Masyarakat Adat Serawai Lawan Putusan Hakim Atas Tuduhan Mencuri di Wilayah Adat

BENGKULU – Anton dan Kayun, masyarakat adat Serawai Semidang Sakti mengajukan upaya banding atas putusan hakim Pengadilan Negeri Tais yang memvonis bersalah keduanya atas tuduhan mencuri buah sawit milik PT Perkebunan Nusantara IV Regional 7 unit Talo-Pino yang tumbuh di atas wilayah adat suku Serawai di Desa Pering Baru, Kecamatan Talo Kecil Kabupaten Seluma.

“Hari ini, kami daftarkan upaya bandingnya atas permintaan Anton dan Kayun serta keluarga,” kata ketua tim kuasa hukum dari Kantor Hukum Masyarakat Adat Bengkulu, Fitriansyah,S.H. Kamis, 24 April 2025.

Menurut Fitriansyah, putusan PN Tais pada Kamis, 17 April 2025 yang menjatuhkan  vonis tindak pidana ringan dengan hukuman pidana penjara satu (1) bulan dan tak perlu dijalani oleh Anton dan Kayun. Dalam perspektif keadilan bagi masyarakat adat akan menjadi preseden buruk atas perjuangan mereka yang telah berlangsung hampir 40 tahun.

Sebab, dalam praktiknya. Secara sepihak, PTPN IV Regional 7 yang dahulunya bernama PTPN VII telah menduduki paksa seluruh tanah milik komunitas adat Serawai yang hidup dan beraktivitas di Desa Pering Baru secara turun temurun.

Atas itu, Fitriansyah menilai, bahwa putusan itu tidak mempertimbangkan penghormatan terhadap keberadaan masyarakat adat di Seluma yang telah diakui dan dilindungi hak-haknya melalui Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2022 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Kabupaten Seluma.

“Jadi, apa yang dialami Anton dan Kayun, sesungguhnya bukan perbuatan pidana karena tanahnya ini milik masyarakat adat yang dikuasai, dikelola dan dirawat mereka sejak puluhan tahun,” kata Fitriansyah.

Selain itu, tambah Fitriansyah, jika pun klaim perusahaan wilayah itu milik Hak Guna Usaha (HGU), nyatanya lahan-lahan itu dikelola dan dirawat oleh masyarakat adat secara rutin dan berlangsung lama. Ini ditandai dengan masih adanya sisa tanam tumbuh berupa tanaman kopi dan lainnya yang sudah berusia tua.

“Prinsipnya keberatan, meskipun hanya sedetik divonis bersalah melakukan pencurian. Ini soal keadilan dan hak masyarakat adat yang sudah direbut. Praktik diskriminasi dan intimidasi pada masyarakat adat harus dihentikan,” kata Fitriansyah didampingi Rendi saputra dan Efyon junaidi.

Tim Kuasa Hukum dari Kantor Hukum Masyarakat Adat Bengkulu berada di PTSP PN Tais

Masyarakat adat Serawai Semidang sakti yang bermukim di Desa Pering Baru, Seluma. Sudah sejak tahun 1800 bermukim di daerah itu. Mereka bercocok tanam padi sawah dan darat serta berladang kopi, durian dan lainnya.

Namun pada tahun 1986, wilayah mereka kemudian dinyatakan sebagai tanah negara dan diperuntukkan untuk usaha perkebunan sawit. Mereka yang berladang dan tinggal di daerah itu pun diusir paksa. Beberapa diiming-imingi bahwa tanah mereka hanya dipinjam.

Sejak itu, konflik pun bermunculan. Masyarakat adat yang merasa tak pernah mendapatkan persetujuan atas perkebunan sawit di wilayah adat mereka terus memprotes dan berjuang. Sejumlah orang dipenjara bahkan ada yang tertembak. Karena itu, selain terus berladang dan merawat tanahnya, mereka juga mengajukan perlawanan ke kementerian, Badan Pertanahan Nasional dan lainnya.

Sampai dengan tahun 2012, berdasar hasil pengukuran ulang oleh BPN memang ditemukan ada kelebihan luas HGU milik PTPN IV Regional 7 di Desa Pering Baru. Namun demikian, hasil itu tak menjadi perhatian oleh pemerintah setempat.

Konflik antara masyarakat adat Serawai dan perkebunan pun menjadi api dalam sekam. Hingga puncaknya pada 9 Februari 2025. Anton dan Kayun, yang merupakan kakak beradik, tiba-tiba ditangkap paksa saat sedang memanen buah sawit di ladang mereka.

Anton sempat mendapatkan penganiayaan oleh dua orang anggota TNI. Keduanya pun digelandang paksa ke kepolisian dan kemudian disidangkan. Hakim pun memvonis mereka dengan tuduhan meyakinkan dan bersalah atas pencurian.

Narahubung:

Kantor Hukum Masyarakat Adat Bengkulu

Fitriansyah ‪+62 812-7140-2215

Rendi Saputra ‪+62 856-5865-6809

Hak-Hak Tradisional dalam Konstitusi: Saatnya RUU Masyarakat Adat Disahkan

“Hak-Hak Tradisional” dalam Konstitusi:

Saatnya RUU Masyarakat Adat Disahkan

[Jakarta, Rabu 17 April 2025] – Dalam semangat memperjuangkan keadilan konstitusional dan perlindungan menyeluruh bagi masyarakat adat di Indonesia, Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat menyelenggarakan Diskusi Publik Hak-Hak Tradisional Masyarakat Adat dan Urgensinya terhadap Upaya Mendorong Pengesahan RUU Masyarakat Adat. Kegiatan ini menjadi ruang reflektif sekaligus strategis untuk menggali kembali makna “hak-hak tradisional” dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, serta menegaskan pentingnya kehadiran payung hukum nasional yang melindungi eksistensi masyarakat adat.

