Jaga dan Urus Wilayah Adat Malamoi
Sorong (2/10/2016) – AMAN Sorong Raya menggelar pelatihan kepada pemuda-pemudi adat Malamoi. Pelatihan yang dihelat selama seminggu ini bertajuk ‘membangkitkan keterpanggilan pemuda adat untuk mempertahankan dan mengurus wilayah adat’.
Kepala Kampung Siwis Distrik Klaso David Ulimpa menyambut baik pelatihan ini. Dalam sambutannya beliau menyatakan sangat mendukung terselenggaranya kegiatan tersebut. “Saya selaku pemimpin kampung memberikan apresiasi kepada pemuda-pemudi adat Moi dari lima distrik dan dua lembah yaitu Wen-Nasi dan Wen-Klaso (bahasa Moi) yang terlibat dalam pelatihan ini.
Dalam pelatihan ini Kepala Kampung Siwis David Ulimpa berpesan agar pemuda adat mau turun ke jalan. Berdemonstrasi. “Harapan saya selaku orang tua di mana kalau kita demo (aksi di jalan), anak-anak Moi harus bisa semua hadir. Yang kami, orang tua harapkan, kamu anak-anak mahasiswa itu mestinya datang mendukung kami orang tua yang sudah bodoh seperti begini, tidak tau apa-apa ini,’’ nadanya menegangkan suasana.
Beliau juga mengkritik kekompakan pemuda adat Moi. Ia menyesalkan sikap anak-anak Moi yang belum bersatu dan kuat dengan pembuktian bergerak bersama para orangtua menolak perkebunan. “Kalian hadirlah supaya pemerintah itu bisa lihat wajah-wajah orang Moi itu seperti apa,” tambahnya.
Selain itu, Thomas Malak Ketua Adat Moi Kampung Siwis Distrik Klaso juga hadir dalam pembukaan pelatihan ini. Menurut Thomas, dari sisi adat, semua masyarakat adat Moi pada umumnya bahwa Klaben/Klaso adalah tempat pendidikan adat (sekolah adat) bagi suku Moi pada zaman dulu.
Ia pun menceritakan pengalamannya pada waktu manajer PT. Mega Mustika Plantation mulai melakukan sosialisasi kepada masyarakat di kampung Siwis. “Pada waktu itu saya orang tua adat yang memang benar-benar menolak PT. Mega Mustika Plantation, karena saya mengingat bahwa Klaben ini tempat pendidikan adat. Jadi hutan adatnya tidak bisa digusur atau dihilangkan oleh perusahan perkebunan sawit,” katanya.
∞
Merujuk pada pelatihan pemuda adat Moi selama kurang lebih tujuh hari ternyata banyak hal yang muncul dari peserta terkait dengan krisis yang dirasakan langsung. Dua dari antara peserta pelatihan menceritakan pengalamannya hidup di sekitar konsesi sawit. Mereka adalah Feri Gilik dan Jhoni Kalasibin dari kampung yang sama: Malalilis.
Feri Gilik mulai menceritakan kondisi yang mereka rasakan pada waktu pertama kali PT. Henrison Inti Persada (HIP) masuk di wilayah adat marga Gisim. Proses ini terus berjalan. Ada beberapa warga asal kampung Malalilis yang juga ikut bekerja di lahan perkebunan sawit milik PT. HIP.
Feri Gilik menuturkan, pada waktu itu manajer perkebunan sawit mulai merayu beberapa orang tua untuk menyerahkan lahannya. Warga menolak. Kali kedua perusahaan mencoba menaklukkan warga. Penduduk bergeming. Merasa kecewa, ketiga kalinya, perusahan mulai mengintimidasi dan memaksa negosiasi dengan warga pemilik hak ulayat. Berada dalam tekanan, warga akhirnya menyerahkan lahan tersebut kepada perusahan minyak mentah itu.
Feri Gilik mengaku tidak tahu perusahaan memakai cara apa hingga para orangtua bisa menandatangani izin perkebunan tersebut. “Cuma setahu saya pada waktu itu, uang sirih pinang untuk pembukaan lahan hanya lima juta rupiah (Rp 5.000.000) diserahkan kepada marga Gilik dan Do Kalasibin selaku pemilik hak ulayat,” kenangnya.
Menurut Jhoni Kalasibin, perusahaan berjanji kepada pemilik hak ulayat akan memberikan beasiswa kepada anak-anak sekolah. Namun, sampai sekarang tidak ada beasiswa yang diterima anak-anak sekolah. Pihak perusahaan juga berjanji akan membangun dua puluh buah rumah kepada pemilik hak ulayat, nyatanya yang dibangun hanya dua buah rumah. Satu untuk marga Gilik dan satu lagi bagi marga Do Kalasibin. Sedangkan delapan belas buah rumah lainnya sampai sekarang belum dibangun. “Itulah yang kami alami di kampung Malalilis,” ujar Feri Gilik kesal.
∞
Salah satu sesi yang menarik di kegiatan ini adalah menonton film. Film krisis yang terjadi di wilayah adat diputar dan ditonton bersama warga kampung Siwis. Film ini mempertontonkan bahwa krisis yang terjadi di wilayah adat juga dirasakan oleh hampir seluruh masyarakat adat di belahan bumi ini.
“Kepemilikan tanah adat dan hak-hak di dalamnya harus kita pertahankan. Film tadi mengajak kita pulang dan merenungkan secara bersama-sama kehidupan kita saat ini seperti apa. Masa depan anak cucu kita nanti bagaimana. Karena yang kita lihat di film krisis tadi, bukan hanya di Papua saja terjadi krisis tetapi juga di mana-mana,” ujar kepala kampung.
Menurutnya film tersebut sangat tepat menjadi contoh bagi pemuda adat atau anak-anak Moi secara umum untuk kembali menjaga dan mengurus wilayah adat tanah Malamoi (Wen Nase dan Wen Klaso).
[Melianus Ulimpa]