Generasi Muda Adat dan Peran Advokasi Kebijakan

(Sebuah Catatan dari Pelatihan Advokasi Kebijakan BPAN)

bpan.aman.or.id – “Selama ini tantangan berat yang biasa dihadapi itu apa Pak Sinung Karto?” tanya Pekam Usut Ngaik.

Ia nampak antusias. Hasrat untuk mendapatkan pengetahuan mendalam tentang advokasi kebijakan membuatnya mengajukan pertanyaan itu.

Pekam Usut Ngaik adalah pemuda adat asal Mentawai. Minggu (20/12/2020), ia mengikuti Training Advokasi yang diselenggarakan oleh Pengurus Nasional Barisan Pemuda Adat Nusantara (PN BPAN) secara daring via aplikasi zoom.

Training advokasi ini diikuti oleh pemuda-pemudi adat anggota BPAN. Tujuannya supaya mereka dapat mengambil bagian dalam kerja-kerja advokasi kebijakan di tingkat kampung atau wilayah adat. Selain itu, bisa mengajak dan memulai membiasakan pemuda-pemudi adat terlibat perjuangan di lapangan dari sisi advokasi khususnya terkait mengawal kebijakan-kebijakan pemerintah di tingkat kampung atau wilayah adat. Sementara, hasil dari pelatihan ini diharapkan akan muncul 2 atau 3 orang yang serius menjadi semacam paralegal pemuda adat.

Sinung Karto selaku Staf Deputi II Sekjen AMAN, Nur Amalia selaku Ketua PPMAN, Jhontoni Tarihoran selaku DePAN Region Sumatera, dan Katarina Megawati selaku Ketua Pengurus Wilayah BPAN Kalimantan Utara, menjadi fasilitator pelatihan. Hadir pula Ketua Umum BPAN, Jakob Siringoringo, yang membuka kegiatan.

“Salam Pemuda Adat, Bangkit, Bersatu, Bergerak Mengurus Wilayah Adat”.

Kalimat tersebut diucapkan Jakob dengan lantang. Salam tersebut menjadi slogan perjuangan yang memanggil pemuda adat untuk berjuang.

Jakob Siringoringo

Dalam sambutannya, Jakob menegaskan maksud penyelenggaraan kegiatan.

“Pelatihan ini bertujuan untuk membekali diri atau mempersenjatai diri pemuda pemudi adat untuk mengurus wilayah adatnya,” tuturnya.

Ia juga menambahkan bahwa pelatihan advokasi kebijakan bagi anak-anak muda adat dimaksudkan untuk membekali mereka dengan wawasan advokasi atau hukum secara umum yang setiap waktu sangat dibutuhkan dalam kerja-kerja mengurus wilayah adat.

Di akhir kesempatan bicaranya, ia memotivasi para peserta untuk tetap saling menguatkan dan mengambil pengetahuan penting di pelatihan ini.

“Kita saling menguatkan, sehingga apa yang kita petik hari ini dapat memperkuat gerakan kita di kampung”, ucapnya.

Ia kemudian menutup sesi sambutannya dengan salam pemuda adat nusantara yang ia ucapkan di awal.

Acara berlanjut ke sesi materi.

Rusmita

Rusmita, pemudi adat asal Paser, selaku moderator langsung meminta Katarina Megawati menjadi pembicara pertama. Katarina kemudian bercerita hal-hal yang sudah ia lakukan selama ini.

Ia bercerita bahwa mereka baru selesai melakukan pelatihan advokasi dan deklarasi pengurus daerah BPAN Sungai Kayan. Di acara tersebut, para pemuda adat diberikan pelatihan advokasi. Materi-materinya kemudian menyadarakan mereka atas ancaman sawit di wilayah adatnya.

“Saya salut karena ada teman-taman di sana yang merasa terancam dan ada yang merasa akan terancam. Kami menonton film karya LifeMosaic. Film itu bercerita tentang trik-trik yang digunakan oleh perusahaan,” ucap Katarina yang akrab disapa Rina.

Katarina Megawati

Materi advokasi menggungah pemudi adat untuk membentuk wadah perjuangan bagi pemuda adat. Rina kemudian memfasilitasi pembentukan BPAN Pengurus Daerah Sungai Kayan.

“Setelah kami deklarasi mereka sadar bahwa mereka punya wadah untuk melawan”.

Di akhir sesi bicaranya, Rina menceritakan kisah dari teman-temannya yang kini semangat untuk menjaga wilayah adatnya.

Sesi materi Rina pun selesai. Dilanjutkan giliran Jhontoni Tarihoran, pemuda adat Tano Batak, dari kampung Janji.

Jhon mengawali materinya dengan bercerita tentang aktivitasnya, baik di organisasi AMAN, di komunitasnya, dan tentang dirinya. Ceritanya kembali ke kampung.

Materi Jhontoni Tarihoran

Ia mengatakan bahwa upaya kembali ke kampungnya Janji untuk menepati janji yaitu kembali ke kampung sebagai janji bersama BPAN. Kembali ke kampung adalah cara untuk mewujudkan Gerakan Pulang Kampung yang dicetuskan BPAN.

Bagi Jhon, kembali ke kampung bukan cuma sekedar pulang kampung, tapi dalam rangka memperkuat dan memastikan wilayah adat semakin kuat.

“Mengurus kampung, lebih memikirkan nasib bersama,” imbuhnya.

Berada di kampung tidak hanya untuk mengurus diri sendiri, tapi juga untuk kerja-kerja organisasi. Ia melakukan banyak hal. Misalnya dengan menjadi relawan yang berkaitan dengan sekolah adat.

“Saya menjadi relawan di AMAN Wilayah Tano Batak, yang ditugaskan untuk memfasiltasi  proses pendirian sekolah adat”, tuturnya

Ia turut berbaur dalam kehidupan komunitas sebagai petani: berkebun, beladang, mengolah sawah (menanam, panen padi, dan kolam ikan). Selain itu, ia juga hadir untuk mengawal kebijakan pemerintah setempat, sebagai upayanya berjuang bersama Masyarakat Adat.

“Kalau terkait dengan kebijakan yah, kita mendorong pemerintah mulai dari tingkat desa. Saya juga hadir di pertemuan tingkat desa dan mendorong pemerintah desa untuk berpihak pada Masyarakat Adat”, ungkap Jhon.

