Ketika Pemuda Adat Memilih Pulang Kampung

Menjadi salah satu sayap Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) atau organisasi para pemuda adat merupakan harapan bagi perkembangan dan pelestarian adat di komunitas Masyarakat Adat. 

Generasi muda adat menjadi tonggak harapan Masyarakat Adat untuk mengembangkan wilayah adat termasuk melestarikan budaya.

Aku menjadi salah satu pemuda di komunitas adat Sidole yang pada tahun 2019 kemarin mendaftarkan diri menjadi anggota BPAN Wilayah Sulawesi Tengah dan juga mengikuti kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan BPAN maupun AMAN, merasa sangat terbantu untuk kembali mengenali adat istiadat di komunitasku, Kaili Lauje di Sidole. 

Aku pun kemudian dikenalkan dengan pentingnya gerakan pulang kampung, tentang peranku yang akan sangat bermanfaat bagi kampungku jika aku kembali dibandingkan berada di rantau yang hanya menguntungkan diri sendiri. Ditambah lagi bertemu dan berbagi cerita dengan teman-teman dari berbagai penjuru nusantara dengan pengalaman dan pemahaman mereka terkait adat di komunitasnya membuatku malu pada diri sendiri yang sangat minim ilmu tentang wilayah tempatku dan leluhurku terlahir. 

BPAN dengan gerakan pulang kampungnya berupaya menjaga pemuda juga Masyarakat Adat pada umumnya untuk tetap mencintai dan merasa bangga dengan budaya dan kearifan lokalnya sehingga ilmu yang diperolehnya dari sekolah ataupun perguruan tinggi dimanfaatkannya untuk pengembangan potensi di komunitasnya untuk kebermanfaatan Masyarakat Adat di wilayahnya.

Ibarat pohon, pemuda adat adalah batang pohon yang akan menyebarkan sari pati tanah yang telah diserap oleh akar (leluhur) pada ranting-ranting sehingga menumbuhkan dedaunan untuk foto sintesis yang kemudian akan memberikan keberlangsungan hidup pohon (kehidupan Masyarakat Adat) hingga menghasilkan buah. Pemuda adat haruslah mengupayakan segala cara dengan berbekal ilmu yang telah diperolehnya untuk mengembangkan potensi wilayahnya, menjaga, mendata dan mendokumentasikannya dengan memulainya dengan diskusi antarpemuda di kampungnya, berbagi ide dan gagasan untuk tujuan mengembangkan dan melestarikan  nilai atau tatanan hidup Masyarakat Adat di komunitasnya.

Kehadiran pemuda adat diharapkan dapat menjadi penghubung masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang. Menjadi generasi yang bisa menggali potensi wilayah adat, mendata kearifan lokal termasuk sejarah, seni budaya juga ritual adat sehingga generasi mendatang masih bisa mengetahui dan mengenali kearifan lokalnya sehingga dengan bangga menampakkan keadatannya. 

Adat menjadi hal yang sangat sakral bagi masyarakat yang telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka yang lebih dikenal dengan Masyarakat Adat. Keberadaan adat istiadat di era modern saat ini rentan karena telah banyak pengaruh globalisasi dan modernisasi yang merecoki tatanan kehidupan dalam Masyarakat Adat. Sehingga tak jarang pemuda di suatu komunitas adat tidak lagi bangga dengan keadatannya dan lebih memilih mengikuti tren masa kini yang jauh dari adat dan bahkan ada yang sudah menyimpang dari adat kebiasaan Masyarakat Adat di wilayah adat tertentu. 

Pemuda adat menjadi tali penghubung tatanan kehidupan, sehingga keberadaannya menjadi sangat penting untuk keberlangsungan kehidupan yang berkeadatan.

Adat menjadi hal penting dan sangat dihormati oleh masyarakat di kampungku, namun belum banyak yang kuketahui terkait adat di komunitasku, itu pun hanya sebatas seremonial saja. Aku juga termasuk pemuda yang telah mengenyam pendidikan tinggi di kota dengan ilmu dan kehidupan kota yang cukup modern sehingga pandanganku tentang adat sedikitnya mulai teralihkan. Tapi terkait adab dan tata laku kesopanan tetaplah adat menjadi tumpuanku setelah agama. Aku sedikitnya telah mengabaikan adat di komunitasku.

Hingga sampai pada keikutsertaanku dalam agenda-agenda yang diselenggarakan oleh BPAN dan AMAN aku dibuat sadar bahwa adat sangatlah penting dan menjadi hal pertama yang mengatur tatanan hidup masyarakat jauh sebelum agama hadir di tengah kehidupan masyarakat. Mendengar penjelasan dan pemaparan terkait hal itu aku seakan disegarkan kembali, hatiku terpanggil untuk mengenal kembali adat yang menjadi bagian dari diriku jauh sebelum aku sendiri mengenal diriku.

Dari semua itu muncullah tekad untuk pulang kampung dengan misi kembali mengenali dan mendokumentasikan segala hal yang menjadi identitasku, tentang wilayah adat, nomenklatur, tata pemerintahan, tata laku dan hukum adat yang sejak dulu telah dianut oleh masyarakat di kampungku jauh sebelum adanya agama dan hukum positif yang menurut pemaparan orang-orang tua menimbulkan efek jera bagi pelakunya, dibanding hukum positif saat ini yang hanya membingungkan dan mudah diperjualbelikan oleh pemilik kuasa dan pemodal. 

Sebaliknya, Masyarakat Adat selalu menjaga lingkungan dengan kearifan lokal, mencintai alam semesta dan manfaatkannya dengan sangat baik. Berbeda dengan manusia modern yang hanya ingin menguntungkan diri dan kelompok dengan merusak alam (eksploitasi).

Banyak hal yang mesti dipikirkan oleh pemuda khususnya pemuda adat bagaimana menjaga eksistensi diri sebagai Masyarakat Adat yang beradab, mandiri dan bermartabat. Menjaga wilayah dan generasinya dari merusak ataupun dirusak oleh modernisasi yang sejatinya menghilangkan kesejatian diri sebagai manusia. Banyak perilaku masyarakat modern yang katanya maju, tapi lebih banyak merusak masyarakat juga alam. Modernisasi dalam hal positif tentulah tetap dibutuhkan untuk mengembangkan dan mengenalkan kekayaan alam dan potensi wilayah adat untuk pengembangan Masyarakat Adat itu sendiri.

Menjadi pemuda adat adalah takdir, menjadi pemuda adat yang mau pulang kampung adalah pilihan. Aku memilih menjalani kehidupan sesuai takdirku dengan tetap menggunakan daya pikir dalam hal-hal yang masih bisa kupilih termasuk pulang kampung dan mengupayakan mengembangkan komunitasku, kembali mengenali jati diriku dan mengenalkannya kepada dunia tentang peradaban yang telah dibangun oleh tatanan adat, tentang pengelolaan wilayah yang mengutamakan pemanfaatan dan pelestarian lingkungan sekitar dengan kearifan lokal yang ada, menjaga bahasa dan sejarah asal usul untuk nantinya diceritakan pada generasi mendatang sebagai penghubung generasi saat ini dan generasi mendatang.

Aku pun akan terus belajar dengan tetap mengingat untuk pulang kampung berbagi untuk bangkit dan bersatu mengurus wilayah adat untuk Masyarakat Adat yang berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan bermartabat secara budaya. 

Penulis: Indah Salimun Mantjabo

Rekomendasi dan Resolusi Rakernas III BPAN

Rekomendasi dan Resolusi
Rapat Kerja Nasional III Barisan Pemuda Adat Nusantara (RAKERNAS III BPAN) 8 – 9 Mei 2021

Kami, Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) organisasi sayap Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), hadir sebagai wadah bersama para Pemuda-pemudi Adat Nusantara untuk memperjuangkan hak-hak Masyarakat Adat.

Kami, Pemuda-pemudi Adat Nusantara selama ini telah dan terus melakukan pendokumentasian terhadap pengetahuan dan semua kekayaan yang ada di wilayah adat kami. Fakta dan temuan adalah bukti bahwa kami mewarisi titipan leluhur kami yang kami yakini nilai dan kebenarannya bersumber dari cita-cita luhur Masyarakat Adat Nusantara.

Gerakan Pulang Kampung atau Kembali ke Kampung adalah inti gerakan kami sebagai generasi muda adat yang menjadi jalan menuju masa depan yang lebih pasti. Kami meyakini bahwa kampung atau wilayah adat adalah sumber penghidupan utama yang sudah terbukti menghidupi kami tanpa ketergantungan pada pencarian pekerjaan di luar wilayah adat, seperti di kota.

Kami, Pemuda-pemudi Adat Nusantara telah dan terus memperkuat solidaritas demi menjaga wilayah adat. Bagi kami wilayah adat merupakan ruang hidup, ruang belajar, dan sebagai unsur penting dalam membentuk identitas kami sebagai masyarakat adat.

Pada tanggal 8-9 Mei 2021 kami, seluruh Pengurus BPAN melalui Rapat Kerja Nasional III Barisan Pemuda Adat Nusantara (RAKERNAS III BPAN telah melakukan refleksi atas perkembangan organisasi maupun situasi politik di tanah air dan menegaskan pernyataan sikap kami yang termuat dalam resolusi dan rekomendasi di bawah ini:

  1. Menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja, revisi UU Minerba, dan peraturan-peraturan lainnya yang merugikan kepentingan Masyarakat Adat, lingkungan hidup, yang telah terbukti menjadi penyebab dari tindakan perampasan wilayah adat, kriminalisasi, dan kekerasan terhadap Masyarakat Adat.
  2. Mendesak pemerintah dan DPR untuk segera melakukan revisi UU Kehutanan sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012.
  3. Pada masa pandemi Covid-19 terbukti Masyarakat Adat menjadi yang paling memiliki daya lenting dan kampung atau wilayah adat menjadi benteng pertahanan kami. Karena itulah kami menolak aksi-aksi perampasan wilayah adat. Sekaligus kami juga menyerukan agar negara mengedepankan atau mempromosikan praktek-praktek pengelolaan wilayah adat berbasis kearifan lokal Masyarakat adat.
  4. Kami, Pemuda-pemudi Adat Nusantara, mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk mengesahkan RUU Masyarakat Adat yang sesuai dengan aspirasi Masyarakat Adat dan mendesak pemerintah daerah untuk segera menerbitkan produk hukum daerah yang mengakui, melindungi, menghormati, dan memenuhi hak-hak kami sebagai Masyarakat Adat.
  5. Kami, Pemuda-pemudi Adat Nusantara, mendesak pemerintah untuk mencabut izin-izin HPH, HTI, tambang, dan bentuk lainnya yang merampas dan merusak tanah adat, situs budaya, dan lain-lain yang ada di wilayah adat kami.
  6. Kami, Pemuda-Pemudi Adat Nusantara, mendesak pemerintah, terutama KLHK beserta jajarannya untuk MENGHENTIKAN Penetapan Kawasan Hutan “Negaraisasi Wilayah Adat” dan kebijakan-kebijakan Perhutanan Sosial yang mencakup skema HKM, HTR, Hutan Desa maupun Kemitraan Lingkungan dan mencabut semua perizinan perhutanan sosial yang terbit di atas Wilayah Adat. Sebaliknya Pemerintah harus segera mempercepat pelaksanaan pengakuan wilayah adat.
  7. Kami, Pemuda-pemudi Adat Nusantara, mendesak pemerintah pusat sampai daerah untuk memberikan pemerataan akses internet di seluruh nusantara.
  8. Kami, Pemuda-pemudi Adat Nusantara, mendesak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengakui dan mendukung sekolah-sekolah adat di seluruh nusantara.

