Sumembong dan Kedaulatan Pangan

bpan.aman.or.id – Ada banyak sekali kearifan di Minahasa yang digunakan untuk hidup dan terus hidup sebagai manusia. Baik dalam kegiatan di kampung, maupun kerja bersama di kebun.

Kearifan tersebut misalnya, Mapalus, Ru’kup, Sumembong, dan banyak lagi lainnya.

Pengetahuan tersebut merupakan warisan kehidupan para pendahulu Minahasa. Masing-masing kampung, punya kearifannya sendiri. Ini adalah produk kebudayaan Minahasa.

Beberapa hari lalu, bersama beberapa kawan, saya ikut Sumembong di kobong (kebun) pece alias sawah, milik Theo Rory. Kami bersama membantu memanen padi miliknya. Theo menggarap beberapa petak sawah. Itu cukup untuk memenuhi kebutuhannya dan keluarga. Ia mengolah sawahnya secara mandiri. Mawuntul, itu namanya dalam bahasa Minahasa.

Mawuntul dalam bahasa Tontemboan Minahasa berarti mengolah atau mengusahakan sesuatu secara mandiri, tidak menyewa pekerja.

Sejak mengolah sawah dari proses Lemepo (membersihkan sawah untuk ditanami), Musew (menanam padi), merawatnya, sampai memanen diusahakannya sendiri.

Hanya di tahapan tertentu, ia dibantu oleh orang lain secara sukarela. Misalnya, seperti saat memanen padi. Ia dibantu oleh beberapa kawannya.

Upaya membantu secara sukarela ini, disebut Sumembong. Sumembong dari kata sembong. Artinya, bantu secara sukarela. Tradisi ini sudah lama hidup di Minahasa, terlebih di Ro’ong Wuwuk. Selain kerja di kebun, Sumembong juga kerap diterapkan di acara dan kegiatan kemasyarakatan. Misalnya, ada peristiwa duka, pesta, atau membangun rumah dan pondok di kebun. Sumembong menjadi satu nadi dalam kehidupan sehari-hari orang Minahasa.

Bairis (memanen) padi dan Babanting (memisahkan padi dari batangnya dengan cara dipukulkan ke tempat kecil seperti meja) padi merupakan kegiatan yang kami lakukan di kebun Theo. Ini wujud dari Sumembong.

Selain berkebun sawah, Theo juga seorang petani cap tikus. Di sela-sela waktunya mengolah pohon aren, ia juga melakukan aktivitas berkebun lain. Ini memang menjadi ciri khas para petani di Minahasa. Mereka tidak hanya melakukan satu aktivitas berkebun.

Di tengah pandemi, orang-orang seperti Theo dan beberapa petani di kampung, membuktikan resiliensi terhadap situasi ini. Mengolah sawah dan tanah menjadi bukti kongkrit. Hasilnya, 13 karung padi yang dipanennya di musim tanam ini, menjadi salah satu bukti bahwa petani dan orang muda yang berkebun menjadi penjaga kedaulatan pangan. Pangan yang dihasilkan cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga besar mereka. Selebihnya bisa dijual atau diberikan kepada orang lain.

Sumembong dalam berkebun menjadi pernyataan sikap generasi muda hari ini. Ini juga bukti bahwa berkebun bukan “bahan jualan” untuk hidup, seperti yang dilakukan oknum untuk meraih simpati dan suara. Berkebun adalah upaya untuk terus hidup dan menjaga kehidupan terus berlangsung.

Ia adalah jati diri.

Penulis: Kalfein M. Wuisan

Bakobong, Kedaulatan Pangan, dan HTN

“Qta pe papa petani. Qta lei petani. Bangga noh”.

Ucap seorang kawan pemuda adat, Aldi Egeten.

Ia lantas melanjutkan aktivitasnya. Mengayun parang. Menebas rerumputan. Membuka lahan untuk diolah bersama-sama. Menujukkan bahwa kedaulatan pangan ada di tangan pemuda adat.