Diskusi ini lahir dari keprihatinan atas ketidakjelasan definisi hukum terkait “hak-hak tradisional”, yang hingga kini belum sepenuhnya terjabarkan dalam peraturan perundang-undangan. Frasa ini, yang menggantikan istilah “hak asal-usul” pasca amandemen UUD 1945, menyimpan konsekuensi hukum dan sosial yang mendalam bagi pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan masyarakat adat.

“RUU Masyarakat Adat adalah wujud konkret dari amanat konstitusi. Tanpa undang-undang ini, pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat masih bersifat sektoral, lambat, diskriminatif, dan rawan menimbulkan konflik,” tegas Rina Mardiana, akademisi dari IPB University. Rina juga menyatakan bahwa masyarakat adat adalah masyarakat otohton yaitu masyarakat yang memiliki hubungan historis dan budaya yang kuat dengan wilayah tertentu, serta memiliki sistem hukum, sosial, dan ekonomi sendiri yang berbeda dari masyarakat di sekitarnya. Mereka memiliki hak atas tanah dan sumber daya alam secara tradisional, serta hak untuk mengatur diri sendiri. Mereka bukan dari pecahan dari negara atau pecahan kerajaan (eks-swapraja), pungkasnya.

Erwin dari Perkumpulan HuMa yang juga merupakan dari Koalisi menambahkan, “Istilah hak-hak tradisional tak hanya menyangkut tanah dan sumber daya, tapi juga hak untuk menentukan nasib sendiri. Ini mencakup hak politik, budaya, hingga spiritualitas komunitas adat.”.

Dia juga berpendapat bahwa dalam risalah sidang perubahan UUD, tidak dibahas hak-hak apa saja yang merupakan hak tradisional. Berdasarkan risalah sidang perubahan UUD 1945, dapat disimpulkan bahwa istilah “hak tradisional” memang dimaksudkan untuk membuat pengertian hak tersebut menjadi fleksibel, karena sampai akhir pengesahan Pasal 18B ayat (2) tidak disepakati secara rinci ruang lingkup hak tradisional.

Namun, ketidakhadiran kerangka hukum yang komprehensif membuat masyarakat adat tetap rentan. Di sisi lain, interpretasi terhadap konstitusi tidak dapat hanya mengandalkan pendekatan originalisme. Perlu pendekatan kontekstual agar norma konstitusi hidup dan relevan dengan dinamika zaman. “Namun, justru karena itu, negara punya kewajiban untuk memastikan dan memperjelas hak-hak apa saja yang secara inheren melekat pada Masyarakat Adat. Hak-hak ini adalah bagian dari Hak Asasi Manusia. Maka negara berkewajiban untuk menghormati, memenuhi, dan melindunginya”, tegas Erwin.

Realitas di lapangan semakin memperkuat urgensi ini. Di Sumba Timur, masyarakat adat menghadapi tantangan hilangnya akses terhadap sumber daya agraria akibat tidak adanya payung hukum tersebut. Dibutuhkan dukungan dari DPR RI untuk menciptakan payung hukum yang mengatur khusus terkait masyarakat adat. Triawan Umbu Uli Mekahati dari Koppesda Sumba menambahkan, “Sudah berbagai upaya kami tempuh, agar kedudukan Masyarakat Adat mendapatkan perlindungan dan pengakuan yang utuh, tapi tanpa dukungan regulasi nasional, kami hanya disikapi sebagai gangguan pembangunan”, tutup Triawan yang disapa Umbu Tri.

Potret Aktivitas Masyarakat Adat Meratus – Donny

Sementara itu, bagi Masyarakat Adat Pegunungan Meratus, wilayah adat yang ada saat ini sudah dapat menjamin kebutuhan hidup seperti untuk sandang, pangan, papan, obat-obatan, air minum dan lainnya. Masyarakat Adat menilai bahwa wilayah adat mereka di Pegunungan Meratus seluas kurang lebih 600 hektar merupakan ruang hidup yang tidak bisa dipisahkan dengan jiwa raga mereka.

Harnilis sebagai Tokoh Adat Meratus menyebutkan untuk mengelola sumber daya alam di Pegunungan Meratus di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Kalimantan Selatan, Masyarakat Adat kompak kerjasama antara laki-laki dan perempuan, serta tua dan muda melestarikan budaya-budaya yang sudah diwariskan secara turun temurun.

Tidak ada yang lebih kuat antara laki-laki dan perempuan, semuanya kuat dan penting. Tidak akan berhasil kita berkebun, berladang, mengadakan acara tanpa keduanya”, ungkap Harnilis.

Harnilis juga menjelaskan rencana penetapan wilayah adat mereka menjadi Taman Nasional atau kawasan konservasi oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Harnilis menegaskan bahwa Masyarakat Adat Dayak Meratus merupakan masyarakat yang cinta damai. Mereka siap membela dan mempertahankan wilayah adat mereka agar tidak menjadi kawasan konservasi milik negara.

Rencana penetapan wilayah adat menjadi Taman Nasional dinilai dapat mencederai Hak-Hak Tradisional Masyarakat Adat. “Hutan bukan hanya tempat hidup kami, tapi bagian dari kehidupan itu sendiri. Jika diambil, kami kehilangan segalanya,” tutup Harnilis, Tokoh Adat Meratus.

Hak-Hak Tradisional sebagaimana amanat UUD 1945 merupakan mandat konstitusi yang penting untuk mendorong pengesahan RUU Masyarakat Adat. Keadilan sosial harus ditegakkan bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa terkecuali bagi Masyarakat Adat. Tanpa payung hukum yang menjamin pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan Masyarakat Adat, Indonesia akan terus mengabaikan amanat konstitusi tersebut. Pemenuhan terhadap Hak-Hak Tradisional harus diwujudkan dalam bentuk pengesahan Undang-Undang Masyarakat Adat.