Internal organisasi:

  1. Menyerukan kepada pengurus dan anggota BPAN untuk terus belajar dan memperkuat hubungan dengan tetua untuk memperoleh pengetahuan demi menjaga wilayah adat.
  2. Menginstruksikan kepada pengurus dan anggota BPAN untuk aktif melakukan sosialisasi lewat media sosial terkait program kerja dan upaya menjaga wilayah adat di komunitas Masyarakat Adat.
  3. Mendorong pengurus dan anggota BPAN untuk melakukan penguatan sistem dan kelembagaan adat serta terus memperkuat dan memastikan musyawarah adat tetap ada demi keberlangsungan dan kedaulatan Masyarakat Adat itu sendiri.
  4. Menyerukan kepada seluruh pengurus BPAN untuk mempersiapkan, mengutus, dan mendukungkader-kadernya untuk merebut ruang-ruang pengambilan keputusan, dari tingkat kampung sampai tingkat nasional.
  5. Menginstruksikan kepada seluruh pengurus dan anggota BPAN untuk melakukan program-program yang relevan untuk terus membuktikan ketangguhan Masyarakat Adat di tengah pandemi dengan aksi seperti menanam tanaman pangan, obat-obatan tradisional, mengelola hasil hutan, laut, sungai, danau, dan memanfaatkan potensi ekonomi yang ada di wilayah adat.
  6. Mendorong pengurus dan anggota BPAN untuk terus mengembangkan inovasi dengan memadukan perkembangan teknologi dan pengetahuan tradisi untuk menjadikan kampung sebagai tempat bermain dan pusat belajar untuk berhubungan baik dengan alam, sesama manusia, leluhur, dan Sang Pencipta.

Sebagai penutup dari resolusi dan rekomendasi ini, kami mengajak seluruh komponen anak bangsa untuk terlibat dan berpartisipasi dalam perjuangan Masyarakat Adat Nusantara.

Disepakati pada tanggal 9 Mei 2021.

9 Tahun BPAN: Sebuah Jalan Dekolonisasi

“Menelusuri jejak leluhur seperti membuka  pintu dan dan jendela kepada dunia yang lebih luas. Menelusuri jejak leluhur menjadi landasan bagi anak muda kembali mengenali dirinya sendiri dengan menggali sejarahnya”, ucap Rukka Sombolinggi.

Ia nampak larut dalam bahagia. Saat bicara, beberapa kali ia nampak mengenang perjuangannya bersama BPAN. Para pemuda-pemudi adat pun tertegun mendengar ia bercerita.

Selaku Sekretaris Jenderal (Sekjen) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi khusus hadir sebagai penanggap dalam acara Bedah Buku dan Peluncuran 4 Buku Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN). Kegiatan ini dilaksanakan untuk merayakan Hari Kebangkitan Pemuda Adat Nusantara dan Perayaan 9 Tahun BPAN secara daring via aplikasi zoom.

Rukka Sombolinggi, Sekjend AMAN

Pukul 13.00 WIB, hari Minggu, 31 januari 2021, Perayaan 9 Tahun BPAN digelar. Di bagian barat dan tengah Indonesia, matahari sudah bergeser dari atas kepala saat kegiatan itu dimulai. Di daerah timur, seperti Maluku dan Papua, kegiatan tersebut berlangsung bersamaan dengan datangnya senja. Perbedaan waktu ini tidak menyurutkan ratusan orang untuk menghadiri iven besar ini. Para pemuda-pemudi adat anggota BPAN dari seluruh nusantara hadir. Para tetua dan komunitas masyarakat adat juga hadir. Tidak hanya Masyarakat Adat, banyak pula masyarakat umum dari berbagai latar belakang turut hadir. Mereka semua menjadi bagian dan saksi momen bersejarah BPAN.

Mars AMAN & Mars BPAN menjadi pembuka acara. Syair dan alunan musiknya menggetarkan semua yang hadir. Mengingatkan kembali semangat dan identitas sebagai bagian dari Masyakarat Adat nusantara yang berdaulat, mandiri, dan bermartabat.

“Pada kesempatan kali ini, ini adalah momen yang sangat spesial, sangat penting. Di usia 9 tahun BPAN, khsususnya bagi generasi muda adat di seluruh nusantara, bagaimana kemudian kita bersama-sama di BPAN bisa belajar, bertanya sama-sama, dan juga terus bertumbuh,” ucap Jakob.

Sebagai Ketua Umum BPAN, Jakob Siringoringo didaulat memberikan sambutan dan membuka acara secara resmi.

“Usia 9 tahun yang masih pendek, tentu kita tahapnya belum bisa berlari kencang. Tapi justru di saat ini kita menyerap pengalaman-pengalaman, menyerap pengetahuan-pegetahuan. Belajar terus. Bertanya terus. Dan kemudian kita merenungkan mimpi yang akan kita wujudkan di masa depan. Bagaimana mimpi kita nanti di wilayah adat kita. Sebagai contoh, misalnya, kita terbebas dari konsesi-kosnsesi yang terus menghantui kita, atau terbebas dari kerusakan-kerusakan lingkungan yang selalu menghantui kita. Seperti akhir-akhir ini, banyak sekali bencana,” jelas Jakob.

Jakob Siringoringo

Ditambahkannya, semoga impian dan mimpi Masyarakat Adat, terlebih khusus BPAN, dapat terwujud ke depannya.

“Impian kita, di wilayah adat kita, kita hidup bahagia, hutan rimbun, sungai mengalir dengan jernih, binatang berkeliaran dengan bebas. Kita bisa membangun rumah dengan sumber daya yang kita miliki dan banyak hal lainnnya yang semuanya sangat bisa membuat kita menjadi Masyarakat Adat yang sejati,” terang Jakob.

Ia berharap generasi muda adat di BPAN menjadikan momentum 9 tahun menjadi tonggak mewujudkan mimpi-mimpi untuk memperkuat kampung.

“Menjadi pemuda-pemudi adat yang terus membuktikan diri sebagai bagian dari bangsa ini, bagian dari negara ini yang tak bisa tercerai beraikan dan kita bangkit terus. Karena itu seperti tema perayaan 9 tahun kali ini, Teruskan Mimpi Perkuat Kampung, kita generasi muda adat terus berusaha, terus bergerak. Maju terus melangkah. Memastikan bahwa kampung kita terjaga. Komunitas kita Masyarakat Adat terawat. Terbebas dari klaim-klaim sepihak pihak ketiga dan kita berdaulat atasnya. Jadi, kerja-kerja yang kita lakukan sekarang adalah menuju impian kita di masa depan,” ungkap Jakob.

Suaranya terdengar tegas. Sorot matanya penuh harap. Nampak di wajahnya keyakinan penuh terhadap sesama generasi muda adat untuk terus berjuang, terus bermimpi dan memperkuat kampung. Jakob menghantar para hadirin masuk ke sesi yang lebih serius: bedah buku. Mendengar kisah-kisah dari pemuda-pemudi adat yang menjadi narasumber sekaligus penulis buku Menelusuri Jejak Leluhur dan Mahakarya Leluhur.

Ali Syamsul, pemuda adat asal Enrekang, mendapat kesempatan bicara pertama. Ia bercerita tentang pengalamannya saat tinggal bersama suku Anak Rimba.

“Rusaknya hutan bagi mereka, itu sama saja kiamat bagi mereka. Karena seluruh aktivitas mereka berada di hutan. Membuatkan rumah hanya menjauhkan mereka dari ruang hidup mereka yang sebenarnya yaitu hutan. Itu adalah wilayah kehidupan mereka,” ujar Ali.

Ali Syamsul

Ia menjadi saksi atas cara hidup suku Anak Rimba yang disebutnya begitu agung karena mampu menjaga hutan sebagai bagian penting kehidupan mereka.

“Saya melihat kehidupan mereka lebih agung dari pada mereka yang mengaku masyarakat modern”.

Di buku Menelusuri Jejak Leluhur, ia bersama Katarina Megawati menulis tentang Anak Rimba Bukit Dua belas.

Cerita yang mirip juga dikisahkan narasumber kedua, Syahadatul Khaira. Ia berasal dari komunitas adat Betetulak, Mataram, Nusa Tenggara Barat. Di buku ini, ia bersama Murshid Toha menulis ‘Cerita tentang Negeri Nua Nea’.

Khaira, menceritakan pengamalannya bersama pemuda adat dari Kalimantan Timur saat live-in di Komunitas Nua Ulu di Pulau Seram, Kota Ambon, Maluku Tengah. Mereka mengikuti keseharian Masyarakat Adat di komunitas Nua Ulu, Nua Nea, dari sejak pagi hari.

Syahadatul Khaira

Khaira bercerita tentang tantangan yang mereka hadapi saat berada di komunitas tempat mereka tinggal. Salah satunya, mereka sempat dicurigai sebagai mata-mata karena saat itu ada banyak kasus perambahan hutan di sana.

“Ada beberapa kejadian di sana ketika kami masuk. Di antaranya ada beberapa kasus perambahan hutan di komunitas adat Nua Ulu. Dan kami dicurigai sebagai mata-mata yang masuk untuk mengintai daerah tersebut”.

Diterangkan Khaira, di sana ada beberapa pos tentara yang berjaga-jaga di gerbang pintu masuk. Kebetulan pintu masuk desa di tempat mereka live in, berjarak sekitar 2 kilometer.

“Kebetulan tempat kami tinggal itu adalah daerah yang datarannya agak tinggi, jadi kami bisa melihat sekitaran gerbang-gerbang tempat jalan masuk ke desa. Ketika ada orang baru yang masuk, itu bisa diiihat”, ucapnya

Sewaktu di sana, ada satu ritual yang sangat menarik perhatian Khaira. Namanya ritual Pataheri.

“Ritual ini diberikan kepada seorang anak yang menuju remaja. Ketika anak itu sudah mengalami beberapa fase yang dianggap masyarakat itu adalah menjadi seorang pemuda, ia akan dibawa ke dalam hutan untuk diajarkan berburu, diajarkan memanah, lalu diajarkan oleh tetua-tetua yang ada di sana, apa saja amanat-amanat yang menjadi seorang pemuda adat, selama 3 hari dua malam,” terang Khaira.

Selain itu ada hal menarik yang ditangkapnya terkait kearifan masyarakat setempat dalam mengelola kebun.

”Kemudian ada juga keseharian masyarakat di kebun yang mereka menggagap kebun itu adalah tata kelola kehidupan untuk perempuan”.

Khaira kemudian penasaran dengan kearifan ini. Istri tetua adat di sana kemudian memberikan pencerahan kepadanya.

“Karena perempuan itu mengelola hasil kebun yang dilanjutkan sebagai kehidupan untuk keuarganya. Dari hasil kelola kebun menjadi lanjutan untuk ruang kehidupan di keluarganya,” ucapnya sambil menirukan ucapan dari istri tetua adat Nua Ulu.

