Credit Union Pancoran Kehidupan (CU Randu) berdiri sejak 2013 lalu dan digagas oleh berbagai organisasi masyarakat sipil (OMS), di antaranya AMAN, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Sajogyo Institute, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), Persekutuan Perempuan Adat Nusantara Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PEREMPUAN AMAN), Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), dan sejumlah individu. Mereka (termasuk 33 orang aktivis yang mewakili lembaganya masing-masing) kemudian bersepakat untuk membangun sebuah lembaga keuangan. CU Randu pun diharapkan untuk memberikan perubahan yang baik untuk para aktivis serta masyarakat yang menjadi anggota.
Pada 18 November 2022 lalu, pengurus dan pengawas CU Randu telah mengadakan musyawarah bersama untuk menyepakati pelaksanaan Rapat Anggota Tahunan (RAT) yang akan diselenggarakan pada 30-31 Maret 2023. Dalam musyawarah tersebut, para pengurus dan pengawas mendiskusikan hal-hal yang harus dipersiapkan menjelang RAT, termasuk pembuatan dua kelompok kerja (Pokja), yaitu Pokja AD/ART dan Pola Kebijakan serta Pokja Rencana Organisasi yang berfungsi untuk mempersiapkan semua bahan yang berkaitan dengan pelaksanaan RAT.
Dalam musyawarah tersebut, baik pengurus maupun pengawas, mengulas kembali peran OMS yang ikut mendirikan CU Randu. Selain itu, CU Randu telah berkoordinasi dengan semua pengampu OMS yang menjadi anggota agar membantu mensosialisasikan CU Randu di organisasinya masing-masing. Pengampu yang dimaksud merupakan individu yang sudah terdaftar menjadi anggota CU Randu.
Undangan rencananya akan disebar kepada seluruh anggota pada 1 Februari mendatang. Adapun dokumen yang telah dipersiapkan, meliputi draf AD/ART dan Pola Kebijakan serta Program Kerja yang dibuat oleh masing-masing Pokja.
Pengurus maupun pengawas telah menyiapkan kepanitiaan kecil dalam RAT. RAT akan dilaksanakan pada 30-31 Maret 2023 dan dibuka dengan diskusi publik yang membahas polemik Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) yang disahkan pada Desember 2022 lalu.
UU PPSK turut membahas Koperasi Simpan Pinjam (KSP), termasuk Koperasi Kredit atau CU. Kebijakan tersebut tentu merugikan koperasi karena mendiskriminasi hak konstitusionalnya serta merusak prinsip-prinsip utamanya. Secara tidak langsung, UU tersebut memiliki tujuan untuk memitigasi risiko serta memperkuat sektor keuangan untuk korporasi perbankan dan asuransi komersial, namun tidak dengan koperasi. Sebaliknya, prinsip utama koperasi, seperti otonomi dan demokrasi, yang sesungguhnya jelas terbukti menjadi kekuatan dan daya tahan lembaga keuangan koperasi di seluruh dunia, justru dikesampingkan.
Selain itu, diskusi publik juga akan dilaksanakan segera membahas karakteristik CU yang sesuai dengan kekhasan Nusantara. Pastinya, itu adalah hal yang bukan berbasis pada industrialisasi, tetapi agraria dan Masyarakat Adat. Hasil yang diharapkan dari diskusi publik tersebut, yakni rekomendasi dan masukan dari berbagai pihak, terutama para pembicara, bagi CU Randu untuk kelak dapat merancang model ekonomi berbasis Masyarakat Adat.
Dalam RAT, para anggota juga akan membahas rencana strategis (renstra) yang perlu disesuaikan dengan perubahan kondisi maupun tren saat ini.RAT akan dilaksanakan secara hibrid (luring dan daring) agar membuka peluang bagi anggota yang tidak berdomisili di Jabodetabek, untuk bisa mengikuti RAT dari jarak jauh. CU Randu juga telah meminta saran dan masukan dari CU Keling Kumang di Kalimantan Barat terkait mekanisme keanggotaan yang lebih terbuka, sehingga membuka peluang untuk kelak dapat menjangkau lebih banyak calon anggota, baik itu individu, komunitas, kelompok usaha, maupun organisasi.
Dengan bertransformasinya CU Randu, maka diharapkan CU Randu akan dapat berkembang menjadi lembaga keuangan profesional yang mendukung pemajuan gerakan sosial untuk menyejahterakan anggota serta menopang keberlanjutan organisasi gerakan sosial di Indonesia.
Tanggal 28 Maret 2022 menjadi tanggal bersejarah bagi komunitas adat se-Banten Kidul. Di tanggal tersebut telah dideklarasikan 7 sekolah adat. Kegiatan ini difasilitasi oleh AMAN Daerah dan BPAN Daerah Banten Kidul yang bertempat di Kasepuhan Lebak Larang.
7 Sekolah Adat dibentuk dari 7 komunitas adat yang sebelumnya sudah melakukan musyawarah dengan lembaga adat di masing-masing komunitas. Sekolah adat yang terbentuk yakni Sekolah adat Kasepuhan Bayah, Kasepuhan Lebak Larang, Kasepuhan Lebak Binong, Mustika Adat Kasepuhan Karang Nunggal, Kasepuhan Cicarucub, Kasepuhan Cisitu, dan Kasepuhan Cisungsang.
Kegiatan tersebut juga dihadiri oleh 3 (tiga) komunitas adat lain, yaitu Kasepuhan Ciherang, Kasepuhan Sinar Resmi, dan Suku Baduy. Selain itu, Pengurus Daerah juga mengundang Kepala Desa setempat, yaitu Kepala Desa Mekarsari, dan Pengawas UPT Pendidikan Kecamatan Cibeber.
Acara pembukaan Deklarasi sekolah adat se-Banten Kidul juga dimeriahkan oleh penampilan anak-anak peserta didik sekolah adat Kasepuhan Lebak Larang. Mereka menampilkan tari tradisional, angklung, dan pencak silat.
Para peserta bukan hanya dari kalangan pemuda saja, tapi juga ada dari kalangan para orangtua. Mereka sangat antusias dan bersemangat dalam mengikuti kegiatan ini sampai malam hari.
“Saya sangat senang mengikuti kegiatan ini dan saya banyak mengambil pelajaran terutama tentang kepengurusan dan pengelolaan sekolah adat dari komunitas-komunitas lain. Kami juga bertukar ide mengenai apa saja yang perlu diajarkan di sekolah adat dan bersama-sama memecahkan permasalahan atau kendala yang dihadapi di masing-masing komunitas,” ucap Aang Anggra Haryana, Pemuda Adat Kasepuhan Lebak Binong.
Aang juga mengatakan bahwa momentum deklarasi ini juga menjadi ajang silaturahmi bagi pemuda adat dari berbagai komunitas.
“Saya berharap ke depannya akan ada komunitas-komunitas adat lain yang berinisiatif untuk membentuk sekolah adat. Agar semakin banyak lagi generasi muda yang mau belajar tentang adat istiadat,” ungkapnya.
Dalam sambutannya, Perangkat Desa Mekarsari yang mewakili Kepala Desa Mekarsari mengapresiasi pembentukan Sekolah Adat yang diinisiasi oleh AMAN. Menurutnya, hal ini sesuai dengan salah satu visi misi Kepala Desa yang ingin melestarikan adat istiadat dan budaya Masyarakat Adat.
“Dengan adanya sekolah adat mudah-mudahan bisa ngawengkuh anu tilu, nyaéta kedah tumut ka karuhun, taat ka agama, sareng ngawula ka pamaréntah (meliputi tiga hal, yaitu harus mengikuti leluhur, taat kepada agama, dan mengabdi kepada pemerintah),” ujarnya.
Bapak Yayan selaku Pengawas UPT Pendidikan Kecamatan Cibeber turut memberikan sambutan. Ia mengajak para baris kolot untuk senantiasa mendukung incu putu yang mau belajar adat. Ia juga mengajak sekolah formal terutama tenaga pengajarnya untuk ikut mendorong dan membantu sekolah adat.
“Pendidikan formal maju, pendidikan adat juga maju, jadi harus berbarengan. Karena mau siapa lagi, mau kemana lagi. Karena kan objeknya sama, anak-anak dan pemuda. Mari kita sama-sama melestarikan adat istiadat kita bersama”.
Setelah acara pembukaan, kegiatan dilanjutkan dengan ritual syukuran sekolah adat yang dipimpin langsung oleh Abah Ata selaku Ketua Adat Kasepuhan Lebak Larang.
Rencana Tindak Lanjut (RTL) dari Deklarasi Sekolah Adat se-Banten Kidul, menghasilkan dua hal penting. Pertama, masing-masing komunitas adat yang telah membentuk sekolah adat membuat kurikulum dan berkomitmen untuk menjalankannya. Kedua, menetapkan tanggal 28 Maret 2022 sebagai “Milangkala Sakola Adat Sa Banten Kidul”.
Credit Union adalah Lembaga keuangan yang didalamnya berkumpul orang yang saling percaya dan berwatak sosial dengan tujuan untuk mencapai kesejahteraan bersama. Credit Union memiliki tiga prinsip utama yaitu : Asas Swadaya, Asas Solidaritas, dan Asas Pendidikan. Credit Union bergerak dalam lapangan usaha pembentukan modal melalui tabungan anggota secara terus-menerus untuk kemudian dipinjamkan kepada para anggotanya secara mudah dan cepat sebagai tujuan produktif untuk mencapai kesejahteraan. Untuk menjadi anggota seseorang harus berwatak baik, rajin dan jujur sebagai salah satu jaminannya. Di Indonesia sendiri Credit Union bukan lagi sekedar lembaga keuangan tetapi sudah menjadi gerakan ekonomi karena besar dan luasnya dampak yang telah dihasilkan.
Mengapa anggota Credit Union harus membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya non-keuangan? Tentunya karena memiliki banyak manfaat yang diantaranya untuk melindungi tanah sebagai alat produksi yang paling vital bagi masyarakat. Kedua, mengurangi tekanan laju dari kerusakan sumber daya alam di wilayah adat. Ketiga, menjamin akses pemerataan pendidikan dan sebagai dana darurat untuk kesehatan dan hari tua (pensiun). Keempat, menurunkan tingkat konsumerisme dan kriminalisasi akibat tidak tersedianya lapangan pekerjaan dan terakhir meningkatkan rasa aman melalui persatuan dan solidaritas.
John Bamba seorang Intelektual Credit Union di Kalimantan Barat dalam bukunya berjudul Credit Union Gerakan Konsepsi Petani (2015)[ii] mengajak seluruh elemen Gerakan Credit Union untuk menemukan kembali peran strategisnya di tengah sistem yang semakin kapitalistik. Credit Union selain melek finansial, juga harus melek urusan sosial, budaya, politik. Pilihan ini muncul atas dasar kesadaran bahwa sistem kapitalisme tidak cukup dilawan hanya dengan kekuatan uang. Gerakan Credit Union sungguh menjadi gerakan manakala Credit Union dengan sadar dan sengaja untuk melibatkan dirinya dalam perjuangan rakyat, serta melakukan transformasi sosial tanpa mengabaikan profesionalitas Credit Union sebagai lembaga keuangan.
Kaitan Credit Union dengan Pancasila
Credit Union sangat berkaitan erat dengan Pancasila; Credit Union juga memiliki sistem paling sesuai untuk penerapan nilai-nilai Pancasila. Sistem Credit Union dapat dipakai sebagai salah satu alternatif untuk menerapkan sistem ekonomi Pancasila secara konkret. Sistem ekonomi yang memegang teguh nilai-nilai Pancasila, yaitu nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan nilai keadilan sosial. Kaitannya dengan Pancasila bahwa Credit Union yang berkembang paling pesat di dunia termasuk di Indonesia. Bung Hatta menegaskan bahwa Credit Union juga memiliki sistem paling sesuai untuk penerapan nilai-nilai Pancasila.
Bila kita bedah setiap sila maka dapat dijabarkan bahwa, Sila Pertama, nilai ketuhanan dalam Credit Union tidak berarti bahwa anggota harus beragama dan beriman tertentu atau sistem yang dijalankan harus berdasarkan pada agama atau keyakinan tertentu melainkan berarti bahwa sikap solidaritas dan belaskasih yang sudah diterima dari Tuhan. Sila kedua, nilai kemanusiaan dalam Credit Union berarti kesejahteraan manusia yang menjadi prioritas utama. Perkembangan mental manusia lebih diutamakan daripada keuntungan ekonomi. Sila ketiga, nilai persatuan artinya terbuka terhadap semua anggota dengan latar belakang apapun untuk bekerjasama. Sila keempat, nilai kerakyatan bahwa Credit Union ikut terlibat dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sistem yang dipegang teguh oleh Credit Union adalah demokrasi, musyawarah dan mufakat, dari anggota, oleh anggota, untuk anggota. Sila kelima, nilai keadilan sosial berarti selalu memperjuangkan kesejahteraan bersama.
