posko untuk evakuasi tanggap darurat bencana sampai dengan membentuk tim evakuasi komunitas AMAN yang ada di Sulawesi tengah yang terdampak gempa.

“Kebetulan ada kawan-kawan BPAN di Posko, kita suarakan isu masyarakat adat, seperti tuntutan agar pemerintah sahkan RUU Masyarakat Adat. Sebelum aksi kita juga melakukan pemahaman terhadap anggota terlebih dulu tentang RUU Masyarakat Adat “tegas Samsudin.

Menurut Samsudin bahwa dalam bencana ini, bisa menjadi ajang konsolidasi antara gerakan rakyat, dimana selama proses evakuasi tanggap darurat yang dibentuk PW AMAN Sulteng ini, beberapa organisasi banyak yang teibat dan peduli terhadap gerakan sosial.

“Selain AMAN dan beberapa organisasi sayap yang terlibat membantu evakuasi dampak gempa, ada organisasi lain yang ikut terlibat diantaranya NU, Pencinta Alam dan Mahasiswa-mahasiswa.”tuturnya.

Sementara itu, Dewan Pemuda Adat Nudantara (Depan) Region Sulawesi Joko Sunarto mengapresiasi kawan-kawan BPAN yang terlibat dalam tim evakuasi tanggap darurat. Menurut Joko selama evakuasi tanggap darurat BPAN menjadi motor dan ujung tombak di bawah dalam membantu kerja-kerja AMAN.

“Tanggap darurat yang dilakukan kawan-kawan BPAN bukan semata-mata perjuangan untuk komunitas saja, akan tetapi semua masyarakat yang membutuhkan uluran tangan kita respon dan tanggapi,”ungkap Joko.

Dikatakan Joko bahwa memang saat ini, dalam proses perekrutan untuk menjadi anggota bpan itu tidak terbatas. Mereka yang bergabung tidak mesti anggota komunitas AMAN.

“BPAN harus bisa menjadi wadah perjuangan untuk menyelesaikan isu-isu strategis di masyarakat salah satunya bencana.”tutup Joko.

Penulis : Sisi Boka

Diskusi Setahun PD BPAN Osing Angkat Kearifan Lokal

bpan.aman.or.id – Mengenalkan budaya kita kepada orang lain tidaklah mudah. Sebab kita kudu memastikan bahwa pesan yang hendak disampaikan kepada publik bisa mengendap di hati mereka. Ada banyak nilai-nilai etis maupun moral dari dalam budaya kita, namun menunjukkannya kepada orang membutuhkan strategi yang tepat dan efektif.

Barisan Pemuda Adat Nusantara Daerah Osing, Banyuwangi punya satu cerita terkait strategi ini. Ulang tahun perdana BPAN dari timur Pulau Jawa ini melakukan acara menarik untuk merayakan usia setahunnya. Selain potong tumpeng, sebagaimana lazimnya, mereka mengadakan talk show Gesah Using Milenial.

 

“Tujuan acara ini adalah untuk mengenalkan budaya dengan diskusi yang dikemas santai dan kekinian. Jadi, anak muda lebih tertarik untuk datang ke acara Gesah Using Milenial (obrolan orang Using Milenial—red),” ujar Ketua Panitia Arif Wibowo, Jumat (2/3/2018).

“Harapannya, di Banyuwangi akan banyak muncul forum diskusi kreatif serta berbagi cerita, ide, dan gagasan dari orang-orang keren. Lalu semangatnya bisa menular ke orang lain,” tambahnya.

Acara Gesah Using Milenial yang digelar di Gedung Pamer Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kabupaten Banyuwangi tersebut merupakan talk show dengan tema budaya, namun berkonsep modernitas atau pop-culture yang mampu merangkul semua kalangan berbagai latar belakang, mulai dari siswa SMA, mahasiswa, sampai tenaga pendidik.

Panitia acara mengundang tiga inspirator yakni Vicky Hendri Kurniawan, Nur Holipah, dan kelompok penggiat media sosial kreatif yakni Byek Banyuwangi. Bersama ketiga inspirator, 100 pemuda Banyuwangi saling berbagi cerita, pengalaman, dan inspirasi tentang aksi-aksi untuk melestarikan budaya lewat cara-cara masa kini.