Ia juga banyak membantu Masyarakat Adat di tempatnya. Memastikan mereka mendapatkan hak-haknya. Misal mengurus dokumen kependudukan. Ia bercerita di tempatnya ada orang tua yang sudah tidak bisa menulis karena kondisi fisik, sehingga ia membantu mengurusnya.

“Terkait dokumen kependudukan, saya hadir tidak hanya menyuarakan tetapi juga mengurusnya secara teknis”, ungkap Jhon.

Jhon juga bercerita bagaimana ia mendampingi masyarakat yang berurusan dengan polisi karena menjaga wilayah adatnya. Ini bukti kongkritnya menjaga kampung secara bersama-sama. Ia menampingi warga di kantor polisi dan bahkan sampai ke pengadilan. Menurut Jhon, upayanya itu membuat orang yang ia dampingi menjadi percaya diri dan sadar bahwa ia tidak sendiri. Cerita ini merupakan satu dari sekian banyak banyak hal lain yang ia kerjakan sebagai kerja advokasi. Baginya, kembali ke kampung dan mengurusnya menjadi urusan yang asyik.

“Mengurus kampung adalah urusan yang rame, urusan yang asyik,” tutupnya.

Rina dan Jhon menjadi narsumber yang bicara dari sisi praktis. Hal-hal terkait advokasi yang sudah mereka lakukan. Di sisi lain, dua narasumber selanjutnya, bicara soal wawasan dan pengetahuan teoritik tentang advokasi. Sinung Karto dan Nur Amalia, menjadi punggawa di ranah ini.

Sinung Karto, menjadi pembicara ketiga. Ia akrab disapa Bang Sinung oleh pemuda adat di BPAN. Di sesi materinya, ia begitu humanis. Ia menggendong anak sambil membawakan materi.

Sinung Karto bersama anaknya

Pengantar Advokasi adalah materi yang disampaikannya. Menurut Bang Sinung, materi ini menjadi penting karena merupakan dasar bagaimana sebenarnya advokasi itu. Ia menjelaskan secara teoritik tentang advokasi. Ia juga kemudian menjelaskan juga tentang penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak Masyarakat Adat yang menjadi hal pokok kerja advokasi.

“Tiga kewajiban negara ini, menjadi pegangan kita melakukan advokasi”, ucap Bang Sinung.

Menurutnya, advokasi merupakan serangkaian tindakan dan kegiatan aktif, dilakukan secara sisematis, serta terencana untuk mendorong terjadinya suatu perubahan.

“Saya yakin dengan membuat definisi seperti ini, orang akan lebih mudah memahami apa itu advokasi,” akunya.

Sinung Karto kemudian memberikan pengertian tentang advokasi bagi Masyarakat Adat.

“Dalam konteks Masyarakat Adat, advokasi adalah upaya untuk mengubah kebijakan yang merugikan Masyarakat Adat menjadi kebijakan yang menguntungkan Masyarakat Adat”.

Ia memberikan contoh kongkrit tentang advokasi. Kisah Jhontoni dipakainya sebagai contoh yang nyata.

“Dalam advokasi yang diutamakan adalah pastisipasi. Yang terpenting harus melibatkan korban, melibatkan masyarakat”, tegas Sinung.

Materinya kemudian dilanjutkan dengan menjelaskan langkah-langkah mengadvokasi. Di akhir bicaranya, ia mengusulkan tindak lanjut dari materinya dengan membuat kelompok dari pemuda adat yang fokus di ranah advokasi secara mendalam.

Sinung Karto membuka wawasan para peserta tentang advokasi dan meletakan titik pijak bagi materi selanjutnya yang disampaikan Nur Amalia.

Nur Amalia

Nur Amalia merupakan Ketua PPMAN (Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara). Di sesi materinya, ia menjelaskan soal profil PPMAN dan berbagai hal terkait dengan kerja advokasinya.

Disampaikannya bahwa mandat PPMAN berfokus pada pendampingan kasus.

“PPMAN itu mandatnya untuk melakukan pendampingan kasus. Itu fokusnya”, cetusnya.

Ditambahkannya, walapun fokus PPMAN pada pendampingan kasus, namun saat diminta AMAN, sebagai oraganisasi induk, PPMAN terlibat dalam penciptaan kader dan advokasi kebijakan. Hal itu menjadi tugas tambahan PPMAN. Sejauh ini PPMAN sudah menangani 213 kasus. Paling banyak di antaranya yaitu kasus pidana,sebanyak 135 kasus.

Hingga waktu bicaranya usai, Nur Amalia menjelaskan kasus-kasus yang sudah ditangani PPMAN.

Usai materi, sesi tanya jawab dan diskusi menjadi sesi yang juga paling dinanti. Bagian ini menjadi ramai dengan pertanyaan-pertanyaan peserta. Kisah dan masalah yang terjadi di komunitas juga diceritakan oleh peserta di sesi ini. Pertanyaan dan masalah yang dikemukakan di sesi ini langsung ditanggapi oleh para narasumber yang berkompeten.

“Selama ini tantangan berat yang biasa dihadapi itu apa pak Sinung Karto? Misalnya, pertama, masyarakat itu sendiri, biasanya tidak sabar, pengen cepat-cepat selesai masalahnya. Tanpa kehati-hatian. Kedua, pihak ‘lawan’ yang merasa tindakan yang mereka lakukan sudah paling benar apalagi dibackup oleh aktor keamanan”.

Pernyataan tersebut disampaikan Sinung Karto sebagai jawaban atas pertanyaan dari pemuda adat Mentawai, Pekam Usut Ngaik. Beberapa pertanyaan penting lain juga ditanyakan para peserta dan dijawab secara detail oleh narasumber di sesi ini.

Kegiatan pelatihan advokasi ini, diakhiri dengan foto bersama. Batara Tambing, pemuda adat asal Toraja, selaku host dan pembawa acara, memandu sesi ini.

Penulis: Kalfein Wuisan

Menelisik Kisah Lahirnya PD BPAN Sungai Kayan

bpan.aman.or.id – “Mengurus kampung adalah kewajiban kita sebagai generasi muda. Menjaga dan melindungi wilayah adat adalah perjuangan kita bersama. Supaya anak cucu kita yang akan datang tetap merasakan apa yang kita rasakan saat ini dan kita berada dalam satu lingkaran yang sama dengan pemuda adat senusantara ini”, ujar Pak Yohanes.

Para pemuda adat tertegun. Mendengar pesan dan petuah dari tetua adat mereka. Ia memotivasi para pemuda adat untuk terus berjuang menjaga wilayah adatnya. Selain sebagai tetua adat, Pak Yohanes adalah Ketua BPH Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Kalimantan Utara (Kaltara).