Kehadiran Credit Union memberikan peluang bagi usaha-usaha kecil dan menengah untuk memperoleh pinjaman modal. Pinjaman dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan usaha anggota yang bergabung di dalamnya, sehingga dapat membantu pemerintah dalam upaya pengentasan kemiskinan. Seharusnya pemerintah dapat mendukung usaha Credit Union sebagai lembaga keuangan yang mempunyai orientasi kegiatan kemasyarakatan. Credit Union harus didukung oleh pemerintah karena sebagian aktivitas masyarakat kecil belum mempunyai akses dalam memperoleh pinjaman di lembaga keuangan lain seperti bank. Karena itu dalam pengentasan kemiskinan Credit Union dapat dijadikan pioner untuk membantu pemerintah dalam menyediakan modal usaha.
Dalam mewujudkan ekonomi berkelanjutan, Credit Union akan menghindari sekecil mungkin untuk menggunakan suntikan dana dari luar (donor), karena apabila modal Credit Union lebih kecil dibandingkan modal yang berasal dari luar, maka otonomi credit union yang ada sudah mulai hilang dan dikuasai oleh pemilik modal. Untuk itu otonomi dan kebebasan merupakan salah satu prinsip Credit Union yang justru membedakannya dengan lembaga keuangan lainnya. Maka dengan itu harus memiliki program untuk meningkatkan kemampuan ekonomi anggota perorangan untuk memobilasasi dana yang akan diperoleh.
Perlu digarisbawahi bahwa Credit Union tidak sama dengan koperasi dan lembaga keuangan lainnya terutama dengan Grameen Bank yang justru lebih mirip dengan Bank.[iii] Kita sudah mengetahui bersama bahwa yang namanya Bank artinya ada investor dan segala macamnya serta tidak ada semangat swadaya di dalamnya. Tidak bisa dipungkiri sekarang ini bahwa Grameen Bank menjadi primadona dan trend untuk model pemberdayaan ekonomi. Credit Union pun pada akhirnya harus tunduk kepada Undang-Undang Perkoperasian karena masuk dalam kategori koperasi.[iv]
Kenapa Masyarakat Adat Penting Ber-Credit Union?
Pertama sekali tentunya kita harus melakukan pemetaan terhadap masalah yang dihadapi Masyarakat Adat saat ini. Kita uraikan satu-persatu dimulai dari hal yang sangat vital yakni tidak ada kepastian hak atas tanah di banyak daerah di Indonesia, baik dari segi wilayah maupun sumber daya alam. Kerusakan lingkungan yang semakin meluas, konflik tenurial serta tanah dan wilayah adat semakin sempit dibanyak daerah hingga permasalahan krimininalisasi yang kian marak terjadi.
Adapun yang menjadi mandat dalam Sustainable Development Goals (SDGs) yang harus dicapai beberapa diantaranya adalah mengakhiri segala bentuk kemiskinan dimanapun serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, kesempatan kerja yang produktif dan menyeluruh, serta pekerjaan yang layak untuk semua.
Kemudian apa relevansi keberadaan Credit Union bagi Masyarakat Adat Indonesia ? tentunya Credit Union hadir untuk menjawab berbagai kondisi masyarakat Indonesia dalam hal keuangan. Keberadaannya di Indonesia yaitu menjadi lembaga keuangan berbasis pada anggota yang bertujuan mulia untuk memberdayakan masyarakat (anggotanya) untuk meningkatkan kesejahteraan dan martabatnya, melalui pelayanan simpan dan pinjam (bukan pinjam untuk disimpan). Penting bagi Masyarakat Adat untuk mendorong pemberdayaan masyarakat seutuhnya, sehingga berdaya guna dan berdaya cipta untuk dapat meningkatkan kesejahteraannya sendiri.
Ada beberapa manfaat dan keuntungan yang didapatkan Masyarakat Adat ketika bergabung di Credit Union diantaranya, adalah proses simpan pinjam yang mudah dan terjangkau, sumber pinjaman dengan bunga normal, menciptakan sumber kredit untuk kegunaan usaha yang produktif, juga mengedukasi anggota untuk mengatur dan mengelola keuangannya agar menggunakan uang secara bijak serta hemat. Perbedaan yang sangat signifikan yaitu melindungi tanah, sebab tanah merupakan alat produksi yang paling vital. Mengurangi tekanan laju sumber daya alam, menjamin kesehatan, pendidikan serta jaminan hari tua (pensiun). Menurunkan konsumerisme dan perjudian sehingga kita dapat mengidentifikasi yang mana kebutuhan dan keinginan. Selain itu juga meningkatkan rasa aman, persatuan dan solidaritas. Hal inilah yang tidak didapatkan di lembaga keuangan lainnya.
Dalam Credit Union setiap anggotanya mempunyai kepentingan secara langsung terhadap kebutuhan perkreditan. Mekanisme utama di dalam Credit Union adalah penyimpanan dan peminjaman keuangan oleh anggota. Credit Union menyelenggarakan pengumpulan keuangan dari anggotanya secara giat dan teratur. Setelahnya, memberikan pinjaman kepada anggotanya untuk keperluan yang bermanfaat. Uang jasa yang diterapkan atas peminjaman nilainya sangat rendah. Modal Credit Union berasal dari simpanan para anggotanya, mekanisme ini bertujuan untuk memberikan modal kepada anggotanya guna peningkatan penghasilan. Peningkatan ini juga akan kembali menguntungkan Credit Union sebagai pemberi pinjaman melalui simpanan baru dari anggota yang diberikan modal. Anggota akan dipersiapkan untuk menciptakan modal terlebih dahulu gunanya agar anggota diajarkan dan dikenalkan terlebih dahulu untuk menabung secara konsisten. Pinjaman kapitalisasi itulah yang kita sebut juga dengan pinjaman untuk menciptakan modal anggota. Mari Bergabung di Credit Union !!
Siapapun bisa bergabung menjadi anggota CU Randu, baik individu maupun komunitas (lembaga). Hubungi kami melalui contact person : Efrial Ruliandi (0812 1223 1466); Novalia Dea Larasati (0812 8200 7501); Email : adm.curandu@gmail.com. Kantor Pelayanan : Jl. Jenderal Sudirman No 15F – 3rd floor, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat, Indonesia 16129
[i] Penulis adalah Staff Organisasi Credit Union Pancoran Kehidupan (CU Randu).
[ii] CU Gerakan Konsepsi Filosofi Petani (Pro-Movement Credit Union), Institut Dayakologi & GCU-FPK: Pontianak., 2015.
[iv] Melalui Undang-Undang No.17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian, peluang campur tangan pemerintah dan pemilik modal besar atas koperasi menjadi sangat besar. Tidak adanya jaminan atas kemandirian atau prinsip swadaya sangat bertolak belakang dengan karakteristik Credit Union selama ini.
“Yang menarik adalah setiap materi dalam kegiatan ini disampaikan dengan santai dan menyenangkan, serta lebih mudah dipahami oleh peserta. Seperti pada saat pembahasan statuta dan manifesto, pembahasan yang biasanya sangat berat, dapat berjalan begitu santai dan menyenangkan. Meski begitu, esensinya tetap ada dan membuat peserta juga menjadi lebih aktif”, tutur Sucia.
Nama lengkpanya, Sucia Lisdamara Yulmanda Taufik. Ia adalah salah satu peserta Kemah Adat Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Region Jawa. Kegiatan ini dilaksanakan di Sekolah Adat Pesinauan Osing, Banyuwangi, Jawa Timur, pada tanggal 11-17 Oktober 2021. Peserta kegiatan ini terdiri dari para pemuda-pemudi adat dari Pengurus Daerah (PD) BPAN Osing dan PD BPAN Banten Kidul.
Sebagai Ketua PD BPAN Banten Kidul, Sucia sangat bersemangat mengikuti kemah adat yang menjadi salah satu rangkaian kegiatan Jambore Nasional IV BPAN. Menurutnya, kegiatan ini begitu menarik dan para peserta menerima banyak sekali materi yang sangat penting dan berguna.
“Banyak sekali, ada materi tentang jati diri, ancaman dan tantangan Masyarakat Adat, dll. Kita juga belajar membuat ketupat, jelajah wilayah adat Osing, nonton bareng film Masyarakat Adat, dan konsolidasi regional membahas statuta dan manifesto. Selain itu juga ada malam solidaritas yangg berisi penampilan-penampilan dari peserta,” ungkap Sucia.
Ketua Umum BPAN, Jakob Siringoringo yang turut hadir dan menjadi fasilitator di kemah adat tersebut, menyampaikan bahwa kemah adat menjadi ruang para pemuda adat belajar bersama untuk memperkuat organisasi BPAN.
“Kemah Adat menjadi salah satu rangkaian kegiatan Jamnas IV untuk mempererat solidaritas antaranggota BPAN, baik di satu wilayah pengorganisasian maupun antarwilayah pengorganisasian di dalam satu region. Kesempatan kemah adat juga menjadi ruang yang tepat bagi BPAN untuk melakukan konsolidasi di region,” ucap Jakob.
Sucia yang berasal dari Banten Kidul, bercerita soal hal penting yang didapatkannya saat mengikuti kemah. Terlebih hubungan dengan para pemuda adat asal Osing yang menjadi tempat pelaksanaan kegiatan.
“Hal yang paling membekas itu, kebersamaan kekeluargaan dan gotong royongnya. Jadi kita kan dari Banten kidul, itu baru pertama kali kenal, baru pertama kali ketemu dengan BPAN Osing, tapi rasanya kita kayak udah kenal lama. Mereka juga sangat baik menyambut, menjamu kita dengan baik itu dan tidak ada perbedaan di sana. Ini BPAN Banten kidul, ini BPAN Osing, kita semua berbaur di sana. Sama-sama udah seperti keluarga. Kegiatannya juga seru seru, asik”.
Ia berharap tali silahturahmi yang telah terjalin antaranggota BPAN di region Jawa tetap abadi dan kebersamaan saat Kemah Adat dapat terulang kembali.
“Semoga kita BPAN region Jawa khususnya silaturahmi kita nggak terputus sampai di sini aja, tapi akan terus berjalan selamanya meskipun dipisahkan oleh jarak yang jauh tapi silaturahmi kita harus dapat terhubung dan harus selalu dekat gitu. Dan saya harap juga kedepannya kita bisa berkumpul lagi dengan kegiatan-kegiatan lain dan semoga acara ini acara kemah raya dan konsolidasi ini dapat memberikan manfaat untuk kita kedepannya dan bisa lebih memajukan organisasi BPAN,” tutup Sucia.
Sejak 1900-an, Sorong Raya—mencakup Kota Sorong, Kabupaten Sorong Selatan, dan Raja Ampat di Papua Barat—sudah melewati tiga era industri. Era pertama adalah zaman minyak bumi yang dimulai 1935 ketika maskapai minyak Belanda mengebor minyak di Sorong. Era kedua adalah zaman minyak sawit mulai tahun 2000-an. Era ketiga, yang terbaru, adalah zaman Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang diresmikan pada 2016. KEK berada di Distrik Mayamuk, Kabupaten Sorong dengan luasnya 500 hektar dan diperuntukkan bagi suplai logistik, pertambangan, hingga perkebunan.
Tapi kemakmuran di setiap zaman itu “tak pernah mampir” ke komunitas Masyarakat Adat sebagai pemilik kawasan/wilayah adat tempat semua industri itu berdiri. Sampai hari ini bisa dihitung berapa banyak profesor, berapa doktor, berapa S1, berapa S2, berapa dosen, berapa guru, berapa banyak fasilitas pendidikan dan kesehatan yang bisa diakses secara gratis oleh komunitas adat dan marga yang wilayahnya sudah dikuasai oleh industri.
Bahwa kawasan-kawasan ini adalah wilayah yang memiliki alas hukum yang kokoh yang dikuasai secara turun-temurun sebelum adanya negara hingga kelahiran negara. Buhulnya juga adalah UUD 1945 pasal 18 B ayat 2 Amandemen Kedua yang mengakui keberadaan Masyarakat Adat. Di bawahnya ada UU 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Bab XI, tentang “Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat” yang diperkuat Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 yang menegaskan bahwa “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah Masyarakat Adat, dan bukan lagi sebagai hutan negara”. Lalu ada Perdasus Nomor 21, 22, 23 tahun 2018 yang menyatakan wilayah Papua adalah wilayah adat. Adapun di Kabupaten Sorong ada pula regulasi khusus, yaitu Perda No.10 tahun 2017 tentang “Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Moi di Kabupaten Sorong”. Dan juga di beberapa kabupaten/kota dalam tahapan penyusunan Perda Pengakuan dan Perlindungan terhadap Masyarakat Adat.
Namun, pengakuan atas hak Masyarakat Adat hanya selesai secara teori hukum. Implementasinya di lapangan lain cerita. Industri alih-alih membuat komunitas adat dan marga sejahtera, malah jadi sengsara di wilayah adat mereka sendiri.
Bagi komunitas Adat, hutan, dusun, atau wilayah adat adalah Mama yang memberikan kehidupan. Ketika Masyarakat Adat membutuhkan sagu, dia akan pergi ke dusun sagu. Ketika dia membutuhkan sayur dan daging, dia ke hutan. Ketika dia membutuhkan ikan, dia akan memancing. Ketika dia butuh obat, ada obat-obatan di dalam hutan. Ketika dia butuh keindahan, dia ke hutan untuk melihat anggrek hingga burung cenderawasih.