Narahubung: Anggi Prayoga 0822-9831-7272 (Ketua Tim Kampanye Koalisi Kawal RUU MA)

Muda Bergerak mewujudkan keadilan sosial-ekologis: Pemuda Sukseskan Konferensi Tenurial

Oleh Michelin Sallata

Koalisi organisasi masyarakat sipil melalui Konferensi Tenurial yang berlangsung tanggal 16-17 Oktober 2023 di Senayan, Jakarta, turut dihadiri oleh banyak perwakilan gerakan pemuda. Kegiatan yang dikerjakan oleh 28 organisasi lintas sektor ini cukup membuka ruang untuk mengkonsolidasikan aspirasi pemuda.


Pemuda terorganisir untuk ikut berbagi gagasan dalam konferensi dan terhubung dengan banyak gerakan lainnya agar mampu memperkuat gerakan pemuda. Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) sebagai salah satu gerakan pemuda yang memiliki konsen penuh pada gerakan perjuangan masayarakat adat dengan jantung gerakan adalah pemuda adat, merasa penting untuk mengambil bagian dalam konferensi ini.
Salah satu perwakilan Sekretariat Nasional BPAN, Apriliska Titahena (Ika) menyatakan “Pada momentum ini, pemuda dan para penggerak pemuda turut menyuarakan keterlibatan pemuda dalam mewujudkan keadilan sosial-ekologis melalui praktik-praktik baik yang dilakukan selama ini. Kami mengambil bagian sebagai orang-orang muda yang akan melanjutkan perjuangan ini kedepannya.” Ungkap Ika.


“Melalui Konferensi Tenurial, proses transfer pengetahuan lintas generasi untuk memperkuat gerakan masyarakat sipil dapat semakin ditingkatkan. Sehingga disini kami pun dapat saling belajar, dan gerakan pemuda dapat terkonsolidasi lebih masif untuk mewujudkan tujuan bersama.” Tutur Ika.
Keterlibatan BPAN, terpotret jelas melalui kehadiran Pemuda Adat yang langsung datang dari komunitas adatnya masing-masing, mulai dari region Papua, Maluku, Sulawesi, Bali-Nusra, Jawa, Kalimantan, dan Sumatera, yang menjadi representatif pemuda adat di seluruh Nusantara, sebagai komitmen bersama eksistensi gerakan pemuda adat yang semakin tumbuh subur dalam berbagai tantangan.

Pemuda Adat melakukan aksi solidaritas untuk Masyarakat Adat di Papua


Selain terlibat dalam rangkaian agenda resmi konferensi Tenurial, Pemuda Adat yang diwakili oleh Pengurus Nasional Barisan Pemuda Adat Nusantara juga bersepakat membuat pernyataan sikap tegas untuk mendukung gerakan perjuangan #SavePapua dan #SaveBangkal (Kalimantan Tengah). Selama ini BPAN selalu bersama perjuangan kawan-kawan di Papua dan Bangkal. Langkah membuat dokumentasi dukungan pada Konferensi Tenurial adalah bagian dari ketegasan bersuara yang perlu digaungkan.
Menanggapi rasa solidaritas ini, Dewan Pemuda Adat Nusantara Region Papua Essau Klagilit mengapresiasi dukungan BPAN, “sebagai DEPAN Region Papua saya merespon positif dukungan teman-teman yang hari ini terus berkomitemen bersama masyarakat adat. Solidaritas BPAN menjadi semangat bagi masyarakat adat Papua, masyarakat adat Bangkal, Masyarakat Adat Maluku, dan masyarakat adat lainnya yang sedang mengalami ketidakadilan, bahwa kita tidak sendiri. Berbagai pihak diluar Papua dan Bangkal pun merasakan kegelisahan yang sama dan ikut berjuang bersama.” Tuturnya.

Meskipun tidak terlibat sebagai penyelenggara, semangat BPAN sebagai peserta undangan tetap membara untuk menyuarakan hak-hak hidup masyarakat adat.


Sebagai pemuda adat Papua yang merupakan bagian intergral dari masyarakat adat Papua, Klagilit juga mengungkapkan bahwa “Papua bukan tanah kosong, mempertegas bahwa tanah, hutan, wilayah adat, dan masyarakat adat Papua itu ada. Kita harus kuat-kuat berjuang dan pastikan bahwa Papua bahkan Indonesia bukan tanah kosong, sebab masyarakat adat masih ada dan menolak punah. Sehingga pemerintah harus segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat serta tarik semua pasukan militer dari wilayah-wilayah adat kami.” Tegas Klagilit.

Kolaborasi BPAN Moi Maya bersama Perkumpulan Papuan Voices dalam Menggelar Pemutaran Film Dokumenter

Pengurus Daerah BPAN Moi Maya berkolaborasi bersama Papuan Voices Sorong menggelar kegiatan Pemutaran Film dokumenter dan diskusi bersama masyarakat adat setempat.

Kegiatan ini merupakan bagian dari pada festival mini yang merupakan acara konsolidasi  Papuan Voices untuk memberikan edukasi kepada masyarakat adat Papua tentang kisah masyarakat adat di tanah Papua yang dilakukan di Kampung Wailen, Distrik Salawati Tengah, Kabupaten Raja Ampat pada 28-29 Juni 2023.

Acara nonton bareng film dokumenter dan diskusi ini berlangsung di Balai Kampung Wailen, pada rabu hingga kamis malam pukul 18.00, 28-29 Juni 2023. Dihadiri oleh kurang lebih empat puluh orang dari Kampung Wailen, kegiatan ini juga dihadiri keterwakilan tokoh perempuan dari kampung Waimeci, serta anak-anak kecil yang menghadiri nonton film dan diskusi ini.

Adapun film-film yang diputar merupakan karya asli dari tanah Papua seperti: Penjaga Dusun Sagu, Budaya Berkebun Mempertahankan Tanaman Lokal, Dari Hutan Kitong Hidup, 30 Tahun Su Lewat, Mama Kasmir Punya Mau. Lima film tersebut diputar dan didiskusikan bersama selama 2 hari kegiatan.

