• SAHKAN

    RUU MASYARAKAT ADAT

  • PEMUDA ADAT

    BANGKIT BERSATU, BERGERAK, MENGURUS WILAYAH ADAT !

  • GERAKAN

    PULANG KAMPUNG

Tentang<strong>BPAN</strong>

TentangBPAN

program<strong>BPAN</strong>

programBPAN

Tokoh<strong>Pejuang Adat</strong>

TokohPejuang Adat

Hak-Hak Tradisional dalam Konstitusi: Saatnya RUU Masyarakat Adat Disahkan

“Hak-Hak Tradisional” dalam Konstitusi:

Saatnya RUU Masyarakat Adat Disahkan

[Jakarta, Rabu 17 April 2025] – Dalam semangat memperjuangkan keadilan konstitusional dan perlindungan menyeluruh bagi masyarakat adat di Indonesia, Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat menyelenggarakan Diskusi Publik Hak-Hak Tradisional Masyarakat Adat dan Urgensinya terhadap Upaya Mendorong Pengesahan RUU Masyarakat Adat. Kegiatan ini menjadi ruang reflektif sekaligus strategis untuk menggali kembali makna “hak-hak tradisional” dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, serta menegaskan pentingnya kehadiran payung hukum nasional yang melindungi eksistensi masyarakat adat.

Diskusi ini lahir dari keprihatinan atas ketidakjelasan definisi hukum terkait “hak-hak tradisional”, yang hingga kini belum sepenuhnya terjabarkan dalam peraturan perundang-undangan. Frasa ini, yang menggantikan istilah “hak asal-usul” pasca amandemen UUD 1945, menyimpan konsekuensi hukum dan sosial yang mendalam bagi pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan masyarakat adat.

“RUU Masyarakat Adat adalah wujud konkret dari amanat konstitusi. Tanpa undang-undang ini, pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat masih bersifat sektoral, lambat, diskriminatif, dan rawan menimbulkan konflik,” tegas Rina Mardiana, akademisi dari IPB University. Rina juga menyatakan bahwa masyarakat adat adalah masyarakat otohton yaitu masyarakat yang memiliki hubungan historis dan budaya yang kuat dengan wilayah tertentu, serta memiliki sistem hukum, sosial, dan ekonomi sendiri yang berbeda dari masyarakat di sekitarnya. Mereka memiliki hak atas tanah dan sumber daya alam secara tradisional, serta hak untuk mengatur diri sendiri. Mereka bukan dari pecahan dari negara atau pecahan kerajaan (eks-swapraja), pungkasnya.

Erwin dari Perkumpulan HuMa yang juga merupakan dari Koalisi menambahkan, “Istilah hak-hak tradisional tak hanya menyangkut tanah dan sumber daya, tapi juga hak untuk menentukan nasib sendiri. Ini mencakup hak politik, budaya, hingga spiritualitas komunitas adat.”.

Dia juga berpendapat bahwa dalam risalah sidang perubahan UUD, tidak dibahas hak-hak apa saja yang merupakan hak tradisional. Berdasarkan risalah sidang perubahan UUD 1945, dapat disimpulkan bahwa istilah “hak tradisional” memang dimaksudkan untuk membuat pengertian hak tersebut menjadi fleksibel, karena sampai akhir pengesahan Pasal 18B ayat (2) tidak disepakati secara rinci ruang lingkup hak tradisional.

Namun, ketidakhadiran kerangka hukum yang komprehensif membuat masyarakat adat tetap rentan. Di sisi lain, interpretasi terhadap konstitusi tidak dapat hanya mengandalkan pendekatan originalisme. Perlu pendekatan kontekstual agar norma konstitusi hidup dan relevan dengan dinamika zaman. “Namun, justru karena itu, negara punya kewajiban untuk memastikan dan memperjelas hak-hak apa saja yang secara inheren melekat pada Masyarakat Adat. Hak-hak ini adalah bagian dari Hak Asasi Manusia. Maka negara berkewajiban untuk menghormati, memenuhi, dan melindunginya”, tegas Erwin.

Realitas di lapangan semakin memperkuat urgensi ini. Di Sumba Timur, masyarakat adat menghadapi tantangan hilangnya akses terhadap sumber daya agraria akibat tidak adanya payung hukum tersebut. Dibutuhkan dukungan dari DPR RI untuk menciptakan payung hukum yang mengatur khusus terkait masyarakat adat. Triawan Umbu Uli Mekahati dari Koppesda Sumba menambahkan, “Sudah berbagai upaya kami tempuh, agar kedudukan Masyarakat Adat mendapatkan perlindungan dan pengakuan yang utuh, tapi tanpa dukungan regulasi nasional, kami hanya disikapi sebagai gangguan pembangunan”, tutup Triawan yang disapa Umbu Tri.

Potret Aktivitas Masyarakat Adat Meratus – Donny

Sementara itu, bagi Masyarakat Adat Pegunungan Meratus, wilayah adat yang ada saat ini sudah dapat menjamin kebutuhan hidup seperti untuk sandang, pangan, papan, obat-obatan, air minum dan lainnya. Masyarakat Adat menilai bahwa wilayah adat mereka di Pegunungan Meratus seluas kurang lebih 600 hektar merupakan ruang hidup yang tidak bisa dipisahkan dengan jiwa raga mereka.

Harnilis sebagai Tokoh Adat Meratus menyebutkan untuk mengelola sumber daya alam di Pegunungan Meratus di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Kalimantan Selatan, Masyarakat Adat kompak kerjasama antara laki-laki dan perempuan, serta tua dan muda melestarikan budaya-budaya yang sudah diwariskan secara turun temurun.

Tidak ada yang lebih kuat antara laki-laki dan perempuan, semuanya kuat dan penting. Tidak akan berhasil kita berkebun, berladang, mengadakan acara tanpa keduanya”, ungkap Harnilis.

Harnilis juga menjelaskan rencana penetapan wilayah adat mereka menjadi Taman Nasional atau kawasan konservasi oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Harnilis menegaskan bahwa Masyarakat Adat Dayak Meratus merupakan masyarakat yang cinta damai. Mereka siap membela dan mempertahankan wilayah adat mereka agar tidak menjadi kawasan konservasi milik negara.

Rencana penetapan wilayah adat menjadi Taman Nasional dinilai dapat mencederai Hak-Hak Tradisional Masyarakat Adat. “Hutan bukan hanya tempat hidup kami, tapi bagian dari kehidupan itu sendiri. Jika diambil, kami kehilangan segalanya,” tutup Harnilis, Tokoh Adat Meratus.

Hak-Hak Tradisional sebagaimana amanat UUD 1945 merupakan mandat konstitusi yang penting untuk mendorong pengesahan RUU Masyarakat Adat. Keadilan sosial harus ditegakkan bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa terkecuali bagi Masyarakat Adat. Tanpa payung hukum yang menjamin pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan Masyarakat Adat, Indonesia akan terus mengabaikan amanat konstitusi tersebut. Pemenuhan terhadap Hak-Hak Tradisional harus diwujudkan dalam bentuk pengesahan Undang-Undang Masyarakat Adat.

Narahubung: Anggi Prayoga 0822-9831-7272 (Ketua Tim Kampanye Koalisi Kawal RUU MA)

INTERNATIONAL WOMEN’S DAY 2025: PENGESAHAN RUU MASYARAKAT ADAT, JALAN KELUAR MEMASTIKAN RUANG PENGHIDUPAN PEREMPUAN ADAT

Jakarta, 8 Maret 2025 – Peringatan International Women’s Day (IWD) 2025 menjadi momentum penting bagi perjuangan hak Perempuan Adat di Indonesia. Dalam perayaan ini, seruan untuk segera mengesahkan Undang-Undang Masyarakat Adat kembali mengemuka sebagai langkah krusial dalam memastikan perlindungan dan pengakuan hak-hak Perempuan Adat.

Perempuan Adat memiliki peran vital dalam menjaga keberlanjutan lingkungan dan kedaulatan pangan. Mereka tidak hanya memanfaatkan hutan dan tanah, tetapi juga berperan sebagai penjaga budaya dan pengetahuan tradisional yang diwariskan secara turun-temurun. Namun, minimnya perlindungan hukum membuat ruang hidup mereka semakin terancam.

Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil Kawal RUU Masyarakat Adat, Veni Siregar, menegaskan bahwa RUU Masyarakat Adat yang telah diperjuangkan selama lebih dari dua dekade seharusnya segera disahkan sebagai bentuk pengakuan negara terhadap hak-hak Masyarakat Adat. “Tanpa payung hukum yang kuat, Masyarakat Adat, terutama Perempuan Adat, terus menghadapi ancaman kekerasan, diskriminasi, dan kriminalisasi saat memperjuangkan hak mereka,” ujar Veni.

Menurutnya, pengesahan UU Masyarakat Adat akan memberikan kepastian hukum atas wilayah adat serta mekanisme perlindungan dari perampasan tanah. Selain itu, UU ini juga akan memperkuat posisi Perempuan Adat dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan sumber daya alam.

Salah satu contoh keberhasilan peran Perempuan Adat dalam pengelolaan sumber daya alam dapat ditemukan di Komunitas Adat Toro, yang merupakan bagian dari Suku Kulawi di Sulawesi Tengah. Komunitas ini memiliki sistem adat yang kuat, di mana Perempuan Adat memegang otoritas penting dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Perempuan Adat Toro berwenang dalam perencanaan pertanian, penyelesaian konflik, serta pengaturan jadwal panen. Selain itu, dalam struktur sosial Toro, terdapat posisi tina ngata atau ibu kampung, yang memiliki peran dominan dalam pengambilan keputusan adat. “Setiap musyawarah kampung harus dihadiri oleh tina ngata, jika tidak, keputusan yang diambil dianggap tidak sah secara kultural,” jelas Rukmini Paata Toheke, salah satu Perempuan Adat Toro.

Menurut Rukmini, pengakuan terhadap peran Perempuan Adat dalam pengelolaan sumber daya alam harus diperkuat, terutama dalam kebijakan nasional. “Perempuan Adat harus mendapatkan ruang yang lebih besar dalam setiap diskusi mengenai sumber daya alam. Kesetaraan bagi Perempuan Adat harus diwujudkan dalam semua lini,” tegasnya.

Pada peringatan IWD 2025 ini, Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat menegaskan tiga tuntutan utama:

  1. Segera mengesahkan UU Masyarakat Adat sebagai bentuk perlindungan hak Masyarakat Adat, khususnya Perempuan Adat.
  2. Menghentikan kekerasan dan kriminalisasi terhadap Perempuan Adat yang kerap terjadi saat mereka memperjuangkan hak-haknya.
  3. Memastikan ruang penghidupan yang aman dan berkeadilan bagi Perempuan Adat, agar mereka dapat terus menjalankan peran mereka dalam menjaga alam dan budaya.

Tim Kampanye Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, Yael Stefany, menegaskan bahwa Perempuan Adat di berbagai daerah telah membuktikan ketangguhan mereka dalam melindungi tanah dan hutan. “Sejumlah komunitas adat telah berhasil mengelola hutan adat secara berkelanjutan, menjaga biodiversitas, serta membangun ekonomi berbasis kearifan lokal,” ujar Yael.

Ia menambahkan bahwa contoh seperti Komunitas Adat Toro menunjukkan bahwa Perempuan Adat bukan hanya penjaga lingkungan, tetapi juga pemimpin dalam pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. “Di momen Hari Perempuan Internasional 2025 ini, mari kita tegaskan komitmen nyata dengan segera mengesahkan UU Masyarakat Adat sebagai langkah krusial untuk melindungi, memberdayakan, dan mengakui peran penting Perempuan Adat dalam menjaga budaya, lingkungan, dan keberlanjutan komunitas mereka,” pungkas Veni Siregar.

Peringatan IWD 2025 menjadi ajang untuk memperkuat solidaritas dan mendesak pemerintah agar segera mengambil tindakan nyata dalam melindungi hak-hak Perempuan Adat. Dengan adanya perlindungan hukum yang jelas, Perempuan Adat dapat terus berperan dalam menjaga keberlanjutan lingkungan dan keberlanjutan hidup komunitas mereka.