Jadi mereka saling belajar dan tukar pengalaman. Sebagaimana semangat kebersamaan para pemuda adat yang mengikuti slogan “semua orang itu guru, alam raya sekolahku”.

 

Vicky, sang kreator film dokumenter berbagi cerita kepada audiens mengenai sumber ide ketika dia akan menciptakan sebuah karya. Pendiri komunitas Banyucindih Creator ini mengaku sebelum menentukan tema karyanya, dia melihat sesuatu yang sifatnya lokal, seperti demografi, topografi, dan sifat daerah.

Menurut dia, sesuatu yang lokal pasti mempunyai potensi besar untuk dikembangkan. Hal tersebut membuat Vicky tertarik mengangkat kearifan dan potensi lokal di setiap film garapannya. Hasilnya, ia sudah beberapa kali mendapat penghargaan di tingkat nasional dan internasional.

Karena itu, ia mengajak para pemuda adat agar terus menggali potensi di daerahnya.

Sementara itu Nur Holipah (22) berperan melestarikan budaya leluhurnya dengan bentuk tulisan fiksi. Sejumlah puisi, cerpen, bahkan novel telah ia tulis dalam bahasa Using. Dia mengajak pemuda untuk menjadi penulis, sebab menurut Holip–sapaan akrabnya–tulisan itu abadi. Sekalipun sang pengarang telah tiada, ada jejak yang tak hilang yakni sebuah tulisan.

Maka dari itu, kata Holip, salah satu cara untuk melestarikan budaya yakni dengan cara menuangkanya ke dalam karya tulisan. Selain mengangkat Banyuwangi, dia juga membuat cerpen yang mengangkat unsur lokal daerah lain, seperti Bali dan Aceh.

Kemudian, media Byek Banyuwangi menjadi inspirator terakhir yang turut berbagi pengalamannya. Media yang sudah berdiri dua tahun ini mengangkat budaya lewat media yang sedang digandrungi para millenia yakni Instagram dan Facebook. Sejarah, tradisi, dan bahasa menjadi konten kreatifnya untuk mengedukasi para pengikutnya dalam bermedia sosial.

 

Aditya Catur Ginanjar, salah satu pendiri Byek Banyuwangi mengaku menurunnya minat pemuda terhadap budaya lokal menjadi alasan Byek Banyuwangi lahir. Lunturnya bahasa Using dan sedikit pemahaman tentang adat tradisi menjadi pecut semangat bagi Byek Banyuwangi yang berjumlahkan empat penggiat ini untuk mengunggah berbagai konten informasi tentang budaya.

Sentuhan gaya desain grafis yang selalu mengikuti tren dan sejumlah konten jokes juga turut diangkat. Dengan begitu, setiap konten dapat dengan mudah diterima oleh generasi millenial. Aditya berharap melalui medianya, budaya lokal dapat menjadi tren lagi, sehingga identitas Lare Osing tidak hilang.

Ketua BPAN Osing Kezia Fitriani berharap setelah setahun terbentuk, BPAN Osing menjadi salah satu wadah inspirasi dan mempererat persaudaraan pemuda adat untuk mempertahankan dan melestarikan adat budaya di komunitasnya.

Dalam setahun terakhir, BPAN Osing sudah berhasil merangkul puluhan pemuda adat yang tersebar di delapan komunitas adat Using Banyuwangi. Mereka telah melakukan sebuah kegiatan guna memperkompak dan menambah kapasitas pengetahuan para anggotanya yakni Jelajah Using.

Kegiatan Jelajah Using merupakan agenda berkumpulnya para anggota yang dilaksanakan di komunitas-komunitas adat secara bergantian setiap sebulan sekali. Pada acara tersebut pemuda BPAN menggelar beberapa kegiatan di antaranya diskusi isu-isu tentang hak-hak Masyarakat Adat, pelatihan menulis, pendalaman terhadap kesenian tradisonal, dan terlibat dalam pelaksaan suatu tradisi di salah satu komunitas.

Selain itu, sejak pertengahan tahun lalu, pembentukan sekolah adat di Banyuwangi tengah dicanangkan. Prosesnya kini masuk dalam pematangan konsep.

