Peran dan Aspirasi Pemuda Adat Menghadapi Tantangan Masa Depan

Cindy Yohana dari Sekretariat Nasional Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) menyampaikan pandangannya dalam sesi Gelar Wicara bertajuk “Peran dan Aspirasi Pemuda Adat Menghadapi Tantangan Masa Depan” pada Seminar MBKM RIMBAHARI 2025

Pada Senin, 17 Februari 2025, Program Studi Sarjana Departemen Antropologi FISIP Universitas Indonesia bekerja sama dengan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) akan melaksanakan Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) program tersebut di beri judul RIMBAHARI – Research Initiatives on Management of Biocultural Heritage and Resilient Innovations. Dalam rangka program ini, akan diadakan SeminarMBKM RIMBAHARI 2025: Diversitas Biokultural dan Masyarakat Adat, yang berlangsung di Auditorium Mochtar Riady, Gedung C Lantai 2, Kampus UI Depok. Salah satu sesi utama dalam seminar ini adalah gelar wicara bertajuk “Peran dan Aspirasi Pemuda Adat Menghadapi Tantangan Masa Depan”, yang menghadirkan Cindy Yohana dari Sekretariat Nasional Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) serta bersama pemuda adat lainnya.

Dalam berbagai diskusi mengenai masyarakat adat, peran pemuda sering kali kurang mendapat sorotan. Namun, di tengah tantangan modernisasi dan eksploitasi sumber daya alam, pemuda adat justru menjadi garda terdepan dalam mempertahankan hak-hak komunitas mereka. Dalam seminar ini, para pemuda adat berbagi pengalaman dan strategi dalam menghadapi dilema identitas, tekanan ekonomi, serta tantangan sosial dan lingkungan. Cindy Yohana, mewakili BPAN, menekankan bahwa pemuda adat memiliki peran ganda dalam menjaga keberlanjutan komunitas mereka. “Kami bukan hanya pewaris tradisi, tetapi juga penggerak perubahan,” ujar Cindy. Pemuda adat harus terus mengawal hak-hak masyarakat adat, memperjuangkan pengakuan wilayah adat, dan memastikan bahwa keputusan politik dan hukum yang dibuat oleh pemerintah berpihak pada keberlangsungan budaya serta lingkungan mereka.

Pemuda adat menghadapi berbagai tantangan, mulai dari isu identitas yang terus berkembang akibat modernisasi, keterbatasan akses terhadap pendidikan dan sumber daya, hingga tekanan ekonomi yang sering kali menghambat keterlibatan mereka dalam komunitas. Dilema ini semakin kompleks ketika ekspektasi sosial dari masyarakat dan persepsi dari pihak luar terhadap mereka sebagai pemuda adat menimbulkan tekanan tersendiri. Sementara itu, dalam komunitas mereka sendiri, pemuda adat harus berjuang untuk mendapatkan peran dalam pengambilan keputusan serta menjaga keberlanjutan budaya dan bahasa mereka. Hambatan lainnya datang dari eksploitasi sumber daya alam dan perubahan iklim, yang mengancam kelestarian lingkungan serta hak atas tanah adat mereka.

Sebagai langkah maju, seminar ini menyoroti pentingnya kolaborasi antara pemuda adat, akademisi, dan aktivis dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat adat. Strategi yang dapat ditempuh mencakup peningkatan pendidikan dan kapasitas kepemimpinan pemuda adat, pembangunan jaringan advokasi yang lebih luas, serta pemanfaatan teknologi dan media sosial untuk menyuarakan perjuangan mereka. Pemuda adat harus aktif dalam pengambilan keputusan dan memperkuat peran mereka sebagai agen perubahan, bukan hanya menjadi objek dalam wacana pembangunan.

Seminar MBKM RIMBAHARI 2025: Diversitas Biokultural dan Masyarakat Adat menjadi momentum penting dalam memperkuat posisi pemuda adat dalam menjaga warisan biokultural mereka. BPAN menegaskan bahwa perjuangan ini tidak hanya untuk masa kini, tetapi juga untuk memastikan bahwa generasi mendatang dapat tetap hidup dalam harmoni dengan identitas dan tanah leluhur mereka. Dengan semangat kolaborasi dan ketahanan yang kuat, pemuda adat akan terus berjuang demi keberlanjutan komunitas dan hak-hak masyarakat adat di masa depan.