“Kegiatan ini kami dari Papuan Voices Sorong dan PD BPAN Moi Maya Berkolaborasi untuk melakukan acara nonton dan diskusi, jadi malam  pertama dan kedua itu kami mulai dengan perkenalan, lalu masuk ke pemutaran setelah itu kami mengajak masyarakat dan pemuda untuk berdiskusi tentang kehidupan berbudaya serta mengajak pemuda agar bisa memjadi bagian dari pembuat film tentang kehidupan mereka sendiri, pemuataran ini kami lakukan pada jam 06;00 sore sampai jam 10:00 malam selama kegiatan berlangsung masyarakat cukup aktif datang berbondong-bondong Bersama anak-anak mereka untuk nonton, dalam sesi diskusi Bersama masyarakat tidak terlalu aktif, karena memang di kampung wailen atau terlebuh khusus masyarakat adat di Pulau Salawati Kabupaten Raja Ampat belum terkonsolidasi dan mendapatkan pendidikan kritis tentang ancaman-ancaman yang akan datang dua puluh sampai tiga puluh tahun kedepan, misalnya seperti perusahan-perusahan raksasa seperti kelapa sawit, tambang dan lain sebagainya.” Disampaikan Samuel Moifilit sebagai person in charge kegiatan tersebut.

Pihak Papuan Voices dan BPAN mengapresiasi antusiasme peserta kegiatan ini, belajar dari film yang telah disaksikan bersama sebenarnya kejadian ini sudah cukup familiar dialami masyarakat adat. Pada tahun 2000an keatas wilayah adat marga Moifilit pernah dimanfatkan oleh perusahan kayu log PT Hanurata dimana perusahaan ini mengambil kayu dari hutan dan pergi meninggalkan penyesalan bagi marga Moifilit karena selama perusahan beroperasi hingga tahun 2009, masyarakat adat tidak pernah merasakan dampak kesejahteraan.

Unsur pemuda adat, perempuan adat dan anak-anak adat ikut serta dalam diskusi dan nonton bareng ini menandakan adanya kesadaran kolektif yang ditanamkan sejak dini tentang pentingnya menjaga wilayah adat.

Hal lainnya disampaikan oleh Yosep Klasia selaku Pengurus Daerah Moi Maya Barisan Pemuda Adat Nusantara, saat sesi berdiskusi ia mengungkapan, “Kami selaku pemuda di pulau Salawati bersama masyarakat adat ingin bertanya kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK) pada akhir bulan Maret lalu ada tim dari instansi kehutanan yang melakukan kegiatan tanam patok bertulisan HPK di wilayah Pulau Salawati Tengah Kabupaten Raja Ampat. Kegiatan yang mereka lakukan ini menurut dugaan kami adalah praktek perampasan oleh negara Indonesia melalui kementerian terkait, karena begini mereka saat menanam patok tidak bersosialisasi dengan marga-marga yang ada atau masyarakat kampung, dan tiba-tiba kami kaget saat melihat patok HPK telah ditanam di wilayah adat kami.”

Menurut Yosep Klasia, rasa kecewa terhadap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah melalui instansi terkait, harusnya kegiatan tanam patok itu wajib hukumnya memberitahu pemilik tanah dan hutan di Pulau Salawati bukannya main sabotase wilayah adat masyarakat setempat. Yosep juga menegaskan kembali Instrumen Undang-Undang yang menjelaskan tentang keberadaan masyarakat adat bahkan diperkuat atas putusan MK 35 Tahun 2012 tentang hutan adat bukan hutan negara. Hal ini harusnya menjadi pertimbangan bagi KLHK dalam menetapkan status Kawasan hutan menjadi HPK (Hutan Produksi Konversi).

Pemuda Adat Bangkit, Bersatu, Bergerak Mengurus Wilayah Adat.

Disunting oleh CH.

Cerita Perjalanan Pembentukan PKam Doka Nata

Refleksi oleh Dominggus Djolem
BPAN Aru


Sebagian besar komunitas masyarakat adat yang tersebar diseluruh pelosok-pelosok Nusantara menjadi miskin dan tertindas dikarenakan sumber-sumber kehidupan mereka dirampas. Tanah mereka di rampas untuk berbagai proyek pembangunan seperti perkebunan sawit, pertambangan, HPH, Konservasi dan lain-lain. Menjadi pengalaman terbesar kami masyarakat adat Aru yaitu penolakan besar-besaran dari masyarakat adat Aru terhadap PT. Menara Grup yang datang ke Aru dengan tujuan penanaman tebu, dan juga saat ini perusahaan PT. MG yang bergerak dalam perdagangan karbon yang ingin merampas hak-hak Masyarakat Adat Aru. Saat ini perusahaan tersebut sedang mengurus amdal di 10 Kecamatan yang tersebar di Kabupaten Kepulauan Aru.
Hal ini menjadi pengalaman yang menyedihkan bagi Masyarakat Adat Aru khususnya Masyarakat Adat Marafenfen pada saat itu.

Oleh karena itu kami sebagai pemuda adat Aru yang bergabung dalam Kepengurusan Organisasi Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Daerah Kepulauan Aru. Merasa penting adanya perlindungan terhadap hak-hak Masyarakat Adat Aru, maka diselenggarakanlah Jambore Daerah Ke-II BPAN ARU dengan tema : “Gerakan Pulang Kampung Memperkuat Jati Diri Pemuda Adat Aru” yang dihadiri oleh 10 komunitas adat. Melalui jambore ini kami bersepakat untuk mendeklarasikan pembentukan Pengurus Kampung BPAN di empat (4) Komunitas Masyarakat Adat Aru yaitu Komunitas Adat Doka Nata, Komunitas Adat Kumul, Komunitas Adat Erersin Nata dan Komunitas Adat Siya. Selain itu BPAN Aru melakukan reorganisasi pada Pengurus Kampung BPAN Rebi karena kami merasa penting hadirnya BPAN di seluruh Komunitas Masyarakat Adat Aru.

Perjalanan Dewan Pemuda Adat Nusantara (DePAN) Region Maluku, Said Arloy bersama BPAN Kepulauan Aru.