Hingga akhirnya, investasi mengubah hutan mereka yang kaya raya menjadi suatu jenis tanaman saja: kelapa sawit. Segala yang di luar kelapa sawit adalah hama, dari tikus hingga komunitas marga pemilik wilayah yang punya wilayah adat.
Hal itu terjadi karena kesengajaan dari industri/investor untuk mengangkangi konstitusi demi keuntungan perusahaan/pribadi. Karena itu, cara yang konstitusional bagi Masyarakat Adat untuk mendapatkan kembali hak-haknya adalah merebutnya melalui jalur hukum. Tapi tantangannya besar dan itu tidak mudah, karena investor sudah siap di jalur hukum ini, sebab mereka memiliki uang dan koneksinya di kekuasaan. Adapun Masyarakat Adat hingga saat ini praktis tanpa pembela hukum. Keberadaan pendampingan hukum untuk Masyarakat Adat makin krusial karena, seperti di banyak wilayah adat yang diokupasi perusahaan, ada potensi konflik antara komunitas marga yang menuntut haknya dan investor yang melindungi keserakahannya.
Di bidang penguatan ekonomi, Masyarakat Adat telah menunjukkan bahwa sistem ekonomi kolektif Masyarakat Adat yang bertumpu pada pengetahuan dan kearifan dalam pengelolaan wilayah adat dan sumber daya alamnya, terbukti mampu bertahan dari berbagai terpaan krisis. Hal ini menunjukkan bahwa sepanjang dua dekade, Masyarakat Adat punya andil besar dalam membangun tatanan dan kedaulatan pangan di wialayah Adat. Sayangnya, di tengah situasi ekonomi global yang semakin dinamis, kekuatan ekonomi Masyarakat Adat belum dijadikan sebagai dasar utama dalam kebijakan pembangunan ekonomi.
Kontribusi yang telah diberikan oleh Masyarakat Adat tak selaras dengan perlakuan negara terhadap Masyarakat Adat. Sepanjang dua dekade pula, Masyarakat Adat masih terus menghadapi beragam agresi pembangunan. Pengabaian, kriminalisasi hingga perampasan wilayah adat terus terjadi. Perlindungan dan penghormatan atas hak konstitusional Masyarakat Adat hingga kini bagai panggang jauh dari api.
Dalam hal ini Masyarakat Adat adalah instrumen penting untuk menyelesaikan persoalan-persolan mendasar yang selama ini menghambat proses berdaulat dan merdeka di atas wilayah adat. Juga situasi politik hukum dan kebijakan-kebijakan dalam kurun waktu ini, serta proyeksi arah gerak perjuangan organisasi gerakan Masyarakat Adat di tahun yang akan datang akan lebih banyak mengalami situasi dan kondisi yang berat.
Generasi dan gerakan Masyarakat Adat adalah penentu. Kita mati musnah atau bangkit melawan dan kita menang. Itu pilihan dan pilihan itu ada di atas tangan kita, juga masa depan wilayah Adat ada di atas pundak generasi hari ini untuk membawa dan memperjuangkan wilayah adat seutuhnya menjadi milik Masyarakat Adat. Dan ketika kita hari ini duduk diam melihat penindasan dan kita merasakan penindasan dan kita tidak bergerak, maka percuma saja karena perjuangan Masyarkat Adat tidak hanya duduk diam dan meyakini bahwa tanah Adat Papua akan bebas dari eksploitasi.
Tanah Adat Papua akan bebas dan merdeka jika generasi dan gerakan Masyarakat Adat aadar bersatu dan melawan, karena perjuangan adalah milik Masyarakat Adat Papua dan milik Masyarakat Adat dunia. Oleh karenanya, kita percaya perjuangan kebenaran akan memerdekakan Masyarakat Adat Papua”.
“I Yayat U Santi,” ucap Rukka Sombolinggi dengan lantang.
Rukka Sombolinggi selaku Sekretaris Jenderal (Sekjen) Aliansi Masyarkat Adat Nusantara (AMAN) membuka sesi sambutannya pada peringatan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) tahun 2021 dengan mengucapkan kalimat tersebut.
Secara harafiah, I Yayat U Santi berarti “Angkat dan acung-acungkanlah pedang (mu)”. Pekikan atau seruan khas ini berasal dari Minahasa, Sulawesi Utara. Seruan ini banyak sekali dipekikkan dalam tarian Kawasaran. Seruan I Yayat U Santi memiliki fungsi dan arti yang penting bagi orang Minahasa. Seperti ditulis oleh budayawan Minahasa, Pdt. Dr. W.A. Roeroe dalam buku Injil dan Kebudayaan di Tanah Minahasa, ungkapan ini diseru-serukan oleh pemimpin-pemimpin masyarakat dalam hal mengajak mereka untuk bersama-sama maju dengan kebulatan tekad melaksanakan apa yang dihasilkan dari perundingan bersama kepada anak-cucu-cecenya. Ia mengandung juga seruan supaya gagah perkasa, maju terus dan pantang mundur. Seruan “I Yayat U Santi!” disambut dan harus dibalas dengan jawaban atau pekikan: ‘Uhuy’ yang berarti Setuju, demikian halnya ! Sorakan “Uhuuy!”, menurut Roeroe bermakna ‘Marilah kita bersama menghadapi tantangan maut itu dan menanggulanginya demi kehidupan kita dan anak-cucu-cece kita’.
Pekikan Rukka itu langsung disambut dengan sorakan oleh dua pembawa acara HIMAS 2021, Rikson Karundeng dan Nedine Sulu yang berasal dari Minahasa.
“Uhuuy”.
Sebelum sambutan Sekjen AMAN, acara diawali dengan Ritual Hoho, dari Bawomataluo, Nias Selatan. Ritual ini biasanya dilaksanakan sebelum musyawarah komunitas dan hanya dilakukan tetua adat.
HIMAS di Tengah Pandemi
Peringatan HIMAS menjadi salah satu agenda besar yang selalu dilakukan AMAN setiap tahun. Biasanya kegiatan ini dilaksanakan AMAN secara luring, namun karena pandemi covid-19 yang menyerang awal tahun 2020, HIMAS mulai dilaksanakan secara daring.
HIMAS 2021 diperingati AMAN bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, pada Senin, 9 Agustus 2021. Sejak tahun lalu hingga kini, HIMAS diselenggarakan secara daring, melalui Aplikasi Zoom Meeting dan disiarkan secara langsung melalui akun Facebook dan Youtube milik AMAN. Peringatan HIMAS tahun ini diisi dengan sarasehan dan Panggung Budaya Masyarakat Adat Nusantara, dengan tema: ‘Masyarakat Adat dan Kebudayaannya: Perlawanan untuk Bumi’.
Acara sarasehan membahas berbagai aspek tentang kebudayaan Masyarakat Adat dan hubungannya dengan upaya perlindungan bumi. Bagaimana kebudayaan Masyarakat Adat menjadi media perlawanan untuk melindungi wilayah adat dan alam semesta. Sementara, Panggung Budaya Masyarakat Adat Nusantara menampilkan pertunjukan budaya dari berbagai komunitas adat di Nusantara, antara lain: seni tari perang dari berbagai wilayah, musik/nyanyian, silat, ritual-ritual, dll.
Sejarah Singkat HIMAS
Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) atau International Day of the World’s Indigenous Peoples diperingati di seluruh dunia setiap tanggal 9 Agustus. HIMAS pertama kali ditetapkan oleh Dewan Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada tanggal 23 Desember 1994. Keputusan ini tertuang dalam Resolusi PBB No. 49/214. Tanggal 9 Agustus dipilih untuk mengingat pertemuan perdana Kelompok Kerja PBB tentang Masyarakat Adat di tahun 1982. Pertemuan ini dianggap bersejarah karena menjadi momentum internasional di mana isu mengenai Masyarakat Adat mulai dibahas secara serius dan terbuka. Kemudian buah lain dari perjuangan itu pada tanggal 13 September 2007, PBB mengesahkan deklarasi tentang Hak-hak Masyarakat Adat atau United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples, disingkat UNDRIP. Peringatan ini juga diperingati AMAN setiap tahunnya.
Sejarah HIMAS dalam Gambar. Sumber: AMAN
AMAN sebagai organisasi Masyarakat Adat terbesar di dunia yang terbentuk tahun 1999, secara rutin merayakan HIMAS setiap tahun. Seperti ditulis AMAN dalam pemberitaannya, HIMAS secara umum ditujukan untuk meningkatkan kesadaran dan untuk melindungi hak-hak Masyarakat Adat di seluruh dunia. Perayaan HIMAS juga didedikasikan untuk mengingat pencapaian dan sumbangsih Masyarakat Adat untuk dunia yang lebih baik. Termasuk di soal pelestarian lingkungan dan warisan tradisi lokal yang memperkaya ilmu pengetahuan. Selain HIMAS, perayaan besar lain bagi Masyarakat Adat di nusantara yaitu Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara (HKMAN) yang diperingati setiap tanggal 17 Maret. Waktu ini juga menjadi penanda hari lahirnya AMAN pada 17 Maret 1999.
Kebudayaan, Resiliensi di Tengah Pandemi, dan Tugas Menjaga Bumi
“I Yayat U Santi. Angkat Pedangmu dan maju berperang. Kita saat ini sedang dalam situasi perang. Perang melawan diri kita sendiri. Perang melawan penjajahan berupa perampasan willayah adat dan perang melawan penjajah yang merampas wilayah adat. Dan jangan lupa, perang melawan covid-19,” tutur Rukka Sombolinggi usai memekikkan salam khas dari Minahasa itu.
Sekjen AMAN, Rukka Sombolinggi
Ia hendak memberikan semangat kepada para hadirin. Penjelasannya itu juga sangat berkaitan erat dengan kata ‘perlawanan’ yang menjadi salah satu varibel tema HIMAS 2021.
Selaku Sekjen AMAN, Rukka Sombolinggi, mengisi awal sambutannya dengan ungkapan empati atas gugurnya banyak orang, termasuk para tokoh-tokoh pejuang Masyarakat Adat, di tengah pandemi covid-19.
“Hari ini kedua kalinya, kita di seluruh dunia merayakan HIMAS, di tengah-tengah terpaan badai covid-19. Kita terus mengirimkan doa untuk seluruh umat manusia, baik Masyarakat Adat maupun bukan. Kita kirimkan semangat. Kita kirimkan doa, bagi sahabat keluarga dan kerabat kita yang telah terlebih dahulu meninggalkan kita. Secara khusus dalam beberapa bulan terakhir beberapa pemimpin AMAN pergi meninggalkan kita”.
Ia turut menjelaskan hubungan tema HIMAS 2021 secara global dan tema yang dipilih oleh AMAN.
“Tahun ini di internasional, temanya adalah Tidak Meninggalkan Siapa pun di Belakang: Masyarakat Adat dan Seruan untuk Kontrak Sosial Baru. Di tingkat nasional kita memperdalam tema tersebut, dengan realitas dalam setahun teakhir di seluruh nusantara dengan tema: Masyarakat Adat dan Kebudayaannya: Perlawanan untuk Bumi, sebagai cermin dari situasi yang dialami oleh Masyarakat Adat di nusantara”.
Rukka Sombolinggi terlihat sangat bersemangat. Ia turut memberikan gambaran tentang kebudayaan dalam perspektif Masyarakat Adat.
“Bagi kita Masyarakat Adat, kebudayaan adalah jalan hidup, cara hidup, berdasarkan sistem dan nilai warisan leluhur yang mengatur hubungan kita dengan alam semesta sekitar kita, termasuk dengan manusia, bintang dan tumbuhan, hubungan kita dengan leluhur kita. Dan tentu saja hubungan kita dengan Sang Pencipta alam semesta,” jelas Rukka.
Ditambahkannya, dunia yang ada saat ini tidak lepas dari keberadaaan beragam kebudayaan Masyarakat Adat. Berbagai studi menujukkan bahwa Masyarakat Adat adalah penjaga ekosistem terbaik yang tersisa di seluruh dunia.
“Demikian juga kita lihat selama pandemi ternyata kampung-kampung, wilayah-wilayah adat yang masih berdaulat atas wilayah adatnya adalah tempat yang paling berkecukupan. Sehingga kita mampu berbagi dengan sesama Masyarakat Adat maupun bukan. Ini semua menujukan bahwa kebudayaan yang kuat dan utuh, praktek-praktek termasuk musyawarah mufakat, itu menjamin keberlangsungan keberadaan dunia yang baik dan juga umat manusia”.
Sekjen AMAN melanjutkan bicara. Raut wajahnya mulai berubah. Matanya nampak memancarkan kesedihan saat ia mengungkap tantangan terbesar yang dihadapi Masyarakat Adat.
“Tantangan terbesar Masyarakat Adat menjaga bumi, menjaga manusia saat ini adalah justru paling banyak adalah kita sendiri, anak-anak adat. Banyak dari kita bangga menyandang nama adat kita. Pada saat yang sama kita menggadaikan diri, kita menjual wilayah adat kita. Dan dalam banyak hal kita dengan bangga menjadi perisai bagi penindas, menjadi benteng dari perampas wilayah adat. Ini adalah tantangan terbesar kita Masyarakat Adat.”
Ia menuturkan, covid-19 mengingatkan Masyarakat Adat untuk kembali ke akar, hidup lebih baik, dan merefleksikan perjalanan bukan hanya sebagai Masyarakat Adat tetapi juga sebagai bangsa Indonesia.