[Akbar Wiyana]

Awal 2018, AMAN Inhu Gelar Pelatihan Hukum dan Politik

28 Februari 2018

bpan.aman.or.id – Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Daerah Indragiri Hulu (Inhu) gelar pelatihan hukum dan politik serta penguatan basis di komunitas adat Talang Mamak, Kamis (15/2) bertempat di Hotel Miki Mutiara, Belilas.

Dalam acara tersebut Ketua PD AMAN Inhu Gilung menyampaikan beberapa hal yang harus dibicarakan terkait dengan tema pelatihan. Antara lain tentang hukum formal (negara—red) yang sewenang-wenang terhadap Masyarakat Adat. Masyarakat Adat dibodoh-bodohi, sehingga ada pemeo yang mengistilahkan: hukum tajam ke bawah tumpul ke atas.

Tommy Indiyan dari Perhimpunan Pengacara Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) memaparkan tentang hukum yang melindungi Masyarakat Adat dan banyak hal lagi yang dibicarakan olehnya terkait hukum-hukum ke Masyarakat Adat.

Selain itu pelatihan ini juga membahas tentang politik karena tahun ini merupakan tahun politik menghadapi pilkada serentak 2018 dan legislatif di tahun 2019 sekaligus berkaitan dengan penguatan basis di komunitas adat Talang Mamak.

Abdi Akbar dari Pengurus Besar AMAN menyampaikan tentang langkah politik yang akan dilaksanakan oleh Batin serta pengurus AMAN Inhu. “Kita harus merebut ruang-ruang politik untuk memastikan kebijakan berpihak kepada kita (Masyarakat Adat—red),” ujarnya.

Salah seorang peserta pelatihan, Suher (23), pemuda adat Talang Mamak mengatakan bahwa pandangannya terhadap situasi hukum dan politik di negeri ini semakin terbuka. Menurutnya, pelatihan ini sangat bermanfaat bagi pemuda adat yang merupakan generasi penerus Talang Mamak.

“Supaya sejarah dan asal usul kami tetap ada sampai ke depannya dari dunia takambang sampai dunia kiamat,” tuturnya.

Ketua AMAN Inhu Gilung berharap kegiatan ini bisa berkelanjutan atau tidak hanya sampai sini saja. Sementara peserta yang ikut dalam acara tersebut bertanggung jawab untuk menyampaikan isi pelatihan ke komunitasnya masing-masing.

Acara ini dihadiri Pengurus Besar Aliansi AMAN, Batin Adat, Masyarakat Adat dan pemuda adat Talang Mamak.

[Arwan Oscar]

AMAN Sintang Kawal Penyusunan Perbup Pembukaan Lahan

28 Februari 2018

bpan.aman.or.id – Tata cara pembukaan lahan bagi masyarakat di Kabupaten Sintang merupakan salah satu amanat dalam Peraturan Daerah No. 1 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang harus disusun dan diatur dalam Peraturan Bupati.

Karena itu, Dinas Lingkungan Hidup Kab. Sintang kembali melaksanakan rapat dengan agenda pembahasan lanjutan Perbup Pembukaan Lahan di ruang rapat Dinas Lingkungan Hidup Kab. Sintang, Kalbar (21/02/2018).

Ketua BPH PD AMAN Sintang, Antonius Antong mengapresiasi langkah yang diambil pemerintah yang dianggap masih memperhatikan hak-hak Masyarakat Adat. “Semoga ke depan tidak ada lagi Masyarakat Adat yang ditangkap karena membakar ladang miliknya sendiri. Sebab mereka berladang untuk memenuhi kebutuhan hidup, bukan untuk membabat hutan,” kata Antong.

Yang sudah terjadi selama ini Masyarakat Adat ketakutan untuk berladang. Di sisi lain pemerintah tidak memberikan solusi kepada masyarakat. “Pemerintah secara tidak langsung mengintimidasi kehidupan Masyarakat Adat,” tegasnya.

Dengan adanya Peraturan Bupati ini diharapkan akan mampu menjamin hak Masyarakat Adat. Draf Perbup akan diserahkan ke bupati untuk segera ditandatangani dan diteruskan ke Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat.