Dengan demikian pada hari rabu, 7 Juni 2023, Barisan Pemuda Adat Nusantara (PD BPAN ARU dan DePAN Region Maluku, Said Lajali Arloy) melakukan perjalanan dari Pelabuhan Dobo-Serwatu. Dalam Rangka pembentukan PKam Doka Nata. Dengan menyerukan “Petakan Wilayah Adat-Mu Sebelum dipetakan Orang Lain”, jambore ini terselenggara. Edukasi tentang pengakuan masyarakat adat juga dilakukan melalui kegiatan ini, karena secara nasional, Masyarakat Adat diakui dan dilindungi konstitusi Indonesia melalui Pasal 18 B Ayat (2) dan Pasal 28 I Ayat (3) UUD 1945,dan Eksistensi Masyarakat Adat Kembali ditegaskan Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012.

Pembentukan Pengurus Kampung Doka Nata dihadiri pemerintah desa dan BPAN Kepulauan Aru

Ketua Terpilih PKam BPAN Doka Nata, Nahum Djerol dan seluruh anggota PKam BPAN Doka Nata bersama dengan BPAN Daerah Kepulauan Aru mengapresiasi dukungan dari Pemerintah Desa Doka Timur, Tetua Adat Doka Nata, serta seluruh Masyarakat Adat Doka Nata.

Tuhan dan Leluhur Doka Nata Memberkati PKam BPAN Doka Nata untuk menjadi garda terdepan dalam membela dan melindungi hak-hak Masyarakat Adat Doka Nata untuk masa depan Masyarakat Adat Doka Nata yang berkedailan.

Pemuda Adat Bangkit Bersatu Bergerak Mengurus Wilayah Adat.

Penulis :Dominggus Djolem
E-mail: Dominggusdjolem05gmail.com
Fb: @Dirlan Djolem
IG : @DirlanDjolem
Youtube:@Dominggus Djolem

Disunting oleh : CH

Totalitas Pemuda Adat Ikut Serta dalam Menyukseskan RAKERNAS VII AMAN

Ditulis oleh Novi Yanti (BPAN Kutei Lubuk Kembang)

Rapat Kerja Nasional AMAN yang Ke VII jauh-jauh hari sudah ditetapkan, bahwah pengurus AMAN Wilayah Bengkulu menjadi tuan rumah dalam perhelatan akbar yang diselenggarakan per lima tahun sekali ini. Rapat Kerja Nasional AMAN yang ke VII juga dihadiri oleh Michelin Sallata selaku Ketua Umum Nasional Barisan Pemuda Adat Nusantara sebagai peninjau. Sebagai salah satu organisasi sayap AMAN, para pemuda-pemuda adat yang tergabung didalam BPAN “Barisan Pemuda Adat Nusantara” baik Pengurus Nasional, Wilayah, dan Daerah berjibaku turut serta menyukseskan RAKERNAS AMAN ke VII. Para pemuda-pemuda adat baik dari Taneak Jang, Tanah Serawai, Enggano, Rejang Lebong, dan Kaur saling bahu membahu berkerja sama  sebagai tanggung jawab terhadap sebuah organisasi untuk tegak dan berdirinya kemandirian masyarakat adat.

Pengurus Kampung BPAN Kutei Lubuk Kembang pada RAKERNAS VII AMAN

Dikutip dari Keterangan Sulas Tri yang biasa disapa dengan “Cicik” yang mrupakan Ketua BPAN Daerah Taneak Jang, “Beberapa bulan yang lalu kita sudah melakukan pelatihan Jurnalistik”, ungkapnya. Kegiatan pelatihan tersebut dimaksud bagaimana kami bisa mengemas sebuah pemberitaan yang bagus untuk memberitaka kegiatan RAKERNAS yang akan dilakukan.. Pelatihan Jurnalistik bagi mayarakat adat ini dilaksanakan oleh Direktorat Infokom PB AMAN sebelum RAKERNAS VII dilaksanakan dan melibatkan mayoritas pemuda adat sebagai pesertanya.

Rangkaian kegiatan RAKERNAS yang akan dilaksanakan di Kutei Lubuk Kembang diawali dengan Kirab Budaya, Dialog Umum, Malam Budaya, serta kegiatan Dzikir Akbar dalam menyambut bulan puasa 1444 Hijriah. Salah satu anggota BPAN Kutei Lubuk Kembang, Novi, mengungkapkan “Sebagai Pemuda Adat Kutei Lubuk Kembang kami merasa bangga dan sangat senang ketika kampung kami dijadikan tempat berlangsungnya kegiatan”. Kemudian disambung oleh teman sejawat saudari Novi Erli Purwasi, “Kami akan berusaha semaksimal mungkin, bagaimana kegiatan ini dapat terlaksana dengan sebaik-sebaiknya salah-satu tugas kami yang dipercaya adalah menyiapkan penginapan peserta RAKERNAS dan kebutuhan lain sebagainya”.

Endang, Ketua PW BPAN Bengkulu dan pemuda-pemuda adat di Kutei Lubuk Kembang

Endang Setyawan selaku ketua BPAN Wilayah Bengkulu juga menyampaikan rasa bersyukur dan sukacita bisa bertemu dengan perwakilan masyarakat adat se-Nusantara dalam perhelata ini. “Selamat datang di Bumi Raflesia Provinsi Bengkulu, semoga RAKERNAS yang akan dilaksanakan berjalan dengan baik dan menghasilkan keputusan-keputusan yang strategis lima tahun mendatang”, Ungkap Endang.

RAKERNAS AMAN adalah salah satu dari beberapa rapat-rapat pengambilan keputusan tertinggi di Aliansi Masyarakat Adat Nusantara. Sesuai dengan hasil keputusan RAKERNAS VII AMAN di Kutei Lubuk Kembang, RAKERNAS VIII AMAN berikutnya akan dilaksanakan di Kalimantan Timur pada tahun 2025.