Di kesempatan itu, ia hadir menjadi narasumber pelatihan advokasi yang diselenggarakan oleh Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Wilayah Kaltara. Pelatihan advokasi ini menjadi salah satu agenda dalam kegiatan Pertemuan Daerah (Perda) BPAN Sungai Kayan. Perda ini diselenggarakan di Desa Long Beluah, Kecamatan Tanjung Palas Barat, Kabupaten Bulungan, pada 12-13 Desember 2020. Kegiatan ini dihadiri 25 orang dari 8 komunitas yang ada di Kabupaten Bulungan.

Satu peristiwa penting dilaksanakan dalam rangkaian kegiatan Perda tersebut. BPAN Daerah Sungai Kayan dibentuk sebagai PD yang baru di Kaltara.

PD BPAN Sungai Kayan menjadi  wadah bagi para pemuda adat untuk memperkuat perjuangan pemuda adat dan Masyarakat Adat setempat. Nama ‘Sungai Kayan’ digunakan sebagai identitas wilayah dan jati diri serta penanda historis lahirnya BPAN Daerah Sungai Kayan.

“Mengingat tempat kegiatan berlangsung di daerah bantaran Sungai Kayan, dengan dihadiri beberapa komunitas yang ada di Sungai Kayan sendiri dan ada beberapa orang dari komunitas yang ada di Kecamatan Sekatak, sehingga memenuhi syarat dalam Statuta BPAN untuk pembentukan PD BPAN Sungai Kayan,” tutur Rina.

 Rina dan Kisah BPAN Daerah Sungai Kayan

Rina adalah pemudi adat dari komunitas Bulusu Rayo. Nama lengkapnya Katharina Megawati. Tahun 2018, ia dipercayakan menjadi Ketua BPAN Wilayah Kaltara sampai sekarang. Sehari-hari, ia beraktivitas sebagai petani dan peramu minuman adat.

Sebagai Ketua, Rina terus berinovasi memperkuat gerakan pemuda adat dan organisasi BPAN yang dipimpinnya. Perda BPAN Sungai Kayan menjadi salah satu program penting yang dikawal dan dilaksanakannya di akhir tahun 2020.

Kegiatan Perda BPAN Sungai Kayan dirangkaikan dengan Training (pelatihan) Advokasi. Sesi acara ini difasilitasi oleh Pak Yohanes.

“Materinya menjadi sebuah pengenalan awal kepada para pemuda adat, calon anggota BPAN, mengenai arah dan langkah gerakan ini. Tujuannya, supaya mereka paham dan tidak meraba-raba ke mana harus melangkah. Pelatihan advokasi ini menjadi sangat penting karena membuat mereka semakin tahu mengenai ancaman-ancaman yang sedang menunggu dan akan datang di kampung mereka”, ungkap Rina.

Materi Advokasi, dibawakan Pak Yohanes dengan metode nonton bersama pada Sabtu malam (12/12/2020). Keesokan harinya, ia membawakan materi yang lebih mendalam tentang advokasi.

Menurut Rina, awalnya pertemuan ini akan dilakukan dalam bentuk kemah. Lokasinya di hutan adat Long Beluah. Namun, karena kondisi alam yang tak terduga, tempat perkemahan tersebut terkena banjir. Akhirnya para peserta diarahkan ke rumah Pak Yunus Lihiu, salah satu pelopor gerakan Masyarakat Adat di komunitas Ga’ai Kung Kemul. Rumahnya menjadi lokasi kegiatan, tempat belajar bersama.

“Usai melakukan rangkaian kegiatan advokasi, nonton bareng, pengenalan organisasi, menganyam wilayah adat, menyusun dan merencanakan program kerja dan pembentukan pengurus, akhir dari segala rangkaian itu kita mengucapkan janji pemuda adat dan pengukuhan dilakukan di alam terbuka”, jelasnya.

Selain materi advokasi dan beberapa materi penting lain, pembentukan BPAN PD Sungai Kayan menjadi agenda utama Perda. Rencana pembentukan ini baru terealisasi setelah melewati perjuangan panjang.

Rina mengisahkan cerita tersebut secara detail.

Upaya membentuk BPAN Daerah Sungai Kayan memang sudah ada sejak lama. Bahkan sebelum kepengurusan Rina. Nanti di kepengurusannya, Rina kemudian berusaha mewujudkan upaya itu.

 “Pada masa Ketua BPAN Wilayah Kaltara, Deni Nestafa, pernah ada dua PD BPAN di Kaltara. PD Sekatak dan PD Sungai Kayan. Namun saat itu yang ada hanya ketuanya saja. Anggotanya tidak ada. Dan juga administrasi lengkapnya tidak ada, sehingga pada saat saya menggantikan Deni, saya hanya menjalankan tugas sebagai PW BPAN kaltara, dan mempersiapkan lagi beberapa PD yang mau dideklarasikan”, terangnya.

Ditambahkan Rina, waktu Jambore Wilayah (Jamwil)–sebutan pengambilan keputusan tertinggi di wilayah pengorganisasian saat Rina terpilih jadi ketua, namun berubah menjadi Pertemuan Wilayah (Perwil) pada saat JAMNAS III tahun 2018 yang berlaku hingga 2021–diusulkan pembahasan tentang situasi PD Sekatak dan PD Sungai kayan yang berada di kabupaten yang sama untuk dibawa dan dibahas masuk rekomendasi di Jambore Nasional (JAMNAS) III BPAN di Paser, Kalimantan TImur. Namun saat JAMNAS, tidak sempat dibahas karena terbatasnya waktu.

“Maka dari itu saya menganggap belum ada PD di Kaltara. Dan perlu lagi pembentukan ulang untuk memenuhi administrasinya”, tambahnya.

Usaha Rina dan kawan-kawannya untuk mendirikan PD baru, ternyata direstui Sang Pencipta, alam semesta, dan leluhur Masyarakat Adat.

Beberapa bulan lalu, Yunus Lihiu, seorang tetua adat di komunitas Ga’ai menghubungi Rina. Ia menanyakan syarat-syarat pembentukan BPAN di daerahnya. Rina kemudian mengirimkan statuta kepadanya untuk dipelajari. Pada bulan November, Rina dan beberapa staf AMAN Kaltara mengadakan penggalian data di komunitas Pak Yunus. Di situlah, beliau secara serius dan meminta bantuan Rina untuk membentuk BPAN Daerah Sungai Kayan.