PUBLIK MENGHARAPKAN MAHKAMAH AGUNG MEMBERIKAN PUTUSAN YANG ADIL UNTUK SORBATUA SIALLAGAN

Massa Aksi yang tergabung dalam aksi “Solidaritas Masyarakat Sipil Untuk Sorbatua Siallagan”

Hari ini, Rabu 26 Februari 2025 publik yang tergabung dalam SOLIDARITAS MASYARAKAT SIPIL UNTUK SORBATUA SIALLAGAN mendatangi  Mahkamah Agung RI di kawasan Jakarta Pusat. Ini dalam rangka melakukan aksi damai untuk meminta keadilan dari Mahkamah Agung terkait dengan perkara Sorbatua Siallagan (Ketua Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan di Dolok Parmonangan, Kab. Simalungun, Sumatera Utara)  yang saat ini sedang berproses di tingkat kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Judianto Simanjuntak, pengacara publik dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) menyatakan sebagaimana diketahui bersama pada tanggal 14 Agustus 2024, menjelang 3 (tiga) hari Kemerdekaan Indonesia ke 79,  Majelis Hakim Pengadilan Negeri Simalungun membacakan putusan yang melukai  rasa keadilan masyarakat khususnya bagi Sorbatua Siallagan. Melalui putusannya Nomor: 155/pid.Sus/LH/2024/PN.Sim, Majelis Hakim menyatakan  menghukum Sorbatua Siallagan bersalah melakukan tindak pidana mengerjakan dan menduduki kawasan hutan dengan hukuman penjara selama 2 (dua) tahun dan denda sebesar Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah), dengan ketentuan apabila tidak dibayar maka diganti dengan kurungan selama 6 (enam) bulan. Putusan tersebut keliru dan menyesatkan, sebab fakta sejarah menunjukkan komunitas masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan yang dipimpin Sorbatua Siallagan lebih dahulu mendiami dan mengelola wilayah adatnya yang merupakan warisan nenek moyangnya dari kehadiran PT. Toba Pulp Lestari (PT. TPL), yaitu sejak tahun 1700-an. Saat ini, generasi yang mendiami Huta Dolok Parmonangan sudah generasi ke-XI (sebelas) dari ketiga anak Raja Ompu Umbak Siallagan.

Tapi ada 1 (satu) orang hakim berbeda pendapat atau sering  disebut Dissenting Opinion yaitu Hakim anggota Agung Cory Fondara Dodo Laia, S.H., M.H., yang menyatakan, “apabila belum dilakukan sosialisasi mengenai izin Kawasan Hutan Produksi yang dimiliki TPL kepada Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan Tetap, maka tindak pidana mengerjakan, menduduki, menguasai Kawasan  kawasan hutan tidak bisa dikenakan kepada Terdakwa”. Pendapat hakim yang berbeda ini menunjukkan sebenarnya Sorbatua Siallagan tidak melakukan tindak  pidana mengerjakan dan menduduki kawasan hutan, ujar Judianto Simanjuntak

Lebih lanjut Judianto menjelaskan bahwa Sorbatua Siallagan tidak  menerima Putusan Pengadilan Negeri Simalungun tersebut karena faktanya Sorbatua Siallagan tidak melakukan tindak pidana sehingga mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi Medan. Upaya hukum banding tersebut akhirnya mendatangkan keadilan bagi Komunitas masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan  dan Sorbatua Siallagan. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Medan memutuskan: 1. Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Medan. 2. Menyatakan perbuatan Sorbatua Siallagan BUKAN PERBUATAN PIDANA melainkan perbuatan perdata. 3. Melepaskan Sorbatua Siallagan dari segala tuntutan Jaksa Penuntut Umum. 4. Memerintahkan Jaksa Penuntut Umum agar MEMBEBASKAN BAPAK SORBATUA SIALLAGAN DARI RUMAH TAHANAN NEGARA. Putusan Pengadilan Tinggi Medan diucapkan pada tanggal 17 Oktober 2024 dengan Nomor : 1820/Pid.Sus-LH/2024/PT MDN.

Saat ini perkara Sorbatua Siallagan sedang berproses di tingkat kasasi Mahkamah Agung  RI karena Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Simalungun mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung, kata Judianto Simanjuntak.

Sinung Karto (Divisi Penanganan Kasus Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara/PB AMAN) menyatakan putusan Pengadilan Negeri Simalungun sangat tidak adil bagi komunitas masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan khususnya bagi Sorbatua, sebab keberadaan masyarakat adat dilindungi dalam konstitusi yaitu Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945 dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945,  UU No 39 Tahun 1999 Tentang Ham, dan instrumen hukum lainnya. Sebaliknya Putusan Pengadilan Tinggi Medan tersebut layak diapresiasi karena mencerminkan rasa keadilan bagi Sorbatua Siallagan dan komunitas masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan, sebab yang dilakukan Sorbatua Siallagan hanya mengelola wilayah adatnya, itu bukan tindak pidana, dan hal itu dilindungi  konstitusi  dan berbagai  instrumen hukum lainnya. 

Menurut Sinung Karto, kriminalisasi yang dialami Sorbatua Siallagan merupakan akibat ketiadaan Undang-Undang Tentang Masyarakat Adat. Itulah akar persoalan karena tidak ada payung hukum melindungi masyarakat adat di seluruh Nusantara. Akibat ketiadaan Undang-Undang Tentang Masyarakat Adat telah menimbulkan konflik masyarakat adat dengan korporasi yang mengakibatkan perampasan wilayah adat, dan kriminalisasi masyarakat adat  di seluruh nusantara, termasuk kriminalisasi terhadap Sorbatua Siallagan. 

Karena itulah Sinung Karto mendesak Presiden RI dan DPR RI agar segera membahas dan mengesahkan RUU Masyarakat Adat.  Presiden RI dan DPR RI harus melaksanakan kewajiban konstitusionalnya membentuk Undang-Undang Tentang Masyarakat Adat. Ini mandat dan perintah konstitusi sebagaimana diatur dalam pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Selain itu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan terhadap UUD 1945, Tanggal 16 Mei 2023 menyatakan urgensi pembentukan Undang-Undang Tentang Masyarakat Adat, yakni sebagai konsekuensi perintah UUD 1945 dan mencegah dampak negatif terhadap masyarakat adat

Mufti Fathul Barri, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia (FWI) menilai proses hukum terhadap Sorbatua Siallagan sampai berproses saat ini di Mahkamah Agung di luar nalar hukum sebab sampai saat ini kawasan yang dimaksud baru sebatas penunjukan dan belum ada penetapan kawasan hutan tepatnya di konsesi PT. TPL Sektor Aek Nauli yang menjadi objek lahan yang disengketakan dengan Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan. Padahal menurut  Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 bahwa pengukuhan kawasan hutan melalui beberapa tahapan yaitu:  penunjukan kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan dan penetapan kawasan. Sedangkan penunjukan kawasan hutan merupakan proses awal suatu wilayah tertentu menjadi Kawasan hutan dan peta tata batas.

Sisi lain konflik  masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan dengan PT. TPL  sedang dalam proses penyelesaian yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup RI melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor SK 352/MENLHK/SETJENKUM.1/6/2021 Tentang Langkah-Langkah Penyelesaian Permasalahan Hutan Adat dan Pencemaran Limbah Industri di Lingkungan Danau  Toba, tanggal 21 Juni 2021, salah satunya penyelesaian konflik masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan dengan PT. TPL. Karena itulah konflik  masyarakat adat ompu Umbak  Siallagan dengan PT. TPL bukan ranah pidana, tetapi penyelesaiannya secara administrasi yang merupakan kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup RI  dan Kementerian Kehutanan RI.

Oleh karena itu, Julius Ibrani Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), menilai bahwa proses hukum terhadap Sorbatua Siallagan merupakan bentuk pengingkaran dan pengabaian negara atas kewajibannya untuk melindungi, mengakui, dan menghormati keberadaan serta hak-hak masyarakat adat sebagaimana dijamin dalam konstitusi dan berbagai instrumen hukum nasional maupun internasional. Kasus ini menunjukkan dengan jelas bagaimana aparat penegak hukum berperan sebagai alat kriminalisasi terhadap masyarakat adat, alih-alih menjalankan tugasnya untuk melindungi dan menjamin akses mereka terhadap keadilan. Pola kriminalisasi yang berulang semacam ini semakin memperkuat impunitas terhadap pelanggaran hak-hak masyarakat adat dan menampilkan lemahnya komitmen negara dalam menegakkan prinsip-prinsip hak asasi manusia di Indonesia, terutama dalam memastikan hak atas tanah, sumber daya alam, dan kelangsungan hidup masyarakat adat yang terus terancam oleh kepentingan oligarki.

Elisabet Simanjutak selaku pimpinan aksi yang juga dari Sekretariat Nasional Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) menyatakan aksi di Mahkamah Agung ini merupakan kegelisahan dari publik atas terjadinya berbagai kriminalisasi kepada masyarakat adat di seluruh nusantara yang mendiami dan mengelola wilayah adatnya sebagai warisan nenek moyangnya, khususnya  yang dialami Sorbatua Siallagan.

Dalam kesempatan ini kami SOLIDARITAS MASYARAKAT SIPIL UNTUK SORBATUA SIALLAGAN mengharapkan Mahkamah Agung RI sebagai kekuasaan kehakiman yang merdeka agar menjaga netralitas dan independensinya menegakkan hukum demi untuk mendatangkan keadilan bagi Sorbatua Siallagan. Kami mengharapkan Mahkamah Agung RI menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor: 1820/Pid.Sus-LH/2024/PT MDN, tanggal 17 Oktober 2024 yang melepaskan Sorbatua Siallagan dari segala tuntutan Jaksa Penuntut Umum, ungkap Elisabet Simanjutak.

Jakarta, 26 Februari 2025

Hormat Kami

SOLIDARITAS MASYARAKAT SIPIL UNTUK SORBATUA SIALLAGAN:

  1. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
  2. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Tano Batak
  3. Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara   (BAKUMSU)
  4. Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagandi Dolok Parmonangan, Kab. Simalungun, Sumatera Utara
  5. Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita (Lamtoras), Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara
  6. Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN)
  7. Aliansi Gerak Tutup TPL
  8. Forest Watch Indonesia (FWI)
  9. Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI)
  10. Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)
  11. Bidang Keadilan dan Perdamaian Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (BKP-PGI)
  12. Sayogo Institute
  13. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Krisnayana
  14. Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (BEM FH-UI)
  15. Yayasan Forum Adil Sejahtera (YFAS)
  16. Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen (JKLPK) Indonesia
  17. Public Interest Lawyer Network (PIL-NET) Indonesia
  18. Yayasan Diakonia Pelangi Kasih (YDPK)
  19. Perkumpulan HuMa Indonesia
  20. WeSpeakUp.org
  21. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
  22. Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat
  23. Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM)
  24. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Sumatera Utara (Kontras Sumut)
  25. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan
  26. Wahana Lingkungan Hidup Sumatera Utara (WALHI SUMUT)
  27. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Komisariat UNIKA SEJAJARAN (GMNI UNIKA SEJAJARAN)
  28. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (GMNI FH-USU)
  29. Aksi Kamisan Medan
  30. Perempuan AMAN Sumatera Utara
  31. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Sumatera Utara (AMAN SUMUT)
  32. Yayasan Srikandi Lestari

Peran dan Aspirasi Pemuda Adat Menghadapi Tantangan Masa Depan

Cindy Yohana dari Sekretariat Nasional Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) menyampaikan pandangannya dalam sesi Gelar Wicara bertajuk “Peran dan Aspirasi Pemuda Adat Menghadapi Tantangan Masa Depan” pada Seminar MBKM RIMBAHARI 2025

Pada Senin, 17 Februari 2025, Program Studi Sarjana Departemen Antropologi FISIP Universitas Indonesia bekerja sama dengan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) akan melaksanakan Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) program tersebut di beri judul RIMBAHARI – Research Initiatives on Management of Biocultural Heritage and Resilient Innovations. Dalam rangka program ini, akan diadakan SeminarMBKM RIMBAHARI 2025: Diversitas Biokultural dan Masyarakat Adat, yang berlangsung di Auditorium Mochtar Riady, Gedung C Lantai 2, Kampus UI Depok. Salah satu sesi utama dalam seminar ini adalah gelar wicara bertajuk “Peran dan Aspirasi Pemuda Adat Menghadapi Tantangan Masa Depan”, yang menghadirkan Cindy Yohana dari Sekretariat Nasional Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) serta bersama pemuda adat lainnya.