CU Randu Selenggarakan Rapat Anggota Tahunan pada Akhir Maret 2023

Oleh Efrial Ruliandi Silalahi

Credit Union Pancoran Kehidupan (CU Randu) berdiri sejak 2013 lalu dan digagas oleh berbagai organisasi masyarakat sipil (OMS), di antaranya AMAN, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Sajogyo Institute, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), Persekutuan Perempuan Adat Nusantara Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PEREMPUAN AMAN), Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), dan sejumlah individu. Mereka (termasuk 33 orang aktivis yang mewakili lembaganya masing-masing) kemudian bersepakat untuk membangun sebuah lembaga keuangan. CU Randu pun diharapkan untuk memberikan perubahan yang baik untuk para aktivis serta masyarakat yang menjadi anggota.

Pada 18 November 2022 lalu, pengurus dan pengawas CU Randu telah mengadakan musyawarah bersama untuk menyepakati pelaksanaan Rapat Anggota Tahunan (RAT) yang akan diselenggarakan pada 30-31 Maret 2023. Dalam musyawarah tersebut, para pengurus dan pengawas mendiskusikan hal-hal yang harus dipersiapkan menjelang RAT, termasuk pembuatan dua kelompok kerja (Pokja), yaitu Pokja AD/ART dan Pola Kebijakan serta Pokja Rencana Organisasi yang berfungsi untuk mempersiapkan semua bahan yang berkaitan dengan pelaksanaan RAT.

Dalam musyawarah tersebut, baik pengurus maupun pengawas, mengulas kembali peran OMS yang ikut mendirikan CU Randu. Selain itu, CU Randu telah berkoordinasi dengan semua pengampu OMS yang menjadi anggota agar membantu mensosialisasikan CU Randu di organisasinya masing-masing. Pengampu yang dimaksud merupakan individu yang sudah terdaftar menjadi anggota CU Randu.

Undangan rencananya akan disebar kepada seluruh anggota pada 1 Februari mendatang. Adapun dokumen yang telah dipersiapkan, meliputi draf AD/ART dan Pola Kebijakan serta Program Kerja yang dibuat oleh masing-masing Pokja.

Pengurus maupun pengawas telah menyiapkan kepanitiaan kecil dalam RAT. RAT akan dilaksanakan pada 30-31 Maret 2023 dan dibuka dengan diskusi publik yang membahas polemik Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) yang disahkan pada Desember 2022 lalu.

UU PPSK turut membahas Koperasi Simpan Pinjam (KSP), termasuk Koperasi Kredit atau CU. Kebijakan tersebut tentu merugikan koperasi karena mendiskriminasi hak konstitusionalnya serta merusak prinsip-prinsip utamanya. Secara tidak langsung, UU tersebut memiliki tujuan untuk memitigasi risiko serta memperkuat sektor keuangan untuk korporasi perbankan dan asuransi komersial, namun tidak dengan koperasi. Sebaliknya, prinsip utama koperasi, seperti otonomi dan demokrasi, yang sesungguhnya jelas terbukti menjadi kekuatan dan daya tahan lembaga keuangan koperasi di seluruh dunia, justru dikesampingkan.

Selain itu, diskusi publik juga akan dilaksanakan segera membahas karakteristik CU yang sesuai dengan kekhasan Nusantara. Pastinya, itu adalah hal yang bukan berbasis pada industrialisasi, tetapi agraria dan Masyarakat Adat. Hasil yang diharapkan dari diskusi publik tersebut, yakni rekomendasi dan masukan dari berbagai pihak, terutama para pembicara, bagi CU Randu untuk kelak dapat merancang model ekonomi berbasis Masyarakat Adat.

Dalam RAT, para anggota juga akan membahas rencana strategis (renstra) yang perlu disesuaikan dengan perubahan kondisi maupun tren saat ini.RAT akan dilaksanakan secara hibrid (luring dan daring) agar membuka peluang bagi anggota yang tidak berdomisili di Jabodetabek, untuk bisa mengikuti RAT dari jarak jauh. CU Randu juga telah meminta saran dan masukan dari CU Keling Kumang di Kalimantan Barat terkait mekanisme keanggotaan yang lebih terbuka, sehingga membuka peluang untuk kelak dapat menjangkau lebih banyak calon anggota, baik itu individu, komunitas, kelompok usaha, maupun organisasi.

Dengan bertransformasinya CU Randu, maka diharapkan CU Randu akan dapat berkembang menjadi lembaga keuangan profesional yang mendukung pemajuan gerakan sosial untuk menyejahterakan anggota serta menopang keberlanjutan organisasi gerakan sosial di Indonesia. 

***

Penulis adalah staf manajemen dari CU Randu.

Simanjutak: TPL Tutup, Ekonomi Masyarakat Adat Makin Berkembang

“Jadi tidak adalah ceritanya Masyarakat Adat akan susah jika TPL ditutup, justru perekonomian masyarakat akan semakin berkembang jika TPL ditutup,” ungkap Maruli Simanjutak.

Ia adalah pemuda adat Parpatihan, Sipahutar, Tapanuli Utara, Sumatera Utara (Sumut). Selain giat dalam perjuangan bersama pemuda dan Masyarakat Adat dalam aksi #TutupTPL, Maruli aktif dalam wilayah adatnya dengan memastikan kedaulatan pangan di komunitasnya. Ia juga membantu Masyarakat Adat dalam memasarkan hasil-hasil pertanian mereka. Salah satunya, hasil pertanian Eben Simanjutak.

Kamis, 17 Juni 2021, Eben Simanjutak salah satu warga Desa Tapian Nauli III begitu bahagia. Ia merupakan keturunan Ompu Niharbangan Pardede dari pihak boru. Usahanya mengelola tanah di wilayah adat Ompu Niharbangan Pardede berbuah manis. Di hari tersebut ia panen cabai dan kentang sekitar 1.200 kilogram yang kemudian dikirim dan dijual ke Siborongborong.