Yosi Narti, seorang pemudi adat lain yang menjadi narasumber, turut menceritakan kisahnya. Ia merekam banyak hal saat berada di komunitas Masyarakat Adat Punan Dulau, tepatnya di Desa Punan Dulau, Kecamatan Sekatak, Kabupaten Bulungan, Provinsi Kalimantan Utara. Yosi sendiri berasal dari komunitas adat Rejang Lebong, Bengkulu. Ia menulis “Cerita tentang Dayak Punan Dulau” bersama Angriawan di buku Menelusuri Jejak Leluhur.

Yosi Narti

Dari apa yang dialaminya, ia kemudian membuat semacam kredo tentang Masyarakat Adat di tempatnya tinggal.

“Masyarakat Adat itu pintar dan jenius. Mereka  tinggal di hutan itu kaya. Karena mereka jaga hutan,” tegas Yosi.

Ia kemudian menyampaikan pribahasa dalam bahasa setempat. Pribahasa ini menjadi gambaran kuatnya hubungan Masyarakat Adat dengan hutan. Ini juga menjadi alasan kenapa Masyarakat Adat menjaga hutan dengan nyawanya. Pribahasa itu, bila diterjemahkan ke bahasa Indonesia, berarti ‘hutan adalah air susu ibu’.

Buhanudin SJ, pemuda adat asal Komunitas Adat Soppeng Turungan, Sinjai, Sulawesi Selatan menjadi narasumber terakhir. Ia bersama Agung Prabowo, pemuda adat asal Semangus, Sumatera Selatan, menulis tentang ‘Kecapi’. Alat musik tradisional ini berasal dari Komunitas Adat Barambang dan kisahnya diceritakan mereka di buku Mahakarya Leluhur.

“Terkait dengan alat musik tradisional itu, saya fokus ke alat musik kecapi”, ujarnya.

Burhan dan Agung menghabiskan kurang lebih seminggu untuk meneliti, mengamati proses pembuatan kecapi, cara memainkannya, dan mencari tahu filsosi dari kecapi itu.

Burhanudin SJ

Dikisahkannya, ia menginap di rumah salah satu pemangku adat, sekaligus seniman pemain alat musik tradisional. Di kesempatan itu, ia mengikuti keseharian seniman kecapi yang rumahnya ia tinggali. Dari seniman itu, Burhan menulis tentang kecapi. Mulai dari menebang pohon, membentuk pohon sampai kecapi itu selesai. Prosesnya selama empat hari.

“Dari beberapa komunitas adat yang ada, alat musik tradisional seperti kecapi yang masih bertahan, ada di komunitas adat Barambang,’” ungkap Burhan.

Menurutnya, alasan kecapi masih bertahan di komunias Barambang adalah karena mereka punya komunitas yang khusus melestarikan musik tradisi.

“Nama komunitas ini kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, namannya Komunitas Seruling Kembar Satu Hati”.

Ditambahkan Burhan, komunitas itu terdiri dari tujuh orang seniman. Sekarang ini mereka, para seniman, harus bekerja keras mempertahankan warisan tradisi leluhurnya. Hal ini, menurutnya, terjadi karena tidak ada kebijakan pemerintah yang memperhatikan Masyarakat Adat Barambang.

Di akhir kesempatan bicaranya, Burhan kemudian mengajak para pemuda adat untuk menjaga warisan leluhur, misal alat musik tradisional, dengan mendokumentasikannya.

Usai semua narasumber bicara, kesempatan diberikan kepada para penanggap.

Kesempatan pertama diambil oleh Jhontoni Tarihoran selaku DePAN BPAN Region Sumatera. Jhon memang sudah duluan berbicara. Usai Ali Syamsul, narasumber pertama. Jhon sudah meminta izin berbicara terlebih dahulu. Hal ini karena, ia juga punya kegiatan yang lain di jam yang sama bersama kelompok kedaultan pangan. Di komunitasnya, ia dipercayakan sebagai Ketua Kelompok Kedaulatan Pangan. Jhon kemudian mengambil start lebih awal untuk memberikan tanggapan.

“Jadi kegiatan menelusuri jejak leluhur ini menjadi kegiatan yang sangat penting di BPAN. Sejak berdiri di tahun 2012 itu, periode 2012-2105 itu kan semacam periode inisiasi. Nah, saat saya mempimpin BPAN, itu kemudian di 2015-2018 itu kita meluncurkan kegaitan ini,” tutur Jhon.

Jhontoni merupakan Ketua Umum BPAN periode 2015-2018. Ia menjadi Ketua Umum BPAN kedua, menggantikan Simon Pabaras. Di masa kepengurusannya program menelusuri jejak leluhur digagas lebih serius. Program ini kemudian menghasilkan dua buku yang diterbitkan tahun 2017 dan dibedah di Perayaan 9 Tahun BPAN.

“Jadi, kita kan generasi muda saat ini ataupun saat itu, sedang mengalami tantangan. Bahwasannya kita seperti tidak menemukan jati diri. Jadi kegiatan menelusuri jejak leluhur adalah untuk menemukan jati diri. Banyak hal yang kita temukan, banyak pengetahuan-pengetahuan yang kita temukan, banyak kearifan-kearifan yang kita temukan”.

Diungkapkannya, buku Mahakarya Leluhur hadir untuk mendokumentasikan berbagai mahakarya leluhur Masyarakat Adat yang ditemukan saat menelusuri jejak leluhur.

“Nah, dari situlah, satu buku lagi, Mahakarya Leluhur itu muncul. Betapa dahsyatnya ternyata para leluhur kita untuk menyelamatkan, untuk menjaga bumi ini, sehingga bisa kita mewarisinya dengan baik”.

Jhontoni Tarihoran

Jhon mengungkapkan bahwa para leluhur Masyarakat Adat sungguh luar biasa. Menurutnya, mahakarya mereka itu menjadi satu bukti atas eksistensi generasi muda adat terkini.

“Betapa luar biasanya, betapa dahsyatnya, atau mahakarya itu yang sudah mereka lakukan sehingga tanah masih tetap kita jaga, dari tanah itu kita mendapatkan air, dari tanah itu kita bisa hidup, dan sampai sekarang di kampung-kampung kita bisa temukan itu semua atas warisan leluhur,” ungkap pemuda adat yang akrab disapa Jhon ini.

Ia menjelaskan bahwa gerakan BPAN seperti spiral, untuk melangkah ke depan harus melihat jauh ke belakang. Ini dipahami sebagai upaya untuk memperkuat jati diri sebagai pemuda adat dengan mencari tahu asal muasal sejarahnya.

“Sebagai organisasi di BPAN untuk kita semakin maju melangkah ke depan mustinya kita harus juga melihat semakin jauh ke belakang. Jadi kalau digambarakan itu ibarat spiral. Semakin ke depan, semakin dia tahu, semakin memperkuat jati dirinya, asal muasalnya, sejarahnya. Jadi kita tidak akan pernah kehilangan arah lagi untuk menentukan arah hidup ini, mau ke mana BPAN ini sebagaimana visi yang sudah kita rumuskan bersama”.

Jhon mengakhiri sesi bicaranya dengan menyampaikan bahwa ulang tahung ke-9 BPAN menjadi momentum untuk lebih memperkuat gerakan pemuda adat di Nusantara.

Rukka Sombolingi sebagai penanggap berikutnya, mengisi sesi dengan penuh semangat. Cara bicaranya yang khas seorang orator, begitu dinantikan. Namun, kali ini, di sesinya, ia bicara seperti seorang ibu kepada anaknya dan seperti seseorang bicara kepada sahabat karibnya. Ia memulai dengan mengapresiasi kerja-kerja BPAN selama ini. Ia mengawali dengan meletakkan optimisme.

“Umur BPAN masih 9, tetapi sesungguhnya kalau kita secara jujur merefleksikan apa yang sudah dicapai BPAN saat ini, itu sangat luar biasa. Pencapaian BPAN selama ini membuat saya yakin, Masyarakat Adat di nusantara ini tidak akan pernah punah. Kita masih akan tetap ada. Malah kita akan terus berlipat-lipat.

Kak Rukka, begitu kerap kali banyak orang menyapanya, kemudian bercerita sedikit tentang kisah dua buku yang dibedah. Menurutnya, Jhontoni dan Mina Susana Setra sangat berperan penting atas hadirnya dua buku tersebut. Saat gagasan tentang menelusuri jejak leluhur dihembuskan, saat itu ia (Rukka) masih menjabat sebagai deputi II Sekjen AMAN.

“Sebelum berdikusi, itu Mina langsung bilang, keren skali Ka, gagasan mereka”, ucap Rukka sambil menirukan ucapan dan eskpresi Mina Setra yang kini menjadi Deputi IV Sekjen AMAN.

“Dan ketika mendengarkan apa yang di sampaikan Jhontoni itu, saya tersentak”.

Rukka tersadar dan terkagum-kagum. Menurutnya, ternyata anak muda saat itu merasa hilang, tersesat, dan perlu mengenali diri sendiri. Menelusuri Jejak Leluhur kemudian menjadi caranya.

Ia kemudian, melanjutkan cerita dengan menjelaskan alasan Masyarakat Adat minder dan selalu menjadi korban stigma. Sehingga, kadang Masyarakat Adat terjebak dalam rasa minder, merasa kecil, dan kemudian mengakui sejarah yang ditulis orang lain atas dirinya. Bahkan juga, Masyarakat Adat mengaitkan sejarah dirinya dengan sejarah besar untuk membangkitkan kepercayaan diri.

“Masyarakat Adat selalu diletakkan sebagai orang yang kalah, kita selalu dipaksa percaya bahwa kita adalah orang yang kalah, kitalah orang kecil, kita kemudian merasa minder. Bagaimana mengangkat rasa percaya diri sedikit? Kita mengaitkan diri kita dengan mengaitkan sejarah kita dengan beberapa sejarah besar. Mengaitkan sejarah dengan Islam, mengaitkan sejarah dengan Kristen, mengaitkan sejarah dengan agama-agama lain. Karena itu adalah sejarah-sejarah besar. Nah, ini salah satu yang saya sebutkan tadi, bukan hanya sejarah kita yang diceritakan beda oleh orang lain tapi kita pun percaya dengan sejarah yang tidak persis benar itu”.

Hal ini menurut Rukka perlu diubah. Masyarakat Adat, terutama generasi muda adat harus percaya diri, tidak boleh minder, dan harus melawan stigma serta cerita-cerita yang tidak benar tentang dirinya. Menelusuri jejak leluhur dan menuliskan sejarah serta cerita dari Masyarakat Adat atau pemuda adat tentang dirinya sendiri menjadi salah satu cara ampuh.

Hadirnya buku-buku karya BPAN membuatnya optimis dan menurutnya ini adalah solusi atas masalah-masalah yang ia sampaikan.

“Buku ini membuat saya bahagia”, ucap Rukka sambil memegang buku-buku karya BPAN dan menunjukannya ke kamera.