“Wilayah-wilayah adat yang tadi yang masih menjaga sistem unsur-unsur kebudayaannya, itu menjadi tempat yang paling aman. Ritual, ramuan-ramuan tradisonal, pangan yang cukup, musyawarah adat, tunduk kepada kepemimpinan para tetua dan pemimpin-pemimpin adat, itu yang membuat Masyarakat Adat selama setahun lebih bisa bertahan”.
Disampaikan Rukka, di sisi lain keunggulan tersebut menjadi sumber kerentanan Masyarakat Adat. Wilayah-wilayah yang dijaga Masyarakat Adat tetap tidak lepas dari ancaman, seperti perampasan wilayah adat. Ia kemudian menceritakan satu contoh kasus yang terjadi di Sakai, Riau. Di tengah pandemi covid-19, lahan yang mereka kelola dirusak. Belum lagi, masalah lain yang dialami Masyarakat Adat di tengah pandemi. Misal, ketiadaan fasilitas dan pelayanan kesehatan bagi Masyarakat Adat, menambah kerentanan menghadapi pandemi. Dalam kondisi tersebut, Masyarakat Adat tetap bertahan dengan pengobatan tradisional dan ritual.
“Namun di tengah situasi pandemi, di tengah ketiadaan fasilitas kesehatan dan infrastuktur transpotasi di wilayah adat, di tengah-tengah gempuran covid, kampung-kampung kita cukup ketat dengan ritual dan pengobatan tradisional. Dalam satu tahun terkahir saya banyak sekali mendengar ini. Ada kampung-kampung yang tidak punya pilihan lain selain pengobatan tradisonal dan ritual”.
Menurutnya, dalam menghadapi covid-19, pemerintah lemah dalam proses sosialisasi sampai ke kampung-kampung, khususnya bagi komunitas Masyarakat Adat.
Rukka melihat solusi lain untuk menghadapi pandemi. Baginya, berhenti untuk terus menyalahkan masyarakat dan melihat bagaimana kontribusi, bagaimana kekuatan masyarakat, bagaimana partispiasi Masyarakat Adat di dalam situasi terakhir ini, sesungguhnya adalah kekuatan. Gotong-royong sebagai warisan leluhur Masyarakat Adat menjadi kunci untuk tetap bertahan di tengah pandemi.
“Kita tidak boleh ingkar bahwa kita bertahan di kampung-kampung maupun di kota-kota, semuanya itu karena memang pertama daya tahan orang Indonesia yang luar biasa dan yang kedua karena gotong-royong. Ternyata salah satu budaya luhur warisan leluhur kita belum kita lupakan. Ternyata kita menemukan jalan kembali. Mengingat kembali praktek-praktek luhur leluhur kita yaitu praktek budaya gotong royong. Inilah yang membuat kita bertahan.“
Ia turut menyampaikan tantangan Masyarakat Adat menghadapi kontrak sosial baru. Di tengah ketiadaan UU Masyarakat Adat, gempuran revisi UU Minerba, dan adopsi UU Cipta Kerja digunakan sebagai instrumen hukum untuk merampas, meneguhkan perampasan, memperkukuh perampasan wilayah Adat yang sudah terjadi serta memberikan karpet merah kepada perusahaan untuk wilayah adat yang tersisa. Ditegaskannya, menjadi tangung jawab bersama untuk melakukan perlawanan terhadap hal tersebut.
“Untuk itu saya mengajak kita semua untuk berjuang mempertahankan tanah leluhur kita, bergotong-royong melawan covid-19, memperjuangkan sebuah kontrak sosial baru, untuk memastikan kita tidak terus-terus berada di belakang. Kita menjadi sentral dari sebuah dunia dengan tatananan baru.”
Rukka Sombolinggi menutup sambutannya dengan menuturkan bahwa Masyarakat Adat memiliki lebih dari cukup sumber daya untuk ditawarkan kepada seluruh umat manusia. Tugas Masyarakat Adat dalam menjaga bumi tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk semua orang dan generasi selanjutnya.
“Masyarakat Adat punya lebih dari cukup untuk kita tawarkan kepada seluruh umat manusia. Itulah hari ini yang harus kita ingat dan terus kita kobarkan semangatnya, bahwa apa yang kita miliki, seluruh kebudayaan kita secara utuh bukan hanya untuk kita sendiri. Kita menjaga bumi bukan karena kita mau menikmatinya sendiri, (tapi) karena kita ingin mewariskannya kepada generasi-generasi berikut dan juga berkontribusi besar terhadap umat manusia yang lain, baik Masyarakat Adat maupun bukan”.
Usai sesi sambutan Sekjen AMAN, acara dilanjutkan dengan sambutan oleh Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan, Kemdikbudristek, Hilmar Farid. Ia mengawali sambutannya dengan salam dan ucapan selamat HIMAS.
“Pertama tentu saya mengucapkan Selamat Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia Tahun 2021”.
Dirjen Kebudayaan, Kemdikbudristek: Belajar dari Masyarakat Adat
Hilmar Farid kemudian bicara soal pandemi covid-19 di Indonesia. Menurutnya, semua orang masih masih berjuang untuk vaksinasi, termasuk Masyarakat Adat, sebab dari informasi yang didapat, vaksinasi sangat tidak merata jangkauannya.
Ia juga menuturkan kebijakan baru dari direktoratnya. Bagi mereka yang tidak punya KTP bisa divaksin. Menurutnya, kebijakan sudah ada, tapi perlu dikawal di lapangan untuk memastikan bahwa itu memang bisa diakses oleh semua orang.
Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan, Kemendikbudristek, Hilmar Farid
“Dan khusus untuk Masyarakat Adat, saya kira situasi juga sangat bervariasi. Ada daerah-daerah yang memang masih terjaga dan terlindung dengan baik, situasinya mungkin relatif baik karena ada kedaulatan yang kuat. Sehingga Masyarakat Adat bisa menetapkan sejenis lock down di tingkat lokal. Aturan-aturan dipatuhi. Kita tahu di Sungai Utik, di Kanekes, dan sebagainya. Tapi sebagian lagi tidak atau tidak mengalami atau tidak punya kemewahan seperti itu”.
Dikatakannya, daerah Masyarakat Adat yang tidak lagi punya kemewahan seperti itu, karena sebagian dari lahan-lahan mereka sudah bersinggungan dengan tempat-tempat modern. Ada perkebunan, pertambangan, kota-kota, dan seterusnya. Sehingga irisan ini membatasi kemampuan Masyarakat Adat untuk menerapkan mekanisme kendali yang sesungguhnya ada, secara efektif.
Ditambahkannya, daerah Masyarakat Adat yang kedaulatannya tinggi, mereka memiliki mekanisme sendiri dan bahkan punya istilah untuk pandemi.
“Kita masih sibuk mengeja pandemi, mereka sebetulnya sudah punya istilah yang digunakan turun-termurun untuk memahami situasi seperti yang kita hadapai sekarang. Dan lebih penting dari konsep dan seterusnya itu adalah adanya ikatan sosial yang kuat. Adanya otoritas yang ditaati. Dan yang sangat mendasar, pemahaman bersama yang solid. Itu yang gak ada di perkotaan”.
Hilmar Farid menjelaskan, tantanan modern yang dibangun, seperti di perkotaan, sama sekali tidak disiapkan untuk menghadapi situasi seperti ini. Berbeda dengan Masyarakat Adat yang sudah punya mekanisme sendiri.
“Masyarakat Adat yang hidup turun-temurun, generasi per generasi mewariskan pengetahuannya terus menerus. Sudah punya mekanisme, sudah punya pengetahuan, sudah punya bekal untuk menghadapi semua. Dan ini yang dalam bahasa sekarang kita sebut sebagai resiliensi atau ketahanan. Dan saya kira penting sekali bagi kita untuk mendokumentasiksn pengetahuan dan praktek yang muncul di berbagai tempat yang tadi sudah disebutkan oleh kak Rukka juga”.
Upaya pendokumentasian penting, karena menurut Hilmar Farid, solusi pandemi tidak mungkin tunggal. Tidak ada satu solusi yang berlaku untuk semua. Konteks lokal sangatlah penting.
Ia kemudian lanjut bercerita soal keterhubungan rusaknya ekosistem, pandemi, dan dampaknya kini. Menurutnya, Masyarakat Adat, saat ini berada pada titik perjuangan yang sangat menentukan.
“Kita mesti menjadi bagian dari normal baru. Normal baru ini bersandar pada berbagai macam kearifan lokal yang kita kumpulkan, kita dokumentasikan, dan kita buktikan keampuhannya menghadapi situasi seperti yang kita alami sekarang ini”.
Hilmar Farid percaya bahwa normal baru bukan konsep abstrak yang disusun oleh para perencana yang jauh dari kenyataan. Tapi normal baru mesti disusun berdasarkan praktek dan pengalaman konkret yang ada di bawah.
“Normal baru ini dihidupi oleh filososi yang menyadari bahwa manusia adalah bagian dari alam. Normal baru ini tidak boleh tengelam lagi dalam kebodohan, keangkuhan, dan keserakahan manusia. Dan tidak ada tempat yang lebih baik, saya kira, mempelajari norma-norma dan nilai ini dari pada Masyarakat Adat yang sudah menghidupi tanah kita selama ribuan tahun. Dari sinilah kita bisa belajar untuk memikirkan tantanan normal baru di masa mendatang,” tutupnya.
Sebelum acara sarasehan dimulai, kegiatan HIMAS diisi dengan pemutaran video-video dari komunitas Adat anggota AMAN, salah satunya video tentang Tenun Ikat Pulau Timor.
Masyarakat Adat dan Peran Perlawanan untuk Bumi
Abdon Nababan, selaku Wakil Ketua DAMANNAS (Dewan AMAN Nasional), langsung mengambil alih acara. Ia dipercayakan untuk menjadi moderator dan memandu jalannya sarasehan.
“Tadi dari Ibu Sekjen sama Pak Dirjen sudah menjelaskan ke kita dengan bagus sekali bahwa kebudayaan Masyarakat Adat itu menjadi sangat penting. Pertama karena kebudayaan Masyarakat Adat itu dibangun dari suatu proses yang panjang. Proses yang sangat mendalam yang melahirkan suatu sistem yang bebeda di suatu Masyarakat Adat dengan Masyarakat Adat lainnya,” ungkap Abdon.
Abdon Nababan
Turut disampaikannya, dari apa yang ia dengar dari pembicara sebelumnya, Masyarakat Adat itu punya kesetiaan untuk menjaga kerterhubungannnya dengan lima hal. Pertama, Masyarakat Adat itu setia menjaga hubungannya dengan Sang Pencipta. Kedua, Masyarakat Adat setia menjaga keterhubungan dengan leluhurnya. Ketiga, Masyarakat Adat setia menjaga hubungannya dengan alam semesta atau bentang alam di mana mereka hidup. Keempat, Masyarakat Adat setia menjaga hubungannya dengan sesama manusia. Kelima, Masyarakat Adat setia menjaga keterhubungannya dengan makhluk lain (baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan).
Usai memberikan sedikit pengantar dan memperkenalkan para narasumber, Abdon Nababan memberikan kesempatan bicara kepada Mardiana Derendana sebagai pembicara pertama.
Mardiana Derendana adalah Perempuan Adat Dayak Ma’anyan, Kalimantan Tengah. Ia memulai dengan bercerita tentang adat dan hukum adat.
Mardiana Derendana
“Adat adalah suatu tata cara untuk berhungan antara sesama manusia, atau sesama mahluk hidup. Berhubungan denagn alam, berhubungan dengan roh atau dewa penjaga hutan, penjaga bumi, itu adalah ada aturan yang diatur di dalam adat. Di dalam adat itu ada hukum. Hukum adalah sesuatu yang ditindak oleh tokoh adat Masyarakat Adat maupun lembaga-lembaga adat terhadap para pelanggar-pelanggar adat di Masyarakat Adat”.
Ia kemudian menjelaskan alasan mereka menjaga alam dan filosofi hubungan Masyarakat Adat dan komunitasnya dengan bumi.
“Kami bangkit mempertahakan itu semua karena apa? Karena kita tahu Tuhan hanya satu kali menciptakan bumi ini. Bumi tidak akan bisa melahirkan bumi, apalagi seorang manusia. Seorang perempuan hanya bisa melahirkan anak-anak manusia. Maka oleh sebab itu, bagi kami Masyarakat Adat Dayak Ma’anyan nan serunai, bumi adalah ibu kami, hutan adalah nafas dan sumber kehidupan kami. Air adalah darah kami”.
Ia bercerita, sejak tahun 2006, hak hidup mereka mulai dirampas. Oleh karena itu, mereka bangkit melawan.
“Kami bukan anti perusahaan. kami bukan anti pemerintahan. Yang kami anti adalah cara-cara perampasan hak hidup kami dengan pembabatan hutan. Pengrusakan lingkungan itu yang menyebabkan kami harus bangkit mempertahankan bumi dan kami komunitas perempuan adat yang peduli bumi, alam hutan, dan lingkungan. Kami komunitas Masyarakat Adat Dayak Ma’anyan nan serunai bangkit demi bumi”.
Usai ibu Mardiana bicara, moderator memberi kesempatan bicara kepada narasumber kedua, Tori Kalami.