Lahan pertanian yang dikelola Eben Simanjutak di wilayah adatnya dahulu ditanami eukaliptus oleh PT. Toba Pulp Lestari (TPL). Namun, sejak tahun 2000 Masyarakat Adat berjuang untuk merebut tanah adat tersebut.

“Lahan ini sebelumnya diklaim sepihak oleh Kehutanan dan memberikan izin konsesi ke PT. Toba Pulp Lestari, Tbk untuk ditanami eukaliptus. Mulai sekitar tahun 2000, masyarakat sudah berjuang untuk tanah ini. Namun perusahaan selalu menakut-nakuti masyarakat dengan menghadapkan aparat kepada kami. Banyak masyarakat yang menjadi korban kriminalisasi oleh perusahaan. Namun masyarakat tidak pernah takut dan semangat perjuangan tidak pernah luntur. Karena memang tanah ini adalah tanah adat,” tutur Maruli.

Menurutnya, perjuangan panjang Masyarakat Adat di tempatnya tidak pernah padam sehingga upaya mereka pelan-pelan berujung keberhasilan. Tahun 2016 Masyarakat Adat berhasil melawan dan menjadikan wilayah adat tersebut sebagai lahan untuk bercocok tanam.

“Masyarakat Adat terus menerus berjuang dengan semangat yang tidak pernah luntur sehingga pada tahun 2016 Masyarakat Adat Turunan Ompu Niharbangan Pardede berhasil melawan koorporasi dan menjadikan lahan ini sebagai  lahan untuk bercocok tanam,” ucapnya.

Ditambahkan Maruli, Masyarakat Adat  yang ada di komunitasnya telah menikmati hasil pertanian yang melimpah sejak tahun 2016.

“Menikmati hasil pertanian melimpah seperti ini dalam kurun waktu 5 tahun terakhir sudah sering dilakukan masyarakat Desa Tapian Nauli III setelah masyarakat bertekad atas wilayah adatnya melawan korporasi. Namun sampai saat ini masih sering terjadi intimidasi maupun ancaman dari pihak perusahaan,” tambahnya.

Maruli mengatakan, walau di tengah perjuangan melawan intimidasi perusahaan, Masyarakat Adat di Desa Tapian Nauli III tetap semangat mengelola wilayah adatnya. Setelah panen cabai dan kentang, mereka sementara bersiap panen padi.

“Saat ini Desa Tapian Nauli III sedang menunggu masa panen padi gogo dengan benih sekitar 300 kaleng. Semoga alam semesta memberikan hasil yang baik,” tutupnya.

Penulis: Kalfein Wuisan

Tidak Ingin Bergantung dengan Pasar, Pemuda Adat Sumsel Budidayakan Ikan

Sekjen AMAN, Rukka Sombolinggi, tak lama setelah pandemi melanda dunia, menyerukan kepada seluruh Masyarakat Adat Nusantara agar melakukan karantina bermartabat disusul dengan program kedaulatan pangan sebagai respons terhadap situasi umum termasuk ancaman krisis pangan di mana negara berjarak teramat jauh dari komunitas adat dari segala aspek.

Kedaulatan pangan digerakkan oleh komunitas-komunitas termasuk perempuan dan pemuda adat. Ada yang berkebun palawija, ada yang berkebun jahe, sayur-sayuran, beternak dan sebagainya.

Wawan Dipkarso, pemuda adat asal komunitas Marga Rambang Kapak Tengah Suku III, Dusun I, Desa Pagar Agung, Kecamatan Rambang, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan salah satunya. Ia bersama sekitar 30 orang dalam kelompoknya membudidayakan ikan seperti lele dan nila, di samping menyemai sayuran bahkan singkong.

Situasi masyarakat yang sudah mulai konsumtif dan semuanya serba instan, menurut Wawan, adalah alasan yang melatarbelakangi ia dan kelompoknya menggerakkan kedaulatan pangan di komunitasnya. Di samping itu, pandemi covid-19 yang melanda dunia menuntutnya sebagai generasi penerus untuk berpikir dan bertindak membantu komunitas adatnya agar tidak terancam krisis pangan.

Ia memaknai kedaulatan pangan yang sangat terikat kuat dengan tanah di mana segala kebutuhan bagi keberlagsungan hidup secara ekonomi, sosial, budaya dan politik itu berdiri kuat yang membuat Masyarakat Adat berdaulat. “Karena dengan mengolah tanah kita bisa menanam apa pun untuk dihasilkan dikonsumsi bahkan dijual,” katanya.

Sejak memulai program kedaulatan pangan, Wawan menuturkan, mereka sudah memanen ikan lele satu kali. Wawan dan kelompoknya menyiapkan 10 kolam ikan, dan panen perdana lele itu berasal dari tiga kolam. Setelah panen akan dilanjutkan kembali menebar bibit lele untuk proses keberlanjutan.

Panen lele / doc: Wawan Dipkarso

“Kurang lebih ada 40 kg lele yang kita panen. Hasilnya kita bagi ke sekitar 60-an orang meliputi: warga sekitar, angggota kelompok, perangkat desa, Badan Permusyawaratan Daerah dan mahasiswa. Tiap orang mendapatkan empat ekor yang beratnya kira-kira 600 gram”, lanjutnya.

Sebagai pemuda adat, Wawan menggarsbawahi bahwa aksi kedaulatan pangan yang dia dan kelompoknya lakukan adalah aksi meneruskan praktik-praktik orang tua dan leluhurnya. 

“Melalui kedaulatan pangan, kami ingin mengulang kembali kejayaan nenek moyang dulu, yaitu tidak tergantung dengan pasar. Kami ingin semuanya serba ada di wilayah adat kami sendiri. Kedaulatan pangan ini juga menjadi upaya edukasi dan ajakan supaya masyarakat sadar arti pentingnya tanah, apalagi tanah ulayat”, tutup Wawan.