K. Danil B, Ketua DAMANDA Sintang menyampaikan bahwa AMAN akan selalu mengawal dan ambil bagian dalam setiap langkah pemerintah guna memastikan hak-hak Masyarakat Adat terlindungi.

“AMAN Sintang bersedia bekerja sama dalam penyusunan draf, pelaksanaan maupun untuk mensosialisasikan Perbup (Pembukaan Lahan—red) kepada Masyarakat Adat, supaya masyarakat betul-betul memahami apa yang menjadi hak mereka,” tegas Danil.

Maraknya kasus pembukaan lahan dan kebakaran hutan yang mengakibatkan polusi asap berdampak pada lahirnya Inpres No 11 Tahun 2015 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, dan Peraturan Men-LHK No. P.32/Men-LHK/Setjen/Kum.1/3/2016, yang berakibat larangan melakukan pembakaran lahan oleh pemerintah. Hal ini sangat mempengaruhi kehidupan Masyarakat Adat Sintang yang sebagian besar adalah petani berladang.

[HJ Pogo]

Kado Miris Awal 2018: Konflik Tanah Adat Kampong Riwang dan Lomu

Tadinya aku pengin bilang, aku butuh rumah

Tapi lantas kuganti dengan kalimat: setiap orang butuh tanah

Ingat: setiap orang!

 

– Wiji Thukul pada “Tentang Sebuah Gerakan”

 

Begitulah kata Wiji Thukul. Seolah-olah memberikan gambaran nyata soal potret perampasan tanah yang terjadi setiap tahun di Indonesia. Kado manis perampasan awal tahun 2018 kali ini diterima Masyarakat Adat Kampong Riwang dan Lomu, Kecamatan Batu Engau, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Perlawanan masyarakat terjadi akibat PT Pradiksi Gunatama dan PT. Senabangun Aneka Pertiwi memaksa masuk untuk menggusur tanah-tanah Kampong Riwang dan Lomu. Kedua PT tersebut masuk dan dikawal ketat oleh satuan Brimob dari Polres Paser.

Menurut keterangan warga, konflik muncul kembali pada Kamis, 4 Januari 2018. Sehari sebelumnya, beberapa perwakilan perusahaan datang ke kampong dan menyampaikan keinginan mereka. Kepala desa Kampong Riwang beserta 13 kepala desa lainnya, dengan ramah, bekerjasama menolak pemberian Hak Guna Usaha PT Pradiksi Gunatama dan PT Senabangun Aneka Pertiwi dan mendatangkan alat berat ke wilayah adat mereka.

Lima hari kemudian, Selasa 9 Januari 2018, PT Pradiksi masuk membawa 3 unit buldozer mereka dengan dikawal satuan Brimob dari Polres Paser tanpa mengkonfirmasi pemberitahuan terlebih dahulu kepada Masyarakat Adat. Secara terorganisir, masyarakat bergerak melakukan penahanan terhadap kedatangan PT Pradiksi.

Perlawanan terjadi, meski perusahaan tetap memaksa masuk.

Konflik ini menjadi pembuka perampasan awal tahun 2018. Bandingkan, sepanjang tahun 2017 menurut catatan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) terjadi sekitar 208 konflik perkebunan, 199 konflik properti, 94 konflik infrastruktur, 78 konflik pertanian, dan 30 konflik kehutanan. Dan dari sekian konflik itu, melulu mengatasnamakan pembangunan.

***

Tanah adalah relasi-relasi sosial dan produksi. Tanah kemudian diposisikan sebagai alat pengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya untuk mendukung eksistensi kapitalis. Dengan demikian, tujuan akhir penggunaan tanah adalah promethean – penguasaan tanpa batas atas kekuatan materiil dari alam semesta untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kepentingan manusia (Laksmi,2013).

Pemaksaan oleh PT Pradiksi yang terjadi di Kampong Riwang adalah cerminan watak kapitalisme modern yang telah mengkristal terjadi setiap tahunnya. Bahkan, HAM menjadi biasa untuk dilanggar demi melancarkan agenda eksploitasi. Tak pelak, negara pun sering menjadi promotor di balik agenda okupasi ini.

