Penghayat Kepercayaan dalam Bingkai Bangsa Indonesia

“Ketika agama diformalkan, dalam bentuk pelembagaan, doktrin maupun ritus dan seremoni, ia mudah terjebak dalam instrumentalisasi kepentingan. Kepentingan yang mengatasnamakan suara Tuhan sebagai suara kekuasaan, maupun kepentingan lain yang memanfaatkan agama sebagai legitimasi.” – Anas Saidi.

—————————————————————————————————————-

Salah satu falsafah masyarakat Bugis yang cukup sering dikutip adalah Resopa na temmangingi malomo naletei pammasena Dewata Sewwae, yang dimaknai “Sikap bersungguh-sungguh dalam berusaha serta tidak mudah menyerah dalam mencapai tujuan, yang kadang mendapatkan berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa.”

Sepintas, ini hanyalah sebuah kutipan. Namun jika dicermati lebih dalam dan dikaitkan dengan epos I Lagaligo, maka kita akan diarahkan pada sebuah tatanan kepercayaan yang dianut masyarakat Bugis di masa lalu, dengan menyandarkan segala rencana pada kehendak Dewata Sewwae sebagai kekuatan penentu, sebuah bangunan sistem kepercayaan yang berakulturasi dengan agama di masa kini.

 

Plural religiosity

Semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagai deskripsi keberagaman yang menyatu dalam bingkai Bangsa Indonesia sudah menjadi salah satu penanda bangsa Indonesia dimata dunia. Hal lain yang tidak jarang diidentikkan dengan Bangsa Indonesia adalah masyarakat yang religius.

Yang terakhir ini tentu tidak secara terang menderang melihat aspek religiusitas masyarakat Indonesia yang heterogen, tidak homogen. Demikian pula hal yang pertama, kadang terjebak melihat keberagaman Bangsa Indonesia dari bahasa, kondisi geografis dan bentuk fisik lainnya. Kalaupun sampai pada sistem kepercayaan, akan berada pada tatanan agama, akan tetapi luput mendalami tradisi dan ritualitas kepercayaan lokal yang hadir di tengah keberagaman tersebut.

Aspek religiusitas masyarakat Indonesia yang heterogen dapat dilihat dari tunduknya penganut terhadap aturan-aturan sistem kepercayaannya. Setiap agama dan sistem kepercayan yang berjalan memiliki ritus-ritus dan doktrin yang akan menguji kepatuhan penganutnya.

Kepatuhan di atas tidak boleh mengeliminasi kepatuhan kita terhadap hukum negara sebagai pengikat dan pemersatu religius heterogen. Sehingga julukan bangsa yang religius tidak dapat hanya dilihat dari kepatuhan penganut agama dan penghayat kepercayaan terhadap keyakinannya, namun juga kepatuhan penganut tersebut pada sistem yang menjadi pemersatunya yakni NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Kepatuhan kita terhadap tatanan bernegara adalah bentuk penerimaan terhadap Pancasila sebagai falsafah hidup Bangsa Indonesia, falsafah yang juga merupakan penerjemahan nilai-nilai agama dan sistem kepercayaan yang ada, sehingga masyarakat Indonesia mesti dapat memilah posisinya, kapan menggunakan kepatuhan terhadap aturan keyakinan yang dianutnya dan kapan menggunakan kepatuhan terhadap tatanan kehidupan bernegara, meskipun dua hal tersebut tidak dapat dipisahkan apalagi dipertentangkan.

 

Berbagi peran

Hampir setiap komunitas adat yang ada di Indonesia memiliki sistem kepercayaan, baik yang masih bertahan dengan bentuk awalnya, atau yang telah mengalami akulturasi dengan ajaran sistem kepercayaan lainnya, atau bahkan kita hanya dapat merasakan puing sisa penaklukan sistem kepercayaan yang lebih kuat.