Aktivitas seperti menyiangi kebun, menanam, dan semua aktivitas bertani sudah dilakukannya sejak lama. Hal ini pun bukan hal baru bagi sebagian kawan yang bekerja bersamanya.

Aktivitas”bakobong” atau berkebun, baginya dan teman-temannya tidak seperti sebagian tokoh publik ataupun oknum politisi yang menjadikannya sebagai bagian dari pencitraan politik. Oknum-oknum ini mempolitisasi ‘berkebun dan bertani’ hanya demi meraup suara, apalagi di musim pilkada seperti ini.

Tinggal di kampung menjadi sebuah kebanggaan. Menjaga kampung, mengolah tanah, menjadi anak petani, dan menjadi petani. Ini yang sebagian pemuda Ro’ong Wuwuk pahami. Mereka sudah sejak lama berkerja bersama. Mapalus dan Sumembong menjadi kearifan Minahasa yang menggerakkan mereka.

Terlahir dari keluarga petani dan besar sebagai petani, membuat mereka mampu mengerjakan banyak hal. Semua pengetahuan itu di dapatkan di kampung.

Beberapa dari mereka telah menamatkan pendidikan Strata Satu, lainnya menyelesaikan SMA. Status pendidikan, tidak membuat mereka kehilangan pijakan dengan tanah. Malah ini membuat ikatan dengan kampung menjadi kuat. Tesis mengenai “bersekolah memutuskan hubungan dengan kampung, dengan tanah” tidak berlaku di sini. Mungkin di tempat lain. Orang-orang ini sangat terbuka dengan modernitas, termasuk pendidikan modern dan update teknologi terbaru. Mereka bersekolah dan juga berkebun. Di sela-sela istirahat di kebun, mereka bermain game, bermedia sosial, dan berselancar di internet untuk membaca informasi serta pengetahuan tentang banyak hal. Semangat ini ada dalam spirit Mawale.
Mawale atau Kesadaran Kembali ke Kampung atau membangun rumah menjadi kesadaran dan ideologi kultural yang dihidupi. Bersekolah dan bekerja di luar kampung, membuat mereka mesti terus terhubung dengan kampung untuk mengisi dan melengkapi ‘sesuatu’ yang tidak lengkap di kehidupan mereka. Kesadaran ini juga makin dipertegas usai mereka berbagi bersama di Sekolah Mawale yang diadakan di Wuwuk tahun 2011.

Selama ini mereka hidup mengolah tanah dengan bertani secara individu maupun kolektif. Secara kolektif mereka bersama saling membantu. Baik bekerja bersama orang tua di kebun, maupun bekerja bersama dengan kawan mengolah tanah. Kekuatan kerja kolektif ini di Minahasa disebut Mapalus. Selain itu, kearifan lain yang digunakan yaitu Sumembong atau baku tulung, saling membantu tanpa pamrih.

Kesadaran kultural inilah yang dipahami dan dihidupi oleh Farino Regar, Valentino Rompas, Clief Rumengan Clief,, Harly Wuisan Iroth, Petra Rondonuwu, Lisah Rumengan, dan Aldi Egeten serta sebagian besar kawan orang muda di Ro’ong (kampung) Wuwuk. Mereka juga adalah anggota Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Pengurus Daerah (PD) Minahasa Selatan (Minsel). Bukti konkrit kesadaran kultural mereka yaitu mereka membuka Lahan Kebun yang baru untuk dikelola bersama.

Kamis, 24 September 2020 yang diperingati sebagai Hari Tani Nasional (HTN), mereka jadikan sebagai momentum yang tepat untuk menunjukkan kesadaran kulturalnya tentang bakobong. Upaya mereka ini, juga menjadi bagian dari perayaan HTN 2020 bersama seluruh petani, aktivis, LSM dan NGO di seluruh nusantara. Mereka memilih membuka lahan, memasak dan makan bersama kuliner Minahasa menjadi bentuk acara perayaan HTN.