Sekjend AMAN memegang buku karya BPAN

“Menurut saya, BPAN sudah meletakkan fondasi untuk peta jalan (road map) Masyarakat Adat ke depan. Generasi muda sangat penting untuk menuliskan sejarahnya sendiri. Kita tidak lagi ditulis oleh orang lain, sesuai dengan pandangan dan sensor-sensor dari mereka”.

Sekjen AMAN, Rukka Sombolinggi, menutup sesi bicaranya dengan mengucapkan apresiasi dan selamat ulang tahun bagi BPAN. Di mata dan senyumnya, nampak kebahagiaan dan optimisme baru.

Kendali acara dikembalikan ke moderator. Acara dilanjutkan ke sesi selanjutnya, peluncuran buku. Ketua Umum BPAN, Jakob Siringoringo menahkodai sesi ini.

“Baik, sebelum kita luncurukan buku ini secara khusus. Saya kasih waktu untuk Rikson memberikan tanggapannya dulu. Dua buku sudah dibahas secara mendalam di sesi bedah buku. Dua buku lagi akan kita bahas di lain waktu”.

Jakob kemudian memberikan kesempatan kepada Rikson dari Komunitas Mapatik untuk berbicara. Komunitas Mapatik adalah komunitas menulis di Minahasa yang terdiri dari berbagai latar belakang orang. Banyak penggerak di komunitas ini merupakan pemuda-pemudi adat anggota BPAN dan kader AMAN. BPAN dan Mapatik bekerjasama dalam mendukung aksi literasi pemuda-pemudi adat di Minahasa, Sulawesi Utara. Buku Minahasa Milenial menjadi bukti dan hasil dari upaya ini.

“Apresasi untuk buku, karya luar biasa yang dilahirkan oleh BPAN, kawan-kawan pemuda adat”, ucap Rikson selaku Director Komunitas Mapatik.

Di kesempatan bicaranya, ia mengapresiasi kerja-kerja BPAN, terutama para narasumber penulis buku dan materi yang disampaikan para penanggap. Ia juga menuturkan bahwa tantangan-tantangan yang dihadapi Masyarakat Adat merupakan pengalaman yang juga pernah ia dan kawan-kawan di Minahasa hadapi. Terutama, terkait stigma.

“Stigmatisasi Masyarakat Adat itu membunuh, benar-benar mematikan kepercayaan diri para pemuda adat. Membuat kita minder. Kami Masyarakat Adat Minahasa juga mengalami hal-hal itu. Saya yakin pengalaman ini, juga dialami oleh saudara-saudara saya di komunitas adat lain di nusantara bahkan di seluruh dunia”.

Stigmatisasi ini menurutnya sengaja dilakukan untuk memisahkan Masyarakat Adat dengan tanahnya dan menghilangkan identitasnya sebagai Masyarakat Adat.

“Kita kemudian sadar bahwa tindakan ini sengaja dilakukan. Kita kemudian sadar melalui proses diskusi ringan sesama teman-teman pemuda adat, bahwa ini sengaja dilakukan agar para pemuda, para Masyarakat Adat meninggalkan identitasnya. Agar mereka melupakan semua ingatan tentang tanahnya, tentang leluhurnya,” ungkap Rikson.

Rikson Karudeng

Ia lanjut mengisahkan bagaimana mereka di Minahasa menghadapi tantangan tersebut.

“Menulis tentang kita, menurut saya, sekali lagi sangat penting dilakukan hari ini. Ini untuk menegaskan apa yang disampaikan kawan-kawan narasumber dan para penganggap tadi. Kesadaran ini yang membuat saya dan kawan kawan, di 20 tahun lalu untuk kemudian melakukan gerakan perlahan-lahan. Walaupun dicibir. Namanya anak muda kadang disepelekan. Ketika menulis cerita dianggap tidak ilmiahlah. Tapi hari ini kawan-kawan merasakan betul bahwa karya yang dikerjakan sepuluh, lima belas tahun lalu, hari ini menjadi referensi utama. Bahkan banyak penulis menulis tentang tanah ini, oleh para narasumber menceritakan tentang Minahasa. Karya-karya ini memotivasi dan mengispirasi para pemuda-pemudi adat Minahasa hari ini untuk melakukan kerja-kerja literasi yang lebih giat”, jelas Rikson dengan semangat berapi-api.

Dikisahkan Rikson, upayanya dan para generasi muda di Minahasa, mengerucut dan fokus di kerja pendokumentasian dengan membentuk Mapatik.

“Tahun 2015, kawan-kawan kemudian memilih untuk lebih fokus dalam kerja dokumentasi, sehingga mengumpulkan teman-teman pemuda adat itu, dari berbagai komunitas, dalam sebuah komunitas yang dinamakan komunitas penulis MAPATIK”.

Diungkapkan Rikson, Mapatik, dalam bahasa Minahasa, berarti menulis.

“Karya-karya yang diceritakan oleh Ali dan kawa- kawan itu, tidak sekedar informatif, tapi edukatif, dan memotasi serta bisa menginspriasi,” tutup Rikson.

Acara yang dinantikan pun tiba. Peluncuran 4 buku karya BPAN.

Jakob melanjutkan acara.

Ada dua buku baru dari 4 buku yang akan diluncurkan BPAN. Dua buku tersebut yakni buku Young Indigenous Women Are Marginalised in Their Territories dan Minahasa Milenial.

“Buku ini bercerita tetang bagaimana posisi pemudi adat, khususnya pemudi adat di komunitas kita,” terang Jakob sambil memegang buku Young Indigenous Women Are Marginalised in Their Territories.

“Tapi ini lebih bercerita tentang keseharian pemudi adat di mana gelombang-gelombang masalah membuat mereka tersisih di wilayah adatnya”.

Buku kedua, Minahasa Milenial bercerita banyak hal tentang Minahasa di konteks keininian. Cerita tentang pemuda adat sebagai generasi milenial dan cerita Masyarakat Adat Minahasa juga dibahas di dalamnya.

Usai menjelaskan isi buku, Jakob kemudian meluncurkan buku tersebut secara resmi.

“Atas berkat Tuhan Yang Maha Kuasa dan restu para Leluhur Masyarakat Adat, sore ini kita secara resmi meluncurkan ke empat buku ini: Menelusuri Jejak Leluhur, Mahakarya Leluhur, Minahasa Milenial, dan Pemudi Adat Tersisih di Wilayah Adatnya. Terima kasih. Dengan demikian buku ini sudah menjadi referensi publik”.

Ketua Umum BPAN Meluncurkan 4 Buku Karya BPAN

Nampak terlihat, para hadirin yang hadir bertepuk tangan. Ekspresi-ekspresi gembira nampak di wajah semua yang hadir menyaksikan peluncuran buku secara langsung.

“Dan kiranya melalui launching keempat buku hari ini, kita terus maju bergerak dan kita akan menghasilkan karya-karya berikutny ayang membuktikan Masyarakat Adat akan terus ada dan berlipat ganda dan kita sebagai pemuda-pemudi adat menjadi garda terdepan dalam kerja-kerja kita sebagai Masyarakat Adat”, timpal Jakob.

Jakob menutup bicaranya. Ia mengangkat tangannya sambil dikepal. Ia berucap:

“Salam pemuda adat, Bangkit, Bersatu, Bergerak, Mengurus Wilayah Adat!”

Sebuah video pendek berdurasi 4 menit, kemudian diputar. Video tersebut berisi mimpi-mimpi anggota BPAN dalam satu kata. Video itu menjadi penegas Tema Perayaan 9 tahun BPAN :”Teruskan Mimpi, Perkuat Kampung”.

9 Tahun BPAN menjadi refleksi penting bagi gerakan Masyarakat Adat di nusantara. Upaya menelusuri jejak leluhur, membuat tulisan, dan menghasilkan buku, menjadi jalan dekolonisasi yang dipilih untuk menyatakan sikap dan eksistensi sebagai Masyarakat Adat. Semua upaya yang dilakukan oleh BPAN selama ini menjadi upaya dekolonisasi ala pemuda adat.

Penulis: Kalfein Wuisan

Pernyataan Sikap Sembilan Tahun BPAN

Horas, salam pemuda adat!
Pemuda adat bangkit bersatu bergerak mengurus wilayah adat!

Atas berkat Tuhan Yang Maha Kuasa dan restu para leluhur Masyarakat Adat, generasi penerus terus eksis menjaga nilai-nilai luhur yang diwariskan para pendahulu.

Barisan Pemuda Adat Nusantara atau BPAN yang lahir pada 29 Januari 2012 silam, tahun ini memasuki usia sembilan tahun. Sebagaimana sering diibaratkan pada manusia, umur sembilan tahun adalah usia anak-anak atau dengan kata lain masih kecil.

Usia masih sangat muda dengan periode kepengurusan normal baru tiga, namun BPAN dengan tegas dan tegap terus melangkah membawa generasi penerus Masyarakat Adat mencintai budaya dan adat istiadat warisan leluhur. Karena kami menyadari betul bahwa nasib dan masa depan kami sepenuhnya bergantung pada keberadaan hak-hak Masyarakat Adat, yaitu wilayah adat dan segala isinya.

Menjaga warisan leluhur ibarat seorang ibu merawat anak, yaitu darah dagingnya sendiri. Bagi kami merawat warisan leluhur, menjaga wilayah adat adalah tugas pokok yang mendarah daging, tanpa paksaan. Kami memperjuangkan tanah leluhur dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab turun-temurun dan tidak ada yang perlu diperdebatkan di situ.

Sebagai generasi penerus yang lahir dari rahim Masyarakat Adat, BPAN maju bergerak membela masa depan kami yang berbahagia. Dalam usia yang masih pendek, sesungguhnya kami belum dapat berlari kencang dan justru dimasa-masa inilah kami banyak belajar dan bertanya pada tetua, pada para pejuang, pada para leluhur dan segala mahluk ciptaan-Nya.

Dari proses belajar terus-menerus tersebutlah kami semakin menegaskan tujuan untuk memperkuat kampung sebgai benteng terpenting dalam membendung kekuatan penghancur yang berwujud dalam berbagai kebijakan yang merugikan Masyarakat Adat seperti HPH, Tambang, HTI, perkebunan skala besar, industri pariwisata dan sebagainya.

Ruang hidup Masyarakat Adat atau wujudnya wilayah adat yang telah dirampas puluhan tahun sudah menjadi rahasia umum yang mengakibatkan kami generasi penerus Masyarakat Adat harus berjuang memperoleh eksistensi, mendapatkan kembali kebanggaan atas jati diri kami dan merusak perekonomian kami yaitu sumber daya alam, dan sumber dari SDA itu sendiri.

Sehingga sekali lagi, pada umur sembilan tahun, BPAN bergerak memperkuat komunitas adat, merapatkan barisan di tingkat kampung. Pengurus-pengurus BPAN dari waktu ke waktu tumbuh terus di berbagai daerah di seluruh nusantara. Sebab apa pun yang kami lakukan saat ini adalah cerminan akan impian kami atas wilayah adat kami dimasa mendatang.

Barisan Pemuda Adat Nusantara mengajak seluruh pemuda dan pemudi adat seluruh nusantara untuk meneruskan mimpi memperkuat kampung. Kita dapat melakukan kegiatan kreatif apa saja, contoh berkebun dan berladang dan mengelola sawah untuk kedaulatan pangan, menginisiasi sekolah adat, memprakarsai ruang-ruang belajar untuk menenun, membaca penanggalan pertanian, membuka perpustakaan, membuat video dokumenter atau film pendek dan sebagainya.