Dalam berbagai diskusi mengenai masyarakat adat, peran pemuda sering kali kurang mendapat sorotan. Namun, di tengah tantangan modernisasi dan eksploitasi sumber daya alam, pemuda adat justru menjadi garda terdepan dalam mempertahankan hak-hak komunitas mereka. Dalam seminar ini, para pemuda adat berbagi pengalaman dan strategi dalam menghadapi dilema identitas, tekanan ekonomi, serta tantangan sosial dan lingkungan. Cindy Yohana, mewakili BPAN, menekankan bahwa pemuda adat memiliki peran ganda dalam menjaga keberlanjutan komunitas mereka. “Kami bukan hanya pewaris tradisi, tetapi juga penggerak perubahan,” ujar Cindy. Pemuda adat harus terus mengawal hak-hak masyarakat adat, memperjuangkan pengakuan wilayah adat, dan memastikan bahwa keputusan politik dan hukum yang dibuat oleh pemerintah berpihak pada keberlangsungan budaya serta lingkungan mereka.

Pemuda adat menghadapi berbagai tantangan, mulai dari isu identitas yang terus berkembang akibat modernisasi, keterbatasan akses terhadap pendidikan dan sumber daya, hingga tekanan ekonomi yang sering kali menghambat keterlibatan mereka dalam komunitas. Dilema ini semakin kompleks ketika ekspektasi sosial dari masyarakat dan persepsi dari pihak luar terhadap mereka sebagai pemuda adat menimbulkan tekanan tersendiri. Sementara itu, dalam komunitas mereka sendiri, pemuda adat harus berjuang untuk mendapatkan peran dalam pengambilan keputusan serta menjaga keberlanjutan budaya dan bahasa mereka. Hambatan lainnya datang dari eksploitasi sumber daya alam dan perubahan iklim, yang mengancam kelestarian lingkungan serta hak atas tanah adat mereka.

Sebagai langkah maju, seminar ini menyoroti pentingnya kolaborasi antara pemuda adat, akademisi, dan aktivis dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat adat. Strategi yang dapat ditempuh mencakup peningkatan pendidikan dan kapasitas kepemimpinan pemuda adat, pembangunan jaringan advokasi yang lebih luas, serta pemanfaatan teknologi dan media sosial untuk menyuarakan perjuangan mereka. Pemuda adat harus aktif dalam pengambilan keputusan dan memperkuat peran mereka sebagai agen perubahan, bukan hanya menjadi objek dalam wacana pembangunan.

Seminar MBKM RIMBAHARI 2025: Diversitas Biokultural dan Masyarakat Adat menjadi momentum penting dalam memperkuat posisi pemuda adat dalam menjaga warisan biokultural mereka. BPAN menegaskan bahwa perjuangan ini tidak hanya untuk masa kini, tetapi juga untuk memastikan bahwa generasi mendatang dapat tetap hidup dalam harmoni dengan identitas dan tanah leluhur mereka. Dengan semangat kolaborasi dan ketahanan yang kuat, pemuda adat akan terus berjuang demi keberlanjutan komunitas dan hak-hak masyarakat adat di masa depan.

Masyarakat Adat Onan Harbangan Menjadi Korban Kekerasan oleh PT TPL: Penegakan Hukum Dipertanyakan!!!

Onan Harbangan, Desa Pohan Jae, Kecamatan Siborong-borong, Tapanuli Utara (20/01/2025)Masyarakat Adat Onan Harbangan kembali menjadi korban kekerasan dalam konflik lahan dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL). Insiden ini terjadi saat pihak perusahaan melakukan upaya penanaman paksa bibit eucalyptus di wilayah adat yang diklaim masyarakat setempat. Tindakan tersebut memicu bentrokan, di mana petugas keamanan PT TPL dilaporkan menggunakan kayu yang telah dipersiapkan sebelumnya untuk menyerang Masyarakat Adat.

Foto dan video yang beredar menunjukkan masyarakat dipukuli secara brutal oleh petugas keamanan. Peristiwa ini telah menambah daftar panjang pelanggaran hak asasi manusia terhadap Masyarakat Adat di Nusantara, yang berjuang mempertahankan wilayahnya dari ancaman perusahaan besar.

Kini, Masyarakat Adat Onan Harbangan yang terluka akibat kekerasan tersebut sedang dalam perjalanan menuju Polres Tapanuli Utara untuk membuat laporan resmi. Namun, muncul pertanyaan besar: apakah aparat penegak hukum akan serius menangani kasus ini dan menghukum pelaku kekerasan? Ataukah, seperti yang sering terjadi, justru masyarakat adat yang akan didiskriminasi dan dihadapkan pada proses hukum yang tidak adil?

Siklus kekerasan yang dialami Masyarakat Adat Onan Harbangan mencerminkan masalah yang lebih luas. RUU Masyarakat Adat, yang bertujuan melindungi hak-hak adat, hingga kini belum disahkan oleh DPR dan Presiden. Hal ini semakin memperburuk keadaan, terutama ketika negara terlihat lebih memihak pada kepentingan korporasi dengan dalih investasi, alih-alih melindungi rakyatnya sendiri.

Seruan untuk menutup operasional PT TPL semakin menggema, terutama dari Masyarakat Adat dan aktivis yang peduli terhadap keberlanjutan lingkungan dan perlindungan hak asasi manusia. Mereka mendesak agar pemerintah segera mengambil langkah tegas untuk melindungi Masyarakat Adat dan menuntaskan konflik yang telah berlangsung bertahun-tahun.

“Tutup PT TPL, si perampas wilayah adat milik masyarakat adat di Tanah Batak, dan segera sahkan RUU Masyarakat Adat! Pemerintah harus menjalankan amanat konstitusi untuk melindungi masyarakat adat dari kejahatan negara dan korporasi,” ujar salah satu tokoh adat dalam pernyataannya.

Situasi di Onan Harbangan masih terus berkembang, dengan harapan besar agar aparat hukum benar-benar menegakkan keadilan tanpa memihak. Masyarakat Adat dan pendukungnya kini menunggu respons nyata dari pihak berwenang atas kasus ini.

PD BPAN Banten Kidul Menggelar Jambore Daerah II di Kasepuhan Lebak Larang

Pengurus Daerah Barisan Pemuda Adat Nusantara (PD BPAN) Banten Kidul sukses melaksanakan Jambore Daerah (Jamda) II, yang diikuti oleh para Pemuda Adat Banten Kidul serta Masyarakat Adat setempat. Acara ini berlangsung di Kasepuhan Lebak Larang, Desa Mekarsari, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, pada Minggu (29/12/2024).

Kegiatan ini dihadiri oleh Pemuda Adat dari berbagai komunitas, termasuk Kasepuhan Lebak Larang, Karang Nunggal, Cisungsang, Cisitu, Ciptamulya, Gelar Alam, Cicarucub, Bayah, Ciherang, dan Kasepuhan Bongkok. Selain itu, Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Banten Kidul dan Ketua Pengurus Nasional BPAN juga turut hadir.

Dalam Jamda ini, saudara Anas Sopian terpilih sebagai Ketua PD BPAN Banten Kidul periode 2024-2028. Kegiatan ini mengusung tema “Miindung ka Waktu, Mibapa ka Zaman,” yang mencerminkan semangat menjaga nilai-nilai adat di tengah perubahan zaman.

Jamda II PD BPAN Banten Kidul merupakan bagian dari proses kaderisasi bagi Pemuda Adat yang ingin bergabung dengan Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN). Agenda utama kegiatan ini meliputi pelaporan kepengurusan PD BPAN Banten Kidul selama masa jabatan, serta pemilihan kepengurusan baru untuk periode berikutnya.

Aang Anggra Hariyana, Ketua PD BPAN Banten Kidul yang akan segera mengakhiri masa jabatannya, menyatakan bahwa Jambore ini bukan hanya untuk anggota BPAN, tetapi juga untuk semua pemuda yang peduli terhadap adat di Banten Kidul.

“Pemuda Adat jangan sampai kehilangan jati diri. Kehilangan ini bukan berarti hilangnya generasi, melainkan pudarnya kesadaran akan adat dan tradisi yang diwariskan leluhur. Banyak Pemuda Adat yang mulai tergerus arus zaman, merasa tidak lagi bangga dengan identitas adat mereka. BPAN hadir untuk mengembalikan kebanggaan itu dan memberikan ruang bagi mereka untuk berkembang,” ujarnya.

Aang menyoroti tantangan yang dihadapi Pemuda Adat dalam menjaga identitas mereka di tengah derasnya arus modernisasi. Pemuda Adat mulai meninggalkan pakaian adat seperti udeng dan pangsi, yang dianggap “tidak keren” dibandingkan dengan jas, dasi, atau fashion modern.

“Kita telah terpengaruh framing dunia luar yang menganggap pakaian adat kuno atau kampungan. Sebaliknya, kita harus bangga dengan identitas kita sebagai Masyarakat Adat. Namun, ini tidak berarti kita menutup mata terhadap perkembangan zaman,” tambahnya.

Bangbang Sugentry, Kepala Bidang OKK PD AMAN Banten Kidul, menegaskan bahwa BPAN merupakan salah satu organisasi sayap dari AMAN yang mewadahi Pemuda Adat.

“BPAN adalah ruang bagi Pemuda Adat untuk berkumpul, berdiskusi, dan berinovasi demi kemajuan bersama. Saya berharap kader-kader baru ini benar-benar peduli terhadap adat dan dapat menunjukkan eksistensinya dengan bangga,” ujarnya.

Hero Aprila, Penjabat Ketua Pengurus Nasional BPAN, dalam sambutannya menekankan pentingnya semangat juang bagi kader BPAN.

“Kita, Pemuda Adat, harus bisa berinovasi tanpa meninggalkan identitas kita. BPAN adalah wadah untuk menjaga dan merawat wilayah adat kita serta memperjuangkan hak-hak Masyarakat Adat. Pemuda Adat harus menjadi garda terdepan dalam upaya ini,” tegasnya.

Ari Fadilah, salah satu kader PD BPAN Banten Kidul, berharap bahwa kegiatan Jamda II dapat memperkuat solidaritas di antara Pemuda Adat.

“Banten Kidul memiliki wilayah adat yang luas, meliputi empat kabupaten dan dua provinsi. Dengan adanya BPAN, kami bisa saling mengenal, bekerja sama, dan menjaga warisan budaya leluhur bersama-sama,” ucapnya.

Jamda II PD BPAN Banten Kidul menjadi momentum penting untuk memperkuat peran Pemuda Adat dalam menjaga tradisi dan menghadapi tantangan modernisasi. Acara ini tidak hanya mempererat hubungan antar-komunitas adat, tetapi juga memberikan semangat baru bagi generasi muda untuk terus melestarikan budaya adat mereka.

Penulis: Dika Setiawan (Jurnalis Masyarakat Adat & Tim Infokom PD AMAN Banten Kidul)

Editor: RH (Infokom Seknas BPAN)

Masyarakat Adat Pulau Rempang Kembali Diserang, Banyak Korban Luka dan Kendaraan Dirusak

Puluhan orang menyerang sejumlah posko warga yang menolak relokasi proyek Rempang Eco City di Kampung Sembulang Hulu dan Kampung Sei Buluh, Kelurahan Sembulang, Kecamatan Galang, Rabu dini hari (18/12/2024).

Batam, 18 Desember 2024—Masyarakat Adat Pulau Rempang kembali menjadi korban kekerasan dalam insiden yang terjadi pada Selasa dini hari sekitar pukul 00.50 WIB. Peristiwa tragis ini diduga dilakukan oleh puluhan orang yang terindikasi sebagai pegawai PT Makmur Elok Graha (MEG)

Berdasarkan data sementara, serangan tersebut menyebabkan kerusakan pada beberapa posko warga di Kampung Sembulang Hulu, Kampung Sei Buluh, Kelurahan Sembulang, Kecamatan Galang, serta Pasir Merah. Selain itu, setidaknya delapan warga mengalami luka-luka dan telah dilarikan ke rumah sakit terdekat. Berikut adalah rincian korban:

Rincian Korban:

Kampung Sembulang Hulu:

  1. Satu orang mengalami luka ringan.
  2. Satu orang mengalami luka parah.

Posko Pak Sutaji:

  1. Dua orang mengalami luka sobek di kepala.
  2. Satu orang mengalami patah tangan.

Kampung Sei Buluh:

  1. Dua orang mengalami luka sobek di kepala.

Pasir Merah:

  1. Satu orang terkena panah.

Tak hanya itu, belasan kendaraan bermotor milik warga juga dirusak oleh pelaku.

Atas peristiwa kekerasan yang berulang ini, masyarakat Kampung Tua Rempang bersama organisasi masyarakat sipil menyerukan langkah-langkah tegas dari pemerintah dan lembaga terkait. Adapun tuntutan tersebut adalah:

  1. Presiden Prabowo Subianto dan DPR RI untuk memastikan perlindungan bagi masyarakat adat dan tempatan di Pulau Rempang atas wilayah adat mereka, serta membatalkan seluruh rencana pengembangan Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco-City.
  2. Kapolri untuk memerintahkan jajaran kepolisian melakukan penegakan hukum secara serius dan tegas terhadap seluruh peristiwa intimidasi dan kekerasan yang dialami masyarakat adat Pulau Rempang.
  3. Komnas HAM untuk mengawasi dan mengambil tindakan tegas atas rentetan pelanggaran HAM di Pulau Rempang, sekaligus memastikan skema perlindungan bagi seluruh masyarakat adat di wilayah tersebut.