Tori adalah tokoh adat dari Moi Kelim, Papua Barat.
“Pertama-tama, dari ufuk timur negeri ini, saya menyampaikan selamat ulang tahun kepada Masyarakat Adat sedunia walaupun kita belum diberikan ruang yang baik di negara ini, tetap kita optimis bahwa ulang tahun ini akan memberikan pelajaran, memberikan modal, memberikan cita-cita yang baik untuk Masyarakat Adat di kemudian hari”.
Tori Kalami
Selanjutnya ia menyatakan keraguannya, terhadap statemen pentingnya ekosistem, pentingnya menjaga ekologi dan sebagainya yang sering disampaikan oleh menteri dan presiden dalam pidato kenegaraaan. Ia pesimis dengan pernyataan tersebut karena menurutnya, pernyataan itu adalah pernyataan panggung politik. Baginya itu hanya pernyataan biasa yang tidak bisa dipegang sebagai suatu kesepakan bersama antara Masyarakat Adat dan pemerintah atau negara.
“Kenapa demikian, karena banyak pernyataan politik di mimbar-mimbar resmi terkait pentingnya eksosistem, ekologi. Tapi pernyataan itu tidak bisa dipegang oleh Masyarakat Adat. Salah satunya adalah Undang Undang Masyarakat Adat yang didorong hari ini tidak sampai ke ujung, sampai ke titik. Itu menujukkan bahwa negara, dalam hal ini pemerintah kita, tidak serius menangani hal-hal yang substansinya, subjeknya adalah Masyarakat Adat itu sendiri yang hari ini kita bicarakan”.
Tori lebih lanjut menjelaskan yang terjadi di Papua Barat, terkait pemberitaan media tentang pencabutan ijin kelapa sawit. Dan hal lain, seperti moratorium sawit akan dicabut tahun ini. Menurutnya, ada kemungkinan terjadi pemutihan terhdap ijin-ijin yang bermasalah.
“Kalau terjadi pemutihan, maka kemudian ada ijin baru yang tanpa kompromi terhadap pemiiliknya yang ada di negerinya sendiri”.
Tori memulai perjuangannya dari Sorong, karena berdasarkan filosofi di Papua, Sorong adalah kepala. Pergerakannya dimulai dari kepala, sehinnga ekornya bisa mengikuti. Filososi itu menurutnya telah ia uji dengan regulasi.
“Membuktikan bahwa keseriusan negara, pemerintah itu ada di Undang Undang Masyarakat Adat, itu serius. Baru kita bilang pemerintah, negara serius. Kalau tidak ada Undang Undang, saya bilang, itu hanya kampanye politik secara pribadi untuk panggung politik, merebut panggung-panggung politik di Masyarakat Adat dan membuat beban-beban yang besar pada Masyarakat Adat”.
Secara pribadi, ia mengatakan sangat membela bumi, ketika ditanya soal itu.
“Saya secara pribadi sebagai anak muda menyatakan sangat sangat sangat membela bumi. Itu buktikan? Bisa dibuktikan”.
Ia kemudian lanjut menceritakan tentang pengalaman advokasi di lapangan dengan Masyarakat Adat.
“Kalau ada advokasi kita yang belum selesai, maka mungkin metodologi kita harus kita ubah, karena kita tidak bisa pakai metodologi yang sama di masalah yang sama. Mungkin ada metodologi lain. Itu pun kami lakukan di Papua Barat dan secara khusus di wilayah Moi, kami lakukan itu”.
Paska pencabutan ijin tahun 2020, Tori dan kawan-kawan generasi muda adat melihat ada ruang berbahaya. Mereka kemudian membuat peta wilayah adat. Ada 14 marga yang terlibat dalam pemetaan tersebut dan prosesnya tinggal menunggu pendemi selesai. Dari pengalaman itu, mereka kini diminta banyak pihak komunitas adat untuk membantu melakukan pemetaan wilayah adat.
Kesempatan bicara selajutnya diberikan kepada narasumber terakhir, Dolorosa Sinaga selaku akademisi dan seniman perupa.
Di awal bicaranya, ia mengantar publik pada pemahaman bahwa semua orang memiliki sejarah yang sama dan memiliki DNA keturunan Masyarakat Adat.
“Kesadaran utama yang saya mau bawa dalam pertemuan ini adalah bahwa kita semua yang hadir di sini memiliki sejarah yang sama. Kita semua yang hadir di sini memiliki DNA keturunan masyarakat tradisi dan Masyarakat Adat. Kita semua, tidak ada pengecualian”.
Dolorosa Sinaga
Kesamaan itulah yang, menurutnya, membuat semua orang penting untuk peduli kepada Masyarakat Adat, dan pada persoalan terkait nenek moyang, yang mengalami penindasan, perampasan tanah, dan banyak hal lain.
‘Mungkin kita tidak hidup dalam tradisi itu. Nenek moyang kita, iya. Warisan DNA itu ada di kita. Jadi kita semua di sini sama khlayak di luar acara ini memang punya kepentingan untuk peduli pada persoalan nenek moyang kita yang mengalami penindasan, perampasan tanah, dan segala macam.”
Alasan ini kemudian berkesimpulan bahwa Masyarakat Adat adalah fondasi dari identitas budaya bangsa.
“Kita bisa mengatakan bahwa, Masyarakat Adat itu adalah fondasi dari identitas budaya kita, budaya bangsa.
Sebagai seniman, ia melihat bahwa DNA kretifitas yang dimiliki orang saat ini diwariskan dari Masyarakat Adat.
“Masyarakat Adat itu memproduksi pengetahuan, memproduksi kecerdasan intelektual, dan Masyarakat Adat itu mewariskan DNA kreatif kepada kita. Kita memiliki daya kemampuan sebagai makhluk yang memiliki kreatifitas. Itu DNA yang diwariskan Masyarakat Adat kepada kita”.
Baginya peran Masyarakat Adat di dunia modern itu konkrit.
“Peran Masyarakat Adat di dunia modern itu konkrit. Tidak imajinatif dan tidak mengarang. Sangat konkrit”.
Ia kemudian memberikan ilustrasi hubungan kreatifitas dengan Masyarakat Adat. Ia mengambil contoh Picasso, seorang seniman kontemporer garda depan yang bermula di Paris, Eropa. Picasso, diceritakan Dolorosa, mendapatkan gagasan-gagasannya yang kontemporer dari Masyarakat Adat di Afrika.
“Semua itu menjadi inspirasi yang melihat peran dan kontribusi Masyarakat Adat pada dunia modern itu konkrit”.
Selain DNA kreatifitas, Masyarakat Adat juga memiliki DNA ketahanan.
“Kita memiliki DNA ketahanan. Karena Masyarakat Adat itu memiliki satu hal yang paling penting mereka kerjakan adalah they have the power to survive. Jadi itu ada di kita”.
Dengan hal ini, menurut Dolorosa, negara seharusnya punya daya tahan yang kuat.
“Negara ini seharusnya punya daya tahan yang kuat, bukan menghisap.”
Ia turut menjelaskan tentang perjuangan hak asasi manusia dan tentang tata kelola negara. Selanjutnya ia memberikan beberapa ilustrasi. Salah satu contohnya, di Papua.
“Di Timika itu, puncak gunung yang pernah ada di sana adalah tempat bersemayam leluhur kawan-kawan, saudara- saudara kita di Papua. Kemudian dia diterabas, hilang sampai dia tidak lagi terlihat jauh di dasar tanah sana. Dikerok habis. Apa yang terjadi? Tatanan spritual kawan-kawan di Papua hilang. Ini adalah sebuah bentuk genosida kultural”.
Berkaca dari contoh tersebut, ia menilai bahwa Masyarakat Adat dan masyarakat pada umumnya, harus berani mengkoreksi kekeliruan yang dilakukan oleh negara. Karena ini terkait kelangsungan hidup manusia dan kelangsungan bumi.
“Kita harus berani dan mampu mengkoreksi kekeliruan-kekeliruan yang dilakukan negara dalam menata seluruh pengetahuan, kelangsungan hidup dari Masyarakat Adat yang merupakan juga kelangsungan hidup kita. Terutama kelangsungan hidup bumi, tempat kita berpijak”.
Menurutnya, kemampuan Masyarakat Adat untuk melindungi, merawat, dan memelihara, tidak perlu diajarkan kepada mereka. Tidak perlu juga dibesar-besarkan. Masyarakat Adat tidak akan merusak kawasan lingkungan karena itu tempat mereka menggantungkan hidup.
“Mereka sendiri melindungi hutannya, melindungi sungainya, melindungi tetumbuhannya, karena apa? Karena hidupnya sangat terghantung dengan Mother Earth, dengan alamnya, dengan lingkungannya. Gak mungkin mereka merusak kawasan lingkungan di mana itu adalah tempat mereka mengantungkan hidupnya”.
Ia dengan jelas menggambarkan upaya perlindungan bumi yang dilakukan oleh Masyarakat Adat. Namun di sisi lain, Masyarakat Adat tidak mendapatkan penghormatan dan jaminan dari negara. Ia kemudian menegaskan bahwa selama ini negara tidak menghormati Masyarakat Adat.
“Tapi kalau kita mau bicara soal perlindungan, negara itu, tidak bisa kita katakan, negara itu melindungi hidup Masyarakat Adat. No, no, no, no. Apakah pernah terbukti dia menjalankan kewajiban dan tugasnya melindungi Masyarakat Adat dalam ancaman perampasan tanah dan lain sebagainya? Tidak pernah terjadi. Karena yang merampas itu mereka. Bagaimana dia mau melindungi?”
Masyarakat Adat yang menghadapi banyak ancaman dalam hidupnya, bagi Dolorosa, negara seharusnya hadir dan melindungi.
“Ancaman sudah begitu banyak terjadi pada kehidupan Masyarakat Adat, di situlah sebetulnya negara harus datang memperlihatkan secara konkrit dia melindungi rakyatnya, melindungi kelangsungan hidup Masyarakat Adat”.
Di bagian akhir sesi bicaranya, Dolorosa Sinaga mengatakan bahwa hak asasi manusia tidak memerlukan perlindungan, tapi memerlukan penghormatan dan jaminan.
“Menghormati kemanusiaan dan menjamin kehidupan masyarakat, kehidupan warganya, kehidupan setiap individu maupuan kolektif bisa dilakukan di negara ini”.
Pernyataannya itu langsung disambut oleh Rukka Sombolinggi dan Abdon Nababan. Terjadilah percakapan yang menarik di antara mereka.
“Berharap negara melindungi, itu tidak benar. Yang melindungi adalah Masyarakat Adat,” sambung Rukka.
“Yes,” balas Dolorosa.
“Sebenarnya, konstruksi konstitusi kita juga udah benar begitu. Karena negara, sebenarnya disebut, negara mengakui dan menghormati,” timpal Abdon.
“Tetapi tidak terjadi. Penghormatan itu tidak ada,” tutur Dolorosa memotong ucapan Abdon.
“Kalau ada, gak ada AMAN. Kalau penghormatan itu ada, AMAN gak perlu ada”, sambung Dolorosa.
Mereka pun kemudian tertawa, sambil mengiyakan pernyataan Dolorosa.
“Mudahan-mudahan AMAN segera bisa menjadi sejarah,” balas Rukka sambil tertawa.
“Iya itu dia. Karena negaranya sudah mengakui dan menghormati,” pungkas Abdon.
Sesi pemaparan narasumber kemudian dilanjutkan dengan dialog bersama peserta. Ada beberapa peserta dari Masyarakat Adat yang bicara. Di momen ini, Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat juga diberikan kesempatan menanggapi.
Sjamsul Hadi, SH, MM, selaku Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan YME dan Masyarakat Adat, menjelaskan apa yang telah dilakukan mereka terkait pemenuhan hak-hak Masyarakat Adat.
Sjamsul Hadi
“Dalam hal ini direktorat KMA sangat mendukung untuk mengubah pola pandang. Walaupun kami dari sisi pemerintah, kami sudah memulai bergerak yaitu, Masyarakat Adat ini hendaknya kita pandang dan hormati yaitu sebagai subjek, bukan sebagai objek. Oleh karena itu, tiap-tiap upaya pengembangan dan pemajuan kebudayaan, salah satunya sepuluh objek pemajuan kebudayaan ini, bisa kembali, kita kembalikan. Dan Masyarakat Adatlah yang berhak untuk mengembangkannya”.
Ia juga menjelaskan, pihaknya telah melakukan beberapa langkah terkait percepatan Undang Undang Masyarakat Adat.
Usai ditutup oleh moderator, sarasehan pun berakhir. Acara lantas berlanjut ke Panggung Budaya.
TUTUP TPL
Sebelum Panggung Budaya Masyarakat Adat dimulai, HIMAS 2021 kedatangan tamu spesial dari Aliansi Gerakan Rakyat Tutup Toba Pulp Lestari (TPL). Togu Simorangkir, namanya.