Membuka Lahan Berkebun Bersama dan Memasak untuk Merayakan HTN 2020

Inong, begitu sapaan akrab Farino Regar. Rabu malam, 23 September 2020, ia dan beberapa kawan sudah berkumpul di rumah Allen Rompas. Malam itu seperti malam yang lain. Usai bekerja seharian di kebun dan kerja bangunan, mereka berkumpul. Berbincang, bercanda, melepas lelah sambil main game atau berselancar di internet menjadi aktivitas rutin tiap malam. Namun, di malam itu mereka berkumpul mendiskusikan agenda bersama pada keesokan harinya di momen HTN.

“Jadi bagaimana ?”, tanya Inong.

“Besok torang somo mulai babuka Kobong neh. Pas Kote Lei besok Hari Tani Nasional. Torang somo buka Allen pe Kobong, Kong Torang momasak kuliner Minahasa Kong makang bersama”, tutur Aldi Egeten, Ketua BPAN PD MINSEL.

Mereka sedang membicarakan upaya untuk mengolah kebun secara bersama sebagai bagian dari gerakan kedaulatan pangan masyarakat adat. HTN menjadi momentum yang tepat. Cocok dengan rencana mereka yang sudah lama. Walaupun, mereka juga selama ini sedang mengurus kebun masing-masing.

“Ok. Besok mulai pagi Jo”, sambung Allen.

Mereka mulai membagi tugas. Membahas secara mendalam apa yang akan dilaksanakan.

“Besok pagi, nanti qta Deng Kale yang pigi pasar. Mobabelanja voor mo masak. Tamang2 laeng basiap jo pigi kobong kamuka”, ucap Lisah. Ia perempuan muda Wuwuk yang sangat bersemangat dengan hal-hal seperti ini.

Malam semakin larut, menutup diksusi mereka. Besok hari ada aktivitas besar di momen penting yang harus mereka jalani.

Sebelum matahari naik tinggi, keesokan harinya, mereka sudah siap.
Usai berkumpul di rumah Allen mereka menuju kebun bersama. Hari itu, mereka meninggalkan pekerjaan pribadi dan memberikan waktu penuh untuk kerja bersama.

Kebun milik Allen adalah kebun pertama yang akan mereka olah bersama. Letaknya di ujung kampung. Sekitar 500 meter, di sebelah kiri jalan raya. Kebun tersebut di dalam bahasa Minahasa jenisnya ‘Katanaan(g)’. Di sana akan ditanam Jagung dan rempah-rempah.

Di hari tersebut, mereka membuka lahan secara bersama. Stelah itu, mereka memasak dan makan kuliner Minahasa bersama. Sambil merayakan HTN 2020.

Farino Regar sedang Memasak

Kebun kedua yang mereka garap merupakan kebun sawah. Di sana mereka akan memelihara ikan Pongkor atau ikan mas. Telaga yang mereka olah kembali sebelumnya sudah tidak diolah. Selain ikang Pongkor, mereka juga berencana menguatkan kedaulatan pangan dengan memelihara babi dan ayam.

Berkebun sudah menjadi aktivitas sehari-hari mereka. Itu telah dihidupi berpuluh tahun, sejak mereka kecil. Keluarga, orang tua, dan teman menjadi guru. Alam menjadi sumber belajar dan sumber kehidupan.

‘Membaca buku alam” menjadi salah satu landasan pengetahuan kultural mereka tentang bakobong dan tentang hidup di kekinian.

Jalani Masa Pandemi, Pemuda Adat Rakyat Penunggu Bercocok Tanam dan Beternak

bpan.aman.or.id – Coronavirus disease atau yang biasa disebut COVID-19, menurut WHO, telah tersebar di 213 negara. Di Indonesia sendiri, pemerintah melalui gugus tugas percepatan penanganan COVID-19 (Gugus Tugas Nasional) mencatat penambahan kasus terkonfirmasi positif COVID-19 per 16 Juli mencapai 81.668 dan pasien meninggal sebanyak 3.873.