Menanggapi peristiwa ini, Pj. Ketua Umum Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) menyampaikan kecaman keras terhadap tindakan kekerasan tersebut.

“Kami mengecam keras tindakan puluhan orang (diduga pegawai PT. MEG) yang menyerang masyarakat adat Pulau Rempang. Akibat serangan ini, terdapat korban dengan luka patah tangan, luka sobek di kepala, hingga terkena serangan busur panah,” tegasnya.

Narahubung Solidaritas Nasional untuk Rempang:

  1. LBH Pekanbaru: +62 812 6643 8036
  2. WALHI Riau: +62 822 8824 5828

Kejadian ini menegaskan perlunya perhatian serius dari pemerintah dan semua pihak terkait untuk menghentikan intimidasi dan kekerasan terhadap masyarakat adat. Masyarakat Adat Pulau Rempang dan seluruh pendukungnya akan terus bersuara hingga keadilan dan perlindungan yang layak terwujud.

Pengesahan RUU Masyarakat Adat pada 2025:Menanti Tindakan Nyata DPR dan Pemerintah kepada Masyarakat Adat

Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat

Jakarta, 18 Desember 2024 – Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat mendesak DPR dan Pemerintah Republik Indonesia untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat (RUU MA) pada tahun 2025, agar hak-hak Masyarakat Adat dapat diakui dan dilindungi secara lebih efektif. Saat ini, RUU Masyarakat Adat telah masuk kembali dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2025 dan masuk dalam Prolegnas lima tahunan usulan DPR RI.

Namun dalam daftar Prolegnas RUU ini masih menggunakan frasa RUU Masyarakat Hukum Adat. Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat mendorong penggunaan frasa Masyarakat Adat untuk mengakomodir nomenklatur Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Tradisional dalam konstitusi. Serta mendorong adanya kemajuan pasti dalam upaya pengesahannya.

Veni Siregar, Senior Kampanye Kaoem Telapak menegaskan bahwa pembahasan dan pengesahan RUU Masyarakat Adat menjadi momentum penting bagi DPR RI dan Pemerintah Prabowo Subianto untuk menunjukkan keberpihakannya kepada Masyarakat Adat. “Pengakuan dan perlindungan terhadap Masyarakat Adat adalah bentuk tanggung jawab negara dalam memastikan keberlanjutan hidup dan kepastian hukum  bagi  mereka. DPR RI, khususnya Badan Legislasi dan delapan Fraksi Partai Politik, harus mengambil langkah strategis untuk terus membangun dialog konstruktif dengan Masyarakat Adat, agar Rancangan Undang-Undang yang dihasilkan mampu menjawab persoalan yang dihadapi. Perlindungan dan pemenuhan hak-hak Masyarakat Adat di tengah kekerasan dan kriminalisasi harus menjadi prioritas. Kontribusi Masyarakat Adat dalam menjaga kelestarian lingkungan juga patut diapresiasi.”

Veni menambahkan bahwa Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat akan terus melakukan mengawal secara intensif untuk memastikan RUU Masyarakat Adat disahkan pada tahun 2025.

Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum, dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Muhammad Arman mengatakan pengesahan RUU Masyarakat Adat merupakan jalan utama sekaligus tindakan nyata untuk mewujudkan cita-cita pembentukan negara Indonesia yakni melindungi segenap tumpah darah, dan memajukan kesejahteraan umum termasuk bagi Masyarakat Adat yang selama ini termarjinalkan.

“Pengesahan RUU Masyarakat Adat akan memberikan kepastian hukum  sekaligus menciptakan investasi yang berkeadilan bagi semua pihak. Undang-Undang Masyarakat Adat adalah ‘jalan pulang’ untuk meneguhkan kebangsaan dan Ke-Indonesiaan yang beragam,” ucapnya.

Lebih lanjut, Arman memaparkan data yang dihimpun AMAN selama 10 tahun terakhir, dimana telah terjadi 687 konflik agraria di wilayah adat, mencakup lahan seluas 11,07 juta hektar. Konflik tersebut tidak hanya merampas tanah ulayat, tetapi juga mengakibatkan 925 Masyarakat Adat menjadi korban kriminalisasi. Dari jumlah tersebut, 60 orang mengalami kekerasan yang dilakukan oleh aparat negara, dan bahkan satu orang meninggal dunia.

Menurut Arman, perampasan tanah ulayat sering kali dilakukan melalui proyek-proyek besar yang dijalankan tanpa konsultasi atau persetujuan yang memadai, serta mengabaikan prinsip Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan (Padiatapa/FPIC).

Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, yang terdiri dari 35 organisasi masyarakat sipil, menegaskan bahwa RUU ini merupakan peluang besar untuk memperbaiki ketidakadilan yang terus dialami oleh Masyarakat Adat. Selain itu, RUU ini juga diharapkan mampu memberikan perlindungan hukum yang komprehensif, termasuk pengakuan dan perlindungan terhadap wilayah adat dan hutan adat yang menjadi sumber kehidupan dan identitas Masyarakat Adat.

Juandi Gultom, dari Bidang Keadilan dan Perdamaian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), menegaskan dukungan PGI terhadap pengesahan RUU Masyarakat Adat. Juandi menyatakan bahwa Masyarakat Adat adalah pemilik awal sekaligus pemilik sah dari negeri ini, Namun ironisnya justru mengalami pengucilan oleh negara. “Masyarakat Adat adalah pemilik awal dan pemilik sah dari negara ini. Namun, mereka dikucilkan oleh kebijakan negara saat ini,” ujarnya.

Lebih lanjut, Juandi menambahkan bahwa PGI aktif melakukan advokasi untuk mendukung perjuangan Masyarakat Adat. Kantor PGI bahkan menjadi rumah bersama bagi berbagai pengaduan dan permohonan bantuan yang diajukan oleh Masyarakat Adat dalam memperjuangkan hak-hak mereka.

Ermelina Singereta, Manajer Bidang Advokasi Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) menyatakan bahwa sikap pengabaian negara terhadap perlindungan hukum bagi Masyarakat Adat, khususnya perempuan, anak, dan kelompok rentan dalam mempertahankan ruang hidup mereka, merupakan bentuk nyata pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

“Banyak Perempuan Adat harus berhadapan dengan hukum yang tidak adil. Mereka ditangkap, diadili, bahkan dihukum karena mempertahankan hak dan identitas mereka sebagai Perempuan Adat. Bagi Perempuan Adat, hukum ibarat fatamorgana: terlihat jelas tetapi sulit untuk dijangkau,” ucap Ermelina.

Ermelina menekankan bahwa perlindungan hak Masyarakat Adat tidak hanya penting dari aspek keadilan, tetapi juga memiliki peran kunci dalam melestarikan keanekaragaman hayati global. Wilayah adat merupakan benteng terakhir bagi keanekaragaman hayati dunia, di mana diperkirakan 80% keanekaragaman hayati global tersimpan di dalamnya. Dengan pengetahuan tradisional yang diwariskan selama ribuan tahun, Masyarakat Adat telah menjadi penjaga alam dan ekosistem hayati yang tak tergantikan.

Lebih lanjut, Ermelina menjelaskan bahwa keterlibatan Masyarakat Adat dalam pengelolaan wilayah adat berkontribusi besar terhadap upaya global untuk melestarikan lingkungan, mitigasi perubahan iklim, dan perlindungan ekosistem. Di tengah tantangan lingkungan yang semakin kompleks, peran Pemuda Adat menjadi sangat krusial sebagai generasi penerus dalam menjaga warisan leluhur. Pemuda Adat, menurutnya, adalah garda terdepan dalam upaya mempertahankan wilayah adat dalam menghadapi berbagai tantangan yang semakin kompleks.

Hero Aprila, Ketua Umum Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), menekankan bahwa keberadaan Undang-Undang Masyarakat Adat memiliki peran penting dalam menjawab berbagai persoalan yang dihadapi Pemuda Adat di berbagai sektor, mulai dari politik dan hukum, sosial dan budaya, hingga kemandirian ekonomi serta pendidikan adat.

“Sebagai generasi penerus, kami, Pemuda Adat, memiliki tanggung jawab besar dalam memastikan keberlanjutan pengelolaan wilayah adat yang lestari dan bebas dari diskriminasi serta intimidasi. Ketiadaan UU Masyarakat Adat hanya akan memperpanjang rantai ketidakadilan yang telah berlangsung lama. Bagi kami, UU Masyarakat Adat adalah solusi nyata untuk menjawab tantangan yang kami hadapi,” tutur Hero.

Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat terdiri dari YLBHI, HuMa, Seknas WALHI, KPA, KEMITRAAN, ICEL, Debt Watch, PEREMPUAN AMAN, Yayasan PUSAKA, Kaoem Telapak, Yayasan Madani Berkelanjutan, BRWA, JKPP, merDesa Institute, RMI, EPISTEMA, Greenpeace Indonesia, Lakpesdam NU, KIARA, LOKATARU, Forest Watch Indonesia (FWI), Sawit Watch, PPMAN, Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), Yayasan Jurnal Perempuan (YPJ), Forum Masyarakat Adat Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Format-P), Kalyanamitra, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), SATUNAMA, Protection International Indonesia, KKC Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Working Group ICCAs Indonesia, AMAN, Samdhana, EcoAdat.

Kontak Media:
A.P. Prayoga, Tim Kampanye Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, HP. 0857 2034 6154

Veni Siregar, Senior Kampanye Kaoem Telapak, HP. 0838-9344-5587

RUU Masyarakat Adat: Kunci Keberhasilan Konservasi Pasca COP16

Jakarta, 5 Desember 2024 – Pasca Konferensi Dunia Keanekaragaman Hayati (COP16) yang berlangsung pada 1 November 2024 di Cali, Kolombia, urgensi pengesahan RUU Masyarakat Adat di Indonesia semakin mendesak. Pengakuan dan perlindungan hak-hak Masyarakat Adat menjadi kunci untuk memastikan keterlibatan mereka dalam implementasi Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (KM-GBF). Tanpa RUU Masyarakat Adat, kontribusi Masyarakat Adat dalam konservasi berkelanjutan dan inklusif akan terus terhambat.

Hal ini disampaikan oleh Cindy Julianty, Program Manager Working Group Indigenous Peoples’ and Community Conserved Areas and Territories Indonesia (WGII) dalam diskusi publik bertajuk “Urgensi Pengesahan RUU Masyarakat Adat dalam Merespon Kebijakan Konservasi Pasca COP16” yang diselenggarakan di Rumah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Jakarta, Rabu (4/12). Selain Cindy Julianty, turut hadir juga Bimantara Adjie (Perkumpulan HuMa), Teo Reffelsen (WALHI Eksekutif Nasional), Rukmini Paata Toheke (Dinamisator Regional Sulawesi JPH AKKM), Mufti Fathul Barri (FWI), Tommy Indyan (AMAN) sebagai narasumber dan Salma Zakiyah (MADANI Berkelanjutan) sebagai moderator.

Cindy Julianty juga menekankan pentingnya keterlibatan Masyarakat Adat dalam mencapai target perlindungan keanekaragaman hayati global. “Konservasi tidak bisa hanya sekadar membicarakan pelestarian lingkungan. Konservasi juga berarti pengakuan hak tenurial di wilayah Masyarakat Adat,” ujar Cindy. Ia menyebutkan bahwa database wilayah adat mencatat 22,5 juta hektare wilayah adat yang berpotensi untuk dikonservasi. “Praktik-praktik konservasi dari bawah ini dapat mendorong kontribusi Indonesia untuk mencapai target keanekaragaman hayati global,” tambahnya.

Bimantara Adjie Wardhana, Divisi Advokasi Hukum Rakyat Perkumpulan HuMa menambahkan, meskipun Masyarakat Adat memiliki posisi strategis dalam Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) tepatnya pada Target 16 dan Target 17 implementasi kebijakan seringkali gagal melibatkan mereka secara aktif dan inklusif. “Partisipasi aktif dan bermakna Masyarakat Adat seringkali diabaikan dalam implementasi kebijakan biodiversitas di Indonesia, misalnya dalam proses penyusunan IBSAP. Padahal, IBSAP adalah kunci dari pengarusutamaan biodiversitas di Indonesia,” ujarnya.

