Para pemuda adat Tonsea yang mengenakan pakaian Kawasaran, berwarna serba merah, khusyuk melakukan ritual. Mereka berdoa serta meminta restu leluhur, selama satu jam.
Barisan Pemuda Adat Nusantara Minahasa Utara seakan tak mau berhenti mengurus wilayah adat dan mempertahankan kebudayaannya. Mereka tak peduli apa kata kaum muda lainnya yang menganggap mereka mendapat kekeliruan di zaman teknologi informasi serba canggih saat ini. Mereka buktikan itu dalam belajar atas sejarah dan kebudayaan yang nenek moyang mereka turunkan dalam sebuah acara perkemahan. Acara menyenangkan dan membahagiakan tersebut digelar di komunitas adat Tatelu, Minahasa Utara, pada (25-27/11) lalu.
“Uii…! Uii…! Uii,” bunyi burung Manguni terdengar saat ritual.
“Ohh… leluhur da restui torang pe kegiatan ini (baca: kegiatan kita direstui leluhur),” kata Yusak Ketua PD BPAN Minahasa Utara, menjelaskan maksud suara burung Manguni malam itu.
Manguni adalah simbol Minahasa. Dalam kehidupan sehari-hari, orang Minahasa meyakini Manguni mampu memberi tanda dan petunjuk. Baik dan buruk. Tradisi ini sudah ada sejak zaman nenek moyang orang Minahasa.
Kami mengalami penyertaan dari leluhur dengan pertanda suara Manguni yang nyaring kala itu.
Ritual adalah tradisi yang melekat pada masyarakat adat. Dengan cara yang khas berdasarkan budaya masing-masing untuk berhubungan dengan leluhur dan Sang Pencipta. Ritual yang kami lakukan kali ini bertujuan untuk memohon restu para leluhur agar RUU Masyarakat Adat disahkan oleh Pemerintah dan DPR RI.
Kami, pemuda adat, generasi penerus masyarakat adat berseru lantang: “Jika negara mengakui kami maka kami harus dilindungi. Cukup sudah pengabaian. #SahkanRUUMasyarakatAdat!”
∆∆∆
Nyiur masih melambai…
Air bening seperti kaca…
Langit yang biru…
Cahaya matahari menyusup di antara pohon Seho (baca: Aren)…
Merdu suara rie-rie…
Menambah nikmat suasana pagi kami di kampung Tatelu.
Nyong-nyong deng nona-nona gotong royong menyiapkan tenda. Tampak jelas semangat dan kebersamaan mereka. Membongkar stigma bahwa anak muda hanya tahu bergaya dan bersolek.
Tenda berdiri. Panji BPAN berkibar di kaki Gunung Klabat.
Para pemuda adat melanjutkan acara yang sudah diagendakan. Kali ini kami bersiap belajar dan mendengar pengalaman dan pelajaran berharga dari orangtua. Seperti kata pepatah: bertanyalah kepada yang tahu dan belajarlah kepada yang tua.
Untuk menghidupkan semangat, kami menyelam ke dalam refleksi dengan bernyanyi bersama:
(Belajar sama-sama… bertanya sama-sama… kerja sama-sama…
Semua orang itu guru… alam raya sekolahku… sejahteralah bangsaku…)
Di dalam tenda berukuran 8×10 m ini, kami belajar dengan orang tua dari kampung Tatelu, yakni Opa Ventje Suot. Sosoknya yang sudah ubanan menggambarkan Opa Ventje sudah banyak makan asam garam kehidupan. “Pasti banyak stok cerita,” begitu tanggapan kami satu sama lain.
“Tanah Minahasa ini adalah tanah yang subur,” Opa Ventje memulai cerita. Wajahnya tampak berseri menyiapkan banyak pengalamannya untuk dibagikan kepada kami.
Tanah ini, katanya lebih lanjut, titipan leluhur dari Tuhan yang harus kita jaga dan olah. Tapi sayang sekali, belakangan ini banyak masalah menimpa tanah kita.
Cerita Opa Suot kian menjelaskan bahwa memang masyarakat adat di negara ini terancam kehidupannya. Tanah dirampas atas nama pembangunan dan untuk mempertahankannya masyarakat adat dikriminalisasi. Negara lalai melakukan perlindungan terhadap masyarakat adat.
Dengan suara lirih, ia mengucapkan rasa bangganya kepada anak muda. “Saya bangga karena kalian berani berbicara adat istiadat bahkan mau melestarikannya. Bagi saya itu adalah sebuah keberanian yang luar biasa yang tidak dimiliki oleh semua anak muda di tanah Tonsea.”
Saat tanah hilang diambil, otomatis tempat mencari penghidupan lenyap. Anak muda akhirnya harus pergi meninggalkan kampung untuk mengais rejeki. Kampung menjadi hunian orang tua saja. “Mungkin ini karena torang (kita) yang sudah tidak mencintai budaya torang sendiri sebagai identitas torang,” ujar Opa setengah nada dan semakin melemah di akhir kalimatnya.
Tidak tahu kepada negara siapa dan mana kami berlindung. Tidak ada regulasi yang jelas sehingga menyebabkan masyarakat adat terjebak dalam ribuan konflik berkepanjangan. Sebanyak 70 juta jiwa masyarakat adat di nusantara berada dalam ketidakpastian hidup. Hak-hak masyarakat adat bukan hanya sekali diabaikan.
Ternyata masalah memang ada di mana-mana kawan. Di sini, di tanah Tonsea bahkan mungkin juga di tempatmu. Masalah datang tanpa kita minta. Mau tidak mau, siap atau tidak dia sudah di depan mata. Tinggal diam rasanya pilihan yang keliru. Perlakuan semena-mena negara harus dihentikan sekarang. Kita harus bangkit bersatu dan bergerak membangun kekuatan bersama. Musuh kita kuat dan cerdas. Mari beraksi kawan. Siapa lagi kalau bukan kita? Kapan lagi kalau bukan sekarang?
∆∆∆
Selain ritual khusus yang kami lakukan di awal, kini Opa Suot juga mendoakan kami dalam bahasa Tonsea.
I Yayat U Santi!
[Nedine Helena Sulu]
Tradisi harus diajaga demi menghormati leluhur kita…