Hal tersebut menjadi konsen besar bangsa Indonesia karena permasalahan yang terus ditimbulkannya. Berbagai dampak terjadi mulai dari tingkat kematian meningkat, pemecatan pekerja, dan kesulitan ekonomi yang terjadi disemua kalangan mulai dari pengusaha kaya, sampai rakyat kecil, tidak terkecuali Masyarakat Adat.

Masyarakat Adat dalam sejarah telah berulang kali mengalami wabah penyakit dalam skala besar yang mengakibatkan berkurangnya penduduk. Victoria Tauli-Corpuz, pelapor khusus PBB untuk isu-isu Masyarakat Adat menjelaskan “Masyarakat Adat termasuk di antara mereka yang sangat rentan terhadap COVID-19 karena berbagai faktor. Ketika mereka berada di daerah perkotaan beberapa dari mereka biasanya berada dalam perekonomian informal dan merupakan pekerja rumah tangga yang membuat mereka rentan terhadap dislokasi ekonomi dan infeksi.”

Meskipun demikian, Masyarakat Adat justru memperlihatkan berbagai keunggulan dalam menghadapi pandemi ini seperti dalam mengelola pangan, kesehatan dan peran sosial.

Banyak hal yang dilakukan oleh Masyarakat Adat khususnya kami pemuda adat dalam mengelola wilayah adat agar dapat bertahan di tengah wabah pandemi ini.

Berbagai kegiatan produktif dilakukan oleh pemuda adat. Contohnya kami pemuda adat Rakyat Penunggu Sumatera Utara. Untuk mengisi waktu kosong dimasa pandemi, kami memanfaatkan fasilitas yang tersedia seperti tanah yang ada lantas kami kelola dan tanami.

Angga

Salah satu dari kami yaitu Angga pemuda adat Kampong Bandar Setia selama pandemi ini menghabiskan waktu untuk beternak kambing. Saat ini puluhan kambing ternakannya sudah mulai besar-besar. Dalam beberapa bulan ke depan, ia sudah bisa panen, mulai dari susu sampai daging.

“Saya sendiri bahkan secara sambilan berternak kambing. Untuk beternak kambing cukup memanfaatkan rumput-rumput di sekitar sebagai pakannya dan mengangon kambing juga sebuah kegiatan agar tubuh bergerak. Jadi seperti berolahraga,” kata Angga.

Kami menanam bayam, kemangi dan ubi dan buah-buahan, serta juga beternak kambing. COVID-19 tidak mengurangi semangat pemuda adat untuk terus melakukan kegiatan yang positif sembari mengikuti protokol kesehatan sesuai anjuran pemerintah.

 

Afni Afifah Harahap

Pemudi adat Rakyat Penunggu, Sampali & anggota BPAN Daerah Deli, Sumut

Bagaimana Pemuda Adat Inhu Menangkal Ancaman Krisis Pangan

bpan.aman.or.id – Supriadi Tongka kerap kali memposting foto-foto aktivitas sehari-harinya ke Facebook. Pernah ia memposting foto-foto lagi memanen padi, menanam benih kacang sampai yang terbaru pisang.

Beberapa waktu lalu, ia juga menjadi salah satu pemantik dalam Webinar bertajuk Tetap Panen Dimasa Sulit di Wilayah Adat yang diselenggarakan Pengurus Nasional BPAN. Bersama Beldis Salestina, Jhontoni Tarihoran, Modesta Wisa dan Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi, ia berbagi cerita tentang gerakan pulang kampung. Salah satu konteks konkret dibahas yaitu berkaitan dengan pangan terutama dimasa COVID-19.