Sebagaimana dalam bukunya Ideology and Ideological State Apparatuses (1971), Althusser menyatakan bahwa negara dalam tindakannya demi akumulasi kapital terjaga, menggunakan salah satunya ia sebut dengan Repressive State Apparatuses (RSA). Negara menggunakan RSA melalui aparaturnya, seperti militer, polisi ataupun organisasi masyarakat. Ini dilakukan demi melancarkan proyek kapitalisasi di dalam segala bidang. Analisis Althusser dari kasus yang terjadi di Kampong Riwang menjadi sahih dengan adanya negara yang menggunakan militer untuk melancarkan proyek kapitalisasi dan perampasan tanah.

Umumnya negara berdalih demi pembangunan, namun pembangunan yang negara maksud adalah pembangunan yang menindas, bukan mensejahterakan. Mari kita dalami, sejak kapan pembangunan digunakan sebagai bungkus penghisapan tanah rakyat.

Pembangunan atau penghisapan?

‘Mazhab pembangunanisme’ berkembang masif sejak Orde Baru. Pembangunan yang direproduksi Soeharto diukur dengan ada atau tidaknya gedung bertingkat, jalan lebar beraspal, hotel mewah, padatnya jumlah mobil dan gemerlapnya lampu pertokoan. Proyek ekonomi politik masa Soeharto ini terlalu bergantung pada sektor ekstraktif. Alhasil, kebutuhan lahan untuk eksploitasi makin meningkat pula. Sekarang, pemerintah gencar melakukan pembebasan lahan.

Rezim ini pun semakin menguatkan posisi kapitalisme. Ini ditandai dengan empat hal secara teoritis yakni pertama, Promethean. Kedua, productiviste, bukan hanya karena sistem ini memproduksi barang dan jasa untuk kepentingan manusia, akan tetapi juga meletakkan proses teknologi tanpa batas. Masyarakat seolah-olah dihukum untuk selalu memproduksi dan mengonsumsinya; kenaikan jumlah produksi dan konsumsi pun tiada habisnya. Ketiga, expantionisme, yang secara mutlak menuntut keuntungan pada sumber daya, memobilisasi tanpa batas keuntungan faktor-faktor produksi. Keempat, marchan, sistem ekonomi dunia berjalan dengan dua cara – perdagangan internasional dan pertumbuhan ekonomi nasional. Keempat ciri tersebut sepadan dengan proses akumulasi kapital mondial, yaitu dasar utama dari eksploitasi model lama dan mutakhir.

Sejak Orde Baru sampai sekarang empat faktor kapitalisme ini dibungkus dalam gaya pembangunan. Itulah sebabnya pembangunan selalu diidentikan dengan penghisapan, karena orientasi yang terbangun bukan untuk mensejahterakan, melainkan orientasi eksploitasi dan okupasi demi keuntungan-keuntungan materiil.

Apa yang terjadi di Kampong Riwang adalah gambaran dari bekerjanya faktor-faktor kapitalisme yang telah tersampaikan: ia rakus dan memaksa untuk mengeksploitasi. Bahkan, ia lakukan segala hal demi melancarkan agenda investasi. Ini kita sebut dengan penghisapan, bukan pembangunan.

***

Kado Manis Awal Tahun: Tanah Tetap sebagai Komoditas

Kembali pada puisi Wiji Thukul: Setiap orang butuh tanah. Bahkan jika saya boleh menambahkan bahwa setiap orang pun juga lapar tanah. Transformasi pada relasi tanah membuat semakin ke sini tanah semakin menjadi komoditas investasi. Maka dari itu ia diperebutkan. Dalam sekian banyak narasi konflik, hanya sedikit kemenangan yang berpihak pada rakyat; kemenangan yang lain jelas berpihak pada pemilik modal.

Negara seharusnya melindungi hak-hak Masyarakat Adat Kampong Riwang atas tanahnya.

Sayangnya, negara lebih berpihak pada pemodal. Ini ditunjukkan dengan kehadiran serdadu Brimob yang mengamankan investasi di atas tanah adat. Ketika negara telah tunduk pada pemodal, ia seakan menjadi “Tuhan” baru. Bahkan, pemerintah berani memangkas segala hal yang dapat menghalangi bekerjanya mekanisme pasar.

