Sejak 1900-an, Sorong Raya—mencakup Kota Sorong, Kabupaten Sorong Selatan, dan Raja Ampat di Papua Barat—sudah melewati tiga era industri. Era pertama adalah zaman minyak bumi yang dimulai 1935 ketika maskapai minyak Belanda mengebor minyak di Sorong. Era kedua adalah zaman minyak sawit mulai tahun 2000-an. Era ketiga, yang terbaru, adalah zaman Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang diresmikan pada 2016. KEK berada di Distrik Mayamuk, Kabupaten Sorong dengan luasnya 500 hektar dan diperuntukkan bagi suplai logistik, pertambangan, hingga perkebunan.
Tapi kemakmuran di setiap zaman itu “tak pernah mampir” ke komunitas Masyarakat Adat sebagai pemilik kawasan/wilayah adat tempat semua industri itu berdiri. Sampai hari ini bisa dihitung berapa banyak profesor, berapa doktor, berapa S1, berapa S2, berapa dosen, berapa guru, berapa banyak fasilitas pendidikan dan kesehatan yang bisa diakses secara gratis oleh komunitas adat dan marga yang wilayahnya sudah dikuasai oleh industri.
Bahwa kawasan-kawasan ini adalah wilayah yang memiliki alas hukum yang kokoh yang dikuasai secara turun-temurun sebelum adanya negara hingga kelahiran negara. Buhulnya juga adalah UUD 1945 pasal 18 B ayat 2 Amandemen Kedua yang mengakui keberadaan Masyarakat Adat. Di bawahnya ada UU 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Bab XI, tentang “Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat” yang diperkuat Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 yang menegaskan bahwa “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah Masyarakat Adat, dan bukan lagi sebagai hutan negara”. Lalu ada Perdasus Nomor 21, 22, 23 tahun 2018 yang menyatakan wilayah Papua adalah wilayah adat. Adapun di Kabupaten Sorong ada pula regulasi khusus, yaitu Perda No.10 tahun 2017 tentang “Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Moi di Kabupaten Sorong”. Dan juga di beberapa kabupaten/kota dalam tahapan penyusunan Perda Pengakuan dan Perlindungan terhadap Masyarakat Adat.
Namun, pengakuan atas hak Masyarakat Adat hanya selesai secara teori hukum. Implementasinya di lapangan lain cerita. Industri alih-alih membuat komunitas adat dan marga sejahtera, malah jadi sengsara di wilayah adat mereka sendiri.
Bagi komunitas Adat, hutan, dusun, atau wilayah adat adalah Mama yang memberikan kehidupan. Ketika Masyarakat Adat membutuhkan sagu, dia akan pergi ke dusun sagu. Ketika dia membutuhkan sayur dan daging, dia ke hutan. Ketika dia membutuhkan ikan, dia akan memancing. Ketika dia butuh obat, ada obat-obatan di dalam hutan. Ketika dia butuh keindahan, dia ke hutan untuk melihat anggrek hingga burung cenderawasih.
Hingga akhirnya, investasi mengubah hutan mereka yang kaya raya menjadi suatu jenis tanaman saja: kelapa sawit. Segala yang di luar kelapa sawit adalah hama, dari tikus hingga komunitas marga pemilik wilayah yang punya wilayah adat.
Hal itu terjadi karena kesengajaan dari industri/investor untuk mengangkangi konstitusi demi keuntungan perusahaan/pribadi. Karena itu, cara yang konstitusional bagi Masyarakat Adat untuk mendapatkan kembali hak-haknya adalah merebutnya melalui jalur hukum. Tapi tantangannya besar dan itu tidak mudah, karena investor sudah siap di jalur hukum ini, sebab mereka memiliki uang dan koneksinya di kekuasaan. Adapun Masyarakat Adat hingga saat ini praktis tanpa pembela hukum. Keberadaan pendampingan hukum untuk Masyarakat Adat makin krusial karena, seperti di banyak wilayah adat yang diokupasi perusahaan, ada potensi konflik antara komunitas marga yang menuntut haknya dan investor yang melindungi keserakahannya.
Di bidang penguatan ekonomi, Masyarakat Adat telah menunjukkan bahwa sistem ekonomi kolektif Masyarakat Adat yang bertumpu pada pengetahuan dan kearifan dalam pengelolaan wilayah adat dan sumber daya alamnya, terbukti mampu bertahan dari berbagai terpaan krisis. Hal ini menunjukkan bahwa sepanjang dua dekade, Masyarakat Adat punya andil besar dalam membangun tatanan dan kedaulatan pangan di wialayah Adat. Sayangnya, di tengah situasi ekonomi global yang semakin dinamis, kekuatan ekonomi Masyarakat Adat belum dijadikan sebagai dasar utama dalam kebijakan pembangunan ekonomi.
Kontribusi yang telah diberikan oleh Masyarakat Adat tak selaras dengan perlakuan negara terhadap Masyarakat Adat. Sepanjang dua dekade pula, Masyarakat Adat masih terus menghadapi beragam agresi pembangunan. Pengabaian, kriminalisasi hingga perampasan wilayah adat terus terjadi. Perlindungan dan penghormatan atas hak konstitusional Masyarakat Adat hingga kini bagai panggang jauh dari api.
Dalam hal ini Masyarakat Adat adalah instrumen penting untuk menyelesaikan persoalan-persolan mendasar yang selama ini menghambat proses berdaulat dan merdeka di atas wilayah adat. Juga situasi politik hukum dan kebijakan-kebijakan dalam kurun waktu ini, serta proyeksi arah gerak perjuangan organisasi gerakan Masyarakat Adat di tahun yang akan datang akan lebih banyak mengalami situasi dan kondisi yang berat.
Generasi dan gerakan Masyarakat Adat adalah penentu. Kita mati musnah atau bangkit melawan dan kita menang. Itu pilihan dan pilihan itu ada di atas tangan kita, juga masa depan wilayah Adat ada di atas pundak generasi hari ini untuk membawa dan memperjuangkan wilayah adat seutuhnya menjadi milik Masyarakat Adat. Dan ketika kita hari ini duduk diam melihat penindasan dan kita merasakan penindasan dan kita tidak bergerak, maka percuma saja karena perjuangan Masyarkat Adat tidak hanya duduk diam dan meyakini bahwa tanah Adat Papua akan bebas dari eksploitasi.
Tanah Adat Papua akan bebas dan merdeka jika generasi dan gerakan Masyarakat Adat aadar bersatu dan melawan, karena perjuangan adalah milik Masyarakat Adat Papua dan milik Masyarakat Adat dunia. Oleh karenanya, kita percaya perjuangan kebenaran akan memerdekakan Masyarakat Adat Papua”.
Oleh: Feki Mobalen, Ketua BPH AMAN Sorong Raya