Pengesahan RUU Masyarakat Adat pada 2025:Menanti Tindakan Nyata DPR dan Pemerintah kepada Masyarakat Adat

Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat

Jakarta, 18 Desember 2024 – Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat mendesak DPR dan Pemerintah Republik Indonesia untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat (RUU MA) pada tahun 2025, agar hak-hak Masyarakat Adat dapat diakui dan dilindungi secara lebih efektif. Saat ini, RUU Masyarakat Adat telah masuk kembali dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2025 dan masuk dalam Prolegnas lima tahunan usulan DPR RI.

Namun dalam daftar Prolegnas RUU ini masih menggunakan frasa RUU Masyarakat Hukum Adat. Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat mendorong penggunaan frasa Masyarakat Adat untuk mengakomodir nomenklatur Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Tradisional dalam konstitusi. Serta mendorong adanya kemajuan pasti dalam upaya pengesahannya.

Veni Siregar, Senior Kampanye Kaoem Telapak menegaskan bahwa pembahasan dan pengesahan RUU Masyarakat Adat menjadi momentum penting bagi DPR RI dan Pemerintah Prabowo Subianto untuk menunjukkan keberpihakannya kepada Masyarakat Adat. “Pengakuan dan perlindungan terhadap Masyarakat Adat adalah bentuk tanggung jawab negara dalam memastikan keberlanjutan hidup dan kepastian hukum  bagi  mereka. DPR RI, khususnya Badan Legislasi dan delapan Fraksi Partai Politik, harus mengambil langkah strategis untuk terus membangun dialog konstruktif dengan Masyarakat Adat, agar Rancangan Undang-Undang yang dihasilkan mampu menjawab persoalan yang dihadapi. Perlindungan dan pemenuhan hak-hak Masyarakat Adat di tengah kekerasan dan kriminalisasi harus menjadi prioritas. Kontribusi Masyarakat Adat dalam menjaga kelestarian lingkungan juga patut diapresiasi.”

Veni menambahkan bahwa Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat akan terus melakukan mengawal secara intensif untuk memastikan RUU Masyarakat Adat disahkan pada tahun 2025.

Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum, dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Muhammad Arman mengatakan pengesahan RUU Masyarakat Adat merupakan jalan utama sekaligus tindakan nyata untuk mewujudkan cita-cita pembentukan negara Indonesia yakni melindungi segenap tumpah darah, dan memajukan kesejahteraan umum termasuk bagi Masyarakat Adat yang selama ini termarjinalkan.

“Pengesahan RUU Masyarakat Adat akan memberikan kepastian hukum  sekaligus menciptakan investasi yang berkeadilan bagi semua pihak. Undang-Undang Masyarakat Adat adalah ‘jalan pulang’ untuk meneguhkan kebangsaan dan Ke-Indonesiaan yang beragam,” ucapnya.

Lebih lanjut, Arman memaparkan data yang dihimpun AMAN selama 10 tahun terakhir, dimana telah terjadi 687 konflik agraria di wilayah adat, mencakup lahan seluas 11,07 juta hektar. Konflik tersebut tidak hanya merampas tanah ulayat, tetapi juga mengakibatkan 925 Masyarakat Adat menjadi korban kriminalisasi. Dari jumlah tersebut, 60 orang mengalami kekerasan yang dilakukan oleh aparat negara, dan bahkan satu orang meninggal dunia.

Menurut Arman, perampasan tanah ulayat sering kali dilakukan melalui proyek-proyek besar yang dijalankan tanpa konsultasi atau persetujuan yang memadai, serta mengabaikan prinsip Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan (Padiatapa/FPIC).

Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, yang terdiri dari 35 organisasi masyarakat sipil, menegaskan bahwa RUU ini merupakan peluang besar untuk memperbaiki ketidakadilan yang terus dialami oleh Masyarakat Adat. Selain itu, RUU ini juga diharapkan mampu memberikan perlindungan hukum yang komprehensif, termasuk pengakuan dan perlindungan terhadap wilayah adat dan hutan adat yang menjadi sumber kehidupan dan identitas Masyarakat Adat.

Juandi Gultom, dari Bidang Keadilan dan Perdamaian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), menegaskan dukungan PGI terhadap pengesahan RUU Masyarakat Adat. Juandi menyatakan bahwa Masyarakat Adat adalah pemilik awal sekaligus pemilik sah dari negeri ini, Namun ironisnya justru mengalami pengucilan oleh negara. “Masyarakat Adat adalah pemilik awal dan pemilik sah dari negara ini. Namun, mereka dikucilkan oleh kebijakan negara saat ini,” ujarnya.

Lebih lanjut, Juandi menambahkan bahwa PGI aktif melakukan advokasi untuk mendukung perjuangan Masyarakat Adat. Kantor PGI bahkan menjadi rumah bersama bagi berbagai pengaduan dan permohonan bantuan yang diajukan oleh Masyarakat Adat dalam memperjuangkan hak-hak mereka.

Ermelina Singereta, Manajer Bidang Advokasi Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) menyatakan bahwa sikap pengabaian negara terhadap perlindungan hukum bagi Masyarakat Adat, khususnya perempuan, anak, dan kelompok rentan dalam mempertahankan ruang hidup mereka, merupakan bentuk nyata pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

“Banyak Perempuan Adat harus berhadapan dengan hukum yang tidak adil. Mereka ditangkap, diadili, bahkan dihukum karena mempertahankan hak dan identitas mereka sebagai Perempuan Adat. Bagi Perempuan Adat, hukum ibarat fatamorgana: terlihat jelas tetapi sulit untuk dijangkau,” ucap Ermelina.

Ermelina menekankan bahwa perlindungan hak Masyarakat Adat tidak hanya penting dari aspek keadilan, tetapi juga memiliki peran kunci dalam melestarikan keanekaragaman hayati global. Wilayah adat merupakan benteng terakhir bagi keanekaragaman hayati dunia, di mana diperkirakan 80% keanekaragaman hayati global tersimpan di dalamnya. Dengan pengetahuan tradisional yang diwariskan selama ribuan tahun, Masyarakat Adat telah menjadi penjaga alam dan ekosistem hayati yang tak tergantikan.

Lebih lanjut, Ermelina menjelaskan bahwa keterlibatan Masyarakat Adat dalam pengelolaan wilayah adat berkontribusi besar terhadap upaya global untuk melestarikan lingkungan, mitigasi perubahan iklim, dan perlindungan ekosistem. Di tengah tantangan lingkungan yang semakin kompleks, peran Pemuda Adat menjadi sangat krusial sebagai generasi penerus dalam menjaga warisan leluhur. Pemuda Adat, menurutnya, adalah garda terdepan dalam upaya mempertahankan wilayah adat dalam menghadapi berbagai tantangan yang semakin kompleks.

Hero Aprila, Ketua Umum Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), menekankan bahwa keberadaan Undang-Undang Masyarakat Adat memiliki peran penting dalam menjawab berbagai persoalan yang dihadapi Pemuda Adat di berbagai sektor, mulai dari politik dan hukum, sosial dan budaya, hingga kemandirian ekonomi serta pendidikan adat.

“Sebagai generasi penerus, kami, Pemuda Adat, memiliki tanggung jawab besar dalam memastikan keberlanjutan pengelolaan wilayah adat yang lestari dan bebas dari diskriminasi serta intimidasi. Ketiadaan UU Masyarakat Adat hanya akan memperpanjang rantai ketidakadilan yang telah berlangsung lama. Bagi kami, UU Masyarakat Adat adalah solusi nyata untuk menjawab tantangan yang kami hadapi,” tutur Hero.

Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat terdiri dari YLBHI, HuMa, Seknas WALHI, KPA, KEMITRAAN, ICEL, Debt Watch, PEREMPUAN AMAN, Yayasan PUSAKA, Kaoem Telapak, Yayasan Madani Berkelanjutan, BRWA, JKPP, merDesa Institute, RMI, EPISTEMA, Greenpeace Indonesia, Lakpesdam NU, KIARA, LOKATARU, Forest Watch Indonesia (FWI), Sawit Watch, PPMAN, Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), Yayasan Jurnal Perempuan (YPJ), Forum Masyarakat Adat Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Format-P), Kalyanamitra, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), SATUNAMA, Protection International Indonesia, KKC Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Working Group ICCAs Indonesia, AMAN, Samdhana, EcoAdat.

Kontak Media:
A.P. Prayoga, Tim Kampanye Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, HP. 0857 2034 6154

Veni Siregar, Senior Kampanye Kaoem Telapak, HP. 0838-9344-5587

RUU Masyarakat Adat: Kunci Keberhasilan Konservasi Pasca COP16

Jakarta, 5 Desember 2024 – Pasca Konferensi Dunia Keanekaragaman Hayati (COP16) yang berlangsung pada 1 November 2024 di Cali, Kolombia, urgensi pengesahan RUU Masyarakat Adat di Indonesia semakin mendesak. Pengakuan dan perlindungan hak-hak Masyarakat Adat menjadi kunci untuk memastikan keterlibatan mereka dalam implementasi Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (KM-GBF). Tanpa RUU Masyarakat Adat, kontribusi Masyarakat Adat dalam konservasi berkelanjutan dan inklusif akan terus terhambat.

Hal ini disampaikan oleh Cindy Julianty, Program Manager Working Group Indigenous Peoples’ and Community Conserved Areas and Territories Indonesia (WGII) dalam diskusi publik bertajuk “Urgensi Pengesahan RUU Masyarakat Adat dalam Merespon Kebijakan Konservasi Pasca COP16” yang diselenggarakan di Rumah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Jakarta, Rabu (4/12). Selain Cindy Julianty, turut hadir juga Bimantara Adjie (Perkumpulan HuMa), Teo Reffelsen (WALHI Eksekutif Nasional), Rukmini Paata Toheke (Dinamisator Regional Sulawesi JPH AKKM), Mufti Fathul Barri (FWI), Tommy Indyan (AMAN) sebagai narasumber dan Salma Zakiyah (MADANI Berkelanjutan) sebagai moderator.

Cindy Julianty juga menekankan pentingnya keterlibatan Masyarakat Adat dalam mencapai target perlindungan keanekaragaman hayati global. “Konservasi tidak bisa hanya sekadar membicarakan pelestarian lingkungan. Konservasi juga berarti pengakuan hak tenurial di wilayah Masyarakat Adat,” ujar Cindy. Ia menyebutkan bahwa database wilayah adat mencatat 22,5 juta hektare wilayah adat yang berpotensi untuk dikonservasi. “Praktik-praktik konservasi dari bawah ini dapat mendorong kontribusi Indonesia untuk mencapai target keanekaragaman hayati global,” tambahnya.

Bimantara Adjie Wardhana, Divisi Advokasi Hukum Rakyat Perkumpulan HuMa menambahkan, meskipun Masyarakat Adat memiliki posisi strategis dalam Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) tepatnya pada Target 16 dan Target 17 implementasi kebijakan seringkali gagal melibatkan mereka secara aktif dan inklusif. “Partisipasi aktif dan bermakna Masyarakat Adat seringkali diabaikan dalam implementasi kebijakan biodiversitas di Indonesia, misalnya dalam proses penyusunan IBSAP. Padahal, IBSAP adalah kunci dari pengarusutamaan biodiversitas di Indonesia,” ujarnya.