Penulis: Jakob Siringoringo

Di Antara Musim yang Tak Menentu

Hujan datang di pukul 3 dini hari, padahal sedang musim panas. Deras air hujan memberikan bunyi di atas genteng rumahku. Rasa dingin yang ditimbulkan membuatku menarik selimut dan tertidur kembali. 

Pukul 7 pagi aku bangun, hujan juga tak kunjung reda. Aku mendengar kabar dari tetangga, sungai di kampung banjir dan menyapu lahan sayuran yang tumbuh di pinggir sungai. Kulihat dari teras rumahku, beberapa perempuan dan pemuda berjalan menggunakan payung untuk melihat banjir yang menyapu lahan sayur. 

Hujan mulai mereda di pukul 10 pagi. Para petani berangkat melihat lahannya yang dilahap oleh banjir. Ini musim panas tapi banjir datang. Beberapa bulan lalu musim hujan tapi tanaman banyak yang mati karena musim panas datang. 

Merenungkan Musim

Akhir-akhir ini bumi semakin panas. Hujan tak menentu. Angin melanda seluruh pelosok Nusantara. Adalah kesedihan yang mendalam mendapati Bumi yang sakit. 

Aku tahu bumi semakin tak sehat. Kerusakan demi kerusakan tengah menggerogoti tanah di kampungku. Baru saja, tanah-tanah di sini lolos dari kebijakan pemerintah yang akan menanam sawit dan menjanjikan semua orang menjadi kaya dalam sekejap. Kini, banjir telah menghancurkan lahan-lahan sayur. 

Nasib-nasib mati oleh kebijakan atau mati karena hilangnya sumber penghidupan tak dapat dijadikan pilihan oleh orang di kampungku. Sudah pasti keduanya perlahan-lahan membunuh dan tinggal menghitung waktu, kapan persis datangnya.  

Kemarin aku lihat di berita bencana banjir menutupi seluruh Kalimantan. Longsor menghancurkan rumah-rumah karena akar pohon tak lagi kuat menahan deras air yang masuk ke tanah. Angin kencang juga menghancurkan rumah-rumah warga di Kupang, Nusa Tenggara Timur. 

Musim panas dan musim hujan tak mengenal bulan ke berapa mereka harus datang. 

Apalagi setelah ini? Apalagi setelah ini? 

Panen yang selalu ditunggu-tunggu hancur juga oleh musim yang tak tentu kapan membaik.  Saya mencoba bertahan di antara kehancuran dengan tumpukan tugas menjadi Pemuda Adat, generasi penerus. Adilkah ini disematkan dalam perjalanan kita? Seperti susah sekali bernafas untuk menikmati alam yang disajikan untuk seluruh mahluk hidup. 

Tidak adil, sangat tidak adil. 

Mengemban Tugas

Keluhan hutan rusak dan akan merusak bumi seolah-olah menjadi angin lalu untuk para pemilik modal. Dengan dalih membuat Nusantara lebih maju atau lainnya, bencana-bencana itu menghantarkan kepadaku sebagai pemuda adat yang mengemban tugas menjaga hutan pada fungsinya. 

Aku mengingat seorang Ketua Adat, dia berkata “Di mana pun kerusakan yang disebabkan, kapan terjadinya, kita semua yang akan menanggung akibatnya. Karena kita hidup di satu bumi yang sama”. Kalimat ini terus terngiang-ngiang di kepalaku. Kerusakan apalagi yang harus kami tanggung? Apakah sulit sekali menahan diri dari kerakusan yang tak pernah berujung? 

Aku teringat tentang Tubuh Kedua. Daysi Hilyard mengajarkan padaku Tubuh Kedua kita pasti akan merasakan hal yang sama bahkan sampai dibelahan bumi manapun. Hewan, tumbuhan dan mahluk lainnya pasti terkena dampak dari kerusakan alam saat ini. Renungan yang tak menemukan ujungnya. Jika hanya kekayaan dan kekuasaan saja yang ditumpuk, sudah pasti tubuh keduaku telah menjadi abu karena panas bumi yang membakar. 

Mulai Perjalanan

Sore aku berdiri di tepi sungai yang melahap ladang sayur warga di kampungku. Aku memungut buah mentimun yang siap dipanen. Buah mentimun yang penuh dengan lumpur. Aku berjalan menuju aliran sungai, kemudian aku mencuci timun yang ‘ku ambil. Segar terlihat di mataku. 

Aku memandangi ladang sekitar sungai. Semua rata dengan lumpur. Kacang panjang, cabe rawit, kangkung, dan sayuran lainnya terlihat sama di mataku. Cokelat susu. Timun yang ada di tangan aku gigit. Segar rasanya lidahku mengecap. Tangisku keluar setelahnya. Aku merenung, sampai kapan mahluk hidup dijadikan permainan atas kerakusan manusia. Hulu sungai telah ditambang secara illegal. Tanah-tanah telah menjadi sawit. 

Aku duduk di batu pinggir sungai. Hingga aku berusia 27 tahun, semakin hari kurasakan semakin jelas di mataku. Satu perjalanan yang terus dimulai hingga tak tahu kapan berhentinya. Jika 15 tahun lalu aku masih bisa mandi di sungai, kini sungai tak lagi menjadi teman melainkan menjadi racun untuk semua orang. 

Burung-burung yang dulu aku buru bersama dengan temanku tak pernah aku lihat saat aku ke kebun. Belut-belut yang dulu ku pancing hilang karena tanah sudah hancur oleh pestisida. 

Aku tak pernah membayangkan ternyata hidup bukan semakin baik malah semakin rusak. Hidup diminta untuk terus memulai perjalanan. Jalan di atas tanah leluhur yang hancur. Penuh kerak kekuasaan yang kikir dan jahat. Melenyapkan ikatan manusia dengan tanahnya. 

Penulis: Yuyun Kurniasih

PENGURUS NASIONAL BPAN 2022-2026

KONTAK KAMI

Sekretariat BPAN, Alamat, Jln. Sempur, Bogor

officialbpan@gmail.com

en_USEnglish