Upaya-upaya itu pun akhirnya terwujud.  Pada 13 Desember 2020, BPAN Daerah Sungai Kayan terbentuk. Sebanyak 25 orang dikukuhkan sebagai anggota.

Andrianus Amat, dipercayakan sebagai Ketua BPAN Daerah Sungai Kayan. Ia dibantu oleh Darius sebagai Sekretaris dan Maya A. Markus sebagai Bendahara.

Rina memberikan bendera BPAN secara simbolis kepada Adrianus Amat, Ketua PD BPAN Sungai Kayan periode 2020-2023

Rina mengatakan bahwa pemuda adat sudah seharusnya bergabung dengan BPAN. Ini menjadi satu alasan ia membantu menginisiasi pembentukan PD Sungai Kayan. Berkaca dari pengalamannya, ada beberapa alasan penting mengapa pemuda adat harus bergabung bersama BPAN.

“Kalau menurut pengalaman saya sendiri, kenapa pemuda harus bergabung di BPAN karena saya merasa di BPAN saya mendapat tempat, mendapat ruang, dan mendapat dukungan dari siapa pun. Saya merasa tidak pernah berjalan sendirian, saya bisa merasakan apa yang kawan-kawan lain rasakan. Dan di BPAN juga akhirnya saya tahu ke mana saya harus pulang. Dengan bergabung di BPAN, saya merasa bangga menjadi bagian dari Masyarakat Adat di tengah modernisasi yangg marak saat ini”, ungkapnya

Bagi Rina, penting sekali untuk mendirikan banyak kepengurusan BPAN yang baru di daerah-daerah. Munculnya banyak pengurus di daerah akan memperkuat perjuangan BPAN.

“Dengan adanya pengurus di daerah-daerah, kita semakin kuat dan semakin berkembang. Kita sebagai perpanjangan tangan organisasi untuk bergerak. Kita kuat dan kita bisa, sehingga mampu menghadapi apa pun rintangan yang akan menghadang kita. Dengan adanya pengurus-pengurus di daerah terlebih ke komunitas, perjuangan kita akan semakin solid dan bergerak di akar rumput”, tutup Rina.

Penulis: Kalfein Wuisan

Semangka Terakhir Pemuda Adat Sakai

bpan.aman.or.id – “Kegiatan panen ini dilakukan supaya Masyarakat Adat Batin Beringin Sakai bisa mencontoh kegiatan pemuda-pemuda adatnya dalam rangka kedaulatan pangan Masyarakat Adat dan juga menghadapi masa covid-19 ini,” ungkap Ismail penuh semangat.

Hal tersebut diungkapkan Ismail Dolek, saat panen terakhir tanaman semangka Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Sakai, Jumat (11/12/2020) di lahan komunitas adat Sakai. Panen terakhir ini, dihadiri oleh Ketua Adat Batin Beringin Sakai, pemuda-pemuda adat, dan juga Masyarakat Adat Batin Beringin.

Walaupun semangka yang ditanam sudah masuk panen terakhir, tidak membuat Ismail dan kawan-kawan pemuda adat Sakai bersedih. Mereka justru senang dan bangga. Sudah merasakan bahagia mengolah tanah dan memanen hasil keringat sendiri.

Panen yang terakhir ini mendapatkan sekitar 6.100 kg semangka. Terdiri dari semangka kuning 3.000 kg dan semangka merah 3.100 kg. Jadi total keseluruhan semangka yang didapatkan dari panen pertama sampai terakhir berjumlah 17.020 kg.

Ismail juga menuturkan bahwa panen terakhir, terhitung tidak maksimal. Ini karena lahan yang mereka garap terkena banjir. Ia berharap semangka terakhir yang dipanen, bisa menambah nilai tambah ekonomi bagi masyarakat adat.

“Keuntungan dari panen ketiga ini setidaknya bisa menambah ekonomi Masyarakat Adat yangg ikut serta dalam rangka kedaulatan pangan masyarakat adat ini,” ungkap Ismail.

Menurut Ismail, program kedaulatan pangan akan tetap terus berlanjut. Semangka memang harus dipanen karena lahannya akan diganti dengan tanaman lain.

“Semangka memang harus dipanen dan lahannya akan diganti tanaman yang lain seperti pisang dan lainnya,” ucap Ismail selaku juga ketua program kedaulatan pangan.

Semangka terakhir yang dipanen pemuda adat Sakai menjadi titik awal untuk memulai tahap menggapai panen-panen lainnya.

Penulis: Kalfein Wuisan

Cerita Kedaulatan Pangan dari Flores

bpan.aman.or.id – Adrianus Lawe nampak sibuk. Hari itu, Jumat (11/12/2020), menjadi begitu penting. Ia dan anggota Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Flores Bagian Timur (FBT) memulai lagi satu program baru dalam gerakan kedaulatan pangan. Beternak babi.

Di hari itu pula, belasan ekor babi langsung disalurkan ke anggota BPAN FBT dan kelompok kedaulatan pangan.

“Dalam program gerakan kedalautan pangan dan ekonomi Masyarakat Adat, BPAN FBT memiliki  dua usulan kegiatan yaitu ternak babi dan kebun sayur. Berkaitan dengan ternak babi, BPAN sudah menyalurkannya ke 30 anggota”, tutur Adrianus selaku Ketua BPAN FBT.

Menurutnya, BPAN FBT menyiapkan 15 ekor babi berumur 1 tahun untuk diternak. Babi-babi tersebut kemudian dibagikan ke anggota BPAN FBT untuk dipelihara. Setiap dua orang anggota berkewajiban memelihara 1 ekor babi.

“Semua anggota hadir di sekretariat bersama, kemudian kita bagikan ke 30 orang itu. Sebetulnya kita punya kandang kelompok, hanya saja kondisi kandang yang tidak menjamin di musim hujan, makanya kita serahkan ke anggota dulu, dua orang 1 babi,” ujar Adrianus.

Ternak babi dipilih karena beberapa alasan. Pertama, ternak babi memiliki nilai ekonomis tinggi. Kedua, babi merupakan jenis binatang yang sangat dibutuhkan dalam ritual adat PATIEA (acara syukuran atas panen dan pengantaran arwah leluhur). Ritual ini diadakan setiap tahun dan biasanya kebutuhan akan ternak bisa mencapai 5-6 ribu ekor.