Situasi-situasi ini dapat kita rasakan di berbagai daerah di Indonesia, salah satunya di Kab. Enrekang – Sulawesi Selatan. Penerimaan Masyarakat Adat Kaluppini terhadap ajaran Islam tidak serta merta menghapuskan bentuk kepercayaan asli yang dianut masyarakat tersebut, yang bersumber pada Pepasan Tojolo (Pesan Orang Tua/Nenek Moyang).

Suatu bangunan  kepercayaan yang tergambar dalam ritual-ritual adat yang bersanding baik dengan ajaran Islam.

Bangunan kepercayaan serupa juga dapat kita temukan di Kab. Tana Toraja, dan Kab. Toraja Utara. Penerimaan masyarakat adat yang terbagi dalam 32 Lembang terhadap Protestan, Katolik dan Islam tidak serta merta melenyapkan Aluk Todolo (sistem kepercayaan Masyarakat Adat Toraja) sebagai bentuk kepercayaan aslinya. Dalam pelaksanaan ritual Rambu Solo (salah satu ritual adat yang berkaitan dengan kedukaan) misalnya, identitas keagamaan lain hadir di dalamnya.

Peran negara dalam situasi keberagaman ini adalah melaksanakan penguatan penghayat kepercayaan yang masih bertahan. Penguatan terpenting adalah pengakuan terhadap sistem kepercayaan yang ada, adanya perlindungan bagi para penghayat kepercayaan menjalankan ibadahnya sebagai bentuk kepatuhan terhadap keyakinannya, serta penghapusan diskriminasi dalam pelayanan publik, sebab hakikat pelayanan publik adalah memberikan pelayanan yang efektif dan efisien serta semaksimal mungkin kepada masyarakat dengan sudut pandang penyelenggara dan penerima pelayanan.

Peran masyarakat luas tidak kalah pentingnya untuk menerima situasi keberagaman ini sebagai anugerah, tidak menghalangi dan juga tidak memaksa kembali penghayat kepercayaan yang telah berdamai dengan sistem religi lainnya. Segala bentuk rintangan yang ada mesti dipandang sebagai rintangan bersama dalam mewujudkan harmonisasi kehidupan yang beragam yang damai.

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XIV/2016 yang mengoreksi UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan adalah keputusan yang berani dan menyegarkan. Berani menyatakan bahwa posisi penghayat kepercayaan mestinya sama dengan warga negara lainnya yang menganut agama lain, serta menyegarkan karena menerobos dinding pembatas yang selama ini menjadi akar diskriminasi dan intoleransi yang sudah cukup lama dirasakan penghayat kepercayaan di Indonesia.

Kendala-kendala yang mungkin muncul dalam harmonisasi kebijakan mesti tidak dipandang sebagai penghalang. Hal tekhnis sebaiknya tidak menjadi landasan argumentasi menghalangi hal yang subtansi. Ini adalah kesempatan merekonstruksi relasi sosial sebagai warga negara dalam nilai-nilai agama dan sistem kepercayaan yang kita anut.

 

Masyarakat dan bangsa religius

Indonesia bukan negara sekuler yang memisahkan antara negara dan agama, namun demikian Indonesia juga bukan merupakan negara yang berdasarkan pada suatu agama tertentu. Indonesia adalah negara yang berdasarkan pada Pancasila yang merangkul keberagaman Bangsa Indonesia.

Masyarakat yang religius akan tercipta saat penganut agama dan penghayat kepercayaan menjalankan aturan-aturan yang diajarkan oleh keyakinannya, sementara bangsa yang religius akan tercipta jika kepatuhan penganut agama dan penghayat kepercayaan, secara linear menjalankan kepatuhan terhadap pemersatu plural religiosity, Pancasila.

 

[Armansyah Dore]

PENGURUS NASIONAL BPAN 2022-2026

KONTAK KAMI

Sekretariat BPAN, Alamat, Jln. Sempur, Bogor

officialbpan@gmail.com