Pemuda Adat – Sejarah Indonesia itu sejarah angkatan muda. Angkatan tua itu jadi beban. Demikian kutipan pernyataan Pramoedya Ananta Toer yang menggugah semangat. Lihat saja tetralogi Pulau Buru yang mengisahkan tentang Minke, seorang murid sekolah menengah yang kemudian sadar akan posisi bangsanya lalu merintis pembangunan organisasi kebangsaan di Indonesia.
Kepemudaan dalam sejarah politik bangsa selalu terkait dengan semangat penuh vitalitas dan revolusioner. Bahkan ada yang menempatkannya sebagai aktor sejarah yang berperan sentral karena posisinya dalam berbagai peristiwa selalu dramatis dan lebih seru daripada dunia politik dewasa ini.
Adalah sejarawan Ben Anderson yang menggunakan kata ‘pemuda’ dalam studinya tentang revolusi di Jawa 1944-1946. Menurutnya, orang muda yang disebut sebagai golongan pemuda merupakan motor dari revolusi yang tengah bergulir. Bahkan, peranan mereka sekaligus mengalahkan kaum intelegensia dan kelompok lainnya dalam kancah perpolitikan saat itu. Alhasil, dia menyebut gejolak yang terjadi pada periode itu sebagai “Revoloesi Pemoeda”.
Tanpa adanya golongan pemuda, barangkali takkan ada Proklamasi 17 Agustus 1945 karena tak ada yang menculik Sukarno dan Hatta ke Rengasdengklok. Tindakan itu telah membentuk identitas politik kaum muda karena sifatnya yang revolusioner.
Lalu bagaimana perkembangan gerakan pemuda dewasa ini? Gerakan mainstream dengan jalan konfrontasi kerap dinilai anarkis dan ternyata tak kunjung menghasilkan perubahan. Atau kini pemuda terjebak dalam komidifikasi gaya hidup yang membuat meningkatnya tingkat apatisme pemuda.
Bagi pemuda adat, khususnya, ulasan ini merupakan refleksi atas gerakan yang dilakukan dengan melihat potensi-potensi besar pada pemuda. Alih-alih menjaga kedaulatan leluhur, pemuda adat harus berada di barisan depan untuk melindungi wilayah adatnya. Ada banyak cara untuk berada di barisan paling depan. Misalnya terlibat dalam proses politik adalah salah satu cara dalam gelombang kebangkitan adat di Indonesia.
Posisi dan Sikap Pemuda Adat dalam Politik
Perkenankan tulisan ini memulai dengan paparan data demografi di Indonesia yang menyebutkan bahwa jumlah pemuda di Indonesia dengan rentang usia 16-30 tahun sebanyak 61,8 juta orang atau 24,5 persen dari total jumlah penduduk. Bahkan, jumlah pemuda diperkirakan akan meningkat tajam pada 2020-2035, bersamaan dengan datangnya era bonus demografi di Indonesia.
Tentunya, sebagian dari populasi itu adalah pemuda adat yang tersebar pada tiap wilayah adat di Indonesia. Tak pelak dengan pemikiran segar, motivasi tinggi untuk perubahan, keluwesan dalam bergaul, dan berani melakukan terobosan-terobosan serta inovasi pada jiwa pemuda dapat dimanfaatkan untuk membangkitkan gerakan adat di masing-masing wilayah adat. Gerakan adat yang dimaksud pada tulisan ini mencakup gerakan sosial dan politik yang dimanifestasikan dalam upaya melindungi martabat leluhur.
Potensi penting dalam jumlah pemuda yang kian meningkat itu dapat termanifestasi dalam upaya pembaharu pada wajah perpolitikan bangsa yang semakin miris. Sebab, alih-alih menghadirkan angin segar jika negara masih melanggengkan keberadaan golongan lama yang kontraproduktif terhadap perubahan bangsa.
Pertanyaan tentang posisi dan sikap pemuda dalam politik kerap muncul dalam gerakan Masyarakat Adat selama beberapa dekade ini. Sebab, beberapa pihak dalam kalangan pemuda adat khususnya masih memandang berpolitik itu negatif. Hal itu pula yang membuat gerakan adat menjadi kontraproduktif dan terkesan konservatif dalam beberapa kondisi.
Wajar saja, selama beberapa lama ini, kalangan gerakan pemuda hanya fokus pada strategi konfrontasi untuk menyuarakan hak-hak Masyarakat Adat sebagai satu-satunya cara. Namun, kita masih melihat sepanjang 2016 konflik agraria yang bersentuhan dengan Masyarakat Adat mencapai 450 peristiwa. Mayoritas konflik muncul dari sektor perkebunan (163), properti (117), infrastruktur (100), kehutanan (25), tambang (21), migas (7), pesisir-kelautan (10), dan pertanian (7).
Konflik itu melulu terjadi dalam Masyarakat Adat. Mereka harus menghadapi keterasingan, pemiskinan, kehilangan kedaulatan, bahkan kekerasan dari aparat-aparat pemerintah. Tak kunjung ada titik terang. Persoalannya menjadi lebih pelik manakala berbicara mengenai kebijakan pemerintah. Dengan ragam suku dan etnis di Indonesia, seringkali kebijakan pemerintah tidak mengakomodir seluruh pihak, utamanya ketika kebijakan tersebut berhubungan erat dengan suku atau etnis tertentu. Kesalahan yang sering terjadi pada pemangku kebijakan adalah ketidakpahaman atas nilai-nilai yang berkembang dalam Masyarakat Adat.