Adrianus menjelaskan bahwa selain beternak babi, BPAN FBT sudah membuka kebun sayur dan kebun padi seluas 1 ha. Ini untuk membantu pemuda adat dalam mempertahankan pangan lokal di komunitas adat Natargahar (Nian Ue Wari Tana Kera Pu).  

Program kedaulatan pangan ini melibatkan anggota BPAN FBT dan komunitas Masyarakat Adat yang ada di Flores yaitu komunitas adat Natargahar dan komunitas Natarmage. Di dalam komunitas meilputi Tana puan (penguasa wilayah adat), kepala-kepala suku, pemangku adat, pelaksana, dan warga adat yang tergabung dalam kelompok ternak maupun kelompok non ternak.

“Program kedaulatan pangan ini melibatkan 30 orang anggota BPAN FBT, 87 orang Masyarakat Adat Komunitas Natargahar, dan 505 Masyarakat Adat Komunitas Natarmage,” ucapnya.

Andrianus juga menjelaskan proses memulai gerakan kedaulatan pangan bersama BPAN FBT. Ada beberapa tahap yang mereka lakukan. Tahapan ini merupakan pokok gerakan kedaulatan pangan.

“Program kedalautan pangan ini bisa berjalan, dimulai dengan pertemuan pengurus BPAN, kemudian merencanakan untuk musyawarah adat/ pertemuan kampung, penggalian profil komunitas, pembuatan peta sketsa wilayah adat di komunitas adat Natargahar dan komunitas adat Natarmage,” jelas Andrianus.

Adrianus rupanya sadar betul tentang pentingnya kedaulatan pangan Masyarakat Adat, bahkan dimasa pandemi seperti ini. Kedaulatan pangan menjadi cara untuk meningkatkan ekonomi dan mempertahkan pangan lokal.

“Program kedalautan pangan ini sangat penting karena dapat membantu masyarakat dalam memperthankan pangan lokal dan meningkatkan ekonomi Masyarakat Adat dan terkhusus pemuda adat di situasi pandemi Covid-19,” ungkap Adrianus.

Sebagai pemuda adat, Adrianus sadar bahwa kedaulatan pangan menjadi bukti konkrit keterhubungan Masyarakat Adat dengan wilayah adatnya. Gerakan kedaulatan pangan menjadi cari yang efektif mendekatkan pemuda adat dengan wilayah adatnya.

“Kedaulatan pangan menjadi pemantik bagi pemuda adat untuk kembali ke kampung mengurus kebun, mengurus mata air, mengurus hutan adat, mengurus semua sumber daya yang di titipkan leluhur dalam kesatuan wilayah adat”, tegasnya.

Ditambahkannya, ke depan BPAN FBT akan melakukan sosialisasi ke semua komunitas di Flores Bagian Timur yang meliputi Kabupaten Sikka, Flores Timur, Lembata, dan Alor. Tujuannya supaya program kedaulatan pangan betul-betul dirasakan oleh semua masyarakat di komunitas adat masing-masing.

Penulis: Kalfein Wuisan

Bahagia Kedua Pemuda Adat Sakai

bpan.aman.or.id – Sebuah truk besar terparkir di kebun Komunitas Adat Sakai. Di sampingnya ada ribuan kilogram semangka yang menggunung. Beberapa pemuda pemudi dan Masyarakat Adat Batin Beringin Sakai nampak di sekitarnya.

Sabtu (6/12/2020) menjadi kali kedua truk tersebut datang. Ia dipakai untuk mengangkut hasil panen buah semangka yang ditanam oleh pemuda adat Sakai. Ini merupakan panen kedua.

Menanam semangka menjadi salah satu bagian dari program kedaulatan pangan Masyarakat Adat Batin Beringin Sakai. Program ini dikelola secara bersama. Pemuda pemudi adat menjadi penggeraknya.

“Kami panen lagi”, ucap Ismail Dolek begitu bahagia.

Ismail adalah ketua kedaulatan pangan Masyarakat Adat Batin Beringin Sakai. Ia bergerak bersama anggota Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Sakai.

“Buah semangka ditanam oleh pemuda adat Batin Beringin Sakai, Komunitas Sakai, untuk menaikan ekonomi masyarakat adat dan meningkatkan sumber vitamin dan memperkuat daya tahan tubuh demi menghadapi masa covid19” tutur Ismail.

Panen pertama, mereka menghasilkan 4.298 kg semangka. Kini di panen kedua mereka menghasilkan 6.220 kg semangka.

Selain Semangka, mereka juga menanam berbagai macam tanaman lain yaitu padi, sayuran-sayuran, dan buah-buahan.

Ismail dan kawan-kawan pemuda adat sedang bahagia. Ini adalah bahagia kedua. Bahagia mereka tentu masih akan berlanjut. Menikmati hasil usaha mengolah tanah. Membuktikan kedaulatan pangan Masyarakat Adat di tengah pandemi.

Penulis: Kalfein Wuisan

SA Laskar Lembah Rinjani Sembalun: Manifesto Perjuangan Masyarakat Adat

bpan.aman.or.id – Junaedi, berhasil mewujudkan mimpi itu. Mimpi yang selama ini diperjuangkannya bersama para pemuda-pemudi adat anggota Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Daerah Sembalun. Hari Minggu, 6 Desember 2020, mimpi itu termanifestasi menjadi Sekolah Adat (SA) Laskar Lembah Rinjani Sembalun.

Hari itu, angin dari gunung Rinjani berhembus lembut. Ia membawa restu dari Sang Pencipta, alam semesta dan leluhur Masyarakat Adat Sembalun ke komunitas adat Kemangkuan Adaq Tanaq di lembah Rinjani.  Di sana sudah berkumpul para pemuda adat Sembalun anggota BPAN dan para tetua adat Komunitas Kemangkuan Adaq Tanag. Hadir juga Ketua DAMANWIL NTB, PPMAN, PN DePAN Region Bali Nusra, Ketua DAMANDA Sembalun, Ketua BPH AMAN Daerah Sembalun, Ketua BPAN Daerah Sembalun, tokoh pemuda, dan pengurus BPAN Sembalun. Mereka berkumpul dan bermusyawarah untuk mendeklarasikan wadah berpengetahuan ala Masyarakat Adat Sembalun. Wadah itu diberi nama ‘Sekolah Adat Laskar Lembah Rinjani’.