Kita, para pemuda adat senusantara harus terus menegakkan ilmu pengetahuan Masyarakat Adat yang sudah terbukti sangat beradaptasi dengan lingkungan, dan sama sekali tidak memancing bencana, katakanlah satu contoh konkret yaitu rumah adat. Arsitektur rumah adat dipelajari sedemikian rupa dengan tingkat kerumitan yang tinggi, tapi terbukti bertahan dan nyaman kita huni berabad-abad.

Para pendukung gerakan Masyarakat Adat khususnya generasi milenial juga tak henti-hentinya kami undang agar kita bersama-sama menyuarakan bahwa Masyarakat Adat adalah komunitas beradap tinggi di planet ini. Kita harus sama-sama menyuarakan isu-isu yang menjadi kepentingan kita bersama khususnya berkaitan dengan perubahan iklim sekaligus mendukung gerakan kami dalam memperkuat kampung untuk kehidupan kita bersama.

Kampung adalah jalan pulang bagi kami generasi penerus, dan sebagai warga negara kami juga di sisi lain berpulang pada negara dengan cara mendesak pemerintah mengesahkan Rancangan Undang Undang Masyarakat Adat. RUU Masyarakat Adat sangat tepat dan bermanfaat bagi generasi penerus, di mana di dalamnya kami akan semakin terlindungi dalam menjaga kekayaan alam nusantara yang tiada taranya. Kami meyakini sumbangsih dari wilayah adat baik dari sisi ekonomi, sosial, budaya, keamanan hingga politik akan sangat berdampak luas bagi bangsa dan negara Indonesia.

Pemuda adat bangkit bersatu bergerak mengurus wilayah adat!

Salam pemuda adat!

Jakob Siringoringo
Ketua Umum BPAN

Cerita Kedaulatan Pangan dari Flores

bpan.aman.or.id – Adrianus Lawe nampak sibuk. Hari itu, Jumat (11/12/2020), menjadi begitu penting. Ia dan anggota Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Flores Bagian Timur (FBT) memulai lagi satu program baru dalam gerakan kedaulatan pangan. Beternak babi.

Di hari itu pula, belasan ekor babi langsung disalurkan ke anggota BPAN FBT dan kelompok kedaulatan pangan.

“Dalam program gerakan kedalautan pangan dan ekonomi Masyarakat Adat, BPAN FBT memiliki  dua usulan kegiatan yaitu ternak babi dan kebun sayur. Berkaitan dengan ternak babi, BPAN sudah menyalurkannya ke 30 anggota”, tutur Adrianus selaku Ketua BPAN FBT.

Menurutnya, BPAN FBT menyiapkan 15 ekor babi berumur 1 tahun untuk diternak. Babi-babi tersebut kemudian dibagikan ke anggota BPAN FBT untuk dipelihara. Setiap dua orang anggota berkewajiban memelihara 1 ekor babi.

“Semua anggota hadir di sekretariat bersama, kemudian kita bagikan ke 30 orang itu. Sebetulnya kita punya kandang kelompok, hanya saja kondisi kandang yang tidak menjamin di musim hujan, makanya kita serahkan ke anggota dulu, dua orang 1 babi,” ujar Adrianus.

Ternak babi dipilih karena beberapa alasan. Pertama, ternak babi memiliki nilai ekonomis tinggi. Kedua, babi merupakan jenis binatang yang sangat dibutuhkan dalam ritual adat PATIEA (acara syukuran atas panen dan pengantaran arwah leluhur). Ritual ini diadakan setiap tahun dan biasanya kebutuhan akan ternak bisa mencapai 5-6 ribu ekor.

Adrianus menjelaskan bahwa selain beternak babi, BPAN FBT sudah membuka kebun sayur dan kebun padi seluas 1 ha. Ini untuk membantu pemuda adat dalam mempertahankan pangan lokal di komunitas adat Natargahar (Nian Ue Wari Tana Kera Pu).  

Program kedaulatan pangan ini melibatkan anggota BPAN FBT dan komunitas Masyarakat Adat yang ada di Flores yaitu komunitas adat Natargahar dan komunitas Natarmage. Di dalam komunitas meilputi Tana puan (penguasa wilayah adat), kepala-kepala suku, pemangku adat, pelaksana, dan warga adat yang tergabung dalam kelompok ternak maupun kelompok non ternak.

“Program kedaulatan pangan ini melibatkan 30 orang anggota BPAN FBT, 87 orang Masyarakat Adat Komunitas Natargahar, dan 505 Masyarakat Adat Komunitas Natarmage,” ucapnya.

Andrianus juga menjelaskan proses memulai gerakan kedaulatan pangan bersama BPAN FBT. Ada beberapa tahap yang mereka lakukan. Tahapan ini merupakan pokok gerakan kedaulatan pangan.

“Program kedalautan pangan ini bisa berjalan, dimulai dengan pertemuan pengurus BPAN, kemudian merencanakan untuk musyawarah adat/ pertemuan kampung, penggalian profil komunitas, pembuatan peta sketsa wilayah adat di komunitas adat Natargahar dan komunitas adat Natarmage,” jelas Andrianus.

Adrianus rupanya sadar betul tentang pentingnya kedaulatan pangan Masyarakat Adat, bahkan dimasa pandemi seperti ini. Kedaulatan pangan menjadi cara untuk meningkatkan ekonomi dan mempertahkan pangan lokal.

“Program kedalautan pangan ini sangat penting karena dapat membantu masyarakat dalam memperthankan pangan lokal dan meningkatkan ekonomi Masyarakat Adat dan terkhusus pemuda adat di situasi pandemi Covid-19,” ungkap Adrianus.

Sebagai pemuda adat, Adrianus sadar bahwa kedaulatan pangan menjadi bukti konkrit keterhubungan Masyarakat Adat dengan wilayah adatnya. Gerakan kedaulatan pangan menjadi cari yang efektif mendekatkan pemuda adat dengan wilayah adatnya.

“Kedaulatan pangan menjadi pemantik bagi pemuda adat untuk kembali ke kampung mengurus kebun, mengurus mata air, mengurus hutan adat, mengurus semua sumber daya yang di titipkan leluhur dalam kesatuan wilayah adat”, tegasnya.

Ditambahkannya, ke depan BPAN FBT akan melakukan sosialisasi ke semua komunitas di Flores Bagian Timur yang meliputi Kabupaten Sikka, Flores Timur, Lembata, dan Alor. Tujuannya supaya program kedaulatan pangan betul-betul dirasakan oleh semua masyarakat di komunitas adat masing-masing.

Penulis: Kalfein Wuisan

Rina dan Kisah Hari Pertama BBJJ

Rina sedang menakar Ciu ke botol ketika dia bersiap-siap untuk join zoom siang itu (Sabtu, 12/9/2020). Dia akan mengikuti pertemuan daring pertama Belajar Bersama Jarak Jauh (BBJJ) yang diselenggarakan Pengurus Nasional Barisan Pemuda Adat Nusantara (PN BPAN).

BBJJ adalah kegiatan belajar bersama yang diorganisir PN BPAN bekerja sama dengan LifeMosaic. Kegiatan ini melibatkan sesama pengurus BPAN, baik nasional, wilayah maupun daerah. BBJJ bertujuan untuk menguatkan semangat Gerakan Pulang Kampung para pemuda adat dalam memperkuat wilayah adat atau kampungnya.

Pada masa pandemi COVID-19, hampir seluruh pekerjaan dilakukan semua orang secara daring. Begitu juga BBJJ. Sesuai dengan namanya Belajar Jarak Jauh, kegiatan ini diadakan menggunakan aplikasi rapat daring yaitu zoom. Aplikasi yang saat ini sangat populer di seluruh dunia.

Kepopuleran zoom di seluruh dunia, tidak serta merta membuat Rina mudah mengaplikasikannya di komunitas adat atau tingkat kampung. Usai menyelesaikan kerja mengisi Ciu, ia harus berjuang ekstra dan bersabar karena sinyal internet yang buruk di komunitasnya.

“Lebih dari 10 kali saya coba masuk baru bisa join zoom. Itu pun berkali-kali ketendang setelahnya dan ulang lagi masuk,” kata Ketua BPAN Wilayah Kaltara yang bernama lengkap Katarina Megawati.

Hari itu adalah hari perdana pelaksanaan BBJJ marathon selama sebulan.

Di momen pembukaan, BBJJ mendapat kehormatan dengan hadirnya Sekretaris Jenderal (Sekjen) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi. Kehadiran Sekjen sangat bermakna. Selain kesediaannya bergabung, ia juga mengantarkan sambutan yang semakin mengukuhkan semangat generasi muda adat, khususnya dalam kerangka gerakan pulang kampung.

Sekjen AMAN mengawali sambutannya dengan pemaparan pembentukan BPAN. Ia menjelaskan pesan kuat tentang pentingnya kehadiran pemuda adat sehingga diperhitungkan dalam posisi-posisi strategis dan pengambilan keputusan.

“BPAN dibentuk secara khusus untuk memastikan peran generasi muda di organisasi bisa dimaksimalkan dalam pengambilan keputusan. Sayangnya selama ini, kelompok pemuda masih dianggap kurang kompeten dalam pengambilan keputusan organisasi dianggap belum punya pengalaman, masih anak kemarin sore, tidak tahu apa-apa,” jelas Rukka.

Ia memuji kinerja BPAN sejauh ini. Ia turut berpesan bahwa BPAN harus kuat. Hal ini karena tugas besar yang harus diperjuangkan pemuda adat, baik di level organisasi, komunitas, sesama generasi pemuda, hingga menjadi penopang organisasi.

Sekjen perempuan pertama AMAN itu melanjutkan pandangannya tentang Gerakan Pulang Kampung yang menjadi ruh setiap program BPAN.

Baginya, gerakan pulang kampung adalah gagasan dan tindakan revolusioner.

“Saya tak menyangka bahwa gerakan pulang kampung ini justru menjadi jalan penuntun pulang. Awalnya saya menganggap biasa sebab berpikir apa mungkin anak-anak muda yang pikirannya sudah kekotaan akan mau bertahan pulang kampung,” katanya.

Ia mengapresiasi kegigihan dan upaya konkrit yang dilakukan BPAN.

“Kalian sangat gigih memperjuangkannya. Ini yang disebut militansi. Kalian melawan arus besar atau tantangan yang selama ini arahnya ke kota, tapi kalian justru membalik arah panahnya. Hasilnya terbukti. Misalnya, saat ini sudah ada 55 sekolah adat seluruh nusantara yang digagas pemudi-pemuda adat” jelas Sombolinggi.

Perempuan adat Toraya itu, mengakihiri sambutannya dengan menekankan penguatan gerakan pulang kampung sebagai jalan utama bagi perjuangan gerakan Masyarakat Adat Nusantara.

“Gerakan pulang kampung ini adalah penunjuk jalan pulang, tempat untuk pulang, dan tempat untuk bercermin,” tutupnya.

