Dua kursi panjang membentuk sudut 90 derajat di teras Footprint. Sebuah meja bundar berdiri di antaranya. Rumah itu tidak ditempati, melainkan disewakan untuk tempat pelatihan. Pekarangan di depan teras terlihat aneka bunga, di antaranya kamboja, sehingga rumah ini terkesan berhantu.
Saya dan Burhan, demikian nama Burhanuddin dipanggil, duduk di masing-masing kursi. Di meja, dua gelas kopi terhidang. Gadget kami juga letak di atasnya. Laptop tepat di depanku.
Burhan membaca buku Menelusuri Jejak Leluhur. Buku tersebut menceritakan pemuda adat yang kembali ke kampung pascapelatihan pendokumentasian, November 2015. Buku yang bercerita langsung soal kehidupan masyarakat adat, yang berpesan bahwa anggapan miring terhadap mereka perlu diluruskan.
“Bacalah pengantar Jhontoni,” saranku.
Dia pun membaca pengantar dua setengah halaman tersebut. Cerita kami berlangsung setelah ia melahap pengantar itu, Rabu (25/1).
Pemuda Turungan Baji, Sinjai Barat, Sulawesi Selatan merupakan satu dari 12 peserta pelatihan pendokumentasian bertema “Melestarikan Mahakarya Leluhur” di Bogor 23 – 26 Januari. Baginya ketidakadilan harus terus dilawan. Gelora perlawanan harus terus diperluas khususnya kepada sesama pemuda adat.
“Saya gelisah jika ketidakadilan terjadi pada rakyat,” katanya.
Sejak mahasiswa, pria yang hobi membaca itu sudah memiliki kepekaan terhadap gerakan sosial. Ia kerap kali ikut serta aksi demonstrasi mahasiswa di kampus. Sebagai mahasiswa tingkat satu, setidaknya dalam dua dekade terakhir, seseorang langsung ikut berdemonstrasi sudah hal yang tak lazim.
Mahasiswa semester sembilan Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Sinjai ini menunjukkan kepekaan sosialnya dengan mengikuti aksi-aksi di kampus dan di daerahnya secara lebih luas. Bukan hanya itu, ia juga menyuarakan kegelisahannya dengan membaca dan menulis.
Rambut gondrongnya diikat. Lekuk wajahnya tegas, meskipun kulitnya kecoklatan tua. Bicaranya santai, tapi lugas. Ia duduk menyilangkan kakinya, mengenakan baju pantai, dan selalu tersenyum. Senyumnya mengembang menunjukkan persahabatan saat membicaraan perjuangan.
Anak kedua dari tiga bersaudara selalu antusias berdiskusi soal perjuangan. Bertemu dengan BPAN, baginya seperti menemukan keluarga baru dalam urusan melawan ketidakadilan. Seperti istilah di organisasi pemuda adat senusantara itu, pejuang-pejuang adat yang senasib sepenanggungan tidak pernah sendirian. Saling terhubung dalam lingkaran.
Pada 2013 mandor kehutanan melaporkan ayahnya ke kepolisian. Ia disangka merambah hutan jati di hutan produksi terbatas di kebunnya sendiri. Namun dengan alasan kebunnya masuk kawasan hutan negara berdasarkan penunjukan Menteri Kehutanan, ayahnya tak pernah menyangka kalau pohon yang ditanamnya kelak akan menjebloskannya ke penjara.
Bahtiar, ayahnya, dijerat UU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) dengan hukuman satu tahun penjara dan denda Rp 500 Juta. Jika denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama satu bulan. Awal penahanannya sejak 13 Oktober 2014, menjalani penahanan selama 114 hari, lalu Maret 2015 ditangguhkan sembari mengikuti proses persidangan hingga banding. Tapi ia tetap kalah. Akhirnya pada 1 April 2016 Bahtiar kembali ditahan sampai 25 Desember 2016.
Sejak itu, pemuda adat Turungan makin memantapkan niatnya untuk terus berjuang di garis rakyat. Pilihannya itu didukung sepenuhnya oleh sang bapak.
“Jangan pikirkan aku, meskipun dijerujikan. pertahankan perjuangan,” pesan si ayah.
Sesekali pandangannya menatap jauh ke depan. Sejenak ia membayangkan masa tiga tahun lalu. Semangatnya meneruskan perjuangan mendapat tentangan dari masyarakat sekampungnya. Masyarakat meragukan kerja-kerja ayahnya dan diteruskan pula oleh Burhan, oleh sebab si bapak ditangkap. Imej masuk penjara ini sempat membuyarkan keyakinan orang-orang sekampung.
Dalam pelatihan community organizer pada 2014, pengagum Soekarno Presiden I RI, bertemu AMAN. Baginya semboyan AMAN sangat sejalan dengan visi perjuangannya. Semboyan tersebut membuatnya makin kukuh dan tak sekalipun ragu berjuang bersama masyarakat adat.
“Jika negara tidak mengakui kami, maka kami tidak mengakui negara,” bunyi semboyan AMAN.
Bagi masyarakat awam di luar masyarakat adat yang terorganisir bersama AMAN, semboyan tersebut kerap dinilai bertentangan dengan negara. Berbeda halnya dengan pemuda satu ini. Ia malah menariknya ke dalam keteguhan perjuangan. Menurutnya semboyan tersebut tidak bernada sinis dan sempit, tapi tegas dan menyampaikan kenyataan.
Untuk melanjutkan pesan si bapak sejak 2014, ia mulai mendiskusikan gerakan anak-anak muda di kampungnya. Ia menyampaikan fakta-fakta persoalan yang terjadi kepada masyarakat di kampungnya. Sialnya bukan dukungan yang datang, ia malah dijauhi. Tanpa putus asa, ia terus mengorganisir pemuda adat. Andi Imran, bersedia menjadi teman senasib sepenanggungannya.
Sejak itu pengorganisasian pemuda adat di Turungan Baji, berada di tangan dua oknum revolusioner ini. Mereka selalu sama. Belakangan mereka menyediakan sekretariat guna menjadi tempat para pemuda adat berdiskusi. Di teras kecil itulah mereka berdialektika, termasuk menjawab pertanyaan pemuda setempat soal: untuk apa berorganisasi, cari kerjalah yang penting!
Saat ini Burhan telah mengorganisir belasan pemuda adat Turungan. Mereka mencetak kaos sebagai penanda bersama dengan membuat simbol BPAN.
“Segeralah bicarakan ke teman-teman tentang pendeklarasian BPAN Daerah Turungan,” kataku.
“Siap bung”.
Punya waktu setengah jam tak memuaskan untuk bercerita lebih panjang. Oya terakhir, apa makna wilayah adat bagi bung, tanyaku.
“Tanpa wilayah adat kita tak bisa hidup”.
Kemudian: “Wilayah adat itu nyawa kita. Segalanya”.
Urusan mempertahankan kearifan leluhur, pengetahuan, hukum-hukum adat hanya bisa terjaga jika wilayah masyarakat adat tidak diratakan jadi perkebunan sawit, eukaliptus dan sebagainya. Seiring menjaga iklim, maka wilayah adat adalah satu syarat mutlak yang harus dilestarikan. Laiknya cita-cita Soekarno untuk menjaga hutan, pun impian Burhan sama. Mengakui hak-hak masyarakat adat menjadi kunci.
~Jakob Siringoringo