“Laskar artinya pasukan. Lembah Rinjani adalah bumi Sembalun. Jadi Laskar Lembah Rinjani artinya pasukan bumi Sembahulun. Diharapkan dari sekolah adat, lahir para pasukan pembela tanah leluhurnya nanti di lembah Rinjani ini”, tutur Junaedi selaku Ketua BPAN Daerah Sembalun.

Menurut Junaedi, SA Lakar Lembah Rinjani Sembalun sudah lama diimpikan. Ide ini juga sudah dibahas secara mendalam dan menjadi hasil Kemah Pemuda Adat BPAN Sembalun pada 21 Juni 2020 silam. Sejak itu hinga bulan Desember 2020, Junaedi dan kawan-kawan sudah memulai aktivitas sebagai sekolah adat. Usaha mendirikan dan menjalankan sekolah adat itu kemudian mencapai puncak saat pendeklarasiannya.

“Kami pemuda adat menginisiasi perlawanan dengan mencetak generasi penerus Masyarakat Adat lewat sekolah adat. Diadakanlah musyawarah pertama kali dengan melibatkan para tetua adat pada tanggal 21 Juni 2020 dan didaftar anak-anak Masyarakat Adat sebagai murid-murid. Diadakan pelajaran-pelajaran adat untuk memperkenalkan tentang sekolah adat. Setelah sekolah adat beberapa bulan berjalan, maka diadakan musyawarah yang ke-2 pada tanggal 06 Desember 2020 sekaligus launching sekolah adat” jelasnya.

Junaedi juga menuturkan bahwa gagasan mengenai sekolah adat ini berawal dari keprihatinan generasi penerus Masyarakat Adat yang hampir tidak ada lagi. Belum lagi masalah terkait wilayah adat yang sudah diklaim oleh oknum-oknum. Bahkan soal lain seperti bentrok antara Masyarakat Adat dengan pemerintah dan PT (perusahaan).

“Sekolah adat adalah salah satu langkah perjuangan Masyarakat Adat untuk menjaga wilayah adat, tengah menanamkan jiwa adat sejak dini pada anak-anak adat untuk mereka mengenal jati diri mereka sebagai generasi penerus adat,” tegas Junaedi.

SA Laskar Lembah Rinjani Sembalun diresmikan oleh Dr. R. L. A. Rahman Sembahulun selaku Ketua DAMANWIL NTB, Lalu Kesumajayadi, S.Pd selaku DePAN Region Bali Nusra, dan Junaedi, S.H selaku Ketua BPAN Sembalun. Mereka bertiga menandatangani surat peresmian SA Laskar Lembah Rinjani Sembalun.

SA Laskar Lembah Rinjani Sembalun menjadi manifesto perjuangan pemuda adat dan Masyarakat Adat daerah Sembalun untuk menjaga wilayah adatnya.

Penulis: Kalfein Wuisan

Sisingamangaraja Pejuang Masyarakat Adat

bpan.aman.or.id – Catatan penting ini sedianya akan dimuat dalam Majalah Tapian sepuluh tahun yang lewat. Sayang, hasil wawancara ini tak pernah dimuat karena majalahnya kadung tutup. Penulisnya, Jeffar Lumban Gaol lantas mengunggahnya di akun facebooknya pada 1 Desember 2011.

Wawancara ini menjadi pertemuan awal keduanya, sang narasumber dan pewawancara. Kelak, si pewawancara merapat ke Pengurus Besar AMAN bersama-sama dengan Abdon Nababan dan kolega di barisan gerakan Masyarakat Adat.

Hari ini (2 Desember 2020), kami dari BPAN mendapat pesan WhatsApp langsung dari Abdon Nababan, sosok yang jadi narasumber yang berbagi soal link tulisan ini di facebook. Kami lantas berinisiatif untuk meminta izin Abdon untuk memuatnya di website BPAN untuk keperluan edukasi. Bagi kami, isi wawancara ini sangat berkorelasi dengan gerakan pulang kampung yang kini kami jalankan.

Jeffar sendiri menutup usia pada Januari 2017. Selain musisi legend, pencipta lagu Blues untuk Munir itu juga adalah penulis. Selama di AMAN, dia telah menghidupkan jurnalisme warga di mana para pemuda adat umumnya sangat aktif mengirimkan berita-berita komunitas untuk dimuat di Majalah Gaung AMAN maupun di Gaung Online.

Wawancara ini adalah salah satu tulisannya yang menurut kami paling menyimpan makna mendalam bagi anak-anak muda dan perjuangan Masyarakat Adat umumnya.

–Wawancara dengan Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) 2007-2017 Abadon Nababan 8 Agustus 2010 —

“Sisingamangaraja adalah pahlawan Masyarakat Adat, dan orang batak yang ada di Jakarta ini bukan lagi bagian dari Masyarakat Adat”. Mari kita simak ulasan Sekjen AMAN tersebut di bawah ini:

Tanya: pertama, apa yang jadi tujuan serta cita-cita berdirinya Aliansi Masyarakat Adat Nusantara ini? Kedua, kita sepakat bahwa Masyarakat Adat tidak eksis lagi dan terpinggirkan di negeri ini. Contohnya masyarakat etnik Batak itu kan mendua, pada satu sisi mereka masih melakukan peradatan lahir, kawin, dan meninggal. Namun pada sisi lain mereka tak lagi menjalankan hukum adatnya. Dalam kondisi seperti itu, bagaimana AMAN memetakannya?

Abdon Nababan: Yang pertama mungkin situasi kita setelah berinteraksi dengan dunia luar, akibatnya secara pelan-pelan kita kehilangan kedaulatan, baik kedaulatan individu maupun kedaulatan masing-masing orang. Kedaulatan kelompok sebagai Masyarakat Adat misalnya atau sebagai huta atau horja bius kalau di orang Batak. Itu masalah utama saat dan hal itu kemudian berimplikasi pada kedaulatan negara, kedaulatan bangsa Indonesia. Jadi, krisis yang kita hadapi saat ini adalah krisis kedaulatan.

Kenapa krisis-krisis kedaulatan itu menjadi sedemikian penting untuk Aliansi Masyarakat Adat Nusantara? Karena memang secara keseluruhan kita sudah pada posisi dan menganggap yang kita punya itu adalah buruk, sedangkan yang orang lain punya adalah baik. Karena itu kita berlomba-lomba menjadi ‘orang lain’.