Sementara itu, Teo Reffelsen, Manajer Hukum dan Pembelaan WALHI Eksekutif Nasional mengkritik proses pembentukan UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE) yang dinilai mengabaikan partisipasi bermakna. “Banyak fakta lapangan yang diajukan oleh koalisi diabaikan tanpa alasan jelas dari DPR,” kata Teo. Ia juga mengingatkan bahwa Mahkamah Konstitusi sejak 2012 telah mengamanatkan pemerintah untuk membentuk peraturan terkait Masyarakat Adat, namun hingga kini belum terealisasi. “Sayangnya dalam gugatan AMAN, Pengadilan Tata Usaha Negara gagal menilai prinsip-prinsip judicial order yang ada di beberapa putusan MK terkait urgensi UU Masyarakat Adat, sehingga dari segi legislasi dan kebijakan, masyarakat adat di nomor duakan. Tidak heran kita lihat situasi Masyarakat Adat yang berada dalam dan dekat dengan kawasan hutan semakin buruk dan memprihatinkan,” tutupnya.

Rukmini Paata Toheke, Dinamisator Regional Sulawesi Jaringan Pemangku Hak Areal Konservasi Kelola Masyarakat (JPH AKKM), menjelaskan bahwa Masyarakat Adat Ngata Toro telah lama mempraktikkan konservasi berbasis kearifan lokal. Upaya ini dilakukan diantaranya dengan mendokumentasikan hukum adat, mengelola tempat-tempat yang dapat dikelola dan sekolah adat. “Kami memiliki filosofi tiga tungku kehidupan, Taluhi Takuhua, dimana masyarakat menjaga hubungan baik dengan pencipta bumi yang telah memberikan isinya dengan sesama manusia serta alam. Ketika kita merusak alam, maka kita merusak kehidupan. Ini menjadi landasan kami untuk menjaga kearifan leluhur. Ini menjadi kebanggaan kami sebagai Masyarakat Adat. Namun, negara kurang menghargai upaya kami,” tegasnya.

Senada dengan itu, Mufti Fathul Barri, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia (FWI), menyebut bahwa 80% keanekaragaman hayati dunia berada di wilayah Masyarakat Adat. Namun, UU KSDAHE di Indonesia justru mengecilkan peran mereka. “Paradigma konservasi kita belum bergeser, padahal Masyarakat Adat terbukti menjadi aktor utama dalam menjaga biodiversitas,” ungkapnya.

Tommy Indyan dari Direktorat Advokasi kebijakan Hukum dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), menegaskan bahwa pengesahan RUU Masyarakat Adat adalah langkah penting untuk melindungi hak-hak Masyarakat Adat. Ia menekankan perlunya definisi yang jelas, mekanisme pendaftaran yang sederhana, dan pengakuan hak-hak perempuan, pemuda, serta anak-anak adat dalam RUU Masyarakat Adat. “RUU yang ideal harus berbasis pada prinsip HAM dan mencakup mekanisme pemulihan hak, penyelesaian konflik, serta penguatan hak atas identitas budaya dan wilayah adat,” tuturnya.

Pengesahan RUU Masyarakat Adat tidak hanya memberikan perlindungan hukum bagi Masyarakat Adat, tetapi juga memperkuat peran mereka dalam mencapai target KM-GBF secara inklusif. Langkah ini menjadi krusial untuk memastikan keberlanjutan konservasi dan keanekaragaman hayati di Indonesia.

Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat terdiri dari YLBHI, HuMa, Seknas WALHI, KPA, KEMITRAAN, ICEL, Debt Watch, PEREMPUAN AMAN, Yayasan PUSAKA, Kaoem Telapak, Yayasan Madani Berkelanjutan, BRWA, JKPP, merDesa Institute, RMI, EPISTEMA, Greenpeace Indonesia, Lakpesdam NU, KIARA, LOKATARU, Forest Watch Indonesia (FWI), Sawit Watch, PPMAN, Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), Yayasan Jurnal Perempuan (YPJ), Forum Masyarakat Adat Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Format-P), Kalyanamitra, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), SATUNAMA, Protection International Indonesia, KKC Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Working Group ICCAs Indonesia, AMAN, Samdhana, EcoAdat.

Kontak Media:
A.P. Prayoga, Tim Kampanye Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, HP. 0857 2034 6154

Bentrok di Hutan Adat Dolok Parmonangan Masyarakat Adat Korban Kekerasan oleh PT. TPL dan Aparat

Dolok Parmonangan, 2 Desember 2024 – Ketegangan memuncak di Hutan Adat Dolok Parmonangan (Huta Utte Anggir) ketika PT. Toba Pulp Lestari (TPL) bersama aparat kepolisian dan TNI memasuki wilayah tersebut sejak pukul 09.00 WIB. Keberadaan mereka yang mencurigakan membuat Masyarakat Adat setempat melakukan pemeriksaan ke lokasi.

Sesampainya di Hutan Utte Anggir, Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan menemukan jalan menuju kawasan hutan telah ditutup dan dipalang oleh pihak TPL. Ketegangan semakin meningkat ketika terdengar suara singso dari dalam hutan, yang memaksa Masyarakat Adat mencoba memasuki wilayah tersebut. Namun, mereka dihalangi oleh pihak TPL dan aparat keamanan.

Situasi pun berubah menjadi bentrok. Dalam insiden ini, salah satu warga Masyarakat Adat Dolok Parmonangan mengalami luka serius di bagian kepala akibat tindakan kekerasan yang diduga dilakukan oleh pihak TPL.

Hero Aprila, Ketua Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), mengutuk keras kejadian ini. Dalam pernyataannya, Hero menyampaikan, “Kami mengecam keras tindakan aparat dan pihak TPL yang mengakibatkan salah satu Masyarakat Adat Dolok Parmonangan mengalami luka bocor di bagian kepala. Tindakan ini harus segera dihentikan.”

Insiden ini kembali menyoroti konflik yang sering terjadi di wilayah-wilayah adat antara perusahaan besar dan masyarakat setempat. Tindakan intimidasi, kekerasan, dan penguasaan sepihak atas tanah adat menjadi isu yang belum terselesaikan.

Masyarakat Adat menyerukan penghentian kekerasan dan intimidasi terhadap mereka, serta menuntut agar hak-hak mereka atas wilayah adat diakui dan dihormati.

Nggak Butuh Apotek! Daun Betadine Atau Daun Dokter Penyembuh Luka Ala Lokal

Daun Betadine atau Daun Dokter (Jatropha multifida)

Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat adat di berbagai daerah di Nusantara, alam bukan hanya menjadi sumber kehidupan, tetapi juga penyembuh. Salah satunya adalah tanaman Jatropha multifida, yang dikenal di beberapa daerah dengan nama Daun Betadine di Riau dan Daun Dokter di Lombok. Meskipun teknologi modern telah menghadirkan banyak solusi medis, masyarakat adat telah lama memanfaatkan tanaman ini sebagai penyembuh luka dengan cara yang sangat alami.

Di Talang Mamak, Riau, masyarakat adat telah menggunakan daun ini selama bertahun-tahun untuk mengobati luka. Getah dari daun Jatropha multifida dioleskan langsung pada luka untuk mencegah infeksi. Karena memiliki sifat antiseptik alami yang mirip dengan Betadine, tak heran jika tanaman ini disebut Daun Betadine. Inilah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat mengandalkan tanaman lokal untuk menjaga kesehatan, jauh sebelum obat-obatan kimia ditemukan.

Sementara itu, di Lombok, Jatropha multifida dikenal dengan nama Daun Dokter karena kemampuannya dalam menyembuhkan luka dengan cepat. Masyarakat adat di sana percaya bahwa daun ini bisa menyembuhkan luka seefektif seorang dokter. Tanaman ini menjadi bukti nyata bahwa kearifan lokal dalam menggunakan tumbuhan sebagai obat bukan hanya sekadar tradisi, tetapi juga bagian dari pengetahuan medis yang sudah terbukti berfungsi.

Masyarakat adat memiliki hubungan yang sangat erat dengan alam. Mereka tidak hanya memanfaatkan alam untuk bertahan hidup, tetapi juga menjunjung tinggi nilai-nilai yang mengajarkan pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem. Penggunaan tanaman seperti Jatropha multifida adalah contoh bagaimana mereka telah mengembangkan sistem pengobatan tradisional yang berkelanjutan, tanpa merusak alam sekitar.

Sayangnya, dengan perkembangan zaman dan semakin tergantungnya masyarakat pada pengobatan modern, penggunaan Daun Betadine dan Daun Dokter mulai terlupakan. Padahal, tanaman ini bisa jadi alternatif yang lebih alami dan ramah lingkungan. Dalam era yang semakin canggih ini, mengingat dan melestarikan pengetahuan tradisional seperti ini menjadi penting, baik untuk menjaga kesehatan maupun untuk melestarikan budaya masyarakat adat yang sudah ada sejak lama.

Menggunakan Jatropha multifida adalah salah satu cara masyarakat adat mengajarkan kita tentang pentingnya kearifan lokal dalam pengobatan. Dalam dunia yang serba cepat dan cenderung melupakan akar budaya, kita perlu lebih menghargai dan melestarikan pengetahuan seperti ini. Daun Betadine dan Daun Dokter bukan hanya sekadar tanaman penyembuh luka, tetapi juga simbol dari kekuatan alam yang selalu siap membantu kita, seperti nenek moyang kita yang telah melakukannya bertahun-tahun yang lalu.

Keadilan dan Kemerdekaan di Wilayah Adat Sorong Raya

Sejak 1900-an, Sorong Raya—mencakup Kota Sorong, Kabupaten Sorong Selatan, dan Raja Ampat di Papua Barat—sudah melewati tiga era industri. Era pertama adalah zaman minyak bumi yang dimulai 1935 ketika maskapai minyak Belanda mengebor minyak di Sorong. Era kedua adalah zaman minyak sawit mulai tahun 2000-an. Era ketiga, yang terbaru, adalah zaman Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang diresmikan pada 2016. KEK berada di Distrik Mayamuk, Kabupaten Sorong dengan luasnya 500 hektar dan diperuntukkan bagi suplai logistik, pertambangan, hingga perkebunan.

Tapi kemakmuran di setiap zaman itu “tak pernah mampir” ke komunitas Masyarakat Adat sebagai pemilik kawasan/wilayah adat tempat semua industri itu berdiri. Sampai hari ini bisa dihitung berapa banyak profesor, berapa doktor, berapa S1, berapa S2, berapa dosen, berapa guru, berapa banyak fasilitas pendidikan dan kesehatan yang bisa diakses secara gratis oleh komunitas adat dan marga yang wilayahnya sudah dikuasai oleh industri.

Bahwa kawasan-kawasan ini adalah wilayah yang memiliki alas hukum yang kokoh yang dikuasai secara turun-temurun sebelum adanya negara hingga kelahiran negara. Buhulnya juga adalah UUD 1945 pasal 18 B ayat 2 Amandemen Kedua yang mengakui keberadaan Masyarakat Adat. Di bawahnya ada UU 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Bab XI, tentang “Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat” yang diperkuat Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 yang menegaskan bahwa “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah Masyarakat Adat, dan bukan lagi sebagai hutan negara”. Lalu ada Perdasus Nomor 21, 22, 23 tahun 2018 yang menyatakan wilayah Papua adalah wilayah adat. Adapun di Kabupaten Sorong ada pula regulasi khusus, yaitu Perda No.10 tahun 2017 tentang “Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Moi di Kabupaten Sorong”. Dan juga di beberapa kabupaten/kota dalam tahapan penyusunan Perda Pengakuan dan Perlindungan terhadap Masyarakat Adat.

Namun, pengakuan atas hak Masyarakat Adat hanya selesai secara teori hukum. Implementasinya di lapangan lain cerita. Industri alih-alih membuat komunitas adat dan marga sejahtera, malah jadi sengsara di wilayah adat mereka sendiri.

Bagi komunitas Adat, hutan, dusun, atau wilayah adat adalah Mama yang memberikan kehidupan. Ketika Masyarakat Adat membutuhkan sagu, dia akan pergi ke dusun sagu. Ketika dia membutuhkan sayur dan daging, dia ke hutan. Ketika dia membutuhkan ikan, dia akan memancing. Ketika dia butuh obat, ada obat-obatan di dalam hutan. Ketika dia butuh keindahan, dia ke hutan untuk melihat anggrek hingga burung cenderawasih.

