Dampak Pandemi di Barambang Katute
30 Mei 2020
oleh: Khaeruddin
Pandemi masih menyebar bahkan korban terus bertambah diberbagai belahan dunia. Tidak hanya merenggut kebebasan aktivitas, tapi juga merenggut sumber dan pundi-pundi kehidupan termasuk pangan.
Tidak ketinggalan Indonesia menjadi bagian dari itu yang kini korbannya mencapai puluhan ribu.
Selama ada jalan pandemi sigap menyusupi, tidak memilah untuk menyasar ke dalam ruang lingkup Anda, siapa pun anda bersiaplah untuk itu. Tidak tanggung-tanggung Kabupaten Sinjai telah menjadi bagian dari sebaran virus tersebut. Dikutip dari website covid19 sinjai (22 Mei 2020) enam belas orang dinyatakan positif.
Kebijakan para petinggi negeri yang terkesan lamban mengantisipasi jalur alternatif persebaran, membuat seluruh masyarakat harus hidup dipenuhi rasa was was. Satu persatu wilayah merasakan dampak, tidak terkecuali Masyarakat Adat Barambang Katute, Sinjai, Sulawesi-Selatan.
Rasa aman yang dulunya terjamin, secara perlahan memudar. Kebebasan beribadah sontak ditiadakan di berbagai masjid. Jadinya berkah Ramadhan hingga di penghujung terasa berkurang sebab tidak ada lagi buka dan tarawih bersama.
Semerbak penukaran rupiah dengan pangan melalui perdagangan bagai terpenjara. Potret petani sayur hanya mampu berjalan di tempat karena tidak dapat melakukan penjualan. Salah satu contoh, masih tersimpan stok wortel di kebun milik salah satu anggota komunitas, karena jalur pedagang diblokade. Karena alasan menjaga keamanan diri dari pandemi, penadah tidak berani datang mengambil stok. Apalagi himbauan #dirumahaja semakin gencar disuarakan melalui media berita televisi maupun radio.
Penjualan hanya dapat dilakukan di wilayah yang dianggap zona aman. Akibatnya, harga turun secara drastis. Melenceng jauh dari modal penanaman dan tenaga kerja sehingga dapat dipastikan musim ini mengalami kerugian.
Dipenghujung ramadhan ini kebutuhan bahan pokok makanan meningkat. Orang-orang harus ke pasar tradisional untuk memenuhi berbagai bahan kebutuhan dapur. Namun ketika berkunjung ke pasar harga bahan pokok seperti garam, minyak, dan bahan lainnya justru melambung naik dibandingkan sebelum adanya pandemi. Siklus ini tampak terbalik dengan harga yang dipatenkan dari dagangan petani.
Tapi dapur harus tetap mengepul. Lidah yang terlanjur membaur dengan asingnya garam tidak dapat dielak. Kita di gunung tidak memiliki laut untuk menadah kristal putih dan asin itu.
Meski demikian, Masyarakat Adat yang sejatinya petani tetap bercocok tanam untuk memenuhi lumbung pangan mereka.
Mengutip kalimat petuah “aga mutaneng, iyato muruntu” (apa pun yang kamu tanam, itulah yang kamu dapatkan). Maka tidak ada kata menyerah bagi petani. Bersama kucuran keringat, mereka berharap agar pandemi segera berlalu dan negeri kita kembali pulih.
Pandemi mereda adalah impian kita bersama; sebuah harapan yang entah kapan tiba. Kita hanya mampu menutup diri. Mengikuti protokol kesehatan. Memerangi, walau musuh tidak tampak.