Barisan Pemuda Adat Nusantara Daerah Indragiri Hulu, Riau, di mana Supriadi menjadi ketua untuk periode 2016-2019, saat ini sedang mengolah lahan berbidang empat hektar dan sudah ditanami aneka macam tumbuhan pangan. Ada kacang panjang, sayuran, pisang hingga umbi-umbian.

Menurut Supriadi Tongka, saat ini pemuda adat Talang Mamak dipercaya para Batin (tetua adat) guna mengelola wilayah adat secara komunal. Komunal artinya dikelola dan dimiliki secara bersama. Lahan tersebut selain bertepatan dengan pangan yang sedang menjadi persoalan dunia, juga sejak awal diperuntukkan sebagai aksi konkret pemuda adat di mana mereka langsung terjun bertani untuk tujuan kemandirian ekonomi.

Melalui penanaman ini pula mereka menunjukkan bahwa pemuda adat selain berjaga atas wilayah adat dan seluruh hak-hak yang melekat di atas dan di bawahnya, juga sebagai bentuk kesadaran bahwa pemuda adat harus bisa mandiri bahkan suatu saat membuka lapangan kerja.

Suher, Ketua Daerah BPAN Inhu menambahkan bahwa para pemuda adat bercocok tanam di wilayah adat sebagai bukti bagaimana dalamnya makna wilayah adat bagi Masyarakat Adat. Sebab, katanya, perjuangan kita selama ini adalah jangka panjang yang menghidupi.

Selain itu, Suher juga menekankan bercocok tanam sangat dibutuhkan dalam jangka waktu pendek. Sebab kondisi ketahanan pangan dalam situasi sulit ini adalah hal utama untuk menyambung hidup.

Badan Pangan dan Agraria Dunia (FAO) pada April lalu mengingatkan dunia, khususnya negara anggotanya di mana Indonesia termasuk di dalamnya, bahwa ancaman krisis pangan mengintai dimasa pandemi COVID-19. Pemerintah Indonesia juga tampak menaruh perhatian serius pada peringatan tersebut.

Artinya ancaman krisis pangan bukan tidak mungkin terjadi. Dimasa sulit sekarang, pangan menjadi bagian tak terpisahkan yang menjadi pertaruhan harian sampai berbulan.

Masyarakat Adat Nusantara yang berjuang bersama di AMAN juga telah jauh-jauh hari memprediksi dan menyiapkan diri untuk ancaman itu. Sejak awal virus corona merebak di Indonesia, Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi langsung mengeluarkan instruksi agar seluruh komunitas melakukan karantina wilayah bermartabat. Selain itu, dalam poin pentingnya juga diinstruksikan untuk mengecek dan mempersiapkan kebutuhan pangan.

Pemuda adat juga sadar betul bahwa kondisi sulit ini belum tahu kapan berkahir. Yang pasti pandemi terparah sejak Perang Dunia II ini tidak akan berakhir dalam waktu singkat. Sampai sekarang pun vaksin virus ini belum ditemukan, sekalipun telah terjadi banyak hal, misalnya keluarnya wacana pemerintah untuk menyambut new normal serta yang terbaru munculnya Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo yang mengorbitkan kalung antivirus berbahan eukaliptus yang kontroversial.

Untuk itu pemuda adat nusantara dalam gerakan pulang kampung melanjutkan tindakan-tindakan konkretnya seperti menanam tanaman pangan.

Jakob Siringoringo

Mengolah Kebun, Menjaga Kehidupan

Indra Congregations Piri , seorang pemuda adat asal kampung Ampreng, Minahasa, Sulawesi Utara. Sehari-hari ia menghabiskan waktu mengolah kebun bersama orangtuanya.

Sebagai anak petani ia bangga dan selalu membantu orang tua mengolah kebun.

Indra Piri

Tomat dan Cabai merupakan komoditas yang ditanam di kebun mereka. Selain dua jenis tanaman itu, padi dan mentimun juga menjadi komoditas pilihan yang ditanam para petani di kampung Ampreng.