Hingga akhirnya, investasi mengubah hutan mereka yang kaya raya menjadi suatu jenis tanaman saja: kelapa sawit. Segala yang di luar kelapa sawit adalah hama, dari tikus hingga komunitas marga pemilik wilayah yang punya wilayah adat.

Hal itu terjadi karena kesengajaan dari industri/investor untuk mengangkangi konstitusi demi keuntungan perusahaan/pribadi. Karena itu, cara yang konstitusional bagi Masyarakat Adat untuk mendapatkan kembali hak-haknya adalah merebutnya melalui jalur hukum. Tapi tantangannya besar dan itu tidak mudah, karena investor sudah siap di jalur hukum ini, sebab mereka memiliki uang dan koneksinya di kekuasaan. Adapun Masyarakat Adat hingga saat ini praktis tanpa pembela hukum. Keberadaan pendampingan hukum untuk Masyarakat Adat makin krusial karena, seperti di banyak wilayah adat yang diokupasi perusahaan, ada potensi konflik antara komunitas marga yang menuntut haknya dan investor yang melindungi keserakahannya.

Di bidang penguatan ekonomi, Masyarakat Adat telah menunjukkan bahwa sistem ekonomi kolektif Masyarakat Adat yang bertumpu pada pengetahuan dan kearifan dalam pengelolaan wilayah adat dan sumber daya alamnya, terbukti mampu bertahan dari berbagai terpaan krisis. Hal ini menunjukkan bahwa sepanjang dua dekade, Masyarakat Adat punya andil besar dalam membangun tatanan dan kedaulatan pangan di wialayah Adat. Sayangnya, di tengah situasi ekonomi global yang semakin dinamis, kekuatan ekonomi Masyarakat Adat belum dijadikan sebagai dasar utama dalam kebijakan pembangunan ekonomi.

Kontribusi yang telah diberikan oleh Masyarakat Adat tak selaras dengan perlakuan negara terhadap Masyarakat Adat. Sepanjang dua dekade pula, Masyarakat Adat masih terus menghadapi beragam agresi pembangunan. Pengabaian, kriminalisasi hingga perampasan wilayah adat terus terjadi. Perlindungan dan penghormatan atas hak konstitusional Masyarakat Adat hingga kini bagai panggang jauh dari api.

Dalam hal ini Masyarakat Adat adalah instrumen penting untuk menyelesaikan persoalan-persolan mendasar yang selama ini menghambat proses berdaulat dan merdeka di atas wilayah adat. Juga situasi politik hukum dan kebijakan-kebijakan dalam kurun waktu ini, serta proyeksi arah gerak perjuangan organisasi gerakan Masyarakat Adat di tahun yang akan datang akan lebih banyak mengalami situasi dan kondisi yang berat.

Generasi dan gerakan Masyarakat Adat adalah penentu. Kita mati musnah atau bangkit melawan dan kita menang. Itu pilihan dan pilihan itu ada di atas tangan kita, juga masa depan wilayah Adat ada di atas pundak generasi hari ini untuk membawa dan memperjuangkan wilayah adat seutuhnya menjadi milik Masyarakat Adat. Dan ketika kita hari ini duduk diam melihat penindasan dan kita merasakan penindasan dan kita tidak bergerak, maka percuma saja karena perjuangan Masyarkat Adat tidak hanya duduk diam dan meyakini bahwa tanah Adat Papua akan bebas dari eksploitasi.

Tanah Adat Papua akan bebas dan merdeka jika generasi dan gerakan Masyarakat Adat aadar bersatu dan melawan, karena perjuangan adalah milik Masyarakat Adat Papua dan milik Masyarakat Adat dunia. Oleh karenanya, kita percaya perjuangan kebenaran akan memerdekakan Masyarakat Adat Papua”.

Oleh: Feki Mobalen, Ketua BPH AMAN Sorong Raya

Ketika Pemuda Adat Memilih Pulang Kampung

Menjadi salah satu sayap Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) atau organisasi para pemuda adat merupakan harapan bagi perkembangan dan pelestarian adat di komunitas Masyarakat Adat. 

Generasi muda adat menjadi tonggak harapan Masyarakat Adat untuk mengembangkan wilayah adat termasuk melestarikan budaya.

Aku menjadi salah satu pemuda di komunitas adat Sidole yang pada tahun 2019 kemarin mendaftarkan diri menjadi anggota BPAN Wilayah Sulawesi Tengah dan juga mengikuti kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan BPAN maupun AMAN, merasa sangat terbantu untuk kembali mengenali adat istiadat di komunitasku, Kaili Lauje di Sidole. 

Aku pun kemudian dikenalkan dengan pentingnya gerakan pulang kampung, tentang peranku yang akan sangat bermanfaat bagi kampungku jika aku kembali dibandingkan berada di rantau yang hanya menguntungkan diri sendiri. Ditambah lagi bertemu dan berbagi cerita dengan teman-teman dari berbagai penjuru nusantara dengan pengalaman dan pemahaman mereka terkait adat di komunitasnya membuatku malu pada diri sendiri yang sangat minim ilmu tentang wilayah tempatku dan leluhurku terlahir. 

BPAN dengan gerakan pulang kampungnya berupaya menjaga pemuda juga Masyarakat Adat pada umumnya untuk tetap mencintai dan merasa bangga dengan budaya dan kearifan lokalnya sehingga ilmu yang diperolehnya dari sekolah ataupun perguruan tinggi dimanfaatkannya untuk pengembangan potensi di komunitasnya untuk kebermanfaatan Masyarakat Adat di wilayahnya.

Ibarat pohon, pemuda adat adalah batang pohon yang akan menyebarkan sari pati tanah yang telah diserap oleh akar (leluhur) pada ranting-ranting sehingga menumbuhkan dedaunan untuk foto sintesis yang kemudian akan memberikan keberlangsungan hidup pohon (kehidupan Masyarakat Adat) hingga menghasilkan buah. Pemuda adat haruslah mengupayakan segala cara dengan berbekal ilmu yang telah diperolehnya untuk mengembangkan potensi wilayahnya, menjaga, mendata dan mendokumentasikannya dengan memulainya dengan diskusi antarpemuda di kampungnya, berbagi ide dan gagasan untuk tujuan mengembangkan dan melestarikan  nilai atau tatanan hidup Masyarakat Adat di komunitasnya.

Kehadiran pemuda adat diharapkan dapat menjadi penghubung masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang. Menjadi generasi yang bisa menggali potensi wilayah adat, mendata kearifan lokal termasuk sejarah, seni budaya juga ritual adat sehingga generasi mendatang masih bisa mengetahui dan mengenali kearifan lokalnya sehingga dengan bangga menampakkan keadatannya. 

Adat menjadi hal yang sangat sakral bagi masyarakat yang telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka yang lebih dikenal dengan Masyarakat Adat. Keberadaan adat istiadat di era modern saat ini rentan karena telah banyak pengaruh globalisasi dan modernisasi yang merecoki tatanan kehidupan dalam Masyarakat Adat. Sehingga tak jarang pemuda di suatu komunitas adat tidak lagi bangga dengan keadatannya dan lebih memilih mengikuti tren masa kini yang jauh dari adat dan bahkan ada yang sudah menyimpang dari adat kebiasaan Masyarakat Adat di wilayah adat tertentu. 

Pemuda adat menjadi tali penghubung tatanan kehidupan, sehingga keberadaannya menjadi sangat penting untuk keberlangsungan kehidupan yang berkeadatan.

Adat menjadi hal penting dan sangat dihormati oleh masyarakat di kampungku, namun belum banyak yang kuketahui terkait adat di komunitasku, itu pun hanya sebatas seremonial saja. Aku juga termasuk pemuda yang telah mengenyam pendidikan tinggi di kota dengan ilmu dan kehidupan kota yang cukup modern sehingga pandanganku tentang adat sedikitnya mulai teralihkan. Tapi terkait adab dan tata laku kesopanan tetaplah adat menjadi tumpuanku setelah agama. Aku sedikitnya telah mengabaikan adat di komunitasku.

Hingga sampai pada keikutsertaanku dalam agenda-agenda yang diselenggarakan oleh BPAN dan AMAN aku dibuat sadar bahwa adat sangatlah penting dan menjadi hal pertama yang mengatur tatanan hidup masyarakat jauh sebelum agama hadir di tengah kehidupan masyarakat. Mendengar penjelasan dan pemaparan terkait hal itu aku seakan disegarkan kembali, hatiku terpanggil untuk mengenal kembali adat yang menjadi bagian dari diriku jauh sebelum aku sendiri mengenal diriku.

Dari semua itu muncullah tekad untuk pulang kampung dengan misi kembali mengenali dan mendokumentasikan segala hal yang menjadi identitasku, tentang wilayah adat, nomenklatur, tata pemerintahan, tata laku dan hukum adat yang sejak dulu telah dianut oleh masyarakat di kampungku jauh sebelum adanya agama dan hukum positif yang menurut pemaparan orang-orang tua menimbulkan efek jera bagi pelakunya, dibanding hukum positif saat ini yang hanya membingungkan dan mudah diperjualbelikan oleh pemilik kuasa dan pemodal. 

Sebaliknya, Masyarakat Adat selalu menjaga lingkungan dengan kearifan lokal, mencintai alam semesta dan manfaatkannya dengan sangat baik. Berbeda dengan manusia modern yang hanya ingin menguntungkan diri dan kelompok dengan merusak alam (eksploitasi).

Banyak hal yang mesti dipikirkan oleh pemuda khususnya pemuda adat bagaimana menjaga eksistensi diri sebagai Masyarakat Adat yang beradab, mandiri dan bermartabat. Menjaga wilayah dan generasinya dari merusak ataupun dirusak oleh modernisasi yang sejatinya menghilangkan kesejatian diri sebagai manusia. Banyak perilaku masyarakat modern yang katanya maju, tapi lebih banyak merusak masyarakat juga alam. Modernisasi dalam hal positif tentulah tetap dibutuhkan untuk mengembangkan dan mengenalkan kekayaan alam dan potensi wilayah adat untuk pengembangan Masyarakat Adat itu sendiri.

Menjadi pemuda adat adalah takdir, menjadi pemuda adat yang mau pulang kampung adalah pilihan. Aku memilih menjalani kehidupan sesuai takdirku dengan tetap menggunakan daya pikir dalam hal-hal yang masih bisa kupilih termasuk pulang kampung dan mengupayakan mengembangkan komunitasku, kembali mengenali jati diriku dan mengenalkannya kepada dunia tentang peradaban yang telah dibangun oleh tatanan adat, tentang pengelolaan wilayah yang mengutamakan pemanfaatan dan pelestarian lingkungan sekitar dengan kearifan lokal yang ada, menjaga bahasa dan sejarah asal usul untuk nantinya diceritakan pada generasi mendatang sebagai penghubung generasi saat ini dan generasi mendatang.

Aku pun akan terus belajar dengan tetap mengingat untuk pulang kampung berbagi untuk bangkit dan bersatu mengurus wilayah adat untuk Masyarakat Adat yang berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan bermartabat secara budaya. 

Penulis: Indah Salimun Mantjabo

Di Antara Musim yang Tak Menentu

Hujan datang di pukul 3 dini hari, padahal sedang musim panas. Deras air hujan memberikan bunyi di atas genteng rumahku. Rasa dingin yang ditimbulkan membuatku menarik selimut dan tertidur kembali. 

Pukul 7 pagi aku bangun, hujan juga tak kunjung reda. Aku mendengar kabar dari tetangga, sungai di kampung banjir dan menyapu lahan sayuran yang tumbuh di pinggir sungai. Kulihat dari teras rumahku, beberapa perempuan dan pemuda berjalan menggunakan payung untuk melihat banjir yang menyapu lahan sayur. 

Hujan mulai mereda di pukul 10 pagi. Para petani berangkat melihat lahannya yang dilahap oleh banjir. Ini musim panas tapi banjir datang. Beberapa bulan lalu musim hujan tapi tanaman banyak yang mati karena musim panas datang. 

Merenungkan Musim

Akhir-akhir ini bumi semakin panas. Hujan tak menentu. Angin melanda seluruh pelosok Nusantara. Adalah kesedihan yang mendalam mendapati Bumi yang sakit. 

Aku tahu bumi semakin tak sehat. Kerusakan demi kerusakan tengah menggerogoti tanah di kampungku. Baru saja, tanah-tanah di sini lolos dari kebijakan pemerintah yang akan menanam sawit dan menjanjikan semua orang menjadi kaya dalam sekejap. Kini, banjir telah menghancurkan lahan-lahan sayur. 