Rina adalah peserta BBJJ bersama 20 orang pengurus wilayah dan daerah BPAN, mulai dari Kepulauan Aru sampai Kepulauan Mentawai. Sama seperti Rina, beberapa peserta lainnya juga sangat terbatas sinyal internetnya.

Rina berasal dari komunitas adat Bulusu Rayo, Desa Kelising, Kecamatan Sekatak, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara. Dari salah satu sudut kampung di utara Kalimantan, Rina bersusah payah meraih kebersamaan dengan peserta lain di zoom.

Asap yang Mengepul dari Lebak

Pemuda Adat – Jakarta. Kasukri mendekam di penjara tanpa tahu apa salahnya. Ia ditangkap Polisi Kehutanan dan dibawa ke kantor polisi, diadili dan ditahan. Kejadian tersebut menyebabkan Masyarakat Adat Kasepuhan Karang ketakutan.

“Penangkapan tersebut bagi saya merupakan sebuah penjajahan. Hati saya sakit dan terluka,” ujar Jaro Wahid lirih, Sabtu (18/11/2017) lalu.

Perhutani melarang warga beraktivitas di kawasan hutan adat yang diklaim negara sebagai hutan negara (Perhutani) dan belakangan dijadikan Taman Nasional. Masyarakat Adat Kasepuhan Karang pemilik wilayah adat tersebut justru diposisikan sebagai pihak asing di tanahnya sendiri. Perlakuan tersebut meninggalkan trauma bagi warga.

“Dia hanya membawa sebatang dahan untuk dijadikan kayu bakar di rumahnya. Seketika, langkahnya dihentikan di jalan itu,” telunjuknya mengarah ke jalan lintas beraspal tak jauh dari tempat kami duduk.

Asap di dapur Kasukri tak jadi mengepul, petaka malah menghampiri.

*

Saya dan teman-teman pemuda adat senusantara duduk bersila dan melingkar di atas tanah adat yang sudah mereka rebut dari Taman Nasional. Sepenuhnya kami berguru di tanah merdeka kepada sang teladan Jaro Wahid.

Kami, pemuda adat senusantara, tengah melaksanakan RPN IV BPAN pada  17 – 18 November 2017 di Kasepuhan Karang, Desa Jagaraksa, Kec. Muncang, Kab. Lebak, Banten. RPN ini adalah yang terakhir untuk periode 2015 – 2018 di bawah kepemimpinan Jhontoni Tarihoran. RPN kali ini membahas persiapan-persiapan Jambore Nasional III BPAN pada Februari 2018. Selain itu, kami juga sekaligus belajar pendidikan politik dari Masyarakat Adat Lebak.

Baca juga RPN IV BPAN: Persiapan Jambore Nasional III

Sebab Masyarakat Adat Lebak merupakan kelompok yang secara nyata kesadaran politiknya tinggi. Hal ini dipastikan antara lain dengan duduknya utusan-utusan mereka di posisi-posisi strategis. H. Ade Sumardi duduk sebagai Wakil Bupati Lebak, Junaedi Ibnu Jarta, Ketua DPRD Lebak dan Jaro Wahid jadi Kepala Desa Jagaraksa.

Di lain sisi sebagai generasi penerus Masyarakat Adat yang bertujuan untuk mendapatkan pengakuan dari negara, saya mendapatkan pelajaran baru untuk siap berpolitik. Politik di sini saya mudahkan pemahamannya sesuai konteks perjuangan Masyarakat Adat yaitu merebut ruang untuk memastikan kebijakan negara benar-benar berpihak kepada Masyarakat Adat.

Dengan kata lain, menghadirkan negara di tengah-tengah Masyarakat Adat.

*

Ketua PD AMAN Banten Kidul itu berhasil membawa Kasepuhan Karang mendapatkan pengakuan hutan adat seluas 486 hektar langsung dari Istana Negara dan diserahkankan Presiden RI Joko Widodo pada 30 Desember 2016 lalu.

Perjuangan Panjang yang berhasil ini dimenangkan setelah melewati tantangan berliku. Penjajahan mulai dari Perum Perhutani sampai Taman Nasional sangat membekas dalam batinnya. Pada 1987 Perhutani memulai penggusuran dan pada 2007, Perhutani berganti menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS).

Sebagai area konservasi, Masyarakat Adat dilarang beraktivitas di sana. Pengaturan pemerintah semakin ketat. Masyarakat Adat semakin dihimpit di wilayah adatnya sendiri, meskipun untuk urusan mengisi perut sejengkal.

Pengalaman pahit tersebut menempa dirinya untuk berani bermimpi dan berjuang merebut hak-hak mereka dan membebaskan dia, keluarga dan Masyarakat Adat Kasepuhan Karang dari “penjajahan”.

“Mimpi saya waktu itu mengeluarkan tanah adat dari cengkeraman Taman Nasional,” ujarnya.

Untuk mengimplementasikan mimpinya, Jaro—demikian dia akrab disapa—mengatur strategi perjuangan. Strategi yang dilakukannya adalah dengan mencalonkan diri sebagai kepala desa.

“Kunci perubahan ada di kepala desa,” katanya.

Ia pun berjuang mengikuti pemilihan kepala desa. Hasilnya, ia kalah dengan selisih 25 suara dari pesaingnya. Meskipun kalah, ia tidak patah arang. Kukuh pada tekad, ia akhirnya mendapat “bisikan” dari kakeknya.

“Kamu tidak akan bisa menjadi kepala desa, kalau kamu tidak membuat desa sendiri,” bisik sang kakek.

Pendek cerita, dia berhasil memekarkan kampungnya dari Desa Cikarang menjadi satu desa: Jagaraksa. Ia pun maju sebagai kandidat kepala desa satu-satunya. Satu periode ia memimpin Desa Jagaraksa, Kecamatan Muncang, Kabupaten Lebak, Banten.

Selama menjadi kepala desa, ia berjuang terus untuk mendapatkan pengakuan hak-hak Masyarakat Adat Kasepuhan Karang. Pada 2015, Pemkab Lebak menerbitkan Perda Masyarakat Adat Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan.

Kini dia masih menjabat sebagai kepala desa untuk periode kedua.

Pengakuan hak-hak mereka belum sepenuhnya terasa meskipun Perda Masyarakat Adat sudah terbit. Karena itu, Jaro yang bermimpi melepaskan hutan adatnya dari cengkeraman TNGHS, sempat diolok-olok warganya.

“Sudahlah, mimpi itu tidak akan terwujud,” ujar saudaranya pesimis.

Walaupun berjuang sendirian, khususnya dalam menyangkut urusan administrasi dan desakan-desakan ke lembaga, ia melangkah konsisten, kukuh pada pendiriannya. Pada akhir 2016, ia membuktikan mimpinya.

Sebelumnya, pada 5 Oktober 2015, pria berperawakan santai itu mendaftarkan hutan adat mereka ke KLHK  sesuai dengan Peraturan Menteri Nomor 32 tahun 2015 dan melewati dua tahap verifikasi dan validasi. Persyaratan tersebut mencakup surat pernyataan permohonan hutan adat, Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat serta wilayah adat.

*

Wah kalau cerita perjuangan ini, saya tidak pernah serius, katanya. Menurutnya istilah memperjuangkan dalam cerita dia, kurang tepat. Istilah memperjuangkan itu, katanya, ada pada masa Soekarno. Kala itu perjuangan yang dimaksud adalah perjuangan kemerdekaan.

Sekarang ini, kita hanya mempertahankan. Kita sudah di dalam Indonesia, tugas selanjutnya yaitu mempertahankan hak-hak kita dari rampasan penjajah seperti Perhutani/Taman Nasional, katanya.

Ia mengenang masa kecilnya yang terasa di bawah kesewenang-wenangan Perhutani. Saat itu mulai timbul perlawanan dalam batinnya. Lalu ia memilih pergi dari kampung untuk bersekeloh. Ia menempuh pendidikan hingga tingkat SLTP di perantauannya.

“Saya satu-satunya waktu itu yang sekolah dari kampung ini,” kata Jaro. Pada 1993, ia lulus dari SLTP.

Ketika itu, ia kembali mengenang kampung dan memutuskan kembali ke kampung. Situasi tetap sama. Kembali bapaknya kesakitan, saat ia tidak bebas bekerja di tanahnya sendiri. Perum Perhutani semakin mengancam dan menambah kesengsaraan di kampungnya.

Sadar tidak berdaya, jabatan tidak punya, ekonomi lemah, dan hukum tidak berpihak membuat Jaro kembali merantau. Kali ini ia melanjutkan jenjang pendidikannya sendiri dari SLTA hingga Perguruan Tinggi. Harunya, kedua orang tuanya mengetahui anaknya merantau cari pekerjaan, bukan bersekolah.

“Saya tidak kasih tahu mereka bahwa saya sekolah. Sama saja artinya saya mencekik leher mereka,” ujarnya. Biaya pendidikan yang tinggi menyurutkan Jaro memberitahu kedua orang tuanya. Dia membiayai sendiri pendidikannya.

Sampai suatu ketika, Jaro kembali ke kampung. Ia mengajak kedua orang tua dan kerabat dekatnya jalan-jalan ke Jakarta. Curiga dengan ajakan anak, orang tua Jaro lantas bertanya. Jaro menyatakan siap mendanai keberangkatan, asal kedua orang tua dan kerabat mau diajak mengenal dunia luar, terlebih ibukota metropolitan Jakarta.

Akhirnya mereka tiba di Jakarta dalam rombongan tiga bus. Alamat perjalanan pun tertuju ke sebuah kampus swasta di Jakarta Timur. Bukannya melihat pemandangan atau arena hiburan, kedua orang tua Jaro malah bingung setelah mereka tiba di kampus tersebut.

Undangan jalan-jalan tak seperti dibayangkan, mereka justru mengikuti prosesi wisuda. Kedua orang tua Jaro bersimpuh, kehilangan kata-kata. Mata keduanya berkaca-kaca, tidak percaya.

“Bapak saya menangis, bersimpuh, menangis kala itu,” kenang Jaro. Kedua orang tuanya bangga bukan main. Anaknya menjadi orang pertama yang menempuh pendidikan tinggi di kampungnya. Mereka benar-benar tidak mengira saya selama ini kuliah, bukan hanya kerja, tambahnya.

Sejak itu, dia kembali ke kampung untuk meneruskan perjuangan atau sesuai istilah beliau mempertahankan hak-hak Masyarakat Adat Kasepuhan. Setiap perjuangan akan bertemu dan bertalian dengan teman yang senasib sepenanggungan. Seiring waktu, Jaro pun bertemu dengan RMI, AMAN, Epistema Institue, dan Sajogyo Institute.

*

Di antara kisah yang saya dengar dari Jaro, pergerakan pemuda adatnya juga layak diteladani. Engkos Kosasih, penggerak pemuda adatnya bertutur singkat perihal aktivitas mereka.

Engkos bercerita bagaimana mereka melakukan banyak hal setelah hutan adat dikembalikan. Mulai dari menanam pohon yang mereka sebut dengan istilah “adopsi pohon”. Hingga saat ini mereka sudah menanam sebanyak 2700 pohon buah. Rencana mereka akan menanam sebanyak 29000 pohon buah.