Di kebun tomat mereka, ada sebuah pondok. Di pondok tersebut ia dan teman-temannya sering berkumpul. Teman-temannya juga kebanyakan anak petani. Mereka sering berkumpul ketika waktu bekerja usai. Pondok di kebun menjadi salah satu tempat mereka berkumpul, selain di rumah Indra.

Indra dan kawan-kawannya sesama pemuda adat

Indra dan teman-temannya memang aktif mengolah kebun. Baik kebun orang tua mereka, maupun kebun yang mereka kelola bersama.

Mereka menggunakan kearifan lokal Minahasa sebagai metode untuk mengolah kebun. Mapalus dan Ru’kup nama kearifan tersebut.

Metode Mapalus dapat terlihat dari upaya mereka saling membantu dan bekerja bersama. Baik saat mengolah kebun orang tua mereka, maupun kebun mereka bersama. Misalnya, apabila salah satu dari mereka membuka kebun atau saat panen di kebun orang tua mereka, para pemuda yang lain datang bersama bekerja, tanpa dibayar. Begitu juga, ketika tiba giliran anggota lain membuka kebun atau panen, orang yang sudah dibantu tersebut membalas dengan ikut mengolah kebun.

Mereka juga menggarap kebun secara bersama. Biasanya, itu kebun milik orang. Hasil dari kebun, kemudian dibagi sama rata kepada setiap yang terlibat dalam mengolah kebun.

Komoditas yang mereka tanam kebanyakan tomat dan cabai. Selain itu, mereka juga pernah menanam labu dan mentimun. Namun, karena area kebun tidak luas, kebanyakan yang ditanam hanya tomat dan cabai.

Tomat dipilih karena sangat bernilai ekonomis. Selain itu, tomat tidak perlu memerlukan lahan yang luas.

Di musim saat harganya baik, Tomat dan Cabai memang menjanjikan. Seperti yang dituturkan Deddy Milanno Sarayar, seorang pemuda Ampreng, sahabatnya Indra. Seperempat hektar kebun Tomat dapat menghasilkan, sekitar 400 kas/peti/bakul tomat. Beratnya sekitar 20kg. Sementara, saat ini harga per kas/peti/bakul, sekitar 400ribu. Sehingga hasil yang didapatkan dalam sekali mengolah 1/4 hektar kebun tomat, sekitar Rp.160.000.000. Setelah dipotong biaya produksi, maka hasil bersih yang didapatkan sekitar 150 juta rupiah. Dalam setahun, bisa maksimal 3 kali menanam tomat. Bisa dihitung keuntungannya.

Selain tomat, cabai juga menjadi pilihan.
Seperempat hektar kebun cabai dapat menghasilkan sekitar 1.000kg. Saat ini harga cabai keriting mencapai Rp.50.000/kg. Sehingga, hasil yang didapatkan dari sekali mengolah kebun cabai, sekitar Rp.50.000.000.

Namun, ketika harga Tomat dan rica anjlok, petani mengalami kerugian.
Bahkan tidak balik modal. Namun, mereka sadar bahwa setiap pekerjaan memiliki resiko.

Upaya para pemuda kampung untuk berkebun yaitu untuk memenuhi kebutuhan dan mengolah tanah supaya tidak ada lahan tidur. Ketika lahan diolah menjadi kebun, berarti proses kehidupan terus berlanjut. Menurut mereka, mengolah kebun berarti menjaga kehidupan.
Mereka percaya bahwa tanah tempat mereka berpijak bisa memberikan kehidupan, di tengah gempuran modernisasi dan menurunnya niat orang untuk berkebun.

Penulis: Kalfein Wuisan

BARISAN PEMUDA ADAT NUSANTARA

KONTAK KAMI

Sekretariat BPAN, Alamat, Jln. Sempur, Bogor

officialbpan@gmail.com