Nasib-nasib mati oleh kebijakan atau mati karena hilangnya sumber penghidupan tak dapat dijadikan pilihan oleh orang di kampungku. Sudah pasti keduanya perlahan-lahan membunuh dan tinggal menghitung waktu, kapan persis datangnya.  

Kemarin aku lihat di berita bencana banjir menutupi seluruh Kalimantan. Longsor menghancurkan rumah-rumah karena akar pohon tak lagi kuat menahan deras air yang masuk ke tanah. Angin kencang juga menghancurkan rumah-rumah warga di Kupang, Nusa Tenggara Timur. 

Musim panas dan musim hujan tak mengenal bulan ke berapa mereka harus datang. 

Apalagi setelah ini? Apalagi setelah ini? 

Panen yang selalu ditunggu-tunggu hancur juga oleh musim yang tak tentu kapan membaik.  Saya mencoba bertahan di antara kehancuran dengan tumpukan tugas menjadi Pemuda Adat, generasi penerus. Adilkah ini disematkan dalam perjalanan kita? Seperti susah sekali bernafas untuk menikmati alam yang disajikan untuk seluruh mahluk hidup. 

Tidak adil, sangat tidak adil. 

Mengemban Tugas

Keluhan hutan rusak dan akan merusak bumi seolah-olah menjadi angin lalu untuk para pemilik modal. Dengan dalih membuat Nusantara lebih maju atau lainnya, bencana-bencana itu menghantarkan kepadaku sebagai pemuda adat yang mengemban tugas menjaga hutan pada fungsinya. 

Aku mengingat seorang Ketua Adat, dia berkata “Di mana pun kerusakan yang disebabkan, kapan terjadinya, kita semua yang akan menanggung akibatnya. Karena kita hidup di satu bumi yang sama”. Kalimat ini terus terngiang-ngiang di kepalaku. Kerusakan apalagi yang harus kami tanggung? Apakah sulit sekali menahan diri dari kerakusan yang tak pernah berujung? 

Aku teringat tentang Tubuh Kedua. Daysi Hilyard mengajarkan padaku Tubuh Kedua kita pasti akan merasakan hal yang sama bahkan sampai dibelahan bumi manapun. Hewan, tumbuhan dan mahluk lainnya pasti terkena dampak dari kerusakan alam saat ini. Renungan yang tak menemukan ujungnya. Jika hanya kekayaan dan kekuasaan saja yang ditumpuk, sudah pasti tubuh keduaku telah menjadi abu karena panas bumi yang membakar. 

Mulai Perjalanan

Sore aku berdiri di tepi sungai yang melahap ladang sayur warga di kampungku. Aku memungut buah mentimun yang siap dipanen. Buah mentimun yang penuh dengan lumpur. Aku berjalan menuju aliran sungai, kemudian aku mencuci timun yang ‘ku ambil. Segar terlihat di mataku. 

Aku memandangi ladang sekitar sungai. Semua rata dengan lumpur. Kacang panjang, cabe rawit, kangkung, dan sayuran lainnya terlihat sama di mataku. Cokelat susu. Timun yang ada di tangan aku gigit. Segar rasanya lidahku mengecap. Tangisku keluar setelahnya. Aku merenung, sampai kapan mahluk hidup dijadikan permainan atas kerakusan manusia. Hulu sungai telah ditambang secara illegal. Tanah-tanah telah menjadi sawit. 

Aku duduk di batu pinggir sungai. Hingga aku berusia 27 tahun, semakin hari kurasakan semakin jelas di mataku. Satu perjalanan yang terus dimulai hingga tak tahu kapan berhentinya. Jika 15 tahun lalu aku masih bisa mandi di sungai, kini sungai tak lagi menjadi teman melainkan menjadi racun untuk semua orang. 

Burung-burung yang dulu aku buru bersama dengan temanku tak pernah aku lihat saat aku ke kebun. Belut-belut yang dulu ku pancing hilang karena tanah sudah hancur oleh pestisida. 

Aku tak pernah membayangkan ternyata hidup bukan semakin baik malah semakin rusak. Hidup diminta untuk terus memulai perjalanan. Jalan di atas tanah leluhur yang hancur. Penuh kerak kekuasaan yang kikir dan jahat. Melenyapkan ikatan manusia dengan tanahnya. 

Penulis: Yuyun Kurniasih

Di Antara Musim Yang Tak Menentu

Hujan datang di pukul 3 dini hari, padahal sedang musim panas. Deras air hujan memberikan bunyi di atas genteng rumahku. Rasa dingin yang ditimbulkan membuatku menarik selimut dan tertidur kembali.

Pukul 7 pagi aku bangun, hujan juga tak kunjung reda. Aku mendengar kabar dari tetangga, sungai di kampung banjir dan menyapu lahan sayuran yang tumbuh di pinggir sungai. Kulihat dari teras rumahku, beberapa perempuan dan pemuda berjalan menggunakan payung untuk melihat banjir yang menyapu lahan sayur.

Hujan mulai mereda di pukul 10 pagi. Para petani berangkat melihat lahannya yang dilahap oleh banjir. Ini musim panas tapi banjir datang. Beberapa bulan lalu musim hujan tapi tanaman banyak yang mati karena musim panas datang.

Merenungkan Musim

Akhir-akhir ini bumi semakin panas,

Hujan tak menentu,

Angin melanda seluruh pelosok Nusantara.

Adalah kesedihan yang mendalam mendapati Bumi yang sakit.

Aku tau bumi semakin tak sehat. Kerusakan demi kerusakan tengah mengrogoti tanah di kampungku. Baru saja, tanah-tanah di sini lolos dari kebijakan pemerintah yang akan menanam sawit dan menjanjikan semua orang menjadi kaya dalam sekejap. Kini, banjir telah menhancurkan lahan-lahan sayur.

Nasib-nasib, mati oleh kebijakan atau mati karena hilangnya sumber penghiudpan tak dapat dijadikan pilihan oleh orang di kampungku. Sudah pasti keduanya perlahan-lahan membunuh dan tinggal menghitung waktu, kapan persis datangnya.  

Kemarin, aku lihat di berita bencana banjir menutupi seluruh Kalimantan. Longsor menghancurkan rumah-rumah karena akar pohon tak lagi kuat menahan deras air yang masuk ke tanah. Angin kencang menghancurkan rumah-rumah warga di Kupang, Nusa Tenggara Timur.

Musim panas dan musim hujan tak mengenal bulan ke berapa mereka harus datang.

Apalagi setelah ini, apalagi setelah ini?

Panen yang selalu ditunggu-tunggu hancur juga oleh musim yang tak tentu kapan membaik atau memburuk.  Bertahan diantara kehancuran dengan tumpukan tugas menjadi Pemuda Adat, generasi penerus. Adilkah ini disematkan dalam perjalanan kita? Seperti susah sekali bernafas untuk menikmati alam yang disajikan untuk seluruh mahluk hidup.

Tidak adil, sangat tidak adil.

Mengemban Tugas

Keluhan hutan rusak, akan merusak bumi seolah-olah menjadi angin lalu untuk para pemilik modal. Menggunakan dalih membuat Nusantara lebih maju atau lainnya, menghantarkan kepadaku sebagai pemuda adat yang mengemban tugas menjaga hutan pada fungsinya.

Aku mengingat kata Ketua Adat, dia berkata “Dimanapun kerusakan yang disebabkan, kapan terjadinya kita semua yang akan menanggung akibatnya. Karena kita hidup di satu bumi yang sama”. Kalimat ini terus terngiang-ngiang di kepalaku. Kerusakan apalagi yang harus kami tanggung. Apakah sulit sekali menahan diri untuk kerakusan yang tak pernah berujung?

Aku teringat tentang Tubuh Kedua. Daysi Hilyard mengajarkan padaku Tubuh Kedua kita pasti akan merasakan hal yang sama bahkan sampai dibelahan bumi manapun. Hewan, tumbuhan dan mahluk lainnya pasti terkena dampak dari kerusakan alam saat ini. Renungan yang tak menemukan ujungnya. Jika hanya kekayaan dan kekuasaan saja yang ditumpuk, sudah pasti tubuh keduaku telah menjadi abu karena panas bumi yang membakar.

Mulai Perjalanan

Sore, aku berdiri di tepi sungai yang melahap ladang sayur warga di kampungku. Aku memungut buah mentimun yang siap di panen. Buah mentimun yang penuh dengan lumpur. Aku berjalan menuju aliran sungai, kemudian aku mencuci timun yang ku ambil. Segar terlihat dimataku.

Aku memandangi ladang sekitar sungai. Semua rata dengan lumpur. Kacang Panjang, cabe rawit, Kangkung, dan sayuran lainnya terlihat sama dimataku. Coklat susu. Timun yang ada di tangan aku gigit. Segar rasanya lidahku mengecap. Tangisku keluar setelahnya. Aku merenung, sampai kapan, mahluk hidup dijadikan permainan atas kerakusan manusia. Hulu sungai telah ditambang secara illegal. Tanah-tanah telah menjadi sawit.

Aku duduk di batu pinggir sungai. Hingga aku berusia 27 tahun, semakin hari kurasakan semakin jelas di mataku. Satu perjalanan yang terus dimulai hingga tak tahu kapan berhentinya. Jika 15 tahun lalu, aku masih bisa mandi di sungai. Kini, sungai tak lagi menjadi teman melainkan menjadi racun untuk semua orang.

Burung-burung yang dulu aku buru bersama dengan temanku. Tak pernah aku lihat saat aku ke kebun. Belut-belut yang dulu ku pancing, hilang karena tanah sudah hancur oleh pestisida.

Aku tak pernah membayangkan, ternyata hidup bukan semakin baik malah semakin rusak. Hidup diminta untuk terus memulai perjalanan. Jalan di atas tanah leluhur yang hancur. Penuh kerak kekuasaan yang kikir dan jahat. Melenyapkan ikatan manusia dengan tanahnya.

Penulis: Yuyun Kurniasih

Sekolah Adat: Solusi bagi Pendidikan di Indonesia

Liberalisasi pendidikan Indonesia mengaburkan tugas negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Liberalisasi menyebabkan komersialisasi pendidikan yang masif dengan lahir swastanisasi dunia pendidikan. Jika pendidikan (pengetahuan) menjadi barang dagangan, lalu dimanakah tugas negara itu ?

Slogan pendidikan gratis yang dicanangkan pemerintah akan menjadi mimpi buruk bagi warga negara, karena ternyata biaya pendidikan kita sangat mahal. Seorang petani tidak bisa membiaya anaknya, karena petani mengalami rawan pangan. Begitu juga seorang nelayan. Laut yang menjadi lapangan pekerjaan, berubah menjadi tempat yang menakutkan karena iklim tidak menentu. Sebaliknya para buruh. Mereka di PHK dengan alasanya perusahaan pailed di tengah pandemi Covid dan tidak bisa memberikan penghasilan kepada semua karyawan.

Selain itu kurikulum pendidikan kita yang tidak memberikan ruang sebesar-besarnya kepada lembaga pendidikan di daerah untuk menyusun kurikulum sesuai dengan kearifan lokal masing-masing daerah. Yang terjadi adalah daerah dipaksakan mengikuti kurikulum yang dibuat oleh pusat. Hal ini yang menyebabkan lembaga-lembaga pendidikan menjadi pusat penciptaan pengangguran baru di indonesia.

Apakah sekolah adat menjadi solusi ?

Sekolah adat merupakan sekolah yang dikembangkan oleh masyarakat adat. Sistem pendidikannya disesuaikan dengan konteks lokal di setiap wilayah adat. Di sekolah adat, kita belajar tentang sejarah asal usul, tentang wilayah adat, tentang struktur dan sistim nilai serta sumberdaya alam yang ada di wilayah adat. Di sekolah adat kita tidak mengenal biaya pendidikan, karena yang menjadi guru adalah para pemangku adat. Mereka punya tugas mewariskan pengetahuan lokal ke generasi berikutnya. Di sana kita belajar tentang bagaimana menjaga, mengelolah, dan mempertahankan wilayah adat, sehingga bisa di wariskan ke generasi berikutnya. Di sana kita diajarkan bagaimana bercocok tanam, menjadi nelayan, menjadi pengerajin tradisional dll. Selain itu, kita juga diajarkan untuk menjaga hutan, mata air, laut, sehingga kehidupan kita selaras alam.

Jika sekolah formal mengajarkan ilmu pergi, maka sekolah adat mengajarkan ilmu untuk kembali.