Menurut Jaro, mempertahankan hak-hak Masyarakat Adat harus diwariskan kepada generasi muda. Karena itu dia mengajak para pemuda adat Kasepuhan Karang untuk bersama-sama menjaga dan mempertahankan wilayah adat yang sudah diakui negara tersebut.

“Saya ajak mereka bermain, bukan bekerja. Permainan itu mengasyikkan, bekerja menjenuhkan. Saya mengajak, bukan menyuruh. Jadi saya mengajak anak muda bermain-main di wilayah adat, padahal itu adalah perjuangan. Mereka pun ‘terjebak’,” tutupnya.

[Jakob Siringoringo]

RPN IV BPAN: Persiapan Jambore Nasional III

 

Pemuda Adat – Pengurus Nasional Barisan Pemuda Adat Nusantara (PN BPAN) pada Jumat – Sabtu (17-18/11/2017) menyelenggarakan Rapat Pengurus Nasional (RPN) IV di Kasepuhan Karang.

Persiapan Jambore Nasional (JamNas) menjadi agenda utama, selain membicarakan evaluasi penyelenggaraan organisasi. Jambore Nasional III direncanakan pada akhir Februari 2018. Sampai sejauh ini, persiapan serius mulai dari kesiapan tuan rumah, panitia, kepesertaan hingga pendanaan belum konkret.

Anton Suprianto, DePAN Region Sumatera, dalam rapat menyampaikan agar pembahasan fokus ke persiapan Jamnas. Meskipun mengiyakan pendapat Anton, Modesta Wisa, DePAN Region Kalimantan menambahkan perlunya refleksi kepengurusan selama tiga tahun terakhir.

Banyak perkembangan yang berhasil diraih PN periode 2015 – 2018, namun masih tak terhitung juga program yang belum terlaksana. Refleksi ini mengerucut pada arah komunikasi internal organisasi yang kurang maksimal melalui garis struktur organisasi.

Dari sini kemudian muncul usul untuk membawa diskusi perihal mencermati kembali struktur yang sekarang. Mengadopsi struktur model komunikasi langsung dari wilayah pengorganisasian ke PN sempat menjadi pembahasan alot. Pembahasan ini akan dibawa dan ditawarkan dalam siding-sidang JamNas III.

Mengingat persiapan JamNas masih belum “tancap gas”, RPN IV ini kemudian menyepakati struktur kepanitiaan sementara, khususnya dari Pengurus Nasional. Struktur ini masih akan dikonsultasikan ke AMAN sebagai organisasi induk.

“Karena masih dikonsultasikan dulu, sekarang kita hanya menetapkan ketua aja sama bendahara dulu,” kata Kristina Sisilia, DePAN Region Sulawesi sekaligus Koordinator DePAN.

 

RPN yang bertempat di Desa Jagaraksa, Kec. Muncang, Kab. Lebak, Banten ini juga membicarakan refleksi, khususnya menyangkut tantangan-tantangan yang dihadapi. Dalam RPN ini dibahas persoalan-persoalan yang dihadapi PN khususnya pelaksana harian yakni Ketua Umum Jhontoni Tarihoran.

Terungkap dalam rapat ini bahwa kendala kebanyakan terjadi di tingkat wilayah dan daerah. Kepengurusan di tingkat wilayah mayoritas jalan di tempat. Sosialisasi atau pun daya jelajahnya belum begitu signifikan.

“Tantangan saat ini: iuran tidak berjalan, sosialisasi belum maksimal, kepengurusan belum berjalan juga. Data anggota pun sulit diperbaharui,” ujar Jhontoni.

RPN yang dilakukan dua kali setahun ini merupakan RPN terakhir di periode 2015 – 2018.

[Media BPAN]

Peringati Sumpah Pemuda, Pemuda Adat Sinjai Deklarasikan BPAN

Janji BPAN
 
Dengan bersaksi kepada Tuhan dan alam semesta
Dan dengan restu para leluhur Masyarakat Adat
 
Saya berjanji
Selalu teguh menjaga dan memelihara titipan leluhur saya
nilai-nilai dan sikap hidup yang luhur
perilaku yang arif
identitas budaya yang kokoh
hukum dan kelembagaan adat yang kuat
wilayah adat dan segala isinya yang lestari
  
Saya berjanji
Merasa senasib-sepenanggungan
dengan sesama Masyarakat Adat di mana pun
Setia membela hak-hak Masyarakat Adat
Menghormati Hak Azasi Manusia
Menjaga bumi
  
Saya berjanji
Mematuhi Statuta Barisan Pemuda Adat Nusantara
dan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga AMAN
setia dengan kepemimpinan organisasi
mengabdi kepada cita-cita luhur
Gerakan Masyarakat Adat Nusantara
untuk mewujudkan Masyarakat Adat dan Bangsa Indonesia
yang berdaulat, mandiri, dan bermartabat  
Semoga Tuhan dan para leluhur Masyarakat Adat menolong saya

 

Sinjai (28-29/10/2017) – Siapa yang tidak pernah mendengar Janji Pemuda Adat? Janji Pemuda Adat adalah janji kita sebagai pemuda adat untuk setia bangkit, bersatu, bergerak mengurus wilayah adat. Janji ini sangat mengikat kita sebagai generasi penerus Masyarakat Adat. Di sana jugalah sikap kita sebagai pemuda adat tertera dalam membela Tanah Air kita, Tanah Air Nusantara.

Di seluruh Nusantara bergema Janji Pemuda Adat, seperti yang terbaru di Sinjai, Sulawesi Selatan. Janji Pemuda Adat di Sinjai kali ini dirangkaikan dengan peringatan Sumpah Pemuda 28 Oktober. Pemuda Adat yang juga pemuda Indonesia, khususnya Sinjai memperingati Hari Sumpah Pemuda se-Indonesia itu dengan mendeklarasikan Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Daerah Sinjai.

“Dengan membacakan Janji Pemuda Adat secara serentak, disaksikan pemangku adat dalam hal ini Kepala Desa Tompobulu Mahmuddin, deklarasi ini resmi dilakukan,” kata Wahyullah Ketua PD AMAN Sinjai.

Deklarasi pun berlangsung dengan pembentukan struktur Pengurus Daerah (PD) BPAN Sinjai. Indra Lesmana pemuda adat dari komunitas Karampuang mendapat mandat sebagai ketua, Muhammad Agus pemuda adat dari komunitas Turungan sebagai Sekretaris dan Arman pemuda adat dari komunitas Barambang sebagai Bendahara.

Deklarasi yang mengangkat tema “Pemuda Adat Bangkit, Bersatu, Bergerak Mengurus Wilayah Adat” ini mendapat apresiasi penuh dari Mahmuddin. Ia bangga kepada para pemuda adat Sinjai yang memilih tindakan tepat sebagai refleksi nyata dari Sumpah Pemuda.

“Saya sangat apresiasi kegiatan ini. Dan saya harap dari tiga komunitas pemuda adat ini mampu bekerja sama dengan baik mengembangkan potensi yang ada. Apalagi ada aggaran desa yang bisa digunakan untuk pembinaan pemuda,” pungkasnya.

Deklrasi bersejarah ini diikuti para pemuda adat dari tiga komunitas adat di Sinjai: pemuda adat Turungan, Kec. Sinjai Barat, pemuda adat Karampuang, Kec. Bulupoddo dan pemuda adat Barambang, Kec. Sinjai Borong. Peserta yang berjumlah 50-an orang tersebut menjadi bukti betapa pemuda adat benar-benar garda terdepan dalam mengurus wilayah adat.

Marjuli, pengurus pemuda adat Karampuang menambahkan bahwa rencana tindak lanjut akan mengadakan kemah pemuda adat. Kemah ini, menurutnya, akan menjadi agenda terdekat untuk mengonsolidasi BPAN Daerah Sinjai.

“Ke depannya akan kita adakan lagi kemah pemuda adat. Selain belajar bersama, juga sekaligus pengukuhan pengurus. Apalagi teman-teman BPAN Pusat rencananya akan hadir nanti,” katanya.

 

[Burhanuddin]

Siaran Pers Peringatan Hari Tani Nasional 2017 Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA)

“Indonesia Darurat Agraria:
Luruskan Reforma Agraria dan Selesaikan Konflik-konflik Agraria”

Memasuki 57 tahun paska diundangkannya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 pada tanggal 24 September 1960 atau yang biasa diperingati sebagai Hari Tani Nasional, situasi agraria di tanah air belum sepenuhnya lepas dari corak feodalisme, kolonialisme dan kapitalisme. Situasi di atas tentu menjadi anomali, sebab UUPA 1960 merupakan mandat konstitusi Negara dalam rangka pengelolaan kekayaan agraria nasional yang berlandaskan keadilan sosial sebagai amanat pasal 33 UUD 1945.

Dewasa ini, ketimpangan struktur penguasaan dan konflik agraria masih ramai terjadi. Monopoli kekayaan agraria terjadi di hampir semua sektor kehidupan rakyat. Dari seluruh wilayah daratan di Indonesia, 71 % dikuasai korporasi kehutanan, 16 % oleh korporasi perkebunan skala besar, 7 % dikuasai oleh para konglomerat. Sementara rakyat kecil, hanya menguasai sisanya saja. Dampaknya satu persen orang terkaya di Indonesia menguasai 50,3 % kekayaan nasional, dan 10 % orang terkaya menguasai 7 % kekayaan nasional.

Politik kebijakan agraria nasional semakin tidak bersahabat dengan petani, sebab tanah dan kekayaan agraria lainnya telah dirubah fungsinya menjadi objek investasi dan bisnis oleh pemerintah yang berkuasa. Tercatat, rata-rata pemilikan tanah petani di pedesaan kurang dari 0,5 dan tidak bertanah. Per-Maret 2017, sebanyak 17,10 juta penduduk miskin hidup di pedesaan dan ditandai dengan terus naiknya indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan. (BPS, 2017). Situasi ini telah berkontribusi besar meningkatkan angka pengangguran dan buruh murah di perkotaan akibat arus urbanisasi yang terus membesar.

Meskipun beberapa kali menjadi program kerja para penguasa, faktanya reforma agraria yang sejati sesuai amanat UUPA 1960 tidak pernah benar-benar dilaksanakan. Seperti halnya dengan pemerintahan sebelumnya, Jokowi-JK juga telah memasukkan reforma agraria sebagai salah satu prioritas kerja nasional yang terdapat pada butir ke-5 program Nawacita. Bahkan pada tahun 2016, Jokowi telah mengeluarkan Perpres No. 45/2016 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2017 yang menempatkan reforma agraria sebagai salah satu prioritas nasional dalam pembangunan Indonesia.

Namun begitu, memasuki tiga tahun pemerintahannya, Jokowi-JK belum benar-benar melaksanakan reforma agraria sejati. Dari sisi kebijakan, walaupun sudah ada kemauan politik (political will), akan tetapi belumlah kuat. Indikasinya, Perpres Reforma Agraria sejauh ini masih belum ditandatangani. Sementara tuntutan untuk membentuk badan/lembaga otoritatif pelaksana reforma agraria malah dikerdilkan menjadi tim pelaksana reforma agraria yang berada di bawah Kementrian Kordinator Perekonomian (Kemenko Perekonomian) dan dibagi ke dalam tiga Pokja yang diketuai oleh Kementrian LHK, Kementiran ATR//BPN, dan Kementrian Desa PDTT. Artinya reforma agraria hanya dimaknai sebagai persoalan ekonomi semata tanpa memperhatikan aspek keadilan sosial.