Menjual tanah sama saja dengan mengubah relasi-relasi sosial dan kebudayaan. Sama saja pula dengan membumihanguskan identitas-identitas Masyarakat Adat yang melekat pada tanah. Ini adalah tindakan genosida.

Persoalan yang terjadi di Kampong Riwang, sebenarnya bukan hanya siapa melawan siapa. Akan tetapi, kita harus perhatikan pula terdapat sistem besar yang bekerja mengatur jalannya praktik eksploitasi seperti yang telah tersampaikan. Pada titik ini, adalah penting dan mendesak untuk meletakkan seluruh konflik pertanahan yang terjadi selama ini dalam bingkai investasi di Indonesia.

Sistem itu adalah kapitalisme.

Sungguh kado awal tahun yang sangat miris!

[Yayan Hidayat]

 

 

KEMBALI KE KAMPUNG: Jambore Wilayah II BPAN Kalimantan Timur

Pemuda Adat – Proses demokrasi deliberatif (musyawarah mufakat) mengantarkan Muhammad Napis sebagai Ketua Pengurus Wilayah BPAN Kalimantan Timur untuk periode 2017 – 2020. Dia dan para anggota baru yang diangkat secara serempak mengikrarkan diri dengan mengucapkan Janji Pemuda Adat.

“Semoga kita selalu bersama-sama dalam menjalankan organisasi (BPAN Kaltim—red) ini dari awal sampai akhir kepengurusan,” ujar pemuda adat asal Paser Mayang itu sesaat setelah dia diberi waktu untuk menyampaikan pernyataan perdananya sebagai ketua baru.

Acara yang berlangsung di Rangan, Kecamatan Kuaro, Kab. Paser, Sabtu (11/12) berlangsung lancar. Jambore Wilayah ini sekaligus momentum untuk mengonsolidasi para pemuda adat dalam rangka menyambut Jambore Nasional III BPAN. Sebagaimana diputuskan dalam Jamnas II di Bogor (2015), Kalimantan Timur menjadi tuan rumah untuk Jamnas III.

Karena itu, salah satu agenda pada Jamwil ini adalah persiapan kepanitiaan Jamnas di tingkat lokal. Kepanitiaan pun dibentuk. Semua peserta Jamwil II ini tercatat sepenuhnya dalam susunan kepanitiaan. Bahkan masih bertambah lagi para pemuda adat di Kaltim yang pada saat Jamwil tidak dapat hadir.

Program kerja

Olvy Tumbelaka, Plt Ketua BPAN Kaltim, menjadi fasilitator dalam merumuskan Garis-garis Besar Program Kerja. Dalam metode lingkaran yang diadakan sejak awal Jamwil, ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan kunci untuk menggali program kerja yang sesuai dengan keinginan para pemuda adat Kaltim. Masing-masing peserta mengalir secara memutar menyampaikan pendapat masing-masing.

Setiap pendapat ditampung dan kemudian diajukan lewat musyawarah mufakat untuk memastikan program prioritas dan paling realistis untuk dikerjakan sama-sama selama tiga tahun ke depan.

Salah satu yang menarik dari pendiskusian ini adalah usul untuk mengelola lahan (berladang, berkebun). Keinginan para pemuda adat ini rupanya menarik dua peserta untuk meminjamkan tanahnya dikelola pengurus.

Zainul dan Robby menawarkan tanah mereka untuk dipinjampakai para pengurus pemuda adat Kaltim. Mereka bersedia memberikan tanah mereka untuk tujuan mendukung gerakan pemuda adat “kembali ke kampung”.

Berladang atau mengelola lahan bertujuan untuk mempelajari cara-cara bertani. Kedekatan emosional juga antara pemuda adat terhadap tanah semakin kuat. Di sisi lain, mengelola lahan juga menjadi penopang kemandirian ekonomi organisasi.