Kita tidak memperkuat diri menjadi diri sendiri. Sistem pengetahuan yang ada di Masyarakat Adat dan telah berkembang ribuan tahun bisa dengan gampang kita buang dan kita kemudian mencari pengetahuan-pengetahuan baru, lalu meninggalkan pengetahuan-pengetahuan yang kita anggap tidak relevan sesuai dengan pandangan pihak yang kita anggap sebagai benar itu. Jadi pertarungannya di situ, kalau kita lihat hampir seluruh kekayaan kita itu sebenarnya kita gadaikan. Kita tukar dengan punya orang lain dan kita anggap itu menjadi punya kita, nah itu persoalannya.

Kalau dalam konteks berdirinya AMAN, tentu karena gerakan Masyarakat Adat ini dimulai dari persoalan-persoalan riil di komunitas-komunitas adat. Jadi kalau gerakan Masyarakat Adat sudah dimulai sebelum Indonesia itu ada, gerakannya lebih pada perlawanan terhadap sistem kepercayaan, sistem keyakinan; ya sistem pengetahuan dari luar. Itulah kenapa misalnya, Sisingamangaraja X melawan Islamisasi. Dia melawan pemaksaan nilai, dia melawan pemaksaan sistem keyakinan dan itu pun terulang ketika kristenisasi yang mengakibatkan meletusnya perlawanan Sisingamangaraja XII.

Di Pulau Jawa, terjadi perlawanan Masyarakat Adat Baduy terhadap sistem negara pada masa itu. Di Jawa Tengah, kita menemukan Masyarakat Adat Sedulur Sikep, di Jawa Timur kita menemukan kelompok Masyarakat Adat Osing atau Tengger. Ini adalah perlawanan-perlawanan Masyarakat Adat.

Di tanah Batak masih tersisa perlawanan itu, kita sebut dengan Parmalim. Itu adalah bentuk-bentuk perlawanan yang muncul sebelum Indonesia merdeka, pada masa sebelum maupun masa kolonial. Nah artinya, pada waktu itu persoalan Masyarakat Adat adalah pada persoalan pemaksaan nilai-nilai.

Pada masa orde baru, persoalan nilai-nilai itu dianggap tidak masalah lagi, karena kita sudah mengadopsi lima agama besar, agama impor. Agama-agama asli tak kita anggap sebagai agama lagi dan tidak diadministrasikan oleh negara sebagai bagian dari diri kita. Setelah orde baru, dalam perjalanannya kemudian muncul lagi perlawanan dari Masyarakat Adat dan itu terjadi di mana-mana. Ini semua terjadi akibat penjajahan terhadap Masyarakat Adat dengan sifatnya yang berobah jadi material, bukan lagi nilai.

Dengan sistem konsesi HPH di kehutanan, wilayah-wilayah adat yang masih memiliki hutan kemudian dikonsesikan oleh pemerintah sebagai lahan HPH, perusahaan-perusahaan dari Jakarta atau luar negeri. Tanah-tanah dikonsesikan jadi HGU perusahaan perkebunan. Kalau di sana ada daerah tambang, wilayah yang kaya mineral, maka diserahkanlah wilayah itu sebagai kuasa pertambangan perusahaan-perusahaan tambang multi nasional. Perlawanannya jadi lebih kongkret, karena menyangkut keberlanjutan secara langsung kehidupan Masyarakat Adat. Inilah yang terjadi.

Penulis

Sebenarnya perjuangan Masyarakat Adat setelah Indonesia berdiri adalah kelanjutan perjuangan Masyarakat Adat sebelum masa kolonial, cuma topik perkaranya sekarang berbeda. Kalau topik perkara sebelum masa kolonial adalah berhadapan dengan masuknya agama-agama baru, agama impor, lantas semasa kolonial, dia lebih berhadapan demi material, karena kolonial Belanda harus mengamankan daerah-daerah untuk memenuhi komoditi perdagangan, komoditi ekspor.

Oleh karena itu, kolonial Belanda lewat VOC bekerjasama dengan kesultanan dan kerajaan-kerajaan pada masa itu. Sebelum era kolonial sebenarnya sudah ada negara, negara kuno yaitu kerajaan dan kesultanan. Kerajaan dan kesultanan ini juga menjajah Masyarakat Adat. Karena itu, bagi AMAN ini sangat jelas, yang namanya kerajaan dan kesultanan dari masa lalu bukan Masyarakat Adat. Entitas mereka adalah negara pada masa itu.

Jadi kalau kita bicara Masyarakat Adat dalam konteks gerakan Masyarakat Adat Nusantara, yang kita bicarakan adalah sistem-sistem sosial, sistem-sistem kultur yang hidup dan berkembang bersama tanahnya, bersama wilayahnya. Kalau di Batak, kebudayaan yang tumbuh di atas bona pasogit, bukan kebudayaan Batak yang tumbuh di atas persekutuan marga-marga yang ada di Jakarta ini. Jadi kalau kita bicara kebudayaan dalam konteks Masyarakat Adat, maka kita sedang bicara budaya bersama tanah di mana budaya itu tumbuh. Karena itu, orang Batak yang ada di Jakarta yang sudah tak terikat lagi dengan bona pasogit dengan tanah leluhurnya, kita tidak menyebutnya sebagai Masyarakat Adat, karena hak dan kewajiban, ikatan-ikatan si orang Batak yang ada di Jakarta tersebut dengan tanahnya sudah tidak ada.

Pendefinisian itu penting, sebab kalau tidak ada pendefinisian itu, kemudian gerakannya bisa kehilangan identitas di dalam pertarungan politik dan ekonomi, pertarungan nilai dan segala macam. Jadi kalau kita bicara Masyarakat Adat, enggak bisa dipisahkan antara identitas budaya. Yang di dalamnya kita menyebut ada bahasa, ada spiritualitas. Ada sikap dan perilaku yang membedakan antara satu kelompok dengan identitas tertentu dengan kelompok lain yang namanya wilayah adat. Wilayah hidup dari Masyarakat Adat itulah yang dalam bahasa Batak kita sebut sebagai bona pasogit.