Di sisi lain, terdapat beberapa kebijkan yang berpotensi membiaskan makna dari reforma agraria sejati. Misal, kebijakan Perhutanan Sosial (PS) yang diatur melalui Permen LHK No. 83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial yang kemudian diperbaharui melalui Permen LHK No. 93/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2017 tentang Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani. Masalahnya, perhutanan sosial hendak dipaksakan masuk ke dalam skema reforma
agraria. Perlu ditekankan, bawah reforma agraria dan perhutanan sosial mempunyai skema hukum yang berbeda dalam pelaksanaannya. Jika dalam reforma agraria salah satunya menguatkan secara legal formal hak atas tanah masyarakat, sebaliknya PS bisa menjadi kemunduran jikalau diterapkan pada wilayah yang sudah menjadi pemukiman, tanah pertanian dan fasilitas umum desa-desa. Mengapa demikian, mengingat adanya penegasan bahwa hutan adat bukanlah hutan negara pada utusan MK 35, seharusnya masyarakat menegaskan hal tersebut bukan malah dipaksakan mengambil PS dengan kata lain mengakui status hutan negara di dalam wilayah adatnya. Melihat buruknya pengelolaan kawasan hutan selama ini oleh pemerintah, situasi ini berpotensi meneruskan konflik dan tumpang tindih klaim antara rakyat dengan pemerintah maupun korporasi swasta di wilayah kawasan hutan.

Situasi ini ditambah dengan keengganan KLHK untuk menerapkan skema reforma agraria di Jawa, Bali dan Lampung dengan alasan bahwa di tiga wilayah tersebut sudah kurang dari batas minimum 30 % kawasan hutan. Kebijakan ini dinilai sebagai standar ganda yang sedang ingin didorong pemerintah mengingat banyaknya izin-izin tambang, konsesi-konsesi perkebunan besar dan tanah-tanah terlantar Perhutani yang seharusnya ditertibkan malah dipertahankan.

Dari sisi pelaksanaan, tercatat redistribusi tanah yang berasal dari HGU habis, tanah terlantar, dan tanah Negara lainnya sejak tahun 2015 hanya seluas 182.750 hektar. Redistribusi melalui transmigrasi sejak 2015 tercatat hanya 32.146 hektar. Sementara redistribusi melalu pelepasan kawasan hutan masing urung terlaksanan sejauh ini. Justru legalisasi asset melalui proses sertifikasi yang menunjukkan kemajuan siginifikan yakni seluas 609.349 hektar hingga tahun 2015 tanpa melihat sisi penguasaan tanah terlebih dahulu. Artinya kebijakan ini justru melegitimasi ketimpangan penguasaan tanah.

Di tengah mandeknya dan biasnya pelaksanaaan reforma agraria tersebut. Perampasan dan kriminalisasi petani justru semakin marak terjadi. Dari tahun 2015 hingga 2016, telah terjadi sedikitnya 702 konflik agraria di atas lahan seluas 1.665.457 juta hektar dan mengorbankan 195.459 KK petani (KPA, 2015 dan 2016). Artinya, dalam satu hari telah terjadi satu konflik agraria di tanah air. Sementara, dalam rentang waktu tersebut sedikitnya 455 petani dikriminalisasi/ditahan, 229 petani mengalami kekerasan/ditembak, dan 18 orang tewas. Angka ini jauh berbanding terbalik jika dibandingkan dengan pelaksanaan reforma agrarian di era pemerintahan saat ini.

Perempuan menjadi salah satu pihak yang paling dirugikan dari fenomena-fenomena perampasan lahan dan konflik agraria di atas. Laporan Solidaritas Perempuan tahun 2017 menunjukkan jumlah rumah tangga miskin dengan kepala keluarga perempuan mengalami kenaikan sebesar 16,12 % dari 14,9 % pada tahun 2014. Hilangnya tanah sebagai sumber kehidupan untuk pemenuhan kebutuhan dasar rumah tangga maupun ekonomi keluarga berdampak kepada meningkatnya beban perempuan dalam memastikan tersedianya pangan keluarga.

Tidak hanya perempuan, situasi ini juga telah berdampak buruk kepada masyarakat yang tinggal di pesisir dan pulau-pulau kecil. Bukannya ditempatkan sebagai subjek pembangunan yang lebih berkeadilan, mereka malah menjadi korban dari kebijakan maritime Jokowi-JK. Reklamasi, pertambangan, konservasi, dan pariwisata pesisir telah berubah menjadi mimpi buruk bagi masyarakat yang tinggal di pesisir dan pulau-pulau kecil. Pusat Data dan Informasi KIARA tahun 2016 mencatat lebih dari 107.000 KK nelayan telah merasakan dampak buruk 16 proyek reklamasi yang tersebar di berbagai daerah. Masih di tahun yang sama, pertambangan di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang tersebar di 20 wilayah di tanah air telah berkontribusi menghilangkan penghidupan masyarakat pesisir dan menghancurkan ekologi pesisir.

Dari jabaran-jabaran di atas, kami dari aliansi Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) untuk Hari Tani Nasional 2017 (HTN 2017) menilai bahwa Indonesia sedang berada dalam kondisi darurat agraria.
Oleh sebab itu, dalam rangka memperingati Hari Tani Nasional tahun ini dan 57 tahun UUPA 1960, KNPA akan melakukan berbagai rangkaian kegiatan aksi di nasional dan daerah dalam rangka menuntut pemerintah untuk segera menyelesaikan beragam persoalan agraria tersebut.

Selain melakukan konferensi pers yang dilaksanakan pada hari ini, Minggu, (24/9). Senin tanggal 25 September 2015, kami akan mendatangi MPR RI untuk menuntut agar legislatif turut melaksanakan TAP MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan UUPA No. 5/1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria sebagaimana mandat konsitusi Negara, pasal 33 UUD 1945.

Selasa, tanggal 26 September 2017 dilanjutkan dengan mendatangi MK dan KPK untuk menuntut dua lembaga Negara tersebut agar segera melakukan penertiban terhadap UU yang dinilai bertentangan dengan hak konstitusional khususnya para petani serta menindak beragam tindak pidana korupsi yang terjadi di sektor agraria, baik berupa penyalahgunaan wewenang, gratifikasi dan pemberian izin-izin diluar prosedur yang dilakukan pemerintah beserta perusahaan.

Di berbagai daerah turut pula merayakan HTN 2017 dengan tema bersama Indonesi Darurat Agraria, menuntut adanya penyelesaian konflik agraria di daerah masing-masing. Sedangkan puncak rangkaian aksi HTN 2017 ini adalah aksi turun ke jalan dengan estimasi 7000 massa aksi yang terdiri dari organisasi gerakan rakyat (petani, nelayan, perempuan, masyarakat adat, buruh, mahasiswa) dan organisasi masyarakat sipil lainnya menuju Istana Negara menuntut pemerintah Jokowi-JK melaksanakan reforma agraria yang sejati, yakni reforma agraria yang berlandaskan TAP MPR No. IX/2001, UUPA 1960, dan UUD 1945 sebagai pondasi dasar pengelolaan kekayaan agraria nasional yang berkeadilan dan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Demiikian Siaran Pers ini, agar menjadi perhatian semua pihak

Jakarta, 24 September 2017

Hormat Kami,

 

A.n. Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA)/Aliansi HTN 2017:

KPA – SPP – STI – SPM – IHCS – KIARA – SP – API – YLBHI – KNTI – SW – FPRS – Bina Desa – WALHI – KPBI – SPDD – SPI – KPOP – AMAN – BPAN – SPR Indonesia – SMI – PSHK – JKPP – ELSAM – AMANAT – LBH Jakarta – RMI – Yayasan Pusaka – SNI – KPRI – P3I – KSN – SPKS – SAINS – KontraS – LBH Bandung – TuK Indonesia – KRuHA – Perkumpulan Inisiatif – WALHI Jabar – SPRI – Gerbang Tani – HuMa – SP Jabotabek – P2B – Jakatani – STTB – JATAM – KPR – FIELD – KNPK – HMI Jabar – PPC – FPPB – STIP – PMII Kota Bandung – HITAMBARA – FPPMG – FARMACI – FPMR – YP2I – SPMN – PMII Jabar – AGRA

__________

Daftar Aliansi Hari Tani Nasional 2017
1. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
2. Serikat Petani Pasundan (SPP)
3. Serikat Tani Indramayu (STI)
4. Serikat Petani Majalengka (SPM)
5. Indonesian Human Rights Comittee for Social Justice (IHCS)
6. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
7. Solidaritas Perempuan (SP)
8. Aliansi Petani Indonesia (API)
9. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
10. Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI)
11. Sawit Watch (SW)
12. Front Perjuangan Rakyat Sukamulya (FPRS)
13. Bina Desa
14. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
15. Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI)
16. Solidaritas Pemuda Desa untuk Demokrasi (SPDD)
17. Serikat Petani Indonesia (SPI)
18. Kesatuan Perjuangan Organisasi Pemuda (KPOP)
19. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
20. Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN)
21. Sarekat Pengorganisasian Rakyat (SPR)
22. Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI)
23. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
24. Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)
25. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
26. Aliansi Masyarakat Nanggung Transformatif (AMANAT)
27. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
28. Rimbawa Muda Indonesia (RMI)
29. Yayasan Pusaka
30. Serikat Nelayan Indonesia (SNI)
31. Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI)
32. Persatuan Pergerakan Petani Indonesia (P3I)
33. Konfederasi Serikat Nasional (KSN)
34. Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS)
35. Sajogyo Institute (SAINS)
36. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
37. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung
38. Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia
39. Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA)
40. Perkumpulan Inisiatif
41. Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jabar
42. Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI)
43. Gerbang Tani
44. Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa)
45. Solidaritas Perempuan (SP) Jabotabek
46. Persatuan Petani Banten (P2B)
47. Jaringan Kerja Tani (Jakatani)
48. Serikat Tani Telukjambe Bersatu (STTB), Karawang
49. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)
50. Komite Perjuangan Rakyat (KPR)
51. Farmer Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy (FIELD)
52. Komite Nasional Pertanian Keluarga (KNPK)
53. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Jabar
54. Paguyuban Petani Cianjur (PPC)
55. Forum Perjuangan Petani Batang (FPPB)
56. Serikat Tani Independen Pemalang (STIP)
57. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota Bandung
58. Himpunan Tani Masyarakat Banjarnegara (HITAMBARA)
59. Forum Pemuda Pelajar Mahasiswa Garut (FPPMG)
60. Forum Aspirasi Rakyat dan Mahasiswa Ciamis (FARMACI)
61. Forum Pemuda dan Mahasiswa untuk Rakyat Tasikmalaya (FPMR)
62. Yayasan Petani Pasundan Indonesia (YP2I)
63. Serikat Pemuda Mahasiswa Nusantara (SPMN)
64. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Jabar
65. Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA)

PENGURUS NASIONAL BPAN 2022-2026

KONTAK KAMI

Sekretariat BPAN, Alamat, Jln. Sempur, Bogor

officialbpan@gmail.com