Pada 14 Juni 2021, Togu Simorangkir dan beberapa orang yang menamakan diri TIM 11 AJAK Tutup TPL memulai aksi jalan kaki dari makam Sisingamangaraja XII di Toba, Sumatera Utara ke Istana Negara RI di Jakarta. TIM 11 merupakan singkatan dari “Tulus, Ikhlas, Militan”. Tim ini beranggotakan Togu Simorangkir, Anita Martha Hutagalung, Christian Gultom, Irwandi Sirait, Ferry Sihombing, Ewin Hutabarat, Agustina Pandiangan, Yman Munthe, Lambok Siregar, Jevri Manik, dan anak Togu yang berumur 8 tahun, Bumi Simorangkir. Aksi mereka ini sempat menghebohkan dan menarik perhatian masyarakat luas, sehingga aksi Tutup TPL meluas dan mendapat banyak dukungan.
Rikson yang memandu acara, menjelaskan sedikit tentang perjuangan Togu Simorangkir dan kawan-kawannya dari Aliansi Gerakan Rakyat Tutup TPL. Bincang santai pun tak terelakkan di antara keduanya.
“Mungkin bisa diceritakan sedikit, kenapa abang dan kawan-kawan melakukan itu?,” tanya Rikson.
“Jadi aksi jalan kaki atau AJAK TUTUP TPL dari Toba ke Jakarta itu, hasil dari reaksi terhadap kejadian tanggal 18 Mei 2021 yang bentrok antara Toba Pulp Lestari dengan Masyarakat Adat Natumingka di Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba”.
Togu lanjut bercerita.
“Jadi sebenarnya itu bentuk kemuakan dan kegeraman terhadap perusahaan yang sudah 34 tahun ada di Tano Batak, yang sudah memperkosa Tano Batak, yang sudah merusak lingkungannya, yang sudah merampas tanah adatnya. Ya, pada prinsipnya saat itu, selama ini sudah sering terjadi bentrokan-bentrokan, kriminalisasi Masyarakat Adat tapi berita itu tidak sampai. Paling tiga hari sudah hilang gitu. Tiga hari sudah hilang beritanya gitu. Waktu itu misinya hanya satu yaitu mau mencari perhatian publik dan memelihara berita tentang tutup TPL. Jadi, kita perkirakan kemarin 45 hari, kita perkirakan, ya, selama 45 hari gaung tutup TPL itu akan terus terjaga”.
Togu Simorangkir
Togu mengakui, usaha mereka mendapatkan banyak dukungan masyarakat luas. Terlebih khusus dukungan Masyarakat Adat agar TPL ditutup.
“Kita ingin memberitahukan ke dunia, tidak hanya orang-orang Batak, tapi ke dunia dan itu kita mendapat dukungan yang luar biasa lho dari Masyarakat Adat. Ini sampai banyak sekali, testimoni-testimoni yang mengatakan dan mendukung Tutup TPL.”
Setelah melewati banyak tantangan dan rintangan, usaha Togu dan kawan-kawan pun berhasil. Jumat, 6 Agustus 2021, Togu bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara.
“Aktivis lingkungan Togu Simorangkir berjalan kaki dari Danau Toba, Sumatera Utara ke Jakarta sebagai bentuk aksi protes soal lingkungan di daerahnya. Sore tadi, saya menerimanya di istana. Saya juga sempat berbicara lewat video call dengan rekan dan keluarga Togu Simorangkir di Sumatera Utara. Kami sepakat bahwa kelestarian lingkungan adalah tanggung jawab semua pihak, demi keberlanjutan kehidupan di masa mendatang,”. Begitu kata Presiden Joko Widodo, seperti ditulis di akun Facebook Presiden Joko Widodo yang bercentang biru. Sebuah video berjudul ‘Aspirasi dari Toba’ juga ada di dinding facebook itu.
Saat ini mereka terus menunggu hasil pertemuan dengan Presiden dan menurut Togu, ia dan aliansinya akan terus membuat strategi agar tanah adat dan hutan negara dikembalikan dan diperbaiki secara bersama-sama.
“Semoga aksi jalan kaki ini bisa menjadi inspirasi buat siapa pun yang ingin menyuarakan tanah-tanah adatnya. Yang pasti saya berharap dari aksi ini, banyak orang-orang yang tersesat di jalan yang benar. Mau memperjuangkan tanahnya, mau memperjuangkan tanah leluhurnya, tanpa embel-embel yang lain. Hanya ini tanah saya. Saya harus fight. Saya harus berjuang untuk bisa mempertahankan tanah sampai titik darah penghabisan. Siapkah kita?”
Togu mengakhiri sesi bicaranya dengan sebuah pertanyaan reflektif namun sangat penting dan menantang.
Cerita Togu langsung dilengkapi dengan pemutaran video dari grup musik Horja Bius, Jakarta. Gambar-gambar lingkungan yang rusak oleh TPL dan desakan masyarakat agar TPL ditutup menjadi isi video yang diputar. ‘Tutup TPL’ menjadi gagasan utama dan diucapkan lantang oleh si vokalis dalam lagu tersebut.
Horja Bius
“Toba Lestari Tanpa TPL” menjadi lirik lagu yang diulang-ulang di video yang diputar selanjutnya. Di awal video, ditulis ‘AMAN Tano Batak’, sebagai pembuat video ini. Lirik lagunya sederhana dan sangat jelas dan konkrit pesannya.
Lagu lain tentang perjuangan untuk mendesak agar TPL ditutup, masih diputar. Di layar bagian atas layar tertulis, ‘Save Tao Toba (Lagu Tutup TPL) By Dompax Redflag’. Lirik ‘Tutup TPL jika ingin Tobaku berseri kembali. Tutup TPL agar berarti untuk anak cucumu nanti. Tutup TPL. Jangan mau diadu domba lagi agar harga diri kita kembali lagi’ tertulis sebagai pesan utama lagu ini.
‘Tutup Toba Pulp Lestari Sekarang Juga’ menjadi lirik penutup lagu Dompax Redflag.
Arif Girsang, seniman sekaligus pejuang Masyarakat Adat Tano Batak ikut menghadirkan karyanya. Bak kesatria bergitar, Arif dalam video di lagunya, menyanyikan lirik-lirik sederhana namun menggigit.
Arif Girsang
Analogi dan perbandingan dalam liriknya, begitu jelas pesannya. Nuansa otokritik begitu terasa. Seperti pada lirik:
Wah, Batak itu harum
Tapi kampungnya bau karena TPL
dan,
Anak orang Batak banyak berpangkat jenderal Tak satu pun menghalangi.
Pesan Tutup TPL sangat jelas dalam lagunya. Ia menyampaikan dalam liriknya, setelah TPL pergi akan ada banyak peluang dan orang tidak akan jadi pengganguran.
TPL Pergi, semakin banyak peluang
Ladang semakin luas, pencaharian bertambah.
Disampaikan Arif dalam lagunya, TPL Tutup berarti kedamaian bagi suku bangsa Batak.
Tutup TPL, mari pulihkan Tanah Batak
Tutup TPL, kedamaian bagi suku bangsa Batak.
Syair tersebut menjadi penutup lagu Arif Girsang.
Panggung Kebudayaan (Virtual) Masyarakat Adat, Sukses
Acara Panggung Budaya HIMAS 2021 begitu meriah. Video-video diputar. Tarian, musik, ritual, syair, tari, silat, dan video lain tentang kekayaan kebudayaan Masyarakat Adat diputar.
Peserta Panggung Budaya
Kolom chat aplikasi Zoom begitu ramai. Orang-orang saling memberi salam dan mengucapkan selamat HIMAS. Kekaguman dan apresiasi atas video yang sedang diputar juga dituliskan mereka di chat.
Selain berbagai penampilan video dari Masyarakat Adat, HIMAS 2021 diramaikan dengan pembagian door prize bagi 80 puluh orang yang beruntung.
Peringatan HIMAS 2021 selesai. Saresehan dan Panggung Budaya sukses. Bukti bahwa pandemi tidak membatasi Masyarakat Adat berkarya, bergembira, dan merayakan kehidupan.
Tadi siang aku bersama Bapak pergi ke kebun untuk mengambil jagung yang ditanam selama 3 bulan ini. Bapak memintaku untuk menyalakan api dari ranting dan pohon kering dekat gubuk. Aku menuruti perintah Bapak. Menyalakan api menggunakan korek kayu yang disimpan oleh Bapak dibalik pintu gubuk.
Aku mengambil rumput kering untuk menyalakan api. Satu persatu ranting kecil aku taruh ke atas api. Asapnya membuat mataku pedih dan aku batuk-batuk juga kena asap. Bapak tertawa dari kejauhan, melihatku susah payah membuat api. Tak lama, ranting dan kayu kering terbakar dengan cepat. Aku segera mengabari Bapak apinya sudah bisa digunakan.
Bapak memintaku untuk merebus air dan membuat kopi untuknya dan Pakde. Aku bertanya menggunakan air yang mana, Bapak menunjuk sungai kecil di ujung gang masuk kebun. “Kamu bisa ambil air di sana, airnya lebih enak daripada yang di gentong”. Aku berjalan membawa belanga yang sudah berwarna hitam. Mengambil air dan kemudian menggantungkan belangga yang dikaitkan dikawat sebagai pengganti kompor di kebun.
Sambil menunggu air mendidih, aku membersihkan pinggiran gubuk. Kayu-kayu yang dibelah oleh Bapak aku tumpuk rapi agar bisa dibawa pulang nanti sore. Aku tali menggunakan pelepah daun kelapa yang ditipiskan oleh Pakde tadi. Ranting-ranting kecil tak lupa aku kumpulkan untuk digunakan membuat api saat di kebun.
Bapak datang membawa 5 tongkol jagung yang baru ia panen. Dikupasnya jagung satu persatu dan ditaruh di pinggiran api. Aku menyeduh kopi sambil melihat Bapak membakar jagung. Sementara Pakde masih terus memanen jagung satu persatu sebelum jam 12 siang.
“Hari Ini kamu mau bantu Bapak panen jagung atau mau memancing saja?” Kata Bapak.
“Aku mau ikut panen saja Pak. Sore nanti mau nyarik kangkung buat Bude, soalnya tadi pagi Bude nitip untuk diambilkan kangkung dan terong”. Aku menjawab Bapak sambil mengaduk kopi.
Kopi sudah jadi, aku memanggil Pakde untuk istirahat makan siang dan minum kopi. Pakde datang dengan keranjang besar berisi jagung. Rencananya nanti sore tengkulak akan datang dan membeli jagung Bapak. Aku menyuguhkan kopi ke Pakde. Kemudian mengambil jagung bakar untuk kusantap bersama teh manis hangat. Kami beristirahat bersama siang itu.
Pukul 12.30, Ibu datang membawa pisang dan Ubi goreng. Ibu datang bersama Marni adik perempuanku. Ibu memintaku untuk membuka cemilannya dan segera disuguhkan ke Bapak dan Pakde. Hari Ini Marni ikut ke kebun karena hari Minggu. Dia datang untuk memancing ikan yang berada di sungai tempatku mengambil air.
Hangat aku rasakan hari itu, saat kami semua berkumpul di kebun. Aku mengantar Marni ke sungai dan memasangkan kail pancing, “kamu diam di sini, kalau kailnya dimakan kayunya akan going-goyang. Segera tarik dan panggil aku ya. Aku mau bantu Bapak panen” kataku pada Marni agar tak merengek dan mengganggu kami panen.
“Iya,” jawabnya sambil mengangguk.
“Sekarang Marni ambil teh manis dan cemilan yang Ibu bawa, supaya gak bosan saat menunggu umpan dimakan ikan”. Marni segera berlari mengambil apa yang aku suruh tadi. Setelah dia datang, aku pergi meninggalkan Marni dan mengambil keranjang panen. Ku lihat Ibu sedang membersihkan jagung yang sudah dipanen oleh Bapak dan Pakde.
Aku mulai masuk ke lajur tanaman jagung yang belum dipanen. Aku petik satu per satu dan dimasukan ke dalam keranjang. Keringatku mulai mengucur dengan pasti. Rupanya matahari cukup terik hari ini. Bapak dan Pakde tertawa melihatku, karena sudah lama aku tak ikut panen jagung. Ternyata tinggal di kota dan bersekolah membuatku kewalahan dan tak sekuat dulu. Aku tertawa malu dan belum penuh keranjangku sudah kubawa ke gubuk, karena tak sanggup dengan beratnya.
Ibu menyuruhku istirahat. Aku tidak mau karena aku malu kepada Bapak yang dari tadi datang hanya beristirahat sekali. Ibu menyuruhku mengantarkan sebotol air putih Bapak karena tadi lupa. Aku kembali menggendong keranjang dan memberikan air putih pada Bapak.
“Mbak, mbak,” panggil Marni.
Aku segera menghampiri Marni dan kulihat dia tersenyum karena mendapatkan ikan gabus sebesar lengannya. “Aku dapat ikan Bu” Marni berlari cepat menghampiri Ibu untuk pamer.
“Nanti kalau sampai rumah Ibu goreng ya, untuk makan malam kamu”. Aku mendengar percakapan Ibu dengan Marni.
“Mbak, aku mau mancing lagi ya. Tolong pasangkan umpannya, biar aku tungguin”. Aku segera menuruti kemauan Marni.
“Mar, nanti sambil mancing, aku minta tolong ya untuk ambilin kangkung dan terong buat Bude. Soalnya tadi Bude nitip buat dimasak nanti sore. Bisa kamu bantu aku?” Marni mengangguk setuju. Aku memberi marni contoh seperti apa yang harus dia ambil dan seberapa banyak terong yang harus dipetik. Aku kemudian melanjutkan panen jagung.