SELAMAT HARI PENDIDIKAN NASIONAL 2 MEI 2021

Penulis: Adrianus Lawe

BPAN Organisasiku, Gerakan Masyarakat Adat Perjuanganku

(Hanya sebuah catatan kecil)

BPAN Daerah Bima tiba-tiba memposting status di facebook soal plangisasi wilayah adat. Ketuanya yaitu Ade Purnawirawan membagikannya dan menandai saya. Postingan itu seketika menyulut semangat saya melihat teman-teman pemuda adat yang tak pernah lelah berjuang di wilayah adat. Betapa sangat mahalnya wilayah adat kita.

Itu postingan hari Selasa 12 Januari 2021.

Dalam seminggu terakhir, Sulawesi Selatan dan Barat bergerilya mendeklarasikan PD-PD BPAN. Baru kemarin (11/1), BPAN Daerah Massenrempulu atau Enrekang, Sulsel dideklarasikan dan muncul seorang perempuan hebat yang menjadi ketua. Ia adalah Jusmiati. Perempuan asal komunitas adat Uru tegas ingin bergerak membawa pemuda-pemudi adat memperkuat budaya, bukan malah ambisius hanya memikirkan sisi ekonomi alias keuntungan finansial semata.

Seminggu sebelumnya, wilayah pengorganisasian BPAN untuk pertama kalinya dideklarasikan di Sulawesi Barat tepatnya di Majene, 4 Januari. BPAN Daerah Majene hadir yang dinahkodai Hamsir. Menurut catatan BPAN (https://pemudaadat.org/pd-bpan-majene-lahir-memenuhi-amanat-leluhur/) yang ditulis Kalfein Wuisan, BPAN Majene hadir sebagai amanat leluhur. Ini adalah sebuah pesan yang sangat mendalam bagi generasi penerus Masyarakat Adat.

Kembali ke Sulsel, pada 27 Desember tahun lalu, BPAN Daerah Gowa juga dideklarasikan dengan penuh hikmat. Pertemuan Daerah pertama BPAN Gowa itu diselenggarakan di sebuah pendopo yang berada di tengah-tengah alam sebagai wujud kedekatan anak-anak muda terhadap wilayah adatnya, tanah di mana mereka melekat dalam segala hal. Alqadri Arsyad atau disapa Aldi terpilih dalam musyawarah ala pemuda adat itu sebagai ketuanya.

Masih di bulan dan tahun yang sama, dua BPAN Daerah turut dideklarasikan di pulau Kalimantan. Pertama, BPAN Daerah Sungai Kayan di Kalimantan Utara dideklarasikan pada tanggal 13 dengan metode belajar sama-sama yang khas anak muda. Salah satu metode unik dalam kegiatan itu adalah “menganyam”. Katarina Megawati, Ketua BPAN Wilayah Kaltara, memfasilitasi sesi seru ini. Menganyam wilayah adat berarti menjalin setiap unsur yang ada di wilayah adat kita yang menjadi satu kesatuan tak terpisahkan. Contohnya ada: tanah, rumah, ladang, sawah, hutan, kerbau, ayam, sungai, pengetahuan menenun, pengetahuan berburu, dan lain sebagainya.

Kedua, kita bergerak ke barat, Januar Pogo, salah satu kader terbaik AMAN Daerah Sintang memfasilitasi terbentuknya BPAN Daerah Sintang pada 14 Desember. Semangat pemuda/i adat Sintang luar biasa. Mereka terlihat sangat kompak dan dengan penuh kesadaran bercita-cita untuk terus menjaga wilayah adat, budaya warisan leluhur Masyarakat Adat Dayak khususnya di Sintang.

Bergeser sedikit ke pulau Lombok, tanggal 6 Desember, BPAN Daerah Sembalun memprakarsai sekolah adat Laskar Lembah Rinjani Sembalun. Junaedi dkk bersama dengan tetua adat lagi-lagi menunjukkan semangat gotong-royong untuk tujuan jangka panjang. Lewat sekolah adat, generasi penerus Masyarakat Adat akan terus ada, terpelajar, berbudaya dan selalu berdiri kukuh memperjuangkan hak-haknya sebagai Masyarakat Adat.

Ibarat pohon alami yang tumbuh kuat di hutan-hutan adat, sekolah adat terus menjalar di mana-mana. Kita melompat ke Sumatera, tetap masih di bulan Desember tanggal 16,, BPAN Daerah Kerinci yang dipimpin Rici Ricardo juga menjadi garda terdepan dalam memprakarsai sekolah adat Depati Puncak Negeri.

Saya melihat semangat kita, BPAN, berkobar terus di mana-mana. Ini baru situasi beberapa pergerakan yang saya rangkum dari akhir 2020 hingga awal 2021 pertengahan. Saya sadar banyak lagi aksi yang terlewatkan. Ini hanyalah catatan pendek sebagai salah satu pertanda bahwa BPAN hadir di mana-mana dalam gerakan Masyarakat Adat. Pemuda-pemudi adat berdiri tegak di baris terdepan. Pemuda adat secara gotong royong memperkuat kampung, haus belajar, selalu aktif berkreasi, dan terus bertumbuh.

Penulis: Jakob Siringoringo (Ketua Umum BPAN)

Kedaulatan Pangan di Tangan Pemuda Adat

bpan.aman.or.id – Pandemi COVID-19 menyebabkan sekolah-sekolah, perguruan tinggi, instansi pemerintahan dan non pemerintahan diliburkan dan diganti secara daring.

Anak-anak muda yang sedang kuliah di luar daerah atau bersekolah di luar komunitas terpaksa pulang kampung atau menetap di rumah saja. Gaya hidup anak-anak muda pun berubah drastis.

Termasuk saya juga kembali ke kampung untuk bertani dan beternak. Dan ini merupakan pekerjaan yang menyenangkan.

Sebelum wabah pandemi, saya banyak bekerja di luar komunitas untuk memperluas pengorganisiran dan pengorganisasian pemuda-pemudi adat.

Pandemi Cov-Sars 2 yang melanda dunia memang begitu memporakporandakan kehidupan rakyat. Ia menyebabkan 561.617 orang meninggal dunia (data per 13 Juli), hingga ancaman krisis pangan di berbagai negara termasuk Indonesia. Sampai saat ini belum ada tanda-tanda kapan pandemi ini akan berakhir.

Meskipun jarak Makassar ibukota Sulawesi Selatan ke komunitas adat Barambang Katute, Sinjai tempatku pulang kampung sekitar 220 kilometer, kami terus berusaha membangun solidaritas antarpetani dalam menjaga ketersediaan pangan.

Saat orang-orang di kota menyerukan di rumah saja, sebaliknya anak-anak muda di kampung justru turun bertani. Hal ini dikarenakan kampung atau komunitas-komunitas adat umumnya melakukan karantina bermartabat sesuai instruksi Sekjen AMAN. Karantina wilayah adat yang terjamin memastikan warga adat termasuk pemuda adat dapat turun ke sawah, ladang, hutan dan laut beraktivitas seperti biasa.

Karena itu, dengan bertani dan beternak para pemuda adat justru semakin solid dalam mengorganisir diri. Di bulan keempat pandemi ini, banyak hal yang dilakukan pemuda adat Barambang Katute untuk menjadi barisan terdepan perihal pangan di komunitas adat.

Dok: Solihin

  1. Membuat kebun kolektif

Dari sebuah lahan kosong seluas setengah hektar, kami membuat sebuah kemplok pertanian secara kolektif. Walaupun lahan seluas ini belum bisa menampung semua anak muda di komunitas adat Barambang Katute, tapi beberapa di antaranya sudah terlibat aktif dalam proses pengusahaannya.

Lahan kolektif ini dikelola 10 orang anak muda, lima di antaranya berasal dari komunitas adat Barambang Katute, termasuk saya. Di lahan setengah hektar, sejak awal Maret kami tanami berbagai tanaman jangka pendek, seperti cabai sebanyak 2.000 batang yang dalam waktu dekat akan mulai panen raya.

Kemudian sisa dari lahan kolektif yang dipinjam selama 10 bulan sejak Maret hingga Desember itu digunakan untuk menanam ubi jalar yang saat ini sedang berproses pengolahan tanahnya dan menuju masa tanam di pertengahan Juli yang kalau berproses dengan baik maka diprediksi akan panen antara September dan Oktober.

  1. Membangun pusat pelatihan pertanian

Pembelajaran pertama yang dapat dipetik dari pandemi COVID-19 ini khususnya di anak-anak muda yaitu bahwa petani-petani di kampunglah yang paling berdaulat atas pangannya. Dari pembelajaran sesederhana itu tercipta kesadaran di kalangan anak muda bahwa sumber pengetahuan sesungguhnya ada di kampung apalagi tentang pertanian dan mengelola sumber daya alam.

Namun, karena para pemuda adat tidak terorganisir dengan baik, maka pengetahuan itu hilang digantikan dengan pengetahuan modern yang berbiaya mahal, tidak ramah lingkungan dan membuat mereka semakin jauh dari kampung.

Atas kondisi itulah, maka kami bersepuluh berpikir tentang metode pengorganisiran pengetahuan-pengetahuan lokal dan memproduksi ilmu kesadaran pulang kampung dengan kesadaran kolektif. Lantas alasan tersebut membuat kami berencana membangun pusat pelatihan pertanian. Adapun modelnya kelak, karena ini bagian dari rencana panjang anak-anak muda, akan dibangun dari hasil lahan kolektif. Setidaknya pendiskusian hingga pematangan rencana itu telah selesai di tingkatan anak muda.

Dok: Solihin

  1. Pertanian organik

Disadari atau tidak, pertanian kimia yang mahal, tidak ramah lingkungan dan tidak sehat itu telah menyusup hingga jauh sekali di komunitas adat. Untuk membuat warga komunitas adat secara umum ataupun petani menyadarinya bukanlah sebuah pekerjaan sehari dua hari, tapi membutuhkan waktu bertahun-tahun bahkan puluhan tahun.

Bagi pemuda adat yang memiliki semangat yang kuat, bukanlah alasan untuk menyerah begitu saja karena pekerjaan itu sangat mungkin dilakukan. Lewat inisiatif bertani secara kolektif tadi, perlahan-lahan semangat pertanian organik dapat dilaksanakan. Paling tidak sudah ada kami 10 pemuda adat yang mulai menerapkan.

Saya berharap, upaya itu kelak menjadi pemantik untuk anak muda lainnya ikut terlibat dan menerapkan pertanian organik. Searah dengan rencana pembangunan pusat pelatihan pertanian itu pula, maka akan dipadukan pertanian organik, pengetahuan Masyarakat Adat hingga pelestarian tanam herbal dan pengorganisasian anak-anak muda di tingkat tapak.

Dari perencanaan di atas baik yang sedang berjalan maupun masih dalam proses, sesungguhnya masih banyak lagi aktivitas yang kami lakukan secara sendiri-sendiri seperti menanam pisang, menanam padi, panen jagung, beternak sapi, menyadap aren, dan masih banyak lagi yang tidak kalah urgen untuk didiskusikan di lain kesempatan.

Semoga kelak kita bersama mencapai kedaulatan pangan kampung yang ramah lingkungan dan para pemuda adat sebangai benteng kedaulatannya.

~Solihin, pemuda adat Barambang Katute

Anak Muda Harus Aktif Jaga Tradisi Budaya Lokal

Bpan.amanor.id PONTIANAK – Sebagai generasi yang memiliki integritas anak muda harus berperan besar dalam kemajuan di republik ini. Pemuda seharusnya  tidak apatis terhadap perkembangan yang terjadi saat ini. Salah satuya ialah dengan kemajuan teknologi yang berkembang pesat.

Kemajuan teknologi menuntut kita untuk bisa menyesuaikan dan mempersiapkan diri dalam perjalanan ke depan, karena nantinya anak muda akan dihadapkan dengan berbagai persoalan, persoalan itu bisa positif maupun persoalan negatif.

Kesadaran dalam kegiatan gotong royong dari jaman dulu yang selalu diajarkan oleh orang tua harus kita pertahankan, tidak hanya itu, sikap saling menghargai sesama manusia harus tetap kita jaga. Kurangnya rasa keperdulian itu bisa memperburuk negara. Seperti contoh sikap yang apatis, egois, kurangnya sopan santun dan lainya.

Sebagai Generasi penerus, marilah kita membuka mata, dan saling bergandengan tangan, bersatu-padu bersama membantu pemerintah dalam menjaga dan melestarikan budaya, adat istiadat.

 

Penulis : Govin Anggota Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Wilayah Kalimantan Barat

PENGURUS NASIONAL BPAN 2022-2026

KONTAK KAMI

Sekretariat BPAN, Alamat, Jln. Sempur, Bogor

officialbpan@gmail.com

en_USEnglish