Selain mengelola lahan, program lain yang menarik sebagian besar dirangkum dalam tema umum: menelusuri jejak leluhur. Turunan dari program umum ini, di antaranya belajar Pendidikan kaderisasi, kemah pemuda adat, sempuri (dongeng), sekulo (menanam kembali) membangun sekolah adat, berbahasa adat, bepekat (pertemuan) bulanan, membuddayakan tanaman obat, membangn sanggar tari, festival budaya tahunan hingga aksi demonstrasi (turun ke jalan) tahunan dan protes lewat seni.

Jambore ini dihadiri perwakilan Pengurus Nasional BPAN Jakob Siringoringo, perwakilan Perempuan AMAN yang juga sekaligus jadi tuan rumah Yuri, Syukran Amin dan sebanyak 24 pemuda-pemudi adat yang hadir.

[Media BPAN]

 

Penghayat Kepercayaan dalam Bingkai Bangsa Indonesia

“Ketika agama diformalkan, dalam bentuk pelembagaan, doktrin maupun ritus dan seremoni, ia mudah terjebak dalam instrumentalisasi kepentingan. Kepentingan yang mengatasnamakan suara Tuhan sebagai suara kekuasaan, maupun kepentingan lain yang memanfaatkan agama sebagai legitimasi.” – Anas Saidi.

—————————————————————————————————————-

Salah satu falsafah masyarakat Bugis yang cukup sering dikutip adalah Resopa na temmangingi malomo naletei pammasena Dewata Sewwae, yang dimaknai “Sikap bersungguh-sungguh dalam berusaha serta tidak mudah menyerah dalam mencapai tujuan, yang kadang mendapatkan berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa.”

Sepintas, ini hanyalah sebuah kutipan. Namun jika dicermati lebih dalam dan dikaitkan dengan epos I Lagaligo, maka kita akan diarahkan pada sebuah tatanan kepercayaan yang dianut masyarakat Bugis di masa lalu, dengan menyandarkan segala rencana pada kehendak Dewata Sewwae sebagai kekuatan penentu, sebuah bangunan sistem kepercayaan yang berakulturasi dengan agama di masa kini.

 

Plural religiosity

Semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagai deskripsi keberagaman yang menyatu dalam bingkai Bangsa Indonesia sudah menjadi salah satu penanda bangsa Indonesia dimata dunia. Hal lain yang tidak jarang diidentikkan dengan Bangsa Indonesia adalah masyarakat yang religius.

Yang terakhir ini tentu tidak secara terang menderang melihat aspek religiusitas masyarakat Indonesia yang heterogen, tidak homogen. Demikian pula hal yang pertama, kadang terjebak melihat keberagaman Bangsa Indonesia dari bahasa, kondisi geografis dan bentuk fisik lainnya. Kalaupun sampai pada sistem kepercayaan, akan berada pada tatanan agama, akan tetapi luput mendalami tradisi dan ritualitas kepercayaan lokal yang hadir di tengah keberagaman tersebut.

Aspek religiusitas masyarakat Indonesia yang heterogen dapat dilihat dari tunduknya penganut terhadap aturan-aturan sistem kepercayaannya. Setiap agama dan sistem kepercayan yang berjalan memiliki ritus-ritus dan doktrin yang akan menguji kepatuhan penganutnya.

Kepatuhan di atas tidak boleh mengeliminasi kepatuhan kita terhadap hukum negara sebagai pengikat dan pemersatu religius heterogen. Sehingga julukan bangsa yang religius tidak dapat hanya dilihat dari kepatuhan penganut agama dan penghayat kepercayaan terhadap keyakinannya, namun juga kepatuhan penganut tersebut pada sistem yang menjadi pemersatunya yakni NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Kepatuhan kita terhadap tatanan bernegara adalah bentuk penerimaan terhadap Pancasila sebagai falsafah hidup Bangsa Indonesia, falsafah yang juga merupakan penerjemahan nilai-nilai agama dan sistem kepercayaan yang ada, sehingga masyarakat Indonesia mesti dapat memilah posisinya, kapan menggunakan kepatuhan terhadap aturan keyakinan yang dianutnya dan kapan menggunakan kepatuhan terhadap tatanan kehidupan bernegara, meskipun dua hal tersebut tidak dapat dipisahkan apalagi dipertentangkan.