Benih
“Pak, Bapak tolong sisakan beberapa pohon jagung ya, yang akan dijadikan bibit lagi buat tanam selanjutnya,” Ibu berteriak dari arah gubuk. “Iya Bu, tadi aku juga minta Mas Jamal untuk milih mana yang bagus buat bibit”. Teriak Bapak dari jauh.
Bapak dan Ibu memang selalu menggunakan bibit jagung yang mereka benihkan sendiri. Meski harganya lebih murah dipasaran. Bapak memilih untuk mempertahankan benih yang sudah turun temurun. Aku sering melihat Bapak ditawari oleh petugas pertanian untuk menanam jagung hibrida. Tapi Bapak menolak, karena ia tahu bibit itu tak bisa dibenihkan kembali. Benih akan merusak apa yang sudah diturunkan oleh keluarga Bapak. Buat Bapak tidak apa murah dijual jagungnya, selama tidak merusak kebunnya. Karena merawat akan lebih mudah dari mendapatkan kebun ini.
Tumbuh
Sudah pukul 4 sore. Aku, Bapak dan Pakde kembali ke gubuk dengan keranjang penuh jagung. Ibu membuatkan kami teh manis. Lega sekali rasanya hari ini, walaupun badan pegal-pegal karena belum terbiasa. Aku menghampiri Marni, ternyata hari ini dia mendapatkan 2 ekor gabus yang besar. Kangkung dan Terong pun sudah dipetiknya, aku masukan ke dalam keranjang.
Bu, tadi kenapa Bapak diminta untuk memilah benih, kan bisa beli Bu? Kulihat Pakde tertawa karena pertanyaanku.
“Nur, benih itu harus dirawat bukan dibeli, coba sekarang kamu bandingkan Jagung Bakar yang kamu makan tadi, sama yang nanti kamu beli di warung Bu Simah. Pasti Beda” Kata Pakde. Aku kurang paham apa yang dibilang Pakde, kemudian aku meminta ibu menjelaskan maksud Pakde tadi.
Kata Ibu, benih itu ibaratnya anak, anak yang harus dirawat. Anak yang akan meneruskan tradisi keluarga ini. Jadi kalau tidak dirawat dengan baik sudah pasti menghancurkan dunia ini. Begitu juga saat pemilihan benih. Ibu meminta Bapak untuk menggantung di genteng Gubuk, supaya kering dengan baik. Menghitung tanggalan yang cocok dan selalu mengganti tanamannya di kebun. Ibu juga menjelaskan dalam setahun tanamannya selalu diganti tiga jenis agar tanahnya tetap terawat dan tidak sakit.
Ibu juga mengatakan, seluruh benih yang ada di kebun adalah hasil turun-temurun. Memang lebih bagus kalau benihnya beli. Tapi benih-benih itu tak bisa ditanam lagi. Artinya selama masih bertani kita akan terus membeli dan membeli. Padahal apa yang dibeli sudah dimiliki sejak lama.
Bapak dan Ibu percaya, apa yang ditanam di kebun memiliki keterhubungan satu sama lain. Bapak juga tak pernah protes dan marah jika jagungnya rusak dimakan oleh burung atau hama. Buat Bapak itu berbagi rejeki, mereka butuh makanan dari kita, kita juga butuh bantuan dari mereka. Yang namanya kebun itu gak menghidupi satu keluarga saja, tapi hewan dan tumbuhan lain juga hidup. Artinya kita harus bisa berdampingan satu sama lain tanpa merusak.
Aku mengangguk-angguk sambil makan jagung bakar dan mendengar penjelasan Bapak dan Ibu. Sementara Marni kulihat sibuk menangkap capung dengan getah dari pohon nangka yang ia bacok tadi siang.
Jagung
Pukul 5 sore, tengkulak jagung datang membawa sepeda motor dengan keranjang besar di kanan dan kirinya. Dikeluarkan timbangan gantung untuk jagung-jagung yang sudah masuk ke karung. Tali timbangan di ikat di dahan pohon yang besar. Bapak membantu si tengkulak untuk menimbang. Setelah selesai ditimbang, si tengkulak segera memberikan uangnya.
Aku dan Ibu membersihkan gubuk supaya besok tidak kotor. Kayu yang kutumpuk tadi segera aku naikan ke atas sepedaku. Aku diminta Ibu untuk pulang lebih dulu bersama Marni, karena harus mengantar kangkung dan terong pesenan Bude.
Aku menaikkan Marni di atas kayu dengan lapis daun pisang. Marni tertawa, pulang membawa dua ekor ikan gabus dan tiga capung yang ia masukan ke dalam toples. Aku pamit untuk pulang. Mengayuh sepeda, melihat hamparan hijau kebun milik orang di kampungku. Lembayung sore tak kalah indah, berpamitan kepadaku dan Marni yang hendak pulang untuk berganti hari dengan malam.
PT Toba Pulp Lestari (d/h PT Inti Indorayon Utama), seperti yang disebut di laporan keuangannya tahun 2019—ini yang termutakhir yang diumumkannya ke publik—ternyata hanya menciptakan lapangan kerja bagi 691 orang sebagai karyawan dan 486 orang sebagai mitra kerja. Padahal, lahan yang dimanfaatkannya 270 ribu hektar.
Pendapatannya, menurut laporan keuangan itu, cuma Rp 2 triliun. Mereka rugi. Dengan begitu tak perlu bayar pajak. Malahan mereka masih punya utang pajak US$570 ribu.
Manipulasi laporan keuangan telah mereka lakukan. Demikian temuan sebuah konsorsium lembaga yang telah menyelidiki. Laporan mereka, Dugaan Pengalihan Keuntungan dan Kebocoran Pajak pada Ekspor Pulp Indonesia, terbit pada November 2020.
Sudah sangat kecil sumbangannya ke negara, mengaku rugi pula! Padahal selama 33 tahun lebih telah melakukan banyak kejahatan, termasuk merusak lingkungan hidup dan mengusik ketenteraman orang Batak.
Manfaatnya bagi rakyat banyak tak seberapa dibanding mudharatnya. Jadi, sudah waktunya kegiatan PT Toba Pulp Lestari (TPL) dihentikan di kitaran Kaldera Toba, kawasan yang telah dinyatakan Presiden Joko Widodo sebagai 1 dari 5 Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP). Lagi pula, merupakan sebuah ironi besar kalau saja mereka masih terus menggagahi – menjarah wilayah yang telah berstatus taman dunia (geopark versi UNESCO) dan DPSP.
Togu Simorangkir, Anita Martha Hutagalung, Irwandi Sirait, dan kawan-kawan mereka di TIM 11 telah berjalan kaki dari Soposurung, Balige ke Jakarta (1.700- an km) untuk menuntut penutupan TPL. Tentu saja banyak orang Batak dan etnik lain yang mendukung perjuangan heroik mereka.
Dari Ketum BPAN, Kembali ke Kampung, Menggerakkan Kedaulatan Pangan, dan Jadi Pengurus BPD
Jhontoni Tarihoran dikenal orang sebagai tokoh pemuda adat yang intens berjuang untuk Masyarakat Adat. Ia adalah pemuda adat asal Tano Batak, dari Kampung Janji.
Tahun 2015-2018, ia menjabat sebagai Ketua Umum (Ketum) Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN). Di BPAN, ia sekarang masih menjabat sebagai Dewan Pemuda Adat Nusantara (DePAN) utusan Region Sumatera. Saat menjadi Ketum BPAN, Jhon mencetuskan sebuah gerakan pemuda adat yang kini menjadi salah satu landasan para generasi muda adat menjaga wilayah adatnya yaitu Kembali Ke Kampung atau Gerakan Pulang Kampung (Homecoming Movement).
Jhontoni Tarihoran saat berfoto bersama pemudi-pemudi adat senusantara di Jambore Nasioan III BPAN
Setelah menyelesaikan tugasnya sebagai Ketum BPAN, ia memutuskan Kembali ke Kampung, menghidupi program yang dicetuskannya. Ia ingin membuktikan sendiri bahwa tinggal di kampung menjadi hal yang luar biasa. Kembali ke kampung, menurutnya, bukan sekedar Kembali tinggal di kampung dan tidak berbuat apa-apa, namun Kembali ke kampung harus diikuti dengan upaya-upaya nyata untuk menjaga, membangun, dan mengurus kampung. Hal itu ia maknai dengan berbagai kegiatan.
Jhontoni Tarihoran
Di kampungnya, ia menjadi seorang petani dan aktif mengorganisir petani. Para petani di Janji meminta agar dirinya bersedia menjadi Ketua Kelompok Tani mereka. Jhon tidak menolak. Dia bekerja agar petani dapat mengakses dukungan pemerintah terkait tentang pertanian. Karena sebagai petani, sebelumnya Jhon dan warga lainnya kesulitan untuk mendapatkan pupuk subsidi. Kini mereka tidak saja hanya mendapat pupuk subsidi, tetapi juga bibit dan alat-alat pertanian. Baru saja juga kelompok tani yang dia pimpin mendapat kepercayaan dari pemerintah untuk mengerjakan pembangunan Prasarana Pertanian di desa dengan biaya ratusan juta rupiah. Jhon juga menggerakkan kedaulatan pangan di kampungnya. Jhon punya cerita menarik soal ini. Di akun media sosial miliknya, ia mengunggah foto-foto kegiatannya berkebun. ‘Tebang Sawit, Tanam Sawi’ menjadi unggahannya yang banyak menarik perhatian. Pohon sawit di kebun, ditebangnya dan ia tanami sayur sawi.
Sawit yang ditanami Sawi
Ia juga menanam banyak tanaman dan memelihara beberapa jenis hewan ternak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Setelah panen, hasilnya tidak ia nikmati sendiri, banyak pula yang ia bagikan untuk warga di kampungnya.
Sejak pandemi menerpa dunia awal tahun 2020 lalu, Jhon menjadikan ini sebagai jalan untuk menyatakan kedaulatan pangan Masyarakat Adat. Ia menunjukkan bahwa tinggal di kampung dan mengolah tanah adalah solusi di tengah pandemi. Jhon kemudian menghimpun Masyarakat Adat di kampungnya untuk menggerakkan kedaulatan pangan sebagai gerakan utama secara bersama. Mereka membentuk kelompok Kedaulatan Pangan dan Jhon lagi-lagi ditunjuk sebagai Ketua.
Jhontoni saat bekerja bersama Kelompok Kedaultan Pangan di Komunitasnya
Kembali dan mengurus kampung dipahami Jhon dengan berbagai cara. Itu yang sering ia katakan dalam berbagai kesempatan kepada sesama pemuda adat lain di forum-forum seperti seminar ataupun diskusi. Ia memang tidak hanya berteori tetapi langsung mempraktikkannya.
Di kampung, Jhon juga membantu mengadvokasi para Masyarakat Adat. Mulai dari hal kecil tapi penting. Misal, membantu mengurus adminsitrasi kependudukan, menyampaikan aspirasi Masyarakat Adat ke pemerintah di desa, dan lain sebagainya.
Selain kedaultan pangan dan advokasi Masyarakat Adat, masuk dalam ruang pengambilan keputusan dan merebut posisi dalam kepemerintahan, baik di tingkat desa sampai tingkat nasional, menjadi hal penting yang harus dilakukan sebagai bagian dari mengurus kampung. Hal itu pun dipraktikkannya.
Tahun 2018, ia maju dan menjadi Calon Anggota DPRD Toba Samosir periode 2019-2024. Tahun 2019, ia maju sebagai Calon Kepala Desa Lumban Rau Utara. Walapun belum terwujud menjadi anggota legislatif di tingkat kabupaten dan kepala Desa di Lumban Rau Utara, tidak membuatnya patah arang. Ia terus berusaha masuk ke semua lini pengambilan keputusan sebagai utusan politik dari pemuda adat dan Masyarakat Adat.
Terakhir, ia masuk dalam ruang pengambilan keputusan di desa. Ia maju dalam pemilihan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Lumban Rau Utara, Kecamatan Nassau, Kabupaten Toba, Provinsi Sumatera Utara. Upayanya ini berbuah manis. Ia berhasil masuk dalam struktur dengan menjadi Wakil Ketua BPD.
Menurut Jhon, ia merebut posisi pemerintahan di desa, khususnya BPD, dengan penuh pertarungan, karena ada upaya untuk membatasi keterlibatan pemuda dalam mengurus desa. Baginya, ini harus dilawan.
“Karena menurut saya hal-hal aneh yang dipakai untuk membatasi keterlibatan pemuda dalam mengurus desa sudah saatnya dilawan. Justru pemuda harus dilibatkan secara aktif. Kalau tidak maka pemuda itu sendiri yang harus memaksakan diri untuk terlibat. Sampai saat ini seringkali pemuda tidak dilihat sebagai kekuatan apalagi untuk menyumbangkan pemikiran demi kebaikan desa,” tutur Jhon.
Ditambahkannya, BPD memiliki tugas penting dalam pengawasan penyelenggaran dan pembangunan desa, sehingga menjadi bagian dari BPD adalah kesempatan untuk terlibat mengurus kampung.