Sementara itu, Teo Reffelsen, Manajer Hukum dan Pembelaan WALHI Eksekutif Nasional mengkritik proses pembentukan UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE) yang dinilai mengabaikan partisipasi bermakna. “Banyak fakta lapangan yang diajukan oleh koalisi diabaikan tanpa alasan jelas dari DPR,” kata Teo. Ia juga mengingatkan bahwa Mahkamah Konstitusi sejak 2012 telah mengamanatkan pemerintah untuk membentuk peraturan terkait Masyarakat Adat, namun hingga kini belum terealisasi. “Sayangnya dalam gugatan AMAN, Pengadilan Tata Usaha Negara gagal menilai prinsip-prinsip judicial order yang ada di beberapa putusan MK terkait urgensi UU Masyarakat Adat, sehingga dari segi legislasi dan kebijakan, masyarakat adat di nomor duakan. Tidak heran kita lihat situasi Masyarakat Adat yang berada dalam dan dekat dengan kawasan hutan semakin buruk dan memprihatinkan,” tutupnya.

Rukmini Paata Toheke, Dinamisator Regional Sulawesi Jaringan Pemangku Hak Areal Konservasi Kelola Masyarakat (JPH AKKM), menjelaskan bahwa Masyarakat Adat Ngata Toro telah lama mempraktikkan konservasi berbasis kearifan lokal. Upaya ini dilakukan diantaranya dengan mendokumentasikan hukum adat, mengelola tempat-tempat yang dapat dikelola dan sekolah adat. “Kami memiliki filosofi tiga tungku kehidupan, Taluhi Takuhua, dimana masyarakat menjaga hubungan baik dengan pencipta bumi yang telah memberikan isinya dengan sesama manusia serta alam. Ketika kita merusak alam, maka kita merusak kehidupan. Ini menjadi landasan kami untuk menjaga kearifan leluhur. Ini menjadi kebanggaan kami sebagai Masyarakat Adat. Namun, negara kurang menghargai upaya kami,” tegasnya.

Senada dengan itu, Mufti Fathul Barri, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia (FWI), menyebut bahwa 80% keanekaragaman hayati dunia berada di wilayah Masyarakat Adat. Namun, UU KSDAHE di Indonesia justru mengecilkan peran mereka. “Paradigma konservasi kita belum bergeser, padahal Masyarakat Adat terbukti menjadi aktor utama dalam menjaga biodiversitas,” ungkapnya.

Tommy Indyan dari Direktorat Advokasi kebijakan Hukum dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), menegaskan bahwa pengesahan RUU Masyarakat Adat adalah langkah penting untuk melindungi hak-hak Masyarakat Adat. Ia menekankan perlunya definisi yang jelas, mekanisme pendaftaran yang sederhana, dan pengakuan hak-hak perempuan, pemuda, serta anak-anak adat dalam RUU Masyarakat Adat. “RUU yang ideal harus berbasis pada prinsip HAM dan mencakup mekanisme pemulihan hak, penyelesaian konflik, serta penguatan hak atas identitas budaya dan wilayah adat,” tuturnya.

Pengesahan RUU Masyarakat Adat tidak hanya memberikan perlindungan hukum bagi Masyarakat Adat, tetapi juga memperkuat peran mereka dalam mencapai target KM-GBF secara inklusif. Langkah ini menjadi krusial untuk memastikan keberlanjutan konservasi dan keanekaragaman hayati di Indonesia.

Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat terdiri dari YLBHI, HuMa, Seknas WALHI, KPA, KEMITRAAN, ICEL, Debt Watch, PEREMPUAN AMAN, Yayasan PUSAKA, Kaoem Telapak, Yayasan Madani Berkelanjutan, BRWA, JKPP, merDesa Institute, RMI, EPISTEMA, Greenpeace Indonesia, Lakpesdam NU, KIARA, LOKATARU, Forest Watch Indonesia (FWI), Sawit Watch, PPMAN, Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), Yayasan Jurnal Perempuan (YPJ), Forum Masyarakat Adat Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Format-P), Kalyanamitra, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), SATUNAMA, Protection International Indonesia, KKC Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Working Group ICCAs Indonesia, AMAN, Samdhana, EcoAdat.

Kontak Media:
A.P. Prayoga, Tim Kampanye Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, HP. 0857 2034 6154

KONTAK KAMI

Sekretariat BPAN, Alamat, Jln. Sempur 58, Bogor
bpan@aman.or.id
en_USEnglish