Jadi yang pertama, orang Batak tanpa bona pasogit atau tanpa ikatan dengan bona pasogit enggak pantas dia menyebut dirinya sebagai bagian dari Masyarakat Adat, tapi dia tetap orang Batak. Di situ etnisitas yang bekerja. Kedua, terdapat perbedaan antara orang Batak dari sisi etnisitas dengan orang Batak sebagai satu sistem sosial yang terikat dengan bona pasogit tanah adatnya. Ketiga, yang diwarisi Masyarakat Adat dari leluhurnya serta yang dipertahankan itu adalah pengetahuan. Jadi, kalau sistem pengetahuan pada masyarakat itu sudah bukan lagi pengetahuan yang berdasarkan pada kearifan dan pengetahuan leluhurnya, tapi sudah mengandalkan pengetahuan barat misalnya atau pengetahuan Cina atau pengetahuan Arab jika mereka memeluk agama Islam. Mana ikatannya dengan leluhur? Itu bukan Masyarakat Adat. Sekarang dalam diskursus ilmiah, diterjemahkan jadi kearifan lokal atau kearifan tradisional. Kearifan lokal dan kearifan tradisional itu juga mengakar pada tanahnya. Baru yang keempat kita bicara tentang pranata, baik hukum maupun kelembagaan. Kalau di Batak kita bicara tentang; huta, bius, horja.

Kalau di Batak itu, kita menyebut tentang pengaturan hidup bersama, maka kita bicara tentang marga, kita bicara interaksi antarmarga lewat perkawinan, baru bicara tentang teritori, yaitu huta dan bius tadi. Persoalannya sekarang di mana posisi kita?!

Persoalannya adalah kepercayaan kita bukan lagi Batak, tapi sudah jadi agama lain. Otomatis teritorial adat kita yaitu huta dan bius itu hilang. Yang tinggal hanyalah kekerabatan, geneologis lewat marga dan perkawinan. Itulah yang disebut Dalihan Na Tolu. Tapi Dalihan Na Tolu bukanlah suhi niampang naopat yang sebenarnya dalam konteks Masyarakat Adat tadi. Dalam konteks itulah sebenarnya, orang Batak harus mengapresiasi Parmalim karena mereka kemudian menyelamatkan salah satu warisan dari leluhur kita. Yang disebut Parmalim itu ya Ugamo Malim. Artinya, dengan adanya Permalim, mereka menyediakan kita jalan kembali kalau suatu saat kita tersesat, karena dunia ini semakin enggak jelas dan sedang mengalami multi krisis pula.

Tapi kalau soal teritorial, kita mau kembali ke mana? Karena kalau kita lihat sekarang di tanah Batak, di manakah kita bisa melihat bius bekerja sebagai pranata sosial? Sebagai sistem pengaturan hidup bersama, sudah susah. Sebenarnya sekarang saya sangat khawatir dengan kondisi orang Batak, karena untuk sistem kepengurusan hidup bersamanya, kita enggak punya jalan pulang. Nah, disitulah kenapa gerakan Masyarakat Adat itu bisa juga ditanggap di wilayah timur Indonesia. Karena relatif memori kolektif dari sistem tersebut di sana masih bekerja dibanding dengan daerah wilayah barat Indonesia.

Jadi jika kita bicara tentang memori kolektif tentang sistem adat Batak, ya kita harus bicara dengan orang tua-tua yang umurnya di atas 70-an. Kalau saya jadi pembaca setia tulisan Monang Naipospos, sebenarnya konteks di situ karena saya sedang menemukan jalan pulang. Karena kita tahu krisis global akan mendera kita, yaitu krisis pangan, krisis ekologi, krisis energi, dan krisis identitas. Kemudian muaranya semua ini adalah konflik, ke mana orang Batak akan kembali. Itu pertanyaan terbesar sebenarnya.

Penulis: Jeffar Lumban Gaol

Kedaulatan Pangan di Tangan Pemuda Adat Sakai

bpan.aman.or.id – Hari Minggu (29/11/2020), Ismail Dolek bergembira. Begitu juga para temannya, sesama pemuda adat Sakai. Hal ini karena buah semangka yang ditanam oleh pemuda adat Batin Beringin Sakai, Komunitas Adat Sakai, siap dipanen. Hari tersebut menjadi awal keberhasilan program kedaulatan yang mereka lakukan.

Ismail adalah ketua kelompok program kedaulatan pangan Masyarakat Adat Batin Beringin Sakai. Ia juga anggota Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN). Ia dan pemuda adat Sakai mulai menikmati hasil program kedaulatan pangan yang mereka mulai sejak 1 Agustus 2020.

Menurut Ismail, program kedaulatan pangan ini bertujuan untuk menaikan ekonomi Masyarakat Adat Sakai. Selain itu, di masa pandemi ini, tanaman yang mereka tanam menjadi sumber vitamin untuk memperkuat daya tahan tubuh.

Buah semangka menjadi tanaman pertama yang dipanen. Semangka tersebut ditanam di lahan BPAN Batin Beringin Sakai.  Jumlah semangka yang mereka tanam sebanyak 2.500 batang dari dua jenis varietas semangka. Jumlah sebanyak ini menghasilkan 4.298 kilogram semangka dalam panen perdana.

“Yang baru dipanen cuma semangka, tapi masih ada lagi cabe, jagung, dan pisang” ucap Ismail.

Sebagian hasil panen perdana semangka ini akan dijual. Sebagiannya lagi akan dibagikan kepada Masyarakat Adat Batin Beringin Sakai.

Selain Semangka, mereka juga menanam berbagai macam tanaman lain yaitu padi, sayuran-sayuran, dan buah-buahan.

Bagi Ismail kedaulatan pangan sangat penting untuk Masyarakat Adat dan pemuda adat. Menurutnya, kedaulatan pangan komunitasnya ada di tangan pemuda adat Sakai. Ia kemudian mengajak seluruh pemuda adat untuk pulang kampung dan membangun kampungnya.

“Pesan saya bagi seluruh pemuda-pemuda adat Nusantara, pulanglah ke kampung halaman masing-masing. Bangunlah kampungmu. Majukanlah wilayah adatmu. Gerakkanlah masyarakat adatmu dan gunakanlah segenap kemampuanmu  untuk sukumu, untuk budayamu, untuk masyakarat adat dan pertahankanlah peninggalan leluhurmu”, tutupnya.

Ismail dan pemuda adat Batin Beringin Sakai, Komunitas Adat Sakai, menjadi bukti resiliensi Masyarakat Adat di tengah pandemi covid-19. Mereka memastikan pangan tetap tersedia. Kedaulatan pangan ada di tangan mereka. Begitu juga masa depan Masyarakat Adat Sakai.

Penulis: Kalfein Wuisan

PENGURUS NASIONAL BPAN 2022-2026

KONTAK KAMI

Sekretariat BPAN, Alamat, Jln. Sempur, Bogor

officialbpan@gmail.com