“Menjadi BPD adalah satu kesempatan untuk boleh melibatkan diri lebih lagi untuk mengurus kampung ataupun desa. BPD memiliki tugas penting untuk mengawasi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di desa. Maka pemuda harus merebut tugas tersebut demi kebaikan kampung dan keberpihakan pemerintah untuk kepentingan pemuda adat dan Masyarakat Adat itu sendiri. Pemuda harus merebut tanggung jawab dan kesempatan, mengurus kampung”.
Dalam tulisan ini, Jhon akan bercerita secara langsung, bagaimana proses dari awal sampai ia sukses menjadi bagian dari BPD. Ada banyak kisah sedih di dalamnya. Misalnya, diskriminasi dan upaya untuk membatasi pemuda untuk terlibat karena alasan lajang dan belum menikah. Namun, dari kisahnya ini juga, ada banyak pelajaran berharga yang bisa dipetik. Pelajaran tentang semangat, pantang menyerah, dan berjuang melawan diskriminasi menjadi BPD.
Berikut Jhon mengisahkannya:
——
“Awalnya saya tidak tertarik menjadi seorang anggota Badan Permusyawaratan Desa. Karena sepanjang pengamatan saya di desa, tugas atau peran BPD itu sendiri hampir tidak terlihat. Walaupun saya tahu, bahwa tugasnya sangat penting dalam pengawasan pembangunan dan pemerintahan di tingkat desa. Saya juga melihat bahwa selama ini pada umumnya yang menjadi anggota BPD itu seringkali orang-orang tua ‘yang ditokohkan’, dan tentu saja hal seperti itu bukan bagian saya. Saya hanya seorang anak muda di desa yang selalu berupaya untuk terlibat dalam rapat-rapat di desa.
Pada 15 Februari 2021 saat penjaringan anggota BPD berlangsung, saya melihat panitia mensosialisasikan syarat-syarat untuk menjadi seorang anggota BPD. Pada saat yang bersamaan, salah seorang panitia mengatakan bahwa saya tidak bisa jadi anggota BPD, karena disebut anak muda yang belum menikah. Hal itu tentu berbeda dengan persyaratan yang termuat pada kertas yang ditempelkan panitia pada dinding warung kopi tempat kami ngobrol. Salah satu syarat administrasi yang harus dipenuhi menyebutkan: berusia paling rendah 20 (dua puluh) tahun atau sudah/pernah menikah dengan melampirkan foto copy KTP dan KK. Dari persyaratan tersebut berarti saya tentu bisa mencalonkan. Namun, pemerintah desa sebagaimana ditekankan panitia tersebut kesannya ‘dipaksakan’ membatasi atau meniadakan kesempatan untuk para pemuda/i di desa, seperti saya, untuk menjadi anggota BPD. Memang saya belum menikah, tapi umur saya sudah melampaui usia 20 tahun. Sebab peraturan itu mencantumkan kata ‘atau’ yang berarti adalah pilihan salah satunya.
Pada 20 Februari 2021, seperti biasa saya menghadiri undangan pemerintah desa tertanggal 15 Februari 2021 yang ditempelkan di dinding warung kopi tentang Musyawarah Dusun. Musyawarah kali ini dalam rangka pengisian anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Saya hadir sebagai peserta yang pertama di tempat yang telah ditentukan mendahului pemerintah desa yang mengundang.
Sebelum musyawarah dimulai, Kepala Desa lebih awal bertanya tentang siapa saja yang bersedia untuk menjadi calon anggota BPD. Sementara yang hadir masih saya dan dua orang lainnya. Menjawab pertanyaan Kepala Desa tersebut, saya mengatakan bahwa yang menjadi calon adalah kami bertiga saja dulu. Kepala desa langsung menjawab kembali, yang menegaskan bahwa saya tidak bisa ikut untuk calon anggota BPD. Lagi-lagi karena persoalan status anak muda yang belum menikah. Saya kemudian mempersoalkan hal itu. Saya mempertanyakan alasan tidak memenuhi syarat sebagaimana disebutkan oleh kepala desa dan sebelumnya oleh Panitia Penjaringan Anggota BPD. Langsung saja saya lihat Kepala Desa bertelepon dengan seseorang meminta penjelasan terkait dengan syarat tentang umur dan status pernikahan. Dari perbincangan yang saya dengar dia bertelepon dengan Sekretaris Camat.
Setelah melewati waktu yang ditentukan dan warga kemudian berdatangan untuk mengikuti musyawarah, diawali oleh Ketua Panitia Penjaringan Calon anggota BPD, musyawarah pun dimulai dengan menjelaskan maksud dan tujuan. Kemudian menjelaskan tentang kriteria calon anggota BPD. Dari yang saya tangkap tak banyak menjelaskan tentang tugas dan tanggung jawab seorang BPD. Oleh karena itu setelah diberikan kesempatan kepada peserta yang hadir, saya menegaskan tentang tugas dan tanggung jawab seorang BPD sebagaimana yang saya ketahui. Selain itu sedikit menyampaikan tentang pengamatan keberadaan BPD sebelumnya di desa, anggota BPD dan Kepala Desa tidak saling membawahi dalam tugas. BPD justru harus mengawasi kinerja kepala desa, dan harus mampu menetapkan peraturan desa secara bersama-sama dengan Kepala Desa. Tak seorang pun yang keberatan dengan hal-hal yang saya sampaikan.
Kemudian dalam musyawarah, beberapa orang langsung mengusulkan nama saya untuk menjadi utusan mereka di BPD. Peserta yang hadir saat itu pun menyetujui secara bersama-sama tanpa seorang pun yang menyampaikan keberatan ataupun pendapat lain. Salah seorang dari warga yang juga merupakan anggota BPD aktif menegaskan kembali tentang status pernikahan tidak menjadi masalah. Kali ini Kepala Desa menjawabnya bahwa hal tersebut tidak masalah dan bisa mencalonkan diri sebagai anggota BPD.
Setelah proses pemilihan di masing-masing dusun selesai dilakukan, Pemerintah Desa kemudian mengundang anggota BPD terpilih untuk melengkapi berkas-berkas yang diperlukan. Pada saat pertemuan, panitia menjelaskan hal-hal yang perlu dilengkapi dengan batas waktu yang ditentukan. Pertemuan yang dilakukan di Kantor Desa dihadiri Panitia Penjaringan Anggota BPD, Anggota BPD aktif dan Sekretaris Desa. Sementara Kepala Desa mengikuti pertemuan di tempat berbeda dengan Pemerintah Kabupaten.
Sekretaris desa menyampaikan ada pesan dari Kepala Desa agar berkordinasi dengan saya terkait dengan status pernikahan yang selama ini dipersoalkan. Melaui pesan WhatsApp yang dibacakan dan ditunjukkan, bahwa Kepala desa sedang bersama dengan Dinas PMD dan membicarakan hal tersebut, lagi-lagi mengatakan bahwa saya tidak memenuhi syarat untuk menjadi anggota BPD karena belum menikah. Tetap saja saya membantah dan menyarankan agar Kepala Desa dan Panitia membaca persyaratan dengan baik agar tidak salah menerjemahkan. Tetapi Kepala Desa dan Panitia tetap bersikukuh bahwa saya tidak memenuhi syarat karena belum menikah. Hal itu ditegaskan lagi oleh Kepala Desa. Saya dipanggil untuk membicarakan hal itu secara khusus. Saya disarankan agar memilih pengganti saya sendiri yang berasal dari keluarga untuk jadi anggota BPD. Saya tetap saja menolak. Saya membantah. Proses musyawah dusun sudah selesai, harusnya itu ditindaklanjuti untuk melengkapi berkas. Selain itu musyawarah dusun sebagai pengambil keputusan harusnya juga dihormati sebagaimana telah membuat hasil terpilihnya saya secara musyawarah mufakat. Sesungguhnya saya ‘ngotot’ mempertahankan pandangan, karena menurut saya, jelas saja kepala desa dan panitia tidak menginginkan generasi muda atau lajang menjadi bagian dari BPD. Hal ini menurut saya justru melecehkan anak-anak muda yang ingin memberikan kontribusi terhadap pembangunan negara ini khususnya di desa.
Salah seorang panitia yang juga merupakan Perangkat Desa kembali menelepon saya mengatakan hal yang sama, bahwa seorang lajang tidak boleh menjadi anggota BPD. Bosan dengan hal itu, saya meminta agar dikirimkan saja semacam sms, pesan whatsapp atau surat agar saya tindak lanjuti kepada siapa yang mengatakan hal itu. Kemudian saya menerima pesan whatsaapp yang intinya bahwa ada seseorang dari DPMD-PA yang mengatakan bahwa “calon BPD tidak bisa lajang sesuai Perbup 3 Romawi 4”. Saya pun mempertanyakan hal itu kepada yang bersangkutan. Akan tetapi tidak mendapat jawaban yang jelas. Sehingga melalui seorang teman wartawan, saya dibantu untuk mempertanyakan hal itu kepada Kepala Dinas PMD. Yang pada intinya Kepala Dinas mengatakan bahwa walaupun lajang kalau sudah melampui umur 20 tahun berhak menjadi anggota BPD”.
——
Walaupun telah terpilih sebagai anggota BPD, dalam proses Pemilihan Ketua BPD, Jhon tetap dijegal dengan alasan yang sama, masih muda. Jhon menuturkan bahwa Kepala Desa dan Panitia sulit menerima penjelasan darinya. Selain itu, melawan cara berpikir kolot seperti seorang yang masih lajang dan masih muda tidak layak menjadi pengurus desa, menjadi tantangan terbesar baginya.
“Tantangan terbesar adalah sulitnya kepala desa dan panitia menerima penjelasan dari saya sebagai pemuda terkait dengan persyaratan menjadi seorang anggota BPD. Kemudian melawan suatu cara berpikir yang kolot, yang membangun cara berpikir bahwa seorang lajang tidak layak menjadi pemimpin atau pengurus di desa seperti jadi seorang BPD. Sama halnya juga saat pemilihan ketua, alasan anggota BPD yang lain tidak memilih saya menjadi ketua adalah karena masih muda,” ungkap Jhon.
Kritik terhadap upaya dan pemahaman yang seperti ini menjadi masalah yang perlu dipecahkan dan dibongkar. Dalam visinya sebagai Calon Ketua BPD, Jhon mengusung gagasan bahwa pemuda mengurus kampung. Pemuda tidak boleh dipinggirkan dalam urusan desa dan urusan pemerintahan.
“Visi pemuda mengurus kampung untuk memastikan pembangunan desa transparan dan partisipatif. Tua dan muda, laki dan perempuan bersama-sama mengurus desa. Pemuda tidak boleh dibelakangkan dalam urusan desa, urusan pemerintahan. Pemuda harus mengawasi penggunaan uang miliaran rupiah yang dikucurkan setiap tahunnya ke desa”.
Belajar dari pengalamannya, Jhon mengajak semua pemuda-pemudi adat untuk terlibat dan merebut ruang pengambilan keputusan mulai dari tingkat desa. Ia juga meilhat bahwa suara pemuda masih jarang terdengar di pertemuan-pertemuan desa dan bahkan sering dipandang sebelah mata.
“Harus terlibat karena suara pemuda masih jarang terdengar di pertemuan-pertemuan di desa. Seringkali pemuda masih dilihat sebelah mata, sementara pada zaman saat ini pemuda lebih cepat beradaptasi dengan berbagai situasi, khususnya dalam penggunaan berbagai alat-alat yang dapat mengakses berbagai hal yang jauh dari desa. Pemuda tidak boleh dipandang rendah dalam urusan bernegara demikian juga dalam pengambilan keputusan pemuda harus dilibatkan karena masa yang akan datang adalah milik para generasi muda,” ucap Jhon.
Jhontoni saat berfoto bersama Wakil Bupati Toba Samosir di acara pelantikan BPD.
Setelah melalui proses perjuangan panjang, Jhontoni Tarihoran kemudian dilantik sebagai Wakil Ketua BPD pada hari Rabu, 23 Juni 2021 yang lalu berdasarkan Keputusan Bupati Toba yang dikeluarkan pada tanggal 31 Mei 2021.
Usai dilantik, ucapan selamat pun banyak berdatangan. Ketua Umum Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), Jakob Siriongoringo, turut memberikan ucapan yang dimuat di media sosial BPAN seperti Halaman Facebook (fanpage), Instagram dan Twitter.
“Selamat atas dilantiknya Jhontoni Tarihoran (DePAN Sumatera), sebagai Wakil Ketua BPD Lumban Rau Utara, Kec. Nassau, Kab. Toba, Sumut. Pemuda Adat bangkit bersatu bergerak mengurus kampung, mengurus wilayah adat. Rebut, jaga, urus dan awasi. Pemuda Adat harus terlibat aktif dalam pengambilan keputusan yang berdampak terhadap Masyarakat Adat dalam semua tingkatan. Semoga amanah, Tuhan menyertai dan leluhur merestui. Horas, Horas, Horas!”
Kini Jhontoni sedang sibuk berjuang bersama Masyarakat Adat dan masyarakat sipil di Sumatera Utara dalam gerakan #TutupTPL. Ia aktif terlibat dan terus mengajak banyak orang untuk bersama-sama agar PT. Toba Pulp Lestari (TPL) ditutup selama-lamanya.