Keadilan dan Kemerdekaan di Wilayah Adat Sorong Raya

Sejak 1900-an, Sorong Raya—mencakup Kota Sorong, Kabupaten Sorong Selatan, dan Raja Ampat di Papua Barat—sudah melewati tiga era industri. Era pertama adalah zaman minyak bumi yang dimulai 1935 ketika maskapai minyak Belanda mengebor minyak di Sorong. Era kedua adalah zaman minyak sawit mulai tahun 2000-an. Era ketiga, yang terbaru, adalah zaman Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang diresmikan pada 2016. KEK berada di Distrik Mayamuk, Kabupaten Sorong dengan luasnya 500 hektar dan diperuntukkan bagi suplai logistik, pertambangan, hingga perkebunan.

Tapi kemakmuran di setiap zaman itu “tak pernah mampir” ke komunitas Masyarakat Adat sebagai pemilik kawasan/wilayah adat tempat semua industri itu berdiri. Sampai hari ini bisa dihitung berapa banyak profesor, berapa doktor, berapa S1, berapa S2, berapa dosen, berapa guru, berapa banyak fasilitas pendidikan dan kesehatan yang bisa diakses secara gratis oleh komunitas adat dan marga yang wilayahnya sudah dikuasai oleh industri.

Bahwa kawasan-kawasan ini adalah wilayah yang memiliki alas hukum yang kokoh yang dikuasai secara turun-temurun sebelum adanya negara hingga kelahiran negara. Buhulnya juga adalah UUD 1945 pasal 18 B ayat 2 Amandemen Kedua yang mengakui keberadaan Masyarakat Adat. Di bawahnya ada UU 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Bab XI, tentang “Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat” yang diperkuat Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 yang menegaskan bahwa “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah Masyarakat Adat, dan bukan lagi sebagai hutan negara”. Lalu ada Perdasus Nomor 21, 22, 23 tahun 2018 yang menyatakan wilayah Papua adalah wilayah adat. Adapun di Kabupaten Sorong ada pula regulasi khusus, yaitu Perda No.10 tahun 2017 tentang “Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Moi di Kabupaten Sorong”. Dan juga di beberapa kabupaten/kota dalam tahapan penyusunan Perda Pengakuan dan Perlindungan terhadap Masyarakat Adat.

Namun, pengakuan atas hak Masyarakat Adat hanya selesai secara teori hukum. Implementasinya di lapangan lain cerita. Industri alih-alih membuat komunitas adat dan marga sejahtera, malah jadi sengsara di wilayah adat mereka sendiri.

Bagi komunitas Adat, hutan, dusun, atau wilayah adat adalah Mama yang memberikan kehidupan. Ketika Masyarakat Adat membutuhkan sagu, dia akan pergi ke dusun sagu. Ketika dia membutuhkan sayur dan daging, dia ke hutan. Ketika dia membutuhkan ikan, dia akan memancing. Ketika dia butuh obat, ada obat-obatan di dalam hutan. Ketika dia butuh keindahan, dia ke hutan untuk melihat anggrek hingga burung cenderawasih.

Hingga akhirnya, investasi mengubah hutan mereka yang kaya raya menjadi suatu jenis tanaman saja: kelapa sawit. Segala yang di luar kelapa sawit adalah hama, dari tikus hingga komunitas marga pemilik wilayah yang punya wilayah adat.

Hal itu terjadi karena kesengajaan dari industri/investor untuk mengangkangi konstitusi demi keuntungan perusahaan/pribadi. Karena itu, cara yang konstitusional bagi Masyarakat Adat untuk mendapatkan kembali hak-haknya adalah merebutnya melalui jalur hukum. Tapi tantangannya besar dan itu tidak mudah, karena investor sudah siap di jalur hukum ini, sebab mereka memiliki uang dan koneksinya di kekuasaan. Adapun Masyarakat Adat hingga saat ini praktis tanpa pembela hukum. Keberadaan pendampingan hukum untuk Masyarakat Adat makin krusial karena, seperti di banyak wilayah adat yang diokupasi perusahaan, ada potensi konflik antara komunitas marga yang menuntut haknya dan investor yang melindungi keserakahannya.

Di bidang penguatan ekonomi, Masyarakat Adat telah menunjukkan bahwa sistem ekonomi kolektif Masyarakat Adat yang bertumpu pada pengetahuan dan kearifan dalam pengelolaan wilayah adat dan sumber daya alamnya, terbukti mampu bertahan dari berbagai terpaan krisis. Hal ini menunjukkan bahwa sepanjang dua dekade, Masyarakat Adat punya andil besar dalam membangun tatanan dan kedaulatan pangan di wialayah Adat. Sayangnya, di tengah situasi ekonomi global yang semakin dinamis, kekuatan ekonomi Masyarakat Adat belum dijadikan sebagai dasar utama dalam kebijakan pembangunan ekonomi.

Kontribusi yang telah diberikan oleh Masyarakat Adat tak selaras dengan perlakuan negara terhadap Masyarakat Adat. Sepanjang dua dekade pula, Masyarakat Adat masih terus menghadapi beragam agresi pembangunan. Pengabaian, kriminalisasi hingga perampasan wilayah adat terus terjadi. Perlindungan dan penghormatan atas hak konstitusional Masyarakat Adat hingga kini bagai panggang jauh dari api.

Dalam hal ini Masyarakat Adat adalah instrumen penting untuk menyelesaikan persoalan-persolan mendasar yang selama ini menghambat proses berdaulat dan merdeka di atas wilayah adat. Juga situasi politik hukum dan kebijakan-kebijakan dalam kurun waktu ini, serta proyeksi arah gerak perjuangan organisasi gerakan Masyarakat Adat di tahun yang akan datang akan lebih banyak mengalami situasi dan kondisi yang berat.

Generasi dan gerakan Masyarakat Adat adalah penentu. Kita mati musnah atau bangkit melawan dan kita menang. Itu pilihan dan pilihan itu ada di atas tangan kita, juga masa depan wilayah Adat ada di atas pundak generasi hari ini untuk membawa dan memperjuangkan wilayah adat seutuhnya menjadi milik Masyarakat Adat. Dan ketika kita hari ini duduk diam melihat penindasan dan kita merasakan penindasan dan kita tidak bergerak, maka percuma saja karena perjuangan Masyarkat Adat tidak hanya duduk diam dan meyakini bahwa tanah Adat Papua akan bebas dari eksploitasi.

Tanah Adat Papua akan bebas dan merdeka jika generasi dan gerakan Masyarakat Adat aadar bersatu dan melawan, karena perjuangan adalah milik Masyarakat Adat Papua dan milik Masyarakat Adat dunia. Oleh karenanya, kita percaya perjuangan kebenaran akan memerdekakan Masyarakat Adat Papua”.

Oleh: Feki Mobalen, Ketua BPH AMAN Sorong Raya

Ketika Pemuda Adat Memilih Pulang Kampung

Menjadi salah satu sayap Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) atau organisasi para pemuda adat merupakan harapan bagi perkembangan dan pelestarian adat di komunitas Masyarakat Adat. 

Generasi muda adat menjadi tonggak harapan Masyarakat Adat untuk mengembangkan wilayah adat termasuk melestarikan budaya.

Aku menjadi salah satu pemuda di komunitas adat Sidole yang pada tahun 2019 kemarin mendaftarkan diri menjadi anggota BPAN Wilayah Sulawesi Tengah dan juga mengikuti kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan BPAN maupun AMAN, merasa sangat terbantu untuk kembali mengenali adat istiadat di komunitasku, Kaili Lauje di Sidole. 

Aku pun kemudian dikenalkan dengan pentingnya gerakan pulang kampung, tentang peranku yang akan sangat bermanfaat bagi kampungku jika aku kembali dibandingkan berada di rantau yang hanya menguntungkan diri sendiri. Ditambah lagi bertemu dan berbagi cerita dengan teman-teman dari berbagai penjuru nusantara dengan pengalaman dan pemahaman mereka terkait adat di komunitasnya membuatku malu pada diri sendiri yang sangat minim ilmu tentang wilayah tempatku dan leluhurku terlahir. 

BPAN dengan gerakan pulang kampungnya berupaya menjaga pemuda juga Masyarakat Adat pada umumnya untuk tetap mencintai dan merasa bangga dengan budaya dan kearifan lokalnya sehingga ilmu yang diperolehnya dari sekolah ataupun perguruan tinggi dimanfaatkannya untuk pengembangan potensi di komunitasnya untuk kebermanfaatan Masyarakat Adat di wilayahnya.

Ibarat pohon, pemuda adat adalah batang pohon yang akan menyebarkan sari pati tanah yang telah diserap oleh akar (leluhur) pada ranting-ranting sehingga menumbuhkan dedaunan untuk foto sintesis yang kemudian akan memberikan keberlangsungan hidup pohon (kehidupan Masyarakat Adat) hingga menghasilkan buah. Pemuda adat haruslah mengupayakan segala cara dengan berbekal ilmu yang telah diperolehnya untuk mengembangkan potensi wilayahnya, menjaga, mendata dan mendokumentasikannya dengan memulainya dengan diskusi antarpemuda di kampungnya, berbagi ide dan gagasan untuk tujuan mengembangkan dan melestarikan  nilai atau tatanan hidup Masyarakat Adat di komunitasnya.

Kehadiran pemuda adat diharapkan dapat menjadi penghubung masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang. Menjadi generasi yang bisa menggali potensi wilayah adat, mendata kearifan lokal termasuk sejarah, seni budaya juga ritual adat sehingga generasi mendatang masih bisa mengetahui dan mengenali kearifan lokalnya sehingga dengan bangga menampakkan keadatannya. 

Adat menjadi hal yang sangat sakral bagi masyarakat yang telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka yang lebih dikenal dengan Masyarakat Adat. Keberadaan adat istiadat di era modern saat ini rentan karena telah banyak pengaruh globalisasi dan modernisasi yang merecoki tatanan kehidupan dalam Masyarakat Adat. Sehingga tak jarang pemuda di suatu komunitas adat tidak lagi bangga dengan keadatannya dan lebih memilih mengikuti tren masa kini yang jauh dari adat dan bahkan ada yang sudah menyimpang dari adat kebiasaan Masyarakat Adat di wilayah adat tertentu. 

Pemuda adat menjadi tali penghubung tatanan kehidupan, sehingga keberadaannya menjadi sangat penting untuk keberlangsungan kehidupan yang berkeadatan.

Adat menjadi hal penting dan sangat dihormati oleh masyarakat di kampungku, namun belum banyak yang kuketahui terkait adat di komunitasku, itu pun hanya sebatas seremonial saja. Aku juga termasuk pemuda yang telah mengenyam pendidikan tinggi di kota dengan ilmu dan kehidupan kota yang cukup modern sehingga pandanganku tentang adat sedikitnya mulai teralihkan. Tapi terkait adab dan tata laku kesopanan tetaplah adat menjadi tumpuanku setelah agama. Aku sedikitnya telah mengabaikan adat di komunitasku.

Hingga sampai pada keikutsertaanku dalam agenda-agenda yang diselenggarakan oleh BPAN dan AMAN aku dibuat sadar bahwa adat sangatlah penting dan menjadi hal pertama yang mengatur tatanan hidup masyarakat jauh sebelum agama hadir di tengah kehidupan masyarakat. Mendengar penjelasan dan pemaparan terkait hal itu aku seakan disegarkan kembali, hatiku terpanggil untuk mengenal kembali adat yang menjadi bagian dari diriku jauh sebelum aku sendiri mengenal diriku.

Dari semua itu muncullah tekad untuk pulang kampung dengan misi kembali mengenali dan mendokumentasikan segala hal yang menjadi identitasku, tentang wilayah adat, nomenklatur, tata pemerintahan, tata laku dan hukum adat yang sejak dulu telah dianut oleh masyarakat di kampungku jauh sebelum adanya agama dan hukum positif yang menurut pemaparan orang-orang tua menimbulkan efek jera bagi pelakunya, dibanding hukum positif saat ini yang hanya membingungkan dan mudah diperjualbelikan oleh pemilik kuasa dan pemodal. 

Sebaliknya, Masyarakat Adat selalu menjaga lingkungan dengan kearifan lokal, mencintai alam semesta dan manfaatkannya dengan sangat baik. Berbeda dengan manusia modern yang hanya ingin menguntungkan diri dan kelompok dengan merusak alam (eksploitasi).

Banyak hal yang mesti dipikirkan oleh pemuda khususnya pemuda adat bagaimana menjaga eksistensi diri sebagai Masyarakat Adat yang beradab, mandiri dan bermartabat. Menjaga wilayah dan generasinya dari merusak ataupun dirusak oleh modernisasi yang sejatinya menghilangkan kesejatian diri sebagai manusia. Banyak perilaku masyarakat modern yang katanya maju, tapi lebih banyak merusak masyarakat juga alam. Modernisasi dalam hal positif tentulah tetap dibutuhkan untuk mengembangkan dan mengenalkan kekayaan alam dan potensi wilayah adat untuk pengembangan Masyarakat Adat itu sendiri.

Menjadi pemuda adat adalah takdir, menjadi pemuda adat yang mau pulang kampung adalah pilihan. Aku memilih menjalani kehidupan sesuai takdirku dengan tetap menggunakan daya pikir dalam hal-hal yang masih bisa kupilih termasuk pulang kampung dan mengupayakan mengembangkan komunitasku, kembali mengenali jati diriku dan mengenalkannya kepada dunia tentang peradaban yang telah dibangun oleh tatanan adat, tentang pengelolaan wilayah yang mengutamakan pemanfaatan dan pelestarian lingkungan sekitar dengan kearifan lokal yang ada, menjaga bahasa dan sejarah asal usul untuk nantinya diceritakan pada generasi mendatang sebagai penghubung generasi saat ini dan generasi mendatang.

Aku pun akan terus belajar dengan tetap mengingat untuk pulang kampung berbagi untuk bangkit dan bersatu mengurus wilayah adat untuk Masyarakat Adat yang berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan bermartabat secara budaya. 

Penulis: Indah Salimun Mantjabo

Di Antara Musim yang Tak Menentu

Hujan datang di pukul 3 dini hari, padahal sedang musim panas. Deras air hujan memberikan bunyi di atas genteng rumahku. Rasa dingin yang ditimbulkan membuatku menarik selimut dan tertidur kembali. 

Pukul 7 pagi aku bangun, hujan juga tak kunjung reda. Aku mendengar kabar dari tetangga, sungai di kampung banjir dan menyapu lahan sayuran yang tumbuh di pinggir sungai. Kulihat dari teras rumahku, beberapa perempuan dan pemuda berjalan menggunakan payung untuk melihat banjir yang menyapu lahan sayur. 

Hujan mulai mereda di pukul 10 pagi. Para petani berangkat melihat lahannya yang dilahap oleh banjir. Ini musim panas tapi banjir datang. Beberapa bulan lalu musim hujan tapi tanaman banyak yang mati karena musim panas datang. 

Merenungkan Musim

Akhir-akhir ini bumi semakin panas. Hujan tak menentu. Angin melanda seluruh pelosok Nusantara. Adalah kesedihan yang mendalam mendapati Bumi yang sakit. 

Aku tahu bumi semakin tak sehat. Kerusakan demi kerusakan tengah menggerogoti tanah di kampungku. Baru saja, tanah-tanah di sini lolos dari kebijakan pemerintah yang akan menanam sawit dan menjanjikan semua orang menjadi kaya dalam sekejap. Kini, banjir telah menghancurkan lahan-lahan sayur. 

Nasib-nasib mati oleh kebijakan atau mati karena hilangnya sumber penghidupan tak dapat dijadikan pilihan oleh orang di kampungku. Sudah pasti keduanya perlahan-lahan membunuh dan tinggal menghitung waktu, kapan persis datangnya.  

Kemarin aku lihat di berita bencana banjir menutupi seluruh Kalimantan. Longsor menghancurkan rumah-rumah karena akar pohon tak lagi kuat menahan deras air yang masuk ke tanah. Angin kencang juga menghancurkan rumah-rumah warga di Kupang, Nusa Tenggara Timur. 

Musim panas dan musim hujan tak mengenal bulan ke berapa mereka harus datang. 

Apalagi setelah ini? Apalagi setelah ini? 

Panen yang selalu ditunggu-tunggu hancur juga oleh musim yang tak tentu kapan membaik.  Saya mencoba bertahan di antara kehancuran dengan tumpukan tugas menjadi Pemuda Adat, generasi penerus. Adilkah ini disematkan dalam perjalanan kita? Seperti susah sekali bernafas untuk menikmati alam yang disajikan untuk seluruh mahluk hidup. 

Tidak adil, sangat tidak adil. 

Mengemban Tugas

Keluhan hutan rusak dan akan merusak bumi seolah-olah menjadi angin lalu untuk para pemilik modal. Dengan dalih membuat Nusantara lebih maju atau lainnya, bencana-bencana itu menghantarkan kepadaku sebagai pemuda adat yang mengemban tugas menjaga hutan pada fungsinya. 

Aku mengingat seorang Ketua Adat, dia berkata “Di mana pun kerusakan yang disebabkan, kapan terjadinya, kita semua yang akan menanggung akibatnya. Karena kita hidup di satu bumi yang sama”. Kalimat ini terus terngiang-ngiang di kepalaku. Kerusakan apalagi yang harus kami tanggung? Apakah sulit sekali menahan diri dari kerakusan yang tak pernah berujung? 

Aku teringat tentang Tubuh Kedua. Daysi Hilyard mengajarkan padaku Tubuh Kedua kita pasti akan merasakan hal yang sama bahkan sampai dibelahan bumi manapun. Hewan, tumbuhan dan mahluk lainnya pasti terkena dampak dari kerusakan alam saat ini. Renungan yang tak menemukan ujungnya. Jika hanya kekayaan dan kekuasaan saja yang ditumpuk, sudah pasti tubuh keduaku telah menjadi abu karena panas bumi yang membakar. 

Mulai Perjalanan

Sore aku berdiri di tepi sungai yang melahap ladang sayur warga di kampungku. Aku memungut buah mentimun yang siap dipanen. Buah mentimun yang penuh dengan lumpur. Aku berjalan menuju aliran sungai, kemudian aku mencuci timun yang ‘ku ambil. Segar terlihat di mataku. 

Aku memandangi ladang sekitar sungai. Semua rata dengan lumpur. Kacang panjang, cabe rawit, kangkung, dan sayuran lainnya terlihat sama di mataku. Cokelat susu. Timun yang ada di tangan aku gigit. Segar rasanya lidahku mengecap. Tangisku keluar setelahnya. Aku merenung, sampai kapan mahluk hidup dijadikan permainan atas kerakusan manusia. Hulu sungai telah ditambang secara illegal. Tanah-tanah telah menjadi sawit. 

Aku duduk di batu pinggir sungai. Hingga aku berusia 27 tahun, semakin hari kurasakan semakin jelas di mataku. Satu perjalanan yang terus dimulai hingga tak tahu kapan berhentinya. Jika 15 tahun lalu aku masih bisa mandi di sungai, kini sungai tak lagi menjadi teman melainkan menjadi racun untuk semua orang. 

Burung-burung yang dulu aku buru bersama dengan temanku tak pernah aku lihat saat aku ke kebun. Belut-belut yang dulu ku pancing hilang karena tanah sudah hancur oleh pestisida. 

Aku tak pernah membayangkan ternyata hidup bukan semakin baik malah semakin rusak. Hidup diminta untuk terus memulai perjalanan. Jalan di atas tanah leluhur yang hancur. Penuh kerak kekuasaan yang kikir dan jahat. Melenyapkan ikatan manusia dengan tanahnya. 

Penulis: Yuyun Kurniasih

Di Antara Musim Yang Tak Menentu

Hujan datang di pukul 3 dini hari, padahal sedang musim panas. Deras air hujan memberikan bunyi di atas genteng rumahku. Rasa dingin yang ditimbulkan membuatku menarik selimut dan tertidur kembali.

Pukul 7 pagi aku bangun, hujan juga tak kunjung reda. Aku mendengar kabar dari tetangga, sungai di kampung banjir dan menyapu lahan sayuran yang tumbuh di pinggir sungai. Kulihat dari teras rumahku, beberapa perempuan dan pemuda berjalan menggunakan payung untuk melihat banjir yang menyapu lahan sayur.

Hujan mulai mereda di pukul 10 pagi. Para petani berangkat melihat lahannya yang dilahap oleh banjir. Ini musim panas tapi banjir datang. Beberapa bulan lalu musim hujan tapi tanaman banyak yang mati karena musim panas datang.

Merenungkan Musim

Akhir-akhir ini bumi semakin panas,

Hujan tak menentu,

Angin melanda seluruh pelosok Nusantara.

Adalah kesedihan yang mendalam mendapati Bumi yang sakit.

Aku tau bumi semakin tak sehat. Kerusakan demi kerusakan tengah mengrogoti tanah di kampungku. Baru saja, tanah-tanah di sini lolos dari kebijakan pemerintah yang akan menanam sawit dan menjanjikan semua orang menjadi kaya dalam sekejap. Kini, banjir telah menhancurkan lahan-lahan sayur.

Nasib-nasib, mati oleh kebijakan atau mati karena hilangnya sumber penghiudpan tak dapat dijadikan pilihan oleh orang di kampungku. Sudah pasti keduanya perlahan-lahan membunuh dan tinggal menghitung waktu, kapan persis datangnya.  

Kemarin, aku lihat di berita bencana banjir menutupi seluruh Kalimantan. Longsor menghancurkan rumah-rumah karena akar pohon tak lagi kuat menahan deras air yang masuk ke tanah. Angin kencang menghancurkan rumah-rumah warga di Kupang, Nusa Tenggara Timur.

Musim panas dan musim hujan tak mengenal bulan ke berapa mereka harus datang.

Apalagi setelah ini, apalagi setelah ini?

Panen yang selalu ditunggu-tunggu hancur juga oleh musim yang tak tentu kapan membaik atau memburuk.  Bertahan diantara kehancuran dengan tumpukan tugas menjadi Pemuda Adat, generasi penerus. Adilkah ini disematkan dalam perjalanan kita? Seperti susah sekali bernafas untuk menikmati alam yang disajikan untuk seluruh mahluk hidup.

Tidak adil, sangat tidak adil.

Mengemban Tugas

Keluhan hutan rusak, akan merusak bumi seolah-olah menjadi angin lalu untuk para pemilik modal. Menggunakan dalih membuat Nusantara lebih maju atau lainnya, menghantarkan kepadaku sebagai pemuda adat yang mengemban tugas menjaga hutan pada fungsinya.

Aku mengingat kata Ketua Adat, dia berkata “Dimanapun kerusakan yang disebabkan, kapan terjadinya kita semua yang akan menanggung akibatnya. Karena kita hidup di satu bumi yang sama”. Kalimat ini terus terngiang-ngiang di kepalaku. Kerusakan apalagi yang harus kami tanggung. Apakah sulit sekali menahan diri untuk kerakusan yang tak pernah berujung?

Aku teringat tentang Tubuh Kedua. Daysi Hilyard mengajarkan padaku Tubuh Kedua kita pasti akan merasakan hal yang sama bahkan sampai dibelahan bumi manapun. Hewan, tumbuhan dan mahluk lainnya pasti terkena dampak dari kerusakan alam saat ini. Renungan yang tak menemukan ujungnya. Jika hanya kekayaan dan kekuasaan saja yang ditumpuk, sudah pasti tubuh keduaku telah menjadi abu karena panas bumi yang membakar.

Mulai Perjalanan

Sore, aku berdiri di tepi sungai yang melahap ladang sayur warga di kampungku. Aku memungut buah mentimun yang siap di panen. Buah mentimun yang penuh dengan lumpur. Aku berjalan menuju aliran sungai, kemudian aku mencuci timun yang ku ambil. Segar terlihat dimataku.

Aku memandangi ladang sekitar sungai. Semua rata dengan lumpur. Kacang Panjang, cabe rawit, Kangkung, dan sayuran lainnya terlihat sama dimataku. Coklat susu. Timun yang ada di tangan aku gigit. Segar rasanya lidahku mengecap. Tangisku keluar setelahnya. Aku merenung, sampai kapan, mahluk hidup dijadikan permainan atas kerakusan manusia. Hulu sungai telah ditambang secara illegal. Tanah-tanah telah menjadi sawit.

Aku duduk di batu pinggir sungai. Hingga aku berusia 27 tahun, semakin hari kurasakan semakin jelas di mataku. Satu perjalanan yang terus dimulai hingga tak tahu kapan berhentinya. Jika 15 tahun lalu, aku masih bisa mandi di sungai. Kini, sungai tak lagi menjadi teman melainkan menjadi racun untuk semua orang.

Burung-burung yang dulu aku buru bersama dengan temanku. Tak pernah aku lihat saat aku ke kebun. Belut-belut yang dulu ku pancing, hilang karena tanah sudah hancur oleh pestisida.

Aku tak pernah membayangkan, ternyata hidup bukan semakin baik malah semakin rusak. Hidup diminta untuk terus memulai perjalanan. Jalan di atas tanah leluhur yang hancur. Penuh kerak kekuasaan yang kikir dan jahat. Melenyapkan ikatan manusia dengan tanahnya.

Penulis: Yuyun Kurniasih

Sekolah Adat: Solusi bagi Pendidikan di Indonesia

Liberalisasi pendidikan Indonesia mengaburkan tugas negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Liberalisasi menyebabkan komersialisasi pendidikan yang masif dengan lahir swastanisasi dunia pendidikan. Jika pendidikan (pengetahuan) menjadi barang dagangan, lalu dimanakah tugas negara itu ?

Slogan pendidikan gratis yang dicanangkan pemerintah akan menjadi mimpi buruk bagi warga negara, karena ternyata biaya pendidikan kita sangat mahal. Seorang petani tidak bisa membiaya anaknya, karena petani mengalami rawan pangan. Begitu juga seorang nelayan. Laut yang menjadi lapangan pekerjaan, berubah menjadi tempat yang menakutkan karena iklim tidak menentu. Sebaliknya para buruh. Mereka di PHK dengan alasanya perusahaan pailed di tengah pandemi Covid dan tidak bisa memberikan penghasilan kepada semua karyawan.

Selain itu kurikulum pendidikan kita yang tidak memberikan ruang sebesar-besarnya kepada lembaga pendidikan di daerah untuk menyusun kurikulum sesuai dengan kearifan lokal masing-masing daerah. Yang terjadi adalah daerah dipaksakan mengikuti kurikulum yang dibuat oleh pusat. Hal ini yang menyebabkan lembaga-lembaga pendidikan menjadi pusat penciptaan pengangguran baru di indonesia.

Apakah sekolah adat menjadi solusi ?

Sekolah adat merupakan sekolah yang dikembangkan oleh masyarakat adat. Sistem pendidikannya disesuaikan dengan konteks lokal di setiap wilayah adat. Di sekolah adat, kita belajar tentang sejarah asal usul, tentang wilayah adat, tentang struktur dan sistim nilai serta sumberdaya alam yang ada di wilayah adat. Di sekolah adat kita tidak mengenal biaya pendidikan, karena yang menjadi guru adalah para pemangku adat. Mereka punya tugas mewariskan pengetahuan lokal ke generasi berikutnya. Di sana kita belajar tentang bagaimana menjaga, mengelolah, dan mempertahankan wilayah adat, sehingga bisa di wariskan ke generasi berikutnya. Di sana kita diajarkan bagaimana bercocok tanam, menjadi nelayan, menjadi pengerajin tradisional dll. Selain itu, kita juga diajarkan untuk menjaga hutan, mata air, laut, sehingga kehidupan kita selaras alam.

Jika sekolah formal mengajarkan ilmu pergi, maka sekolah adat mengajarkan ilmu untuk kembali.

SELAMAT HARI PENDIDIKAN NASIONAL 2 MEI 2021

Penulis: Adrianus Lawe

BPAN Organisasiku, Gerakan Masyarakat Adat Perjuanganku

(Hanya sebuah catatan kecil)

BPAN Daerah Bima tiba-tiba memposting status di facebook soal plangisasi wilayah adat. Ketuanya yaitu Ade Purnawirawan membagikannya dan menandai saya. Postingan itu seketika menyulut semangat saya melihat teman-teman pemuda adat yang tak pernah lelah berjuang di wilayah adat. Betapa sangat mahalnya wilayah adat kita.

Itu postingan hari Selasa 12 Januari 2021.

Dalam seminggu terakhir, Sulawesi Selatan dan Barat bergerilya mendeklarasikan PD-PD BPAN. Baru kemarin (11/1), BPAN Daerah Massenrempulu atau Enrekang, Sulsel dideklarasikan dan muncul seorang perempuan hebat yang menjadi ketua. Ia adalah Jusmiati. Perempuan asal komunitas adat Uru tegas ingin bergerak membawa pemuda-pemudi adat memperkuat budaya, bukan malah ambisius hanya memikirkan sisi ekonomi alias keuntungan finansial semata.

Seminggu sebelumnya, wilayah pengorganisasian BPAN untuk pertama kalinya dideklarasikan di Sulawesi Barat tepatnya di Majene, 4 Januari. BPAN Daerah Majene hadir yang dinahkodai Hamsir. Menurut catatan BPAN (https://pemudaadat.org/pd-bpan-majene-lahir-memenuhi-amanat-leluhur/) yang ditulis Kalfein Wuisan, BPAN Majene hadir sebagai amanat leluhur. Ini adalah sebuah pesan yang sangat mendalam bagi generasi penerus Masyarakat Adat.

Kembali ke Sulsel, pada 27 Desember tahun lalu, BPAN Daerah Gowa juga dideklarasikan dengan penuh hikmat. Pertemuan Daerah pertama BPAN Gowa itu diselenggarakan di sebuah pendopo yang berada di tengah-tengah alam sebagai wujud kedekatan anak-anak muda terhadap wilayah adatnya, tanah di mana mereka melekat dalam segala hal. Alqadri Arsyad atau disapa Aldi terpilih dalam musyawarah ala pemuda adat itu sebagai ketuanya.

Masih di bulan dan tahun yang sama, dua BPAN Daerah turut dideklarasikan di pulau Kalimantan. Pertama, BPAN Daerah Sungai Kayan di Kalimantan Utara dideklarasikan pada tanggal 13 dengan metode belajar sama-sama yang khas anak muda. Salah satu metode unik dalam kegiatan itu adalah “menganyam”. Katarina Megawati, Ketua BPAN Wilayah Kaltara, memfasilitasi sesi seru ini. Menganyam wilayah adat berarti menjalin setiap unsur yang ada di wilayah adat kita yang menjadi satu kesatuan tak terpisahkan. Contohnya ada: tanah, rumah, ladang, sawah, hutan, kerbau, ayam, sungai, pengetahuan menenun, pengetahuan berburu, dan lain sebagainya.

Kedua, kita bergerak ke barat, Januar Pogo, salah satu kader terbaik AMAN Daerah Sintang memfasilitasi terbentuknya BPAN Daerah Sintang pada 14 Desember. Semangat pemuda/i adat Sintang luar biasa. Mereka terlihat sangat kompak dan dengan penuh kesadaran bercita-cita untuk terus menjaga wilayah adat, budaya warisan leluhur Masyarakat Adat Dayak khususnya di Sintang.

Bergeser sedikit ke pulau Lombok, tanggal 6 Desember, BPAN Daerah Sembalun memprakarsai sekolah adat Laskar Lembah Rinjani Sembalun. Junaedi dkk bersama dengan tetua adat lagi-lagi menunjukkan semangat gotong-royong untuk tujuan jangka panjang. Lewat sekolah adat, generasi penerus Masyarakat Adat akan terus ada, terpelajar, berbudaya dan selalu berdiri kukuh memperjuangkan hak-haknya sebagai Masyarakat Adat.

Ibarat pohon alami yang tumbuh kuat di hutan-hutan adat, sekolah adat terus menjalar di mana-mana. Kita melompat ke Sumatera, tetap masih di bulan Desember tanggal 16,, BPAN Daerah Kerinci yang dipimpin Rici Ricardo juga menjadi garda terdepan dalam memprakarsai sekolah adat Depati Puncak Negeri.

Saya melihat semangat kita, BPAN, berkobar terus di mana-mana. Ini baru situasi beberapa pergerakan yang saya rangkum dari akhir 2020 hingga awal 2021 pertengahan. Saya sadar banyak lagi aksi yang terlewatkan. Ini hanyalah catatan pendek sebagai salah satu pertanda bahwa BPAN hadir di mana-mana dalam gerakan Masyarakat Adat. Pemuda-pemudi adat berdiri tegak di baris terdepan. Pemuda adat secara gotong royong memperkuat kampung, haus belajar, selalu aktif berkreasi, dan terus bertumbuh.

Penulis: Jakob Siringoringo (Ketua Umum BPAN)

Kedaulatan Pangan di Tangan Pemuda Adat

bpan.aman.or.id – Pandemi COVID-19 menyebabkan sekolah-sekolah, perguruan tinggi, instansi pemerintahan dan non pemerintahan diliburkan dan diganti secara daring.

Anak-anak muda yang sedang kuliah di luar daerah atau bersekolah di luar komunitas terpaksa pulang kampung atau menetap di rumah saja. Gaya hidup anak-anak muda pun berubah drastis.

Termasuk saya juga kembali ke kampung untuk bertani dan beternak. Dan ini merupakan pekerjaan yang menyenangkan.

Sebelum wabah pandemi, saya banyak bekerja di luar komunitas untuk memperluas pengorganisiran dan pengorganisasian pemuda-pemudi adat.

Pandemi Cov-Sars 2 yang melanda dunia memang begitu memporakporandakan kehidupan rakyat. Ia menyebabkan 561.617 orang meninggal dunia (data per 13 Juli), hingga ancaman krisis pangan di berbagai negara termasuk Indonesia. Sampai saat ini belum ada tanda-tanda kapan pandemi ini akan berakhir.

Meskipun jarak Makassar ibukota Sulawesi Selatan ke komunitas adat Barambang Katute, Sinjai tempatku pulang kampung sekitar 220 kilometer, kami terus berusaha membangun solidaritas antarpetani dalam menjaga ketersediaan pangan.

Saat orang-orang di kota menyerukan di rumah saja, sebaliknya anak-anak muda di kampung justru turun bertani. Hal ini dikarenakan kampung atau komunitas-komunitas adat umumnya melakukan karantina bermartabat sesuai instruksi Sekjen AMAN. Karantina wilayah adat yang terjamin memastikan warga adat termasuk pemuda adat dapat turun ke sawah, ladang, hutan dan laut beraktivitas seperti biasa.

Karena itu, dengan bertani dan beternak para pemuda adat justru semakin solid dalam mengorganisir diri. Di bulan keempat pandemi ini, banyak hal yang dilakukan pemuda adat Barambang Katute untuk menjadi barisan terdepan perihal pangan di komunitas adat.

Dok: Solihin

  1. Membuat kebun kolektif

Dari sebuah lahan kosong seluas setengah hektar, kami membuat sebuah kemplok pertanian secara kolektif. Walaupun lahan seluas ini belum bisa menampung semua anak muda di komunitas adat Barambang Katute, tapi beberapa di antaranya sudah terlibat aktif dalam proses pengusahaannya.

Lahan kolektif ini dikelola 10 orang anak muda, lima di antaranya berasal dari komunitas adat Barambang Katute, termasuk saya. Di lahan setengah hektar, sejak awal Maret kami tanami berbagai tanaman jangka pendek, seperti cabai sebanyak 2.000 batang yang dalam waktu dekat akan mulai panen raya.

Kemudian sisa dari lahan kolektif yang dipinjam selama 10 bulan sejak Maret hingga Desember itu digunakan untuk menanam ubi jalar yang saat ini sedang berproses pengolahan tanahnya dan menuju masa tanam di pertengahan Juli yang kalau berproses dengan baik maka diprediksi akan panen antara September dan Oktober.

  1. Membangun pusat pelatihan pertanian

Pembelajaran pertama yang dapat dipetik dari pandemi COVID-19 ini khususnya di anak-anak muda yaitu bahwa petani-petani di kampunglah yang paling berdaulat atas pangannya. Dari pembelajaran sesederhana itu tercipta kesadaran di kalangan anak muda bahwa sumber pengetahuan sesungguhnya ada di kampung apalagi tentang pertanian dan mengelola sumber daya alam.

Namun, karena para pemuda adat tidak terorganisir dengan baik, maka pengetahuan itu hilang digantikan dengan pengetahuan modern yang berbiaya mahal, tidak ramah lingkungan dan membuat mereka semakin jauh dari kampung.

Atas kondisi itulah, maka kami bersepuluh berpikir tentang metode pengorganisiran pengetahuan-pengetahuan lokal dan memproduksi ilmu kesadaran pulang kampung dengan kesadaran kolektif. Lantas alasan tersebut membuat kami berencana membangun pusat pelatihan pertanian. Adapun modelnya kelak, karena ini bagian dari rencana panjang anak-anak muda, akan dibangun dari hasil lahan kolektif. Setidaknya pendiskusian hingga pematangan rencana itu telah selesai di tingkatan anak muda.

Dok: Solihin

  1. Pertanian organik

Disadari atau tidak, pertanian kimia yang mahal, tidak ramah lingkungan dan tidak sehat itu telah menyusup hingga jauh sekali di komunitas adat. Untuk membuat warga komunitas adat secara umum ataupun petani menyadarinya bukanlah sebuah pekerjaan sehari dua hari, tapi membutuhkan waktu bertahun-tahun bahkan puluhan tahun.

Bagi pemuda adat yang memiliki semangat yang kuat, bukanlah alasan untuk menyerah begitu saja karena pekerjaan itu sangat mungkin dilakukan. Lewat inisiatif bertani secara kolektif tadi, perlahan-lahan semangat pertanian organik dapat dilaksanakan. Paling tidak sudah ada kami 10 pemuda adat yang mulai menerapkan.

Saya berharap, upaya itu kelak menjadi pemantik untuk anak muda lainnya ikut terlibat dan menerapkan pertanian organik. Searah dengan rencana pembangunan pusat pelatihan pertanian itu pula, maka akan dipadukan pertanian organik, pengetahuan Masyarakat Adat hingga pelestarian tanam herbal dan pengorganisasian anak-anak muda di tingkat tapak.

Dari perencanaan di atas baik yang sedang berjalan maupun masih dalam proses, sesungguhnya masih banyak lagi aktivitas yang kami lakukan secara sendiri-sendiri seperti menanam pisang, menanam padi, panen jagung, beternak sapi, menyadap aren, dan masih banyak lagi yang tidak kalah urgen untuk didiskusikan di lain kesempatan.

Semoga kelak kita bersama mencapai kedaulatan pangan kampung yang ramah lingkungan dan para pemuda adat sebangai benteng kedaulatannya.

~Solihin, pemuda adat Barambang Katute

Anak Muda Harus Aktif Jaga Tradisi Budaya Lokal

Bpan.amanor.id PONTIANAK – Sebagai generasi yang memiliki integritas anak muda harus berperan besar dalam kemajuan di republik ini. Pemuda seharusnya  tidak apatis terhadap perkembangan yang terjadi saat ini. Salah satuya ialah dengan kemajuan teknologi yang berkembang pesat.

Kemajuan teknologi menuntut kita untuk bisa menyesuaikan dan mempersiapkan diri dalam perjalanan ke depan, karena nantinya anak muda akan dihadapkan dengan berbagai persoalan, persoalan itu bisa positif maupun persoalan negatif.

Kesadaran dalam kegiatan gotong royong dari jaman dulu yang selalu diajarkan oleh orang tua harus kita pertahankan, tidak hanya itu, sikap saling menghargai sesama manusia harus tetap kita jaga. Kurangnya rasa keperdulian itu bisa memperburuk negara. Seperti contoh sikap yang apatis, egois, kurangnya sopan santun dan lainya.

Sebagai Generasi penerus, marilah kita membuka mata, dan saling bergandengan tangan, bersatu-padu bersama membantu pemerintah dalam menjaga dan melestarikan budaya, adat istiadat.

 

Penulis : Govin Anggota Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Wilayah Kalimantan Barat

Kado Miris Awal 2018: Konflik Tanah Adat Kampong Riwang dan Lomu

Tadinya aku pengin bilang, aku butuh rumah

Tapi lantas kuganti dengan kalimat: setiap orang butuh tanah

Ingat: setiap orang!

 

– Wiji Thukul pada “Tentang Sebuah Gerakan”

 

Begitulah kata Wiji Thukul. Seolah-olah memberikan gambaran nyata soal potret perampasan tanah yang terjadi setiap tahun di Indonesia. Kado manis perampasan awal tahun 2018 kali ini diterima Masyarakat Adat Kampong Riwang dan Lomu, Kecamatan Batu Engau, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Perlawanan masyarakat terjadi akibat PT Pradiksi Gunatama dan PT. Senabangun Aneka Pertiwi memaksa masuk untuk menggusur tanah-tanah Kampong Riwang dan Lomu. Kedua PT tersebut masuk dan dikawal ketat oleh satuan Brimob dari Polres Paser.

Menurut keterangan warga, konflik muncul kembali pada Kamis, 4 Januari 2018. Sehari sebelumnya, beberapa perwakilan perusahaan datang ke kampong dan menyampaikan keinginan mereka. Kepala desa Kampong Riwang beserta 13 kepala desa lainnya, dengan ramah, bekerjasama menolak pemberian Hak Guna Usaha PT Pradiksi Gunatama dan PT Senabangun Aneka Pertiwi dan mendatangkan alat berat ke wilayah adat mereka.

Lima hari kemudian, Selasa 9 Januari 2018, PT Pradiksi masuk membawa 3 unit buldozer mereka dengan dikawal satuan Brimob dari Polres Paser tanpa mengkonfirmasi pemberitahuan terlebih dahulu kepada Masyarakat Adat. Secara terorganisir, masyarakat bergerak melakukan penahanan terhadap kedatangan PT Pradiksi.

Perlawanan terjadi, meski perusahaan tetap memaksa masuk.

Konflik ini menjadi pembuka perampasan awal tahun 2018. Bandingkan, sepanjang tahun 2017 menurut catatan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) terjadi sekitar 208 konflik perkebunan, 199 konflik properti, 94 konflik infrastruktur, 78 konflik pertanian, dan 30 konflik kehutanan. Dan dari sekian konflik itu, melulu mengatasnamakan pembangunan.

***

Tanah adalah relasi-relasi sosial dan produksi. Tanah kemudian diposisikan sebagai alat pengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya untuk mendukung eksistensi kapitalis. Dengan demikian, tujuan akhir penggunaan tanah adalah promethean – penguasaan tanpa batas atas kekuatan materiil dari alam semesta untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kepentingan manusia (Laksmi,2013).

Pemaksaan oleh PT Pradiksi yang terjadi di Kampong Riwang adalah cerminan watak kapitalisme modern yang telah mengkristal terjadi setiap tahunnya. Bahkan, HAM menjadi biasa untuk dilanggar demi melancarkan agenda eksploitasi. Tak pelak, negara pun sering menjadi promotor di balik agenda okupasi ini.

Sebagaimana dalam bukunya Ideology and Ideological State Apparatuses (1971), Althusser menyatakan bahwa negara dalam tindakannya demi akumulasi kapital terjaga, menggunakan salah satunya ia sebut dengan Repressive State Apparatuses (RSA). Negara menggunakan RSA melalui aparaturnya, seperti militer, polisi ataupun organisasi masyarakat. Ini dilakukan demi melancarkan proyek kapitalisasi di dalam segala bidang. Analisis Althusser dari kasus yang terjadi di Kampong Riwang menjadi sahih dengan adanya negara yang menggunakan militer untuk melancarkan proyek kapitalisasi dan perampasan tanah.

Umumnya negara berdalih demi pembangunan, namun pembangunan yang negara maksud adalah pembangunan yang menindas, bukan mensejahterakan. Mari kita dalami, sejak kapan pembangunan digunakan sebagai bungkus penghisapan tanah rakyat.

Pembangunan atau penghisapan?

‘Mazhab pembangunanisme’ berkembang masif sejak Orde Baru. Pembangunan yang direproduksi Soeharto diukur dengan ada atau tidaknya gedung bertingkat, jalan lebar beraspal, hotel mewah, padatnya jumlah mobil dan gemerlapnya lampu pertokoan. Proyek ekonomi politik masa Soeharto ini terlalu bergantung pada sektor ekstraktif. Alhasil, kebutuhan lahan untuk eksploitasi makin meningkat pula. Sekarang, pemerintah gencar melakukan pembebasan lahan.

Rezim ini pun semakin menguatkan posisi kapitalisme. Ini ditandai dengan empat hal secara teoritis yakni pertama, Promethean. Kedua, productiviste, bukan hanya karena sistem ini memproduksi barang dan jasa untuk kepentingan manusia, akan tetapi juga meletakkan proses teknologi tanpa batas. Masyarakat seolah-olah dihukum untuk selalu memproduksi dan mengonsumsinya; kenaikan jumlah produksi dan konsumsi pun tiada habisnya. Ketiga, expantionisme, yang secara mutlak menuntut keuntungan pada sumber daya, memobilisasi tanpa batas keuntungan faktor-faktor produksi. Keempat, marchan, sistem ekonomi dunia berjalan dengan dua cara – perdagangan internasional dan pertumbuhan ekonomi nasional. Keempat ciri tersebut sepadan dengan proses akumulasi kapital mondial, yaitu dasar utama dari eksploitasi model lama dan mutakhir.

Sejak Orde Baru sampai sekarang empat faktor kapitalisme ini dibungkus dalam gaya pembangunan. Itulah sebabnya pembangunan selalu diidentikan dengan penghisapan, karena orientasi yang terbangun bukan untuk mensejahterakan, melainkan orientasi eksploitasi dan okupasi demi keuntungan-keuntungan materiil.

Apa yang terjadi di Kampong Riwang adalah gambaran dari bekerjanya faktor-faktor kapitalisme yang telah tersampaikan: ia rakus dan memaksa untuk mengeksploitasi. Bahkan, ia lakukan segala hal demi melancarkan agenda investasi. Ini kita sebut dengan penghisapan, bukan pembangunan.

***

Kado Manis Awal Tahun: Tanah Tetap sebagai Komoditas

Kembali pada puisi Wiji Thukul: Setiap orang butuh tanah. Bahkan jika saya boleh menambahkan bahwa setiap orang pun juga lapar tanah. Transformasi pada relasi tanah membuat semakin ke sini tanah semakin menjadi komoditas investasi. Maka dari itu ia diperebutkan. Dalam sekian banyak narasi konflik, hanya sedikit kemenangan yang berpihak pada rakyat; kemenangan yang lain jelas berpihak pada pemilik modal.

Negara seharusnya melindungi hak-hak Masyarakat Adat Kampong Riwang atas tanahnya.

Sayangnya, negara lebih berpihak pada pemodal. Ini ditunjukkan dengan kehadiran serdadu Brimob yang mengamankan investasi di atas tanah adat. Ketika negara telah tunduk pada pemodal, ia seakan menjadi “Tuhan” baru. Bahkan, pemerintah berani memangkas segala hal yang dapat menghalangi bekerjanya mekanisme pasar.

Menjual tanah sama saja dengan mengubah relasi-relasi sosial dan kebudayaan. Sama saja pula dengan membumihanguskan identitas-identitas Masyarakat Adat yang melekat pada tanah. Ini adalah tindakan genosida.

Persoalan yang terjadi di Kampong Riwang, sebenarnya bukan hanya siapa melawan siapa. Akan tetapi, kita harus perhatikan pula terdapat sistem besar yang bekerja mengatur jalannya praktik eksploitasi seperti yang telah tersampaikan. Pada titik ini, adalah penting dan mendesak untuk meletakkan seluruh konflik pertanahan yang terjadi selama ini dalam bingkai investasi di Indonesia.

Sistem itu adalah kapitalisme.

Sungguh kado awal tahun yang sangat miris!

[Yayan Hidayat]

 

 

Penghayat Kepercayaan dalam Bingkai Bangsa Indonesia

“Ketika agama diformalkan, dalam bentuk pelembagaan, doktrin maupun ritus dan seremoni, ia mudah terjebak dalam instrumentalisasi kepentingan. Kepentingan yang mengatasnamakan suara Tuhan sebagai suara kekuasaan, maupun kepentingan lain yang memanfaatkan agama sebagai legitimasi.” – Anas Saidi.

—————————————————————————————————————-

Salah satu falsafah masyarakat Bugis yang cukup sering dikutip adalah Resopa na temmangingi malomo naletei pammasena Dewata Sewwae, yang dimaknai “Sikap bersungguh-sungguh dalam berusaha serta tidak mudah menyerah dalam mencapai tujuan, yang kadang mendapatkan berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa.”

Sepintas, ini hanyalah sebuah kutipan. Namun jika dicermati lebih dalam dan dikaitkan dengan epos I Lagaligo, maka kita akan diarahkan pada sebuah tatanan kepercayaan yang dianut masyarakat Bugis di masa lalu, dengan menyandarkan segala rencana pada kehendak Dewata Sewwae sebagai kekuatan penentu, sebuah bangunan sistem kepercayaan yang berakulturasi dengan agama di masa kini.

 

Plural religiosity

Semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagai deskripsi keberagaman yang menyatu dalam bingkai Bangsa Indonesia sudah menjadi salah satu penanda bangsa Indonesia dimata dunia. Hal lain yang tidak jarang diidentikkan dengan Bangsa Indonesia adalah masyarakat yang religius.

Yang terakhir ini tentu tidak secara terang menderang melihat aspek religiusitas masyarakat Indonesia yang heterogen, tidak homogen. Demikian pula hal yang pertama, kadang terjebak melihat keberagaman Bangsa Indonesia dari bahasa, kondisi geografis dan bentuk fisik lainnya. Kalaupun sampai pada sistem kepercayaan, akan berada pada tatanan agama, akan tetapi luput mendalami tradisi dan ritualitas kepercayaan lokal yang hadir di tengah keberagaman tersebut.

Aspek religiusitas masyarakat Indonesia yang heterogen dapat dilihat dari tunduknya penganut terhadap aturan-aturan sistem kepercayaannya. Setiap agama dan sistem kepercayan yang berjalan memiliki ritus-ritus dan doktrin yang akan menguji kepatuhan penganutnya.

Kepatuhan di atas tidak boleh mengeliminasi kepatuhan kita terhadap hukum negara sebagai pengikat dan pemersatu religius heterogen. Sehingga julukan bangsa yang religius tidak dapat hanya dilihat dari kepatuhan penganut agama dan penghayat kepercayaan terhadap keyakinannya, namun juga kepatuhan penganut tersebut pada sistem yang menjadi pemersatunya yakni NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Kepatuhan kita terhadap tatanan bernegara adalah bentuk penerimaan terhadap Pancasila sebagai falsafah hidup Bangsa Indonesia, falsafah yang juga merupakan penerjemahan nilai-nilai agama dan sistem kepercayaan yang ada, sehingga masyarakat Indonesia mesti dapat memilah posisinya, kapan menggunakan kepatuhan terhadap aturan keyakinan yang dianutnya dan kapan menggunakan kepatuhan terhadap tatanan kehidupan bernegara, meskipun dua hal tersebut tidak dapat dipisahkan apalagi dipertentangkan.

 

Berbagi peran

Hampir setiap komunitas adat yang ada di Indonesia memiliki sistem kepercayaan, baik yang masih bertahan dengan bentuk awalnya, atau yang telah mengalami akulturasi dengan ajaran sistem kepercayaan lainnya, atau bahkan kita hanya dapat merasakan puing sisa penaklukan sistem kepercayaan yang lebih kuat.

Situasi-situasi ini dapat kita rasakan di berbagai daerah di Indonesia, salah satunya di Kab. Enrekang – Sulawesi Selatan. Penerimaan Masyarakat Adat Kaluppini terhadap ajaran Islam tidak serta merta menghapuskan bentuk kepercayaan asli yang dianut masyarakat tersebut, yang bersumber pada Pepasan Tojolo (Pesan Orang Tua/Nenek Moyang).

Suatu bangunan  kepercayaan yang tergambar dalam ritual-ritual adat yang bersanding baik dengan ajaran Islam.

Bangunan kepercayaan serupa juga dapat kita temukan di Kab. Tana Toraja, dan Kab. Toraja Utara. Penerimaan masyarakat adat yang terbagi dalam 32 Lembang terhadap Protestan, Katolik dan Islam tidak serta merta melenyapkan Aluk Todolo (sistem kepercayaan Masyarakat Adat Toraja) sebagai bentuk kepercayaan aslinya. Dalam pelaksanaan ritual Rambu Solo (salah satu ritual adat yang berkaitan dengan kedukaan) misalnya, identitas keagamaan lain hadir di dalamnya.

Peran negara dalam situasi keberagaman ini adalah melaksanakan penguatan penghayat kepercayaan yang masih bertahan. Penguatan terpenting adalah pengakuan terhadap sistem kepercayaan yang ada, adanya perlindungan bagi para penghayat kepercayaan menjalankan ibadahnya sebagai bentuk kepatuhan terhadap keyakinannya, serta penghapusan diskriminasi dalam pelayanan publik, sebab hakikat pelayanan publik adalah memberikan pelayanan yang efektif dan efisien serta semaksimal mungkin kepada masyarakat dengan sudut pandang penyelenggara dan penerima pelayanan.

Peran masyarakat luas tidak kalah pentingnya untuk menerima situasi keberagaman ini sebagai anugerah, tidak menghalangi dan juga tidak memaksa kembali penghayat kepercayaan yang telah berdamai dengan sistem religi lainnya. Segala bentuk rintangan yang ada mesti dipandang sebagai rintangan bersama dalam mewujudkan harmonisasi kehidupan yang beragam yang damai.

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XIV/2016 yang mengoreksi UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan adalah keputusan yang berani dan menyegarkan. Berani menyatakan bahwa posisi penghayat kepercayaan mestinya sama dengan warga negara lainnya yang menganut agama lain, serta menyegarkan karena menerobos dinding pembatas yang selama ini menjadi akar diskriminasi dan intoleransi yang sudah cukup lama dirasakan penghayat kepercayaan di Indonesia.

Kendala-kendala yang mungkin muncul dalam harmonisasi kebijakan mesti tidak dipandang sebagai penghalang. Hal tekhnis sebaiknya tidak menjadi landasan argumentasi menghalangi hal yang subtansi. Ini adalah kesempatan merekonstruksi relasi sosial sebagai warga negara dalam nilai-nilai agama dan sistem kepercayaan yang kita anut.

 

Masyarakat dan bangsa religius

Indonesia bukan negara sekuler yang memisahkan antara negara dan agama, namun demikian Indonesia juga bukan merupakan negara yang berdasarkan pada suatu agama tertentu. Indonesia adalah negara yang berdasarkan pada Pancasila yang merangkul keberagaman Bangsa Indonesia.

Masyarakat yang religius akan tercipta saat penganut agama dan penghayat kepercayaan menjalankan aturan-aturan yang diajarkan oleh keyakinannya, sementara bangsa yang religius akan tercipta jika kepatuhan penganut agama dan penghayat kepercayaan, secara linear menjalankan kepatuhan terhadap pemersatu plural religiosity, Pancasila.

 

[Armansyah Dore]

BARISAN PEMUDA ADAT NUSANTARA

KONTAK KAMI

Sekretariat BPAN, Alamat, Jln. Sempur, Bogor

officialbpan@gmail.com