Berangkat dari persoalan yang mendasari betapa pentingnya pemuda adat untuk terlibat pada tiap agenda politik, sebab jika terus mengambil jalan konfrontasi sebagai satu-satunya cara, maka prahara keterasingan dan perampasan akan melulu menjadi status quo dalam Masyarakat Adat.
Pemuda adat perlu membangun standing position melalui doktrin-doktrin politik dan berbagai program edukasi guna meningkatkan kesadaran serta gerakan dalam berbagai struktur adat maupun proses-proses politik yang akan dihadapi oleh Masyarakat Adat. Penyediaan program politik karena absennya platform politik inilah yang kemudian diisi oleh pemuda adat sebagai tameng perubahan. Melalui aktivitas konsolidasi dan pendidikan yang dapat dilakukan oleh pemuda adat, sedikit banyak memberikan amunisi politik kepada Masyarakat Adat untuk mendorong agenda-agenda politik, seperti perda pengakuan hak Masyarakat Adat, hak-hak warga perihal kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan dan pembangunan infrastruktur yang melibatkan Masyarakat Adat.
Standing position yang dimaksud adalah menggunakan politik sebagai alat untuk menguatkan dan berjuang melunasi janji-janji kemerdekaan Republik Indonesia dan kedaulatan leluhur. Politik juga merupakan alat paling efektif untuk membuat sebuah perubahan dan kemajuan bagi gelombang gerakan adat di Indonesia. Sebab dengan standing position yang kokoh dalam politik, salah satu cara pemuda untuk melawan arus pragmatisme yang selama ini menjalar dalam dinamika politik bangsa Indonesia.
Data BPS menyebutkan, tidak kurang dari 15-20% pemilih pada Pemilu 2014 adalah pemilih pemula dengan rentang usia produktif 26%. Besarnya angka usia pemuda yang dimiliki Indonesia saat ini bisa menjadi penentu masa depan Indonesia yang lebih baik. Keterlibatan pemuda dalam politik menjadi modal sosial dalam penguatan demokrasi dan ekonomi masyarakat. Konsolidasi ini yang semestinya dibangun antarpemuda melalui organisasi-organisasi sebagai alat perjuangan mereka.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Sikap apatis pemuda terhadap politik menjadikannya apolitis terhadap perjalanan perpolitikan Indonesia. Di beberapa daerah di Indonesia bahkan, akibat apatisme itu kerapkali pemuda terlibat dalam agenda-agenda politik pragmatisme. Tak jarang pula kita menemukan pemuda yang menjadi alat mobilisator kepentingan pragmatis oknum elite. Sikap apatisme ini jika terus dibiarkan akan menjadi kontraproduktif terhadap perubahan, suatu kondisi yang membahayakan bagi kemajuan Indonesia. Demografi pemuda yang melunjak justru akan mengalami “kemandulan” akibat tidak termanfaatkan dengan baik.
Pertanyaan mendasar dalam tulisan ini kemudian muncul, apa yang seharusnya dilakukan oleh pemuda untuk ambil bagian dalam proses politik? Reformasi membuat sistem politik menjadi semakin terbuka, namun kenapa hal ini tak kunjung dimanfaatkan oleh pemuda? Justru sikap apatisme politik meningkat ditengah peluang politik yang semakin terbuka lebar.
Melihat keadaan pemilu di Indonesia yang semakin miris, tentunya diperlukan suatu perubahan. Tak dapat dipungkiri, data di atas menunjukan dukungan pemuda dalam setiap pemilu merupakan proses kunci. Memang pada awalnya peran para pemuda hanya berkontribusi sebagai masyarakat yang menggunakan hak pilihnya saja. Tetapi sebenarnya para pemuda di Indonesia memiliki potensi yang lebih dari sekedar pemilih aktif. Pemuda dapat berkontribusi langsung secara aktif dalam dunia perpolitikan di Indonesia.
Memanfaatkan Pemilu sebagai proses merebut kendali kebijakan perlu dilakukan oleh pemuda, sebab hal itu adalah salah satu cara untuk merubah kondisi bangsa. Dengan terlibat dalam pemilu, pemuda adat khususnya dapat melindungi wilayah adat mereka melalui sistem politik. Tak hanya dengan jalan konfrontasi semata menuntut persamaan hak yang diberikan oleh pemerintah namun tak kunjung menemukan titik terang.
Kejenuhan konfrontasi seharusnya menjadi evaluasi bersama untuk menggugah semangat barisan pemuda untuk berpolitik. Proses politik tak hanya melalui pemilu saja, pemuda harus mulai melakukan negoisasi kebijakan dengan pemerintah, mendorong gagasan dan ide-ide perubahan ke dalam sistem politik dan mengawal proses penyelenggaraan negara oleh pemerintah.
Dengan ambil bagian di dalam proses politik, pemuda adat khususnya dapat berada pada barisan paling depan perjuangan adat untuk menyuarakan hak-hak adat dan kedaulatan wilayah adat. Sebab, perubahan tak kunjung muncul jika hanya mengandalkan golongan tua untuk bersuara. Hal itu yang membuat ambil bagian dalam proses politik juga menjadi kunci menciptakan perubahan.
Dapat kita ambil kesimpulan bahwa pemuda sebagai pilar sekaligus fondasi bangsa memiliki peranan penting untuk mengubah status quo pada wajah perpolitikan bangsa. Tentu pilihannya ada pada masing-masing individu, apakah ingin menjadi pemuda yang penuh vitalitas dan semangat revolusioner atau cukup menjadi remaja, sekadar berpuas diri dengan komodifikasi gaya hidup.
[Yayan Hidayat]