 

Berbagi peran

Hampir setiap komunitas adat yang ada di Indonesia memiliki sistem kepercayaan, baik yang masih bertahan dengan bentuk awalnya, atau yang telah mengalami akulturasi dengan ajaran sistem kepercayaan lainnya, atau bahkan kita hanya dapat merasakan puing sisa penaklukan sistem kepercayaan yang lebih kuat.

Situasi-situasi ini dapat kita rasakan di berbagai daerah di Indonesia, salah satunya di Kab. Enrekang – Sulawesi Selatan. Penerimaan Masyarakat Adat Kaluppini terhadap ajaran Islam tidak serta merta menghapuskan bentuk kepercayaan asli yang dianut masyarakat tersebut, yang bersumber pada Pepasan Tojolo (Pesan Orang Tua/Nenek Moyang).

Suatu bangunan  kepercayaan yang tergambar dalam ritual-ritual adat yang bersanding baik dengan ajaran Islam.

Bangunan kepercayaan serupa juga dapat kita temukan di Kab. Tana Toraja, dan Kab. Toraja Utara. Penerimaan masyarakat adat yang terbagi dalam 32 Lembang terhadap Protestan, Katolik dan Islam tidak serta merta melenyapkan Aluk Todolo (sistem kepercayaan Masyarakat Adat Toraja) sebagai bentuk kepercayaan aslinya. Dalam pelaksanaan ritual Rambu Solo (salah satu ritual adat yang berkaitan dengan kedukaan) misalnya, identitas keagamaan lain hadir di dalamnya.

Peran negara dalam situasi keberagaman ini adalah melaksanakan penguatan penghayat kepercayaan yang masih bertahan. Penguatan terpenting adalah pengakuan terhadap sistem kepercayaan yang ada, adanya perlindungan bagi para penghayat kepercayaan menjalankan ibadahnya sebagai bentuk kepatuhan terhadap keyakinannya, serta penghapusan diskriminasi dalam pelayanan publik, sebab hakikat pelayanan publik adalah memberikan pelayanan yang efektif dan efisien serta semaksimal mungkin kepada masyarakat dengan sudut pandang penyelenggara dan penerima pelayanan.

Peran masyarakat luas tidak kalah pentingnya untuk menerima situasi keberagaman ini sebagai anugerah, tidak menghalangi dan juga tidak memaksa kembali penghayat kepercayaan yang telah berdamai dengan sistem religi lainnya. Segala bentuk rintangan yang ada mesti dipandang sebagai rintangan bersama dalam mewujudkan harmonisasi kehidupan yang beragam yang damai.

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XIV/2016 yang mengoreksi UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan adalah keputusan yang berani dan menyegarkan. Berani menyatakan bahwa posisi penghayat kepercayaan mestinya sama dengan warga negara lainnya yang menganut agama lain, serta menyegarkan karena menerobos dinding pembatas yang selama ini menjadi akar diskriminasi dan intoleransi yang sudah cukup lama dirasakan penghayat kepercayaan di Indonesia.

Kendala-kendala yang mungkin muncul dalam harmonisasi kebijakan mesti tidak dipandang sebagai penghalang. Hal tekhnis sebaiknya tidak menjadi landasan argumentasi menghalangi hal yang subtansi. Ini adalah kesempatan merekonstruksi relasi sosial sebagai warga negara dalam nilai-nilai agama dan sistem kepercayaan yang kita anut.

 

Masyarakat dan bangsa religius

Indonesia bukan negara sekuler yang memisahkan antara negara dan agama, namun demikian Indonesia juga bukan merupakan negara yang berdasarkan pada suatu agama tertentu. Indonesia adalah negara yang berdasarkan pada Pancasila yang merangkul keberagaman Bangsa Indonesia.

Masyarakat yang religius akan tercipta saat penganut agama dan penghayat kepercayaan menjalankan aturan-aturan yang diajarkan oleh keyakinannya, sementara bangsa yang religius akan tercipta jika kepatuhan penganut agama dan penghayat kepercayaan, secara linear menjalankan kepatuhan terhadap pemersatu plural religiosity, Pancasila.

 

[Armansyah Dore]

KONTAK KAMI

Sekretariat Jln. Sempur 58, Bogor
bpan@aman